Snorkeling di Pulau Petong, Mengapa Tidak? (1)

Pulau Petong ini berada di sisi selatan Batam. Lebih kurang perjalanan satu setengah jam dari titik keberangkatan kami di Kepri Mall hingga sampai di jembatan enam. Tentu saja, kita akan melewati jambatan satu Barelang yang telah menjadi ikon Batam.

Rasakan Sejuk Air Gunung Daik di Resun

Air terjun Resun, begitu nama yang dilebelkan untuk air terjun yang terletak di desa Resun itu. Airnya mengalir dari pengunungan di tanah Lingga. Air terjun Resun ialah satu di antara sekian banyak aliran air terjun dari gunung Daik.

Kampung Boyan di Dabo Singkep

Para perantau ini seringkali meninggalkan jejak berupa nama kampung, yakni Kampung Boyan. Nah, itulah yang menjadi pijakan, tradisi rantau warga Bawean memiliki jejak, baik berupa nama maupun tradisi. Di Dabo Singkep, terdapat juga sebuah kampung bernama Kampung Boyan.

Menikmati Keindahan Masjid Agung Natuna

Masjid ini memang megah. Bahkan termegah yang ada di Kepri. Sebab itu, masjid ini selalu terlihat sangat cantik dari berbagai sisinya. Anda bisa mencari berbagai foto menarik masjid ini di internet. Saya sungguh kagum.

Puasa dan Pembebasan Sosial

Puasa mempunyai konteks tanggungjawab pribadi dan juga tanggungjawab sosial. Karenanya, dalam berpuasa, disamping mewujudkan kesalehan vertikal kepada Allah, juga untuk mewujudkan kesalehan herisontal kepada sesama manusia dan mahluk Allah.

Senin, 12 Juni 2017

Mengenal Sufisme Waliyah Zainab dan Bawean

Mengenal Sufisme Waliyah Zainab dan Bawean
Abd. Rahman Mawazi*

Sosok Syeikh Siti Jenar memang fenomenal. Ia adalah seorang wali yang dipinggirkan akibat ajaran-ajarannya. Konsep manunggaling kawula gusti, merupakan ajaran sufisme Siti Jenar yang ditolak para wali (walisongo) karena dinilai bertentangan dengan norma Islam dan menyesatkan. Ia kemudian dipinggirkan dan akhirnya dihukum mati.
Satu dasawarsa terakhir ini telah banyak litelatur yang mengupas sejarah hidup dan ajaran wali yang bernama asli Abdul Jalil. Tidak sedikit dari litelatur tersebut kemudian menjadi best seller. Hal ini dikarenakan keingintahuan masyarakat terhadap sosok dan konsep ajaran sufismenya yang kontreversial. Dan, buku Waliyah Zainab, Putri Pewaris Syeikh Siti Jenar ini juga berusaha menjelaskan konsep ajaran Syeikh Siti Jenar sebagaimana juga dipraktik oleh generasi penerus, Waliyah Zainab.
M. Dhiyauddin Quswandhi, penulis buku, mengupas ajaran Siti Jenar dari sebuah naskah kuno tidak berjudul yang menjelaskan tentang Sastro Cettho Wadiningrat atau ilmu tentang rahasia kehidupan, yang sering juga disebut sebagai ilmu kebegjan, ilmu mencapai kehidupan sejati. Naskah yang ditulis oleh generasi ketiga Siti Jenar, Sunan Sendang, berbahasa Jawa Kuno, dan tampaknya cukup bisa dipahami oleh penulis, yang tak lain adalah keturunan dari Sunan Sendang sendiri.
Judul : Waliyah Zainab, Putri Pewaris Syeikh Siti Jenar: 
Sejarah Pradaban Agama di Pulau Bawean
Penulis : M. Dhiyauddin Qushwandhi
Penerbit : Yayasan Waliyah Zainab Diponggo, Gresik
Cetakan: Pertama, Maret 2008
Tebal : xxxiii+315 halaman
Dalam ajaran sufisme terdapat empat tahapan akidah, yakni syariat, thariqat, hakikat, ma’rifat. Kempat tahapan tersebut dalam ajaran sufisme Wali Songo dikenal dengan takon, tekkun, tekken, tekan. Sedang Siti Jenar mengistilahkannya sebagai catur wiworo werit (empat perjalanan yang sulit) karena dalam menapaki setiap tahapnya penuh aral yang tidak gampang dilalui.
Pengistilah Siti Jenar tersebut cukup mempunyai alasan sebab, menurutnya, empat perjalanan itu merupakan pengejawantahan dari kalimat Laa ilaaha illa Allah. tahapan syariah mengandung makna ila-ilah (menuju Allah), thariqah berarti li-lah (untuk Allah), haqiqah sebagai fi-ilah (di dalam Allah), dan ma’rifah memuat bi-ilah (bersama Allah). Selain itu, keemapat tahapan juga memilki makna lain, yaitu syari’ah sebagai tataran ’ilmuthariqah sebagai tataran ’amalhaqiqah sebagai tataran hal, dan ma’rifah sebagai tataran sirr. (h.240) Tataran ilmu atau syar’iah, misalnya, bermakna bahwa syariat merupakan jenjang dan pengenalan aqliyah terhadap syariat, thariqat, hakikat, ma’rifat, berikut semua kandungannya.
Yang menjadi simbol keweritan dalam tahapan perjalanan akidah seseorang ialah penerapan empat tahapan dalam setiap tahapannya. Level syari’ah memiliki tahapan syariat, thariqat, hakikat, ma’rifat. Begitu juga di level-level selanjutnya. Melewati empat hahapan dalam setiap levelnya adalah perjalanan yang amat sulit karena aral, cobaan, serta tantangan dalam setiap tahapannya tidak mudah dilalui.
Oleh karena itu, penghayatan seorang hamba atas empat hal di atas mutlak diperlukan guna menuju suatu kesempunaan dalam berakidah. Bila sukses, ia akan merasakan puncak kesempurnaan keimanan, di mana keimanan tidak lagi sekedar bermakna percaya an sich kepada Allah, melainkan berbarengan dengan kecintaan (hub) dan selanjutnya penyatuan diri. Bila demikian, maka seorang hamba akan merasa bersatu dengan Khaliqnya—yang dalam konsep Ibn Arabi disebut wihdatul wujud.
Pulau Bawean
Ajaran Sufisme tersebut kemudian dipraktikkan oleh generasi keempat Syeikh Siti Jenar, Sayyidah Waliyah Zainab, di Bawean. Konstalasi politik di Jawa yang tidak memungkinkan bagi keturunan dan pengikut ajaran Siti Jenar memaksa Waliyah Zainab beserta rombongannya hijrah ke pulau Bawean. Kehadiran Waliyah Zainab di sana, selain sebagai bentuk pengasingan diri, juga menyiarkan agama Islam, yang kelak mencapai kesuksesan di masa adipati Sumenep, Umar Mas’ud.
Menurut M. Dhiyauddin Qushwandi, penyiar pertama agama Islam di Bawean ialah rombongan pengungsi dari kerajaan Campa. Hal ini sangat dimungkinkan karena letak Bawean yang steragis sebagai pulau transit pelayaran. Termasuk di dalamnya ialah Sunan Ampel dan ibundanya, Putri Condrowulan, yang kini makamnya terletak di desa Komalasa. Penemuan makam Putri Condrowulan ini merupakan suatu jawaban dari teta-teki sejarah.
Penemuan lain yang tak kalah pentingnya ialah prihal keberadaan makam laksamana muslim Cina Cheng Ho. Menurut Dhiyauddin, melihat posisi Bawean yang terletak di Laut Jawa, sangat mungkin Cheng Ho memilih Bawean sebagai tempat berdomisili hingga akhir hanyatnya. Hal ini berdasarkan informasi sejarah yang menyatakan bahwa konstalasi politik dinasti Ming saat itu sedang goncang, dan tidak adanya kabar atau informasi sejarah yang menyebutkan ke mana Cheng Ho berlayar sejak meninggalkan Jawa. Adapaun bukti yang menguatkan ialah, bahwa makam yang dikenal oleh masyarakat setempat sebagai Jujuk Tampo ialah dari kata ”tampo”. Ditengarai kata ”tampo” berasal dari bahasa Cina ”dempo”, yang berarti nahkoda. Selain penemuan tersebut, Dhiyauddin juga memastikan bahwa huruf Honocoroko tercipta di Bawean.
Kehadiran buku ini, dengan demikian, selain mengungkap ajarah sufisme Siti Jenar yang kontroversial itu, juga mengungkap suatu peristiwa masa lalu yang masih menjadi misteri masa kini. Survei lapangan yang dilakukan penulis serta telaah litelatur yang ketat menjadikan buku ini layak untuk dijadikan rujukan bagi mereka yang berdedikasi di bidang sejarah sekaligus sebagai pintu bagi penelitian lebih lanjut. Sebab, jika berbicara sejarah, hal itu adalah bukti-bukti yang tertinggal dan masih ada, baik  berupa tulisan, naskah, ataupun artefak yang bisa dibuktikan kebenarannya secara ilmiah. Tampa itu semua, ia hanya menjadi dongeng atau mitos belaka.
*Abd. Rahman Mawazi,
pustakawan, alumnus UIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta.

Minggu, 11 Juni 2017

Perjalanan Panjang Pencarian Tuhan

Perjalanan Panjang Pencarian Tuhan
Oleh Abd. Rahman Mawazi*
 
 
Judul Buku : Tuhan Di Mata Para Filosof
Penulis : Etienne Gilson
Penerjemah : Silvester Goridus Sukur
Penerbit : Mizan, Bandung
Cetakan : I, November 2004
Tebal : 237 Halaman
Filsafat selalu mendapat perhatian dikalangan pemikir, hampir disetiap ranah ilmu pengetahuan mempunyai landasan filosofis kecuali ilmu eksak. Tak luput juga dari landasan filosofis itu yakni teologi metafisika. Teologi metafisika adalah ilmu yang murni membutuhkan suatu rasionalisasi, tanpa rasionalisasi niscaya tidak akan dapat mengungkap misteri dari metafisika itu sendiri.
Perjalanan panjang para filosof dalam mencari Tuhannya telah melahirkan suatu aliran filsafat yang sangat berguna bagi manusia dalam memaknai “nilai-nilai” keberadaan Tuhan. Teologi adalah suatu pendekatan menuju pemahaman ketuhanan. Hal ini dimulai dari munculnya pertanyaan tentang siapa yang mengatur dunia ini? Tales, Aristotales, Plato dan kebanyakan filosof Yunani lainnya selalu mencari jawabannya. Suatu kesimpulanm yang sangat bertentangan dengan keyakinan masyarakat Yunani pada umumnya kala itu, filosof – periode akhir – awal Yunani membuat suatu kesimpulan bahwa ada yang lebih berkuasa dibandingkan para dewa yang diyakini oleh masyarakat Yunani.
Etienne Gilson, penulis buku ini, menelaah perjalanan dan pandangan para filosof tentang Tuhan. Hal ini ia lakukan karena kekawatirannya terhadap perkembangan para pemikir dalam mencari Tuhan-nya yang mulai lepas dari rel pengetahuan filosofis. Premis yang dibangun oleh filosof masa awal (baca Yunani) mulai mengalami pergeseran paradigma filosofis dikalangan pemikir abad modern dan kontemporer.
Pembacaan terhadap bukti keberadaan Tuhan melalaui telaah atas bukti nyata yang ada di jagad ini telah menghasilkan teologi natural. Melalui metode itu filosof Yunani kemudian membuat suatu kesimpulan. Namun, ketika agama mulai mendapat keyakinan dihati manusia justru Tuhan dapat diterima dengan lapang dada oleh umatnya. Mulailah berkembang kemudian teologi agama untuk menjawab keberadaan dan eksistensi Tuhan. St. Augustinus seorang folosof kristen, misalnya, mampu memberikan pemahaman yang dapat diterima dengan akal dan penuh landasan filosofis dari sebuah ajaran Kristen.
Berbeda dengan para filosofis, agamawan dan umat beragama dapat menemukan Tuhan-nya dengan prakter ibadah spiritual sedang para filosof memulainya dengan nalar kritis serta sitematis kemudian mampu menjangkau Tuhan. Keduanya, filosof dan agamawan, sama-sama telah menemukan Tuhan-nya dengan jalan masing-masing. Kemudian datanglah perdebatan baru pada era filsafat modern sejak mulainya memasuki perkembangan filsafat. Hal inilah yang dialami sendiri oleh Etienne ketika para pemikir semasanya mulai merekontruksi paradigma filosofis teologi metafisika. Menurut Jaroslav Pelikan, dalam prakatanya di buku ini, hal ini disebabkan oleh dominasi pemikiran Emmanuel Kant sehingga penerusnya Karl Marx, Charles Darwin, Sigmund Frued dan Friedrich Nietzsche melakukan aksi “penghujatan Tuhan”.
Berbeda dengan Descartes dan Spinoza, keduanya secara eksplisit mengakui keberadaan Tuhan. Seperti dikutip oleh Etienne, Descartes secara ekplisit mengatakan “Karena kita tidak mungkin memisahkan eksistensi dari ide tentang Tuhan, maka Tuhan niscaya ada atau ber-ada (eksis)”, begitu pula dengan Spinoza yang memandang Tuhan adalah Ada yang maha tidak terbatas, atau subtansi yang merupakan “penyebab bagi dirinya sendiri” karena “esensinya meliputi eksistensi”. Komentar Etienne lebih lanjut tentang keduanya bahwa bisa jadi mereka keliru secara filosofis atau benar secara religius, atau sebaliknya benar secara filosofis, keliru secara religius.(hlm.159) Akan tetapi secara jelas Descartes juga mengungkapkan bahwa Tuhan, agama atau bahkan teologi bukan merupakan obyek yang tepat bagi spekulasi filosofis, biarkanlah agama tetap sebagaimana adanya yakni perkara iman semata-mata, bukan pengetahuan intlektual atau pembuktian rasional.
Lain halnya dengan apa yang kemudian berkembang dikalangan pemikir kontemporer dimana perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi begitu pesat, sehingga Tuhan pun menjadi obyek ‘perdebatan’. Disinilah pengaruh filsafat Kant dan Aguste Comte mendominasi. Kritisisme Kant dan Positivisme Comte memiliki kesamaan tentang gagasan pengetahuan yang direduksi menjadi pengatahuan ilmiah dan gagasan pengetahuan ilmiah menjadi intelijibilitas yang disiapkan oleh fisika Newton. (hlm.168)
Ilmuan kontemporer, Sir James Jeans memadukan masalah-masalah filsafat dalam perspektif sains kontemporer dengan kesimpulan bahwa alam semesta sains merupakan sesuatu yang misterius. Nah, selayaknya fungsi sains menyingkap misteri alam semesta ini agar kemisteriusannya dapa terpecahkan atau menjadi tidak misterius lagi. Namun penolakan ilmuan dengan tidak menerima hal-hal metafisika karena dinilai tidak empiris, irasional dan tidak ilmiah akibat pemisahan antara urusan ilmu pengetahuan dengan agama atau Tuhan.
Kehadiran buku ini memberikan gambaran singkat tapi jelas tentang pandangan para filosof dan pemikir tentang Tuhan. Teka-teki metafisika di tulis dengan begitu jelasnya sehingga pembaca dapat memahami landasan-landasan filosofis tentang keberadaan dan eksistensi Tuhan serta perjalanan para filosof dalam mencari Tuhannya. Jangan sampai orang modern tersihir oleh sains, karena masalah tuhan tidak akan pernah bisa dirumuskan dalam satu rumusan ilmiah.

Naskah lama yang saya tulis 2004 silam.

Selasa, 30 Mei 2017

Puasa dan Pembebasan Sosial

Puasa dan Pembebasan Sosial
Oleh Abd. Rahman Mawazi*

"Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana telah diwajibkan kepada orang-orang sebelum kamu agar kamu sekalian bertaqwa" (QS. 2:183)



Momentum Ramadan  selalu menarik perhatian bagi umat Islam. Bukan saja karena bulan itu diagungkan dengan kewajiban melaksankan puasa sebulan penuh dan segala keistimewaan dan kelebihannya, tetapi juga himbauan pemenuhan kebutuhan spiritual akan keimanan dan ketakwaan. Banyak seruan yang mengarah pada peningkatan ketakwaan, baik seruan melaksanakan ibadah syar’iyah maupaun ibadah sosial, yang intinya agar menahan (al-imsak) diri dari perbuatan yang tidak sesuai dengan norma agama dan melakukan suatu kebajikan yang menambah nilai plus dari ibadah puasa itu sendiri.
Sebagai fondasi (rukun) Islam, puasa merupakan kewajiban mutlak (fardu ‘ain) bagi umat Islam. Didalammnya, disamping unsur filosofis yang terkandung, yakni peningkatan ketakwaan (hablun min Allah), ada banyak muatan dan kadungan yang berhubungan dengan kehidupan di dunia, khususnya sesama manusia (Hablun min an-nas), yang dapat direnungkan bagi seorang hamba dengan melaksanakan ibadah puasa penuh ketakwaan. Puasa mempunyai konteks tanggungjawab pribadi dan juga tanggungjawab sosial. Karenanya, dalam berpuasa, disamping mewujudkan kesalehan vertikal kepada Allah, juga untuk mewujudkan kesalehan herisontal kepada sesama manusia dan mahluk Allah.
Ketakwaan itu akan tampak bila diimplementasi dalam berkehidupan sosial. Seperti dikatan Ashgar Ali Angineer, cendikiawan dari India, kesalehan yang disebutkan dalam al-Qur’an bukan hanya kesalehan ritual, namun juga kesalehan sosial. Bukankah permasalahan sosial dewasa ini cukup kompleks? Dan persoalan serius yang harus segera dijawab umat Islam saat ini adalah menunjukkan seberapa relevan konsep Islam sebagai agama ‘rahmat’ bisa dijadikan alat sekaligus solusi atas berbagai persoalan sisio-ekonomi kontemporer; kemiskinan, keterbelakangan, penindasan, dan ketidakberdayaan menghadapi perubahan-perubahan global—misalnya, ekonomi dan politik.
Persoalan kemiskinan misalnya, dimana jumlah masyarakat miskin di negeri ini semakin bertambah dalam tiap tahunnya dan ketika mereka tidak lagi berdaya menghadapi persaingan hidup mendapatkan ‘kelayakan’, memerlukuan solusi konkrit yang mampu mengentaskan problema itu. Telah sering diperlihatkan dalam berita-berita kriminal bawah kebanyakan masyarakat kelas bawah melakukan keriminalitas dengan alasan untuk sesuap nasi, dan atau mempertaruhkan nasib dengan bermain judi—termasuk dalam kategori ini adalah lotere—dan bahkan melakukan hal-hal yang irasional seperti tahayul penggandaan uang (yang ujung-ujungnya tak lain hanyalah praktik penipuan).
Fenomena kemiskinan, bukan saja merupakan problem sosial tapi juga problem agama. Karena, kefakiran bisa menyebabkan kekufuran (al-Hadist). Oleh karena itu, sebagai sesama manusia kita diwajibkan saling tolong menolong. Dan konsep al-Qur’an mengenai distribusi harta kekayaan sangat jelas, "Dalam harta kekayaan terdapat hak peminta-minta dan orang yang hidup berkekurangan" (51:19). Ayat ini dengan sangat jelas menyatakan bahwa kepemilikan tidak bersifat absolut, namun harus dibagi-bagikan pada gologan masyarakat lemah (mustadl’afin).
Begitu juga dengan keterbelakangan, penindasan, dan ketidakberdayaan selalu saja menimpa masyarakat kelas bawah (baca; mustadl’afin). Negeri ini adalah negeri dengan penduduk muslim terbesar dunia, negeri ini masuk dalam deretan negeri miskin, dan negeri ini juga masuk dalam kategori negeri terkorup di dunia. Cukup sudah predikat yang disandangkan pada negeri ini dimana penduduk mayoritasnya adalah muslim. Dan bentuk fenomena sosial yang paling akut juga diderita oleh orang muslim. Padahal, Islam sebagai agama rahmat membawa misi persaudaraan yang universal (universal brotherhood), kesejahteraan (equality), dan keadilan sosial (social justice) (Ashgar Ali Angineer,1999).
Memahami Islam sebatas pemenuhan kebutuhan moral spiritual tidaklah benar. Karena, selain memenuhi kewajiban menunaikan ibadah, Islam juga memerintahkan akan kepedulian sosial. Oleh karena itu, merepon peroblematika kontemporer dengan bersandar pada konsep al-Qur’an, melelui reinterpretasi terhadapnya, merupakan suatu keharusan, sebab zaman selalu berubah dan berkembang. Mempertahankan stagnasi sama-halnya dengan membiarkan kemandulan umat. Dan, secara otomatis, Islam dengan konsep rahmatan lil alamin tidaklah lagi menjadi rahmat, melainkan bencana yang disebabkan oleh umat Islam sendiri.
Kondisi sosial kontemporer; kemiskinan, keterbelakangan, penindasaan, ketidakberdayaan, dan sebaginya memerlukan respon agar tidak berlarut-larut menimpa umat Islam. Disinilah dibutuhkan ijtihadiyah baru dalam merespon problematika tersebut. Jamal Albana, cendikia dari Mesir, mengatakan bahwa jihad—berasa dari kata jahada yang berarti bersungguh-sungguh—masa kini bukanlah bagaimana mati di jalan Allah, meliankan bagaimana kita hidup dijalan Allah. Pembebasan umat dari keterbelengguaan, kemiskinan, penindasan dan segala macam bentuk ketidakberdayaan masyarakat, terutama mustadl’afin, merupakan kesalehan sosial. Menurut Abdul Munir Mulkhan, guru besar Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta, iman dan kesalehan seseorang tidak hanya dilihat dari pemenuhan rukun iman dan rukun Islam, melainkan juga pemihakan pada kepentingan kaum mustadl’afin(kaum tertindas). Membela dan membebaskan kaum mustadl’afin merupakan kewajiban dan tanggung jawab bersama. Karena itu, Hassan Hanafi, pemikir kiri Islam, menganggap bahwa tantangan terbesar bagi umat Islam adalah kemiskinan, keterbalakangan, dan ketertindasan. Bila demikian, agenda muslim yang harus direalisasikan secepatnya adalah "jihad sosial". Sudah saatnya revolusi sosial dilakukan.

Islam dan Pembebasan
Sejarah telah membuktikan bahwa kehadiran Islam di tengah masyarakat Arab jahiliyah membawa misi revolusi besar-besaran, yakni pembebasan umat manusia dari kejahiliyahan menuju peradaban humanis-dinamis, baik bidang ketuhanan (tauhid), ahklak, sosial-budaya, politik dan perekonomian. Sang pembebas, Muhammad Saw. membawa masyarakat jahiliyah menuju keterbebasan dari belenggu yang menimpa mereka.
Awalnya, sebelum Islam datang, praktik perbudakan begitu marak, kaum perempuan (seakan) tidak mempunyai harga—mereka dengan teganya menguburkan hidup-hidup bayi perempuan karena dianggap hanya akan membawa kerugian dan petaka bagi keluarga dan kebilahnya. Perempuan dijadikan pelampiasan nafsu libido para lelaki dengan menikahi mereka tanpa batas. Begitu juga dengan pola pikir masyarakat jahiliyah yang irasional dan mengedepankan adat-istiadat yang sarat dengan mitos. Oleh karenaya mereka dikenal dengan masyarakat jahiliyah. Namun sejak kedatangan Sang Pembebas, kebiasaan dekimian sedikit demi sedikit mulai dirubah. Praktik perbudakan mulai dikurangi dengan adanya kewajiban—sebagai kafarat (tebusan)—memerdekakan budak bagi seseorang yang melanggar suatu perintah syariat, poligami dibatasi maksimal empat orang istri bagi mereka yang mampu berbuat adil terhadap istri-istrinya, dan kepercayaan mitos dirubah dengan penanaman aqidah yang kokoh.
Termasuk juga pembebasan sosial yang telah dilakukan oleh Nabi adalah menghapus primordialisme dan fanatisme kesukuan. Islam datang dengan konsep tidak membeda-bedakan suku, ras, dan golongan dihadapan Allah menjadi pintu menuju kehidupan harmonis umat manusia. al-Qur’an menyebutkan, "Hai manusia! Kami telah manciptakan kalian dari laki-laki dan perempuan, dan membuat kalian menjadi berbangsa-bangsa dan bersuku-suku, supaya kamu sekalian saling mengenal satu sama lain. Sesungguhnya, yang paling mulia diantara kamu sekalian disi Allah adalah yang paling bertakwa.". Ini merupakan konsep yang paling revolusioner, dimana tidak ada lagi kesenjangan umat manusia yang disebabkan perbedaan ras, suku bangsa, dan golongan.
Diranah sosio-ekonomi misalnya, Islam juga menawarkan konsep revolusioner, yakni keadilan distributif dan melarang praktik culas dalam mengumpulkan harta kekayaan, seperti penimbunan kebutuhan perekonomian (QS.6:34), praktir rentenir dan riba (mengambil keuntungan dengan sistem bunga)(2:275-278). Hal ini bermakna bahwa agar penikmatan kebutuhan tidak hanya berputar dikalangan orang-orang kaya, melainkan merata pada seluruh lapisan masyarakat. Dan agar kesenjangan sosial -pembedaan si kaya dan si miskin- tidak lagi menjadi kemelut, melainkan suatu kebutuhan imbal balik, yakni saling membutuhkan.
Sekelimut histori peradaban umat Islam masa awal diatas perlu jadikan contoh untuk didialektikakan dengan keberadaan umat masa kini yang begitu banyak mengalami problematika sosial dan menuntut respon dari sekian konsep Islam. Apalagi, tantangan hidup di era global ini telah menjadikan wajah buram bagi umat Islam yang terbukti dengan begitu banyaknya masyarakat muslim di dunia yang mengalami kelaparan, kemiskinan, penindasan dan keterbelakangan.
Oleh karena itu, melalui momen puasa kali ini, kita tingkatkan moral spritual dan moral sosial. Sebab, bangunan moral spiritual bukan hanya sebagai pembebasan personal, melainkan kesalehan untuk pembebasan sosial—yang juga merupakan moral sosial. Solidaritas kemanusian menjadi nilai plus dalam upaya meningkatkan ketaqwaan. Dan mudah-mudahan puasa yang kita jalani telah memuat sisi batiniah (esoterik) sekaligus sisi lahiriyah (eksoteris). Wallahu a’lam.


*Tulisan semasa masih di Jogja antara 2002-2008

Senin, 29 Mei 2017

Teror itu Menghantui Dunia

Teror itu Menghantui Dunia
Oleh Abd. Rahman Mawazi
Judul Buku : New Terrorism: 
Fanatisme dan Sanjata Pemusnah Massal
Penulis : Walter Laqueur
Pengantar : Abdullah Sumrahadi
Penerbit : Kreasi Wacana, Yogyakarta
Cetakan : Pertama, Februari 2005
Tebal : xxii + 418 halaman
Mungkin kita sudah bosan mendengar kata teror. Bukan saja karena aksi itu begitu menakutkan dengan banyaknya korban berjatuhan, melainkan juga kerugian materiil yang tak terhingga. Motif dan tujuan toror-toror itu pun beraneka ragam, mulai dari masalah individual, ras, agama, ideologi, politik, ekonomi hingga pertahanan negara. Dari beragamnya motif tersebut sampai-sampai sulit untuk mengidentifikasi siapa aktor yang berkepentingan dibalik itu.
Walter Laqueur mengupas dengan jelas tentang terorisme itu. Melalui tragedi teror dunia pada dekade terakhir yang menelan banyak nyawa manusia diulasnya tanpa batas, bahkan dimulai dari sejarah munculnya terorime hingga terorisme modern. Menurutnya, terorisme adalah kekerasan, namun tidak setiap bentuk kekerasan adalah terorisme. Dan terorime tidaklah sama maknanya dengan perang sipil, perbanditan, atau perang gerilya.
Awalnya, terorisme merupakan aksi kelompok dengan jumlah kecil yang terjadi pada wilayah kecil pula. Namun, pada perkembangan selanjutnya aksi teror dilakukan untuk kepentingan-kepentingan kolektif hingga akhirnya menjadi sebuah gerakan menakutkan. Aksi bom bunuh diri dan pembunuhan massal, adalah bukti konkrik akan kengerian terorisme.
Pembunuhan masal yang dilakukan suatu kelompok memberikan pelajaran baru bagi kelompok lain yang ingin melakukan eksekusi melalui aksi terorisme sebagai jalan terakhir. Tak ayal, seringkali aksi-aksi terorisme diboncengi oleh ideologi yang mempengaruhi gerak langkah kelompoknya atas nama mempertahankan ideologi, kepentingan politik dan stabilitas nasional. Fanatisme ideologi—bisa jadi—membentuk kelompok terorisme.
Sejarah telah mencatat betapa besar jumlah kematian ketika terjadi perang dunia pertama dan kedua. Hal ini bukan lagi bersifat dalam tritorial suatu negara, melainkan lintas negara yang berhubungan dengan kepentingan politik dan ekonomi. Maka, pengguanan senjata berat yang mampu melumpuhkan musuh menjadi pilihan untuk meraih kemenangan. Hitunganya adalah kalah atau menang. Sudah pasti keinginannya ialah menang.
Akhirnya, diciptakanlah senjata canggih yang ampuh untuk menumpas musuh hingga takluk tanpa kata. Lahirnya bom atom, sebagai perkembangan persenjataan paling ampuh menumpas ratusan ribu jiwa manusia, seperti yang terjadi di Nagasaki, Jepang ketika perang dunia kedua, menjadi rebutan para penggila darah manusia. Masing-masing negara pun bersaing untuk melengkapi persenjataannya. Program nuklir dan roket dengan hulu ledak yang sangat dahsat, selalu terus dikembangkan. Alasanya, untuk mempertahankan keamanan negara. Bagaimanapun, senjata pemusnah massal menjadi bagian dalam menghantui dunia. Jika dahulu teror merupakan aksi yang hanya membahayakan daerah tertentu, kini dengan adanya senjata pemusnah massal masyarakat dunia harus terbayangi oleh betapa ganasnya senjata itu.
Aksi teror dunia masa kini bukan sembarang aksi. Segala tindak-tanduk dari kegiatan yang akan dilakukan telah terencana matang. Kecanggihan teknologi pun tak luput dijadikan sarana. Bahkan, bukan mustahil sebuah teror bentuk maya (cyberterrorism) menjadi sarana paling ampuh. Dan teror bukan saja terjadi didunia nyata, tetapi juga di dunia imajiner. Manusia begitu dihantui oleh teror-teror yang terselubung bersamaan dengan kemajuan zaman dan teknologi.
Sedemikian ngerinya, keberadaan manusia di muka bumi telah dihantui teror-teror yang tak jelas motifnya. Akan tetapi, bagaimanpun teror telah mengelilingi kehidupan kita, kehadirannya tidak dapat ditolak. Teror yang mungkin telah menjadi ideologi—meminjam istilah Abdullah Sumrahadi—bukanlah ide utopis. Sebab, serentetan aksi teror dunia dilakukan oleh kelompok (yang bahkan rela mati) dengan perencanaan matang. Teror telah menunjukkan realitas buruk.
Buku ini mengulas hasib tentang terorisme. Jika saat ini yang kita ketahui bahwa terorisme identik dengan agama (Islam), maka dengan membaca buku ini akan menemukan suatu yang lebih luas tentang terorisme itu. Beberapa aksi gerakan islam, seperti HAMAS, al-Qaedah, PLO (Palestine Liberation Organization) dan lain sebaginya memang merupakan bukti bahwa aksi tersebut dilakuakan oleh sebagian kelompok umat Islam, namun teror bukanlah semata-mata merupakan pekerjaan ‘biadab’ Muslim.
Bukan mustahil terorisme telah juga diboncengi oleh aksi-aksi gangstar dan kelompok kejahatan terorganisir, meski bukan berarti aksi terorisme identik atau menjadi gembong kejahatan terorganisir. Memang harus diakui, acap kali gerakan-gerakan terorisme berbarengan dengan aksi-aksi ilegal kejahatan. Sebab, sarana yang digunakan untuk meloloskan suatu usaha dalam mensukseskan agenda mereka yang paling efektif adalah praktek ilegal.
Yang menarik dari buku ini adalah data dan fakta yang disajikan. Analisa yang dilakukan oleh penulisnya, Walter Laqueur terhadap tragedi terorisme dibelahan dunia memberikan suatu gambaran utuh tentang terorisme yang telah berabad-abad eksis hingga hari ini. Bahakan, teror di masa yang akan datang justru lebih berbahaya dibandinggkan teror-teror yang ada sekarang. Pengembangan senjata-senjata biologis dan kimia serta kecanggihan teknologi adalah hantu terorisme dunia akan datang. Bisa jadi aksi-aksi teror bukan lagi dilakukan secara kolektif, melainkan kelompok yang lebih besar seperti negara atau yang lebih kecil hanya segelintir person. Tanpa kita sadari dan terlepas dari fanatisme, ternyata perkembangan sains dan teknologi turut menyuburkan perkembangan teror dunia.
Meskipun demikian, kita boleh saja berbeda pandangan dengan apa yang telah dipaparkan oleh Walter Laqueur, sebab kajian terhadap terorisme belumlah tuntas sampai disini. Masih banyak yang harus digali dibalik aksi menakutkan itu. Setidaknya buku ini menjadi sarana yang efektif menuju sebuah pamahaman tentang terorisme.

Minggu, 14 Mei 2017

Kaya di Tengah Kemiskinan

Judul: Orang Kaya di Negeri Miskin
Penulis: Eko Prasetyo
Penerbit : Resist Book
Cetakan : I, Juli 2005
Tebal : i-vi + 172 Halaman
Di negara padat penduduk, kemiskinan selalu menjadi problem. Sama halnya di Indonesia, di mana penduduk kelas menengah ke bawah merupakan mayoritas. Telah banyak usaha yang dilakukan oleh pemerintah dalam mengentaskan kemiskinan, seperti transmigrasi dan pembukaan lowongan kerja baru. Namun, usaha tersebut belum mampu membuahkan hasil signifikan. Kemiskinan justru semakin merajalela.
Kemiskinan acap kali diidentikan dengan kebodohan dan kemalasan. Dikatakan bodoh karena sebagian besar mereka berpendidikan rendah. Begitu juga kemampuan mereka ketika menyekolahkan anak-anaknya, hanya mampu pada tingkat pendidikan (maksimal) pertama, bahkan putus sekolah pada tingkat sekolah dasar. Dan dikatakan malas karena mereka hanya mampu menjadi pekerja kasar, semisal pemulung, kuli bangunan, tukang becak, pembantu rumah tangga, dan lainnya. Sehingga, mereka tidak memiliki rumah layak pakai, konsumsi makanan pas-pasan, tidak memiliki prabotan rumah, dan lainnya.
Sedang di lain sisi, fenomena minoritas orang kaya hidup berlimpahan harta benda, mampu memenuhi kebutuhan hidup, bahkan bisa bergota-ganti mobil mewah setiap bulan. Realitas minoritas yang sangat bertolak belakang dengan mayoritas. Di negeri ini, yang kaya selalu beruntung. Gambaran tersebut menjadi bahasan penting dalam buku "Orang Kaya di Negeri Miskin". Eko Prasetyo, penulis buku ini, membongkar fenomena kehidupan orang kaya dan realitas kehidupan orang miskin.
Sama halnya dengan orang miskin, orang kaya di negeri ini juga bertambah jumlahnya dalam setiap tahun. Jika orang miskin harus bekerja keras, peras keringat dalam memenuhi kebutuhan hidupnya, maka orang kaya hanya cukup dengan duduk santai sambil memegang pulpen atau membuat siasat dalam meng-goal-kan suatu peraturan yang sama sekali tidak menguntungkan rakyat. Ada juga yang membangun gurita perusahaan dengan mengupah buruh dengan sangat murah.
Selain pengusaha, pejabat adalah contoh Mereka merupakan pekerja di sektor pelayan publik dan pembuat kebijakan publik untuk mensejahterakan rakyat. Setiap kebijakan yang dilegalkan sangat bergantung pada mereka. Namun, sangat disayangkan bila kekuasaan yang dipegang disalah gunakan hanya untuk kepentingan sesaat, seperti yang terjadi pada kasus-kasus penggusuran dibeberapa kota besar. 
Di beberapa kota terjadi peringkusan besar-besaran teradap beberapa orang yang berprofesi sebagai pengemis, pemulung, hingga pekerja seks komersial. Jika tukang becak dengan alasaan estetika tata kota, maka para pekerja seks komersial menjadi sasaran dengan alasan pemberantasan kemaksiatan. (hlm.138)
Yang lebih menyakitkan lagi, pembelian tanah dengan sistem “ganti rugi” selalu merugikan dan menimbulkan masalah. Dan tanah tersebut—seringkali—akan digunakan untuk pendirian mall, hypermarket, hotel, apertemen,, dan pabrik-pabrik yang memakan lahan cukup luas. Bagi masyarakat pinggiran—mau tidak mau—harus rela atas penjualan tanah pada para pemilik modal. Konsekuensinya dari hal ini akan semakin menelantarkan penduduk kelas menengah yang dengan keterpaksaan harus membeli tanah dan rumah baru dengan harga lebih mahal. Atau, jika mereka tidak terkena paksaan menjual tanahnya, terpaksa terkena limbah pabrik yang berdiri menjadi tetangganya.
Sungguh sangat berkuasa orang yang memiliki kekayaan dan kekuasaan. Dengan kekayaan semua keadaan dapat disulap menjadi seperti yang diinginkan. Dan “kebohongan-kebohongan” kekuasaan dilakukan tanpa tercium bau busuknya. Hidup ini memang tak selalu adil.
Gaya hidup (life style) orang kaya pun jauh berbeda dengan orang miskin. Misalnya, untuk perawatan badan orang kaya mengeluarkan jutaan rupiah agar postur tubuh tampak ideal, orang miskin hanya mampu mengandalkan karunia alamiah dari keberadaannya, hidup tanpa polesan kosmetik berlebihan dan berdandan seadanya. Begitu juga dengan kegemaran-kegemaran orang kaya, mulai dari refreshing akhir pekan sampai club-club pemilik kendaraan mewah. Keberadaan tersebut menjadi simbol pembeda status sosial. Kekayaan seakan memang perlu dilambangkan dan disimbolkan dalam aneka prilaku maupun bermanifestasi dalam mengkonsumsi barang. (hlm. 106)
Eksklusifisme kehidupan orang kaya telah menghadirkan selera konsumsi yang tinggi. Dan parahnya, kehidupan eksklusifisme dan konsumerisme marak menjadi impian mereka yang miskin. Demi berpenampilan eksklusif, mereka rela untuk mengeluarkan uang yang melebihi dari kebutuhan hidupnya. Budaya ini kini merajalela dikalangan masyarakat. Gaya hidup orang kaya dipraktekkan dengan penuh keterpaksaan hanya untuk memberikan kesan bahwa diera globalisasi gaya hidup harus berubah. Lagi-lagi si miskin, sebagai objek, terjangkit sindrom gaya hidup mewah.
Tradisi kekayaan yang berbasis pada keinginan untuk bersenang-senang dan enggan untuk berbagi menyiratkan kembali bentuk paling buram dari paras ketidak-adilan. Ketika di ranah kebijakan politik dan ekonomi rakyat miskin selalu dirugikan, maka pada ranah pendidikan pun demikian. Akibat tidak mampu membayar biaya pendidikan, para generasi penerus bangsa banyak yang meninggalkan bangku sekolah. Jangankan mendapat pendidikan yang layak, untuk bertahan di sebuah sekolah mereka harus pontang-panting. Kemiskinan memang menyengsarakan.
Melalui buku ini, Eko Prasetyo mengajak kita untuk melihat orang miskin dari sisi apa yang dimiliki ketimbang apa yang tidak dimiliki dan melihat kemampuan sosialnya (social capabilities). Sebab, dalam melihat orang kaya yang dijadikan patokan adalah juga tentang apa yang dimiliki. Oleh karena itu, paradigma yang digunakan dalam melihat orang miskin pun harus demikian. Dia berkeyakinan bahwa salah satu penyebab kemiskinan adalah keberadaan orang kaya yang belimpahan hartanya.
Dan secara tegas ia menyatakan bahwa kita harus menuding sistem dimana yang kaya akan terus-terusan berpeluang menumpuk kekayaan sedang si miskin akan terus-menerus mengalami penidasan. (hlm.167) Mungkin benar menjadi kaya bukan sesuatu yang keliru, tetapi menjadi masalah, ketika kekayaan tidak dibagi dan tidak diratakan. Karena kaya dan miskin adalah hukum alam.
Seperti pada beberapa karya Eko Prasetyo lainya, buku ini cukup menggugah dalam memberikan perspektif tetang perlawana terhadap penindasan, baik itu atas nama kebijakan-kebijakan pemerintah mauapun “perlawanan” terhadap globalisasi dengan sistem ekonomi neo liberal-nya yang hanya akan menghasilkan budaya konsumerisme. Data yang digunakan pun masih cukup relevan dan aktual dengan kondisi yang berkembang saat ini. Sehingga kita dapat dengan mudah menarik kesimpulan dari apa yang telah ditulisnya.

catatan:
Naskah di atas adalah tulisan 2005 lalu. Ini merupakan resensi saya atas buku yang ketika cukup hangat diperbincangan di kalangan mahasiswa. Mungkin, buku tersebut sudah tidak lagi diperjualbelikan. Bagi saya, tulisan ini sebuah nostalgia atas pengembaraan intelektual semasa fase pertama di Jogja (2002-2008). Terima kasih telah berkunjung ke blog saya ini.

Sabtu, 31 Desember 2016

Menikmati Kemegahan Masjid Agung Natuna


Kalaulah ke Natuna, jangan lupa menyempatkan diri melihat keindahan arsitektur Masjid Agung Natuna. Masjid ini memang megah. Bahkan termegah yang ada di Kepri. Sebab itu, masjid ini selalu terlihat sangat cantik dari berbagai sisinya. Anda bisa mencari berbagai foto menarik masjid ini di internet. Saya sungguh kagum.


Dari jalan raya, masjid ini terlihat indah dengan latar belakang gunung Ranai yang selalu mengeluarkan kabut tipi di puncaknya. Kolam memanjang yang di apit jalan utama akses dari dan ke masjid ini selalu diumpakan oleh para traveler sebagai di Taj Mahal di India. Wajar bila beberapa majalah travel dan pariwisata menyebutnya sebagai Taj Mahal-nya Indonesia.

Masjid ini memang cukup megah dengan struktur kubah bersusun. Ini merupakan model arsitekru modern yang banyak digunakan masjid-masjid di Indonesia saat ini. Halamannya terhampar luas dengan gerbang indah di bagian depan. Para fotografer selalu saja menemukan spot terbaru untuk foto terbaik ketika mencoba membidik gambar di sekitarnya.


Nikmati juga ornamen interior masjid yang begitu indah di dalamnya. Di masjid ini juga terdapat beduk terpanjang atau pun mungkin salah satu yang juga terbesar di Indonesia. (Maaf, bila salah membendingkan dengan beberapa bedug yang ada di kota-kota lain). Bedug ini berada di sisi timur masjid, di bagian serambi.

Tetapi, bila dilihat dari bentuknya, panjangnya sekitar dua depa orang dewasa. Sedangkan kayu yang digunakan, merupakan satu batang kayu utuh yang diambil dari hutan gunung Ranai. Lobang di bagian tengahnya dipahat oleh tenaga ahli sehingga berbentuk lobang.

Khusus untuk yang muslim, jika mengunjung masjid ini, ada baiknya untuk menunaikan salat, baik untuk salat fardu maupun sunnah. Mungkin Anda bisa merasakan kenikmatan salat di masjid megah ini. Siapa tahu justru di masjid megah ini ada banyak hidayah yang bisa didapatkan. Berwisata dengan beribadah. Itulah konsep wisata religi. 

Kamis, 29 Desember 2016

Setelah Empat Tahun, Bersua Kembali dengan Natuna

Perjalan ke Natuna kali ini mengusung misi sosial, yakni memenuhi undangan dari Smile Train bersama dengan Korem 033 Wira Pratama yang sedang mengadakan bakti sosial operasi sumbing bibir dan langit-langit gratis dalam rangka memperingati Hari Juang Kartika 2016.
Inilah perjalan kedua ke pulau terluar yang berada di wilayah Kepri. Beberapa tahun belakang ini, nama Natuna  sedang menjadi pembicaraan di tingkat internasional Karena persetegangan perebutan wilayah teritorial di laur yang menjadi jalur sibuk perdagangan dunia. Semua negara berkepentingan untuk mendapatkan kekuasaan di Laut China Selatan, termasuk di Indonesia.
Di tengah hiruk-pikuk politik itu, pemerintah Indonesia justru telah memperkuat posisi Natuna dengan berabagai pembangunan infrastruktur. Termasuk lapangan terbang Ranai yang saat ini sedang dalam pelebaran dan perluasan. Saya tidak hendak berkisah tentang politik internasional di Laut China Selatan. Saya hanya mau membandingkan Natuna dari kunjungan pertama pada 2012 silam dan kunjungan kedua pada 2016 ini.
Gunung Ranai masih memperlihatkan kecantikan dengan kabut tipis di puncaknya. Gunung itu masih terlihat indah dari berbagai sisi, baik dari Landasan Udara Ranai maupun dari masjid agung Natuna. Itulah gunung dulunya menjadi salah satu penanda navigasi dalam pelayanan kuno.
Begitu beranjak keluar dari bandara, secara keseluruhan memang tidak ada perubahan. Pemandangan masih tampak seperti beberap atahun lalu. Bedanya, beberapa rumah tepian jalan terlihat lebih kokoh di banding sebelumnya.
Oh, inilah Natuna sekarang. Kabar baiknya, jaringan telekomunikasi sudah lebih baik di banding dulu. Di sekitaran bandara, pengguna Telkomsel masih bisa merasakan sinyal 4G hingga kepusat keraiaman kota yang berjalan sekitar dua kilometer saja. Sedangkan provider yang lain sudah 3G. Lumyan untuk layanan data. Kita masih bisa menyapa dunia luar dengan koneksi internet. Mungkin masyarakat Natuna juga merasa tidak jauh dengan pulau-pulau pusat geliat aktivitas manusia karena teknologi telekomunikasi dan informatika ini.
Namun perjalanan ke Natuna ini adalah perjalanan yang sangat mahal. Bayangkan saja, setiap hari hanya satu pesawat dari maskapai WING Air yang bergantian dengan Sriwijaya untuk melayani transportasi Natuna-Batam. Tiketnya, sudah tentu tidak murah. Saya mendapatkan tiket dengan harga Rp 3 juta lebih dikit untuk pergi dan pulang. Lama perjalanan sekitar dua jam lah.
Nah kalau transportasi laut, alamak… bisa berhari-hari untuk sampai ke sana. Paling cepat sehari semalam menggunakan kapal pelni yang bersandar di Bintan. Transportasi ini adalah masalah yang paling pelik untuk Natuna dan diduga menjadi biang kerok atas lambannya pembangunan dan pertumbuhan perekonomian. Menurut saya, apa yang terjadi di Natuna itu sama saja dengan pulau-pualau lain yang ada di Indonesia. Nasibnya terbengkalai karena kesulitan akses transportasi.
Karena saya berangkat bersama dengan rombongan dokter yang hendak melakukan kegiatan pengabdian bagi mayarakat di Natuna, maka jadwal aktivitas pun disesuaikan dengan jadwal mereka. Pak dr. Senja, SpBP adalah ketua rombongan. Dari penilaian subyektif saya, ia adalah dokter yang energik. Mengapa tidak, setelah memantau pasien yang akan menjalani operasi sumbing bibir di RSUD Natuna, ia juga justru mengambil inisiatif untuk menikmati keindangan Natuna. Ini dia kisah serunya. Tunggu di tulisan selanjutnya ya…

Jumat, 25 November 2016

Seni Budaya Lokal dalam Multikulturalisme


Multikulturalisme menjadi salah satu ciri khas bangsa Indonesia. Multikulturalisme itu bisa dilihat dari banyaknya ragam budaya lokal yang ada. Keragaman itulah yang menjadikan suatu identitas bangsa, bahwa ia memiliki banyak potensi seni dan budaya yang dapat dijadikan salah satu warisan peradaban manusia di bumi nusantara. Keragaman seni budaya itu dapat ditoleril menjadi suatu kebanggaan tersendiri. Setiap provinsi minimal membunyai seni dan budaya masing-masing yang menunjukkan identitas provinsi tersebut.
Namun, warisan seni dan budaya akan segera hilang musnah ditelan zaman bila tidak dilestarikan. Moderenisasi menjadi alasan untuk meninggalkan sebuah warisan yang mampu memberikan sumbangsih besar terhadap bumi pertiwi ini. Sebagian besar dari penduduk Indonesia hanya menjadi penikmat sejati (user). Untung, masih ada yang menikmati, bagaimana kalau tidak?
Sebenarnya, bila ada keinginan untuk mengembangkan seni dan budaya lokal ini, niscaya akan menjadi sesuatu yang unik dan dapat menjadi aset bangsa. Dalam artian, masyarakat Indonesia tidak hanya sekedar menjadi penikmati tetapi juga mempelajarinya kemudian melestarikannya.
Banyak sekali potensi seni dan budaya nasional yang mampu meraih prestasi internasional, hanya saja fasilatas untuk mengembangkan potensi tersebut sangat minim. Disamping itu juga minat pemuda untuk mengembangkan warisan budaya semakin sedikit. Generasi tua selalu menjadi tumpuan untuk mengembang-kannya, lantas siapa yang akan mewarisi budaya ini?
Wayang misalnya. Banyak para pemerhati luar (asing) menaruh perhatian pada seni yang satu ini. Karena keunikannya dan memang sulit untuk melakukannya, wayang tidak dapat dipelajari oleh setiap orang, jangankan orang luar daerah, masyarakat Jawa sebagai pemilik seni budaya ini saja belum tentu bisa, apalagi masyarakat luar Jawa yang note bene bukan pewaris budaya. Akan tetapi, karena keunikannya itu wayang telah berhasil memikat perhatian dunia internasional melalui dalang Ki Manteb Soedarsono. Ia di undang ke Prancis untuk mendalang di sana yang selanjutnya menerima anugrah penghargaan sebagai salah satu budaya yang diakui dunia Internasional.
Ini menunjukkan bahwa seni dan budaya Indonesia, telah mampu memberikan sumbangsih besar di dunia internasional. Oleh karena itu, peluang-peluang internasional seperti ini tidak hanya menjadi milik satu generasi saja, tetapi juga menjadi peluang bagi masyarakat dunia. Indentitas budaya yang menasional seharusnya terus dilestarikan dan deikembangkan oleh generasi-generasi penerusnya. Sehingga budaya lokal yang sudah diakui oleh kalangan internasional tidak kehilangan indentitasnya yang sudah mendunia.
Tidak hanya seni budaya lokal yang kita miliki. Secara historis, bangsa Indonesia sebelum kedatangan bangsa-bangsa dari Eropa menjadi tempat persinggahan dan lahan pasar bagi para pedagang dari Timur Tengan dan daratan Asia. Dan tak terelakkan, proses transformasi kebudayaan pun terjadi di sini. Seperti kita lihat sekarang ini, banyak budaya yang ternyat merupakan gabungan dua budaya, misalkan masjid Kudus yang mempuyai arsitektur budaya masyarakat Hindu kala itu dan Timur Tengah. Salah satu warisan budaya yang mampu menarik perhatian.
Selain itu, candi Borobudur merupakan salah satu dari tujuah keajaiban dunia dan hal ini tidk bisa kita elakkan dari warisan budaya kita. Dismping bangunan yang super besar, ada relief yang dapat memberikan suatu jawaban atas hipotesa para peneliti untuk mengetahui sebuah kehidupan disaat candi di bangun. Akankah kita mengingkari bahwa kita memilik sebuah potensi internasional yang tanpa kita sadari.
Banyak usaha yang dilakukan untuk mengangkat nama Indonesai di dunia internasional melalui seni dan budaya. Dan sumbangsih merekapun telah mampu memberikan nama besar bagi Indonesia. Muammar misalnya, seorang qori’ (pembaca Al-Qur’an) pernah meraih peringkat Intenasional karena kemampuannya dalam melantunkan ayat-ayat Al-Qur`an. Untuk pentas Qari` bertaraf internasional ini selalu dimiliki oleh bangsa Indonesia dari setiap perlombaan internasional.
Dalam seni lukis misalnya, tercatat Raden Saleh, Affandi, Amri Yahya dan masih banyak lagi sebagai maestro dalam bidang seni. Karya-karya mereka selalu dilirik oleh pemerhati seni dunia. Diakui atau tidak, kualitas seni budaya kita telah mampu meyedot perhatian dunia internasional. Dan masih banyak contoh-contoh lain.
Sebagai generasi muda tentu kita bangga dengan apa yang telah mereka torehkan bagi bangsa Indonesia, namun akan lebih bangga lagi bila kita sebagai generasi mudah mampu berkarya dan diakui oleh kalangan internasional. Oleh sebab itu, prestasi internasional ini terus kita pertahankan untuk tetap memberikan citra positif akan kesenian dan kebudayaan kita. Harapan kita kedepan haruis ada lembaga swadaya masyarakat yang memberikan perhatian penuh terhadap keberagaman budaya yang dimiliki bangsa Indonesia.
Untuk terus mengembangkan dan melestarikan nudaya lokal itu menurut penulis ada beberapa hal yang harus segera diperhatikan. Pertama, memberi tempat untuk pengembangan. Tanpa mendapat suatu perhatian kusus sebuah seni dan budaya akan mendapat perhatian, karena tanpa sokongan dari seluruh elemen tidak mungkin akan tercapai suatu pelestarian. Kedua, memupukkan nilai-nilai budaya lokal maupun nasional. Hal ini sebagai cinta akan kebudayaan sendiri. Dan ketiga, mengembangkannya. Agar tidak monoton dan ketingglan dari seni dan budaya modern perlu ada pengembangan lebih lanjut, dalam artian tidak merusak nilai-nilai seni dan budaya leluhur.
Hal tersebut tidak akan pernah terealisir tanpa kepedulian kita bersama, bahkan hanya menjadi angan-angan yang tak kunjung tercapai. Dan akan terjadi suatu fregmentasi historis pewarisan budaya. Karenanya, mempertahankan budaya sandiri merupakan suatu keharusan dan menerima budaya luar selama sesuai dengan budaya kita bukanlah suatu larangan..

Dengan demikian seni budaya lokal maupun nasional akan terus tetap menjadi minat untuk diperhatikan dan dipelajari, sehingga nilai-nilai astetika yang terkandung didalamnya senantiasa dapat dinikmati oleh generasi seterusnya. Dan bukan mustahil dengan kekesenia dan kebudayaan tersebut indonesia semakin mampu meraih peluang prestasi internasional.


Ini adalah tulisan lama, sekitar 2004 silam.

Kamis, 17 November 2016

Agama Melawan Budaya Korupsi


Indonesia dikenal sebagai bangsa religius sekaligus bangsa terkorup. Predikat religus semestinya tidak bergandengan dengan predikat korup, karena agama mengajarkan nilai-nilai moral fundamental. Agama mana pun, khususnya Islam, mengutuk tindakan korupsi dalam bentuk apapun, sebab bertentangan dengan nilai-nilai universal agama: prinsip keadilan, akuntabilitas, dan tanggung jawab. Intinya, agama-agama bertujuan memperbaiki moralitas manusia.
Ilustrasi kartun gerakan anti korupsi dari markuni.com
Dalam Islam, korupsi dengan segala dampak negatifnya yang menimbulkan berbagai distorsi terhadap kehidupan negara dan masyarakat, dapat dikategorikan perbuatan fasad atau merusak tata kehidupan di muka bumi, yang juga amat dikutuk oleh Tuhan. Bagaimana tidak, akibat korupsi, Indonesia mengalami krisis ekonomi yang berdampak pada dimensi-dimensi lain, seperti politik, sosial, dan budaya. Dimensi-dimensi itu berakibat pula keterbelakangan, kemiskinan, kebodohan, pengangguran, dan tingginya tingkat kriminalitas.
Memang, tidak ada kajian empiris tentang pengaruh agama terhadap praktik korupsi. Azyumardi Azra (2004) menyimpulkan bahwa tinggi rendahnya tingkat korupsi tidak banyak terkait dengan agama, melainkan lebih terkait dengan tata hukum yang jelas dan tegas yang diiringi penegakan hukum berat terhadap para koruptor. Pendapat Azyumardi Azra ini diperkuat dengan hasil survei International Country Risk Guide Index (IRCGI). Menurut IRCGI, sejak 1992 hingga 2000, indeks korupsi di Indonesia terus meningkat dari sekitar tujuh menjadi hampir sembilan (pada 2000). Kecendrungan yang sama juga terjadi di Rusia, yang mayoritas penduduknya Kristen, dengan indeks hampir sembilan pada 2000.
Negara-negara manyoritas berpenduduk muslim yang lain, seperti Pakistan, Banglades, dan Nigeria juga memiliki indeks korupsi amat tinggi, rata-rata di atas tujuh. Begitu juga dengan negara-negara berpenduduk Kristen, seperti Argentina, Meksiko, Filipina, atau Kolombia yang indeks korupsinya juga di atas tujuh. Bahkan, Thailand yang mayoritas penduduknya Budha, indeks korupsinya juga hampir mencapai delapan.
Sementara itu, ada negara lain, yang meyoritas beragama Islam, seperti Iran, Arab Saudi, dan Malaysia dengan angka korupsi yang jauh lebih rendah dibandingkan Indonesia atau Pakistan. Juga ada negara mayoritas Kristen seperti Amerika Serikat, Kanada, atau Inggris dengan indek korupsi dibawah dua.
Kenyataan ini menunjukkan bahwa agama dan keberagamaan adalah dua hal yang berbeda. Kesalehan individual belum tentu membawa kesalehan sosial dan profesional. Begitu banyak orang yang dianggap alim dan saleh justru berbuat korupsi. Begitu juga orang yang rajin sembahyang tidak berarti bersih dari korupsi.
Kita tidak perlu pesimis, seolah-olah agama tidak mampu mendorong antikorupsi. Bukan agama yang gagal, melainkan tokoh dan penganut agama itu yang belum memaknai agama secara tepat. Sebab, agama-agama tidak membenarkan kejahatan, ketidakjujuran, dan segala bentuk amoralitas sosial. Agama-agama mengajarkan moral mulia, budaya malu, kukuh dalam kebaikan, gaya hidup sederhana, etos kerja tinggi, serta orientasi pada kemajuan dan prestasi.
Namun, ajaran tersebut belum terejawantahkan dalam kehidupan keseharian. Karena itu, pemahaman umat atas agama harus diarahkan pula untuk mampu merumuskan apa yang dinamakan "kemungkaran-kemungkaran sosial"—meminjam istilah Zuly Qodir—sebagai bentuk kekafiran baru atau kekafiran modern, termasuk korupsi.
Penafsiran agama yang harfiah, tekstual, dan kaku seperti doktrin takdir bahwa Tuhan menentukan segalanya dan manusia cuma nrimo apa adanya, membawa keberagamaan yang pasif dan tidak leberatif. Agama sebatas bersifat formal, padahal pada saat yang sama pembusukan moral sedang terjadi.
Bagaimana mengobyektifkan agama sehingga ia berperan positif terhadap upaya pemberantasan budaya korupsi? Apabila pendekatan politik dan hukum lebih bersifat represif—meski juga bersifat preventif—dalam pemberantasan korupsi, maka agama berlaku lebih pada level preventif. Timbul anggapan, undang-undang anti korupsi dengan sendirinya akan menjamin penanggulangan korupsi. Padahal hukum kurang menyentuh tataran preventif. Siapa yang dapat menjamin gerak-gerik seseorang setiap detik diperhatikan aparatur hukum?
Agama, dalam konteks demikian, memosisikan dirinya sebagai bimbingan dan kontrol transendental (Ilahi). Bahwa penganut agama seharusnya merasa dikontrol oleh Zat Yang Mahatahu kapan pun dia berada. Selain itu, agama umumnya mengajarkan kehidupan sesudah mati. Bahwa meski tindakan korupsi yang dilakukan di sini sempat lepas dari pengawasan manusia, pengadilan di kemudian akhir (akhirat) tidak akan melepaskannya. Keberagamaan yang subtantif semacam inilah yang dapat mencegah penganut agama dari tindakan korupsi. (Muhammad Ali, 2000).
Gerakan antikorupsi yang digalang ormas keagamaan, seperti Muhammdiyah, NU, Persis dan yang lainnya, pada hakikatnya adalah perlawanan budaya terhadap kejahatan korupsi yang sudah sedemikian parah. Tujuan perlawanannya ialah mengaktualkan kembali kehendak untuk hidup halal yang diajarkan agama (Islam) sebagai habitus tandingan.
Dan bagi NU sendiri, gerakan antikorupsi menjadi bagian dan kesinambungan dari Gerakan Mabadi’ Khaira Ummah yang merupakan langkah awal pembentukan umat yang terbaik yang membawa rahmat untuk semua, yaitu umat yang mampu melaksanakan misi al-amru bi al-ma’ruf dan an-nahyu an al-munkar. wallahu'alam.


Senin, 14 November 2016

Memotret Geliat Konsumerisme Metropolitan

Setiap kali pergi ke mall, kita seringkali melihat pemandangan sekelompok anak muda dan atau sepasang anak cucu Adam dan Hawa yang sedang menikmati suasana keramaian mall, dan tidak sedikit pula sekelompok keluarga yang turut meramaikan pula. Cobalah mulai sekarang Anda tidak hanya melihat sekadar itu. Beranikan diri untuk menjadi seorang peneliti walau kelas kacangan, dan Anda akan menemukan apa yang sebenarnya terjadi.

Pesatnya perkembangan mall dan pusat perbelanjaan serupa telah menghadirkan suatu fenomena baru. Mall sekarang tidak hanya menjadi tempat transaksi jual beli (leizur feilure). Mall malah memperluas fungsi raiso de etre-nya tersebut menjadi tempat rekreasi, media ekspresi ego, dan media hegemoni. Orang – terutama anak muda – pergi ke mall bukan lagi didorong oleh keinginan untuk membeli apa yang dibutuhkan (need), tetapi apa yang diinginkan (want).

Suasa berbelanja di suatu pusat perbelanjaan. Foto tribunnews.com 
Aktifitas membeli berdasarkan kebutuhan akan berhenti jika telah terpenuhi. Namun dengan pertimbangan ingin, aktifitas membeli tidak akan ada ujungnya kecuali bila hasrat itu telah meredah, padahal hasrat manusia tidak akan ada habisnya. Setiap kali ada “yang baru”, hasrat itu akan muncul.

Semetara itu, kekuatan hegemoni kapital tidak akan pernah kehabisan akal untuk melakukan perubahan. Tidak satu menit pun dilewatkannya untuk menemukan sesuatu yang baru. “Inovasi tanpa henti” yang didukung oleh “hasrat tanpa henti” ini menjadi arena bagi keberlangsungan hegemoni tadi. Empu jargon yang pertama semakin perkasa, sedangkan yang kedua merelakan dirinya menjadi “pelayan” yang siap melayani kapan saja—untuk mengatakan konsumen setia.

Dalam rangka melangsungkan hegemoninya, kaum kapitalis ini tidak hanya melakukan pencarian inovasi baru yang siap menggempur pasar, tetapi juga diciptakannya mitos-mitos yang disandarkan pada kepentingan mereka, seperti mitos kecantikan dan kegantengan, trandy, funky, serta modis. Naomi Wolf, seorang peneliti dari Amerika dalam Mitos Kecantikan (2004), menyebutkan bahwa kehadiran kontes kecantikan, betis indah, tubuh ideal, dan sebagainya merupakan salah satu perpanjangan imprealisasi dari para kapitalis. Orang disebut cantik bila menggunakan lipstik ini dan bedak itu.

Sebutan trandy, funky, dan modis kemudian hanya diperuntukkan bagi mereka yang menggunakan pakaian bermerek tertentu—dengan mode setiap kali berubah dalam waktu yang cepat—yang trend-nya sengaja diciptakan. Orang yang mengikuti perubahan itu akan disanjung dengan sebutan modern, sedangkan bagi yang tidak ikut serta dianggap ketinggalan zaman. Kata modern kemudian beralih menjadi modernisme yang lebih berbau ideologis. Banyaknya barang hasil produksi di pasaran telah mengubah pola konstruksi kehidupan masyarakat. Masyarakat merasa cukup dan puas dengan mengkonsumsi, yang sekaligus mengeliminir potensi dirinya sendiri untuk memproduksi. Tanpaknya adigium Descartes, “aku berpikir maka aku ada”, dapat dipreteli menjadi “aku mengkonsumsi maka aku ada”. Walhasil, keberadaan masyarakat ditentukan oleh kemampuan mengkonsumsi, dan disitulah tercipta apa yang disebut dengan “masyarakat konsumtif”.

Dari sini timbul pertanyaan mengapa tingkat konsumsi begitu tinggi, sampai-sampai tercipta masyarakat konsumtif? Muhammad Syukri (2004) menyebutkan minimal ada dua kekuatan yang mempengaruhi prilaku konsumsi. Pertama, kekuatan kapitalis atau produsen. Banyaknya modal (capital) yang dimiliki oleh kapitalis memungkin untuk mendirikan perusahaan-perusahaan besar (the large corporate) di berbagai belahan dunia. Munculnya perusahaan besar ini bukan hanya untuk memenuhi kebutuhan produsen, tetapi untuk mendapatkan hasil (laba) yang sebesar-besarnya. Karena itu, sistem produk mengikuti pola over-produksi, yaitu usaha untuk memproduksi barang sebanyak-banyaknya.

Kedua, kekuatan media. Media, terutama media elektronik seperti telivisi (TV), sangat berguna untuk memasarkan semua produk kepada masyarakat luas. Kekuatan media bukan hanya  kemampuannya melipat dunia menjadi sepetak gambar yang dapat dijangkau dengan sekejap waktu, tetapi pada kekuatan hegemonik yang memperngaruhinya. TV, meminjam bahasa Baudrillard, meyelenggarakan simulasi. Simulasi itu pada hakekatnya tidak mencerminkan realitas sesungguhnya, melainkan dicitrakan dengan realitas yang menditerminisi kesadaran kita. Itulah yang kemudian disebut dengan hypper-reality (realitas semu). Pecitraan yang dihadirkan oleh TV mempengaruhi kesadaran masyarakat sehingga prilakunya diatur oleh simulasi-simulasi yang ditampilkan. Akibatnya, masyarakat terjebak pada prilaku konsumerisme yang banyak diintrodusir oleh TV.

Demi nilai sosial Masyarakat modern yang lebih dicirikan dengan masyarakat konsumsi (consumer sociaty) membeli sesuatu bukan dikarenakan kebutuhan melainkan lebih disebabkan oleh keinginan yang bersumber pada nilai prestise di masyarakat. Carl Gustave Jung mengungkapkan bahwa pada tingkat tertentu ada yang membedakan proses konsumsi dalam masyarakat, yaitu innermotivate. Menurutnya, innermotivate adalah sebuah dorongan, hasrat dan rangsangan yang bersemayam dalam diri manusia yang mengendalikan actus (tindakan) seseorang.

Dalam masyarakat pedalaman, yang taraf kehidupannya menengah kebawah, motif itu merupakan kebutuhan dasar yang sama sekali tidak terpengaruhi oleh tingkat dan jenis produksi. Mereka membeli barang untuk memenuhi fungsi utilitas bukan yang lainnya. Lain halnya dengan kebanyakan kaum “kaya” kota, mereka membeli barang demi pelampiasan keinginan dan hasrat membeli yang nyata-nyata dipengaruhi oleh tingkat dan jenis produksi. Dan pilihan terhadap jenis-jenis tertentu sangat dipengaruhi oleh nilai-nilai sosial dari pada nilai pakai. Mereka tidak lagi mengkonsumsi objek, namun makna-makna sosial yang tersembunyi di dalamnya.

Sebagai contoh, sekarang orang membeli ponsel bukan ditentukan oleh nilai guna untuk memudahkan berkomunikasi, tetapi ditentukan oleh fasilitas-fasilitas lainnya yang tidak begitu penting yang bersifat komplementer. Orang yang memegang HP dengan fasilitas lengkap—dan tentunya mahal—akan menandai status, kelas, dan simbol sosial tertentu. Contoh lain, orang yang mengendarai mobil BMW, Mercy, Roll Royce, dan Volvo berbeda dengan orang yang mengendarai Carry, Espass, dan L 300 dalam prestise nilai sosialnya.

Keberadaan demikian semakin tampak jelas dalam masyarakat kota di Indonesia, yang artinya budaya konsumerisme akan semakin merasuki pola hidup masyarakat. Lambat laun, seiring dengan era perdagangan bebas, kehadiran mall—yang selalu bergandengan hypermarket—juga akan menggilas pasar-pasar tradisional.