Snorkeling di Pulau Petong, Mengapa Tidak? (1)

Pulau Petong ini berada di sisi selatan Batam. Lebih kurang perjalanan satu setengah jam dari titik keberangkatan kami di Kepri Mall hingga sampai di jembatan enam. Tentu saja, kita akan melewati jambatan satu Barelang yang telah menjadi ikon Batam.

Rasakan Sejuk Air Gunung Daik di Resun

Air terjun Resun, begitu nama yang dilebelkan untuk air terjun yang terletak di desa Resun itu. Airnya mengalir dari pengunungan di tanah Lingga. Air terjun Resun ialah satu di antara sekian banyak aliran air terjun dari gunung Daik.

Kampung Boyan di Dabo Singkep

Para perantau ini seringkali meninggalkan jejak berupa nama kampung, yakni Kampung Boyan. Nah, itulah yang menjadi pijakan, tradisi rantau warga Bawean memiliki jejak, baik berupa nama maupun tradisi. Di Dabo Singkep, terdapat juga sebuah kampung bernama Kampung Boyan.

Menikmati Keindahan Masjid Agung Natuna

Masjid ini memang megah. Bahkan termegah yang ada di Kepri. Sebab itu, masjid ini selalu terlihat sangat cantik dari berbagai sisinya. Anda bisa mencari berbagai foto menarik masjid ini di internet. Saya sungguh kagum.

Puasa dan Pembebasan Sosial

Puasa mempunyai konteks tanggungjawab pribadi dan juga tanggungjawab sosial. Karenanya, dalam berpuasa, disamping mewujudkan kesalehan vertikal kepada Allah, juga untuk mewujudkan kesalehan herisontal kepada sesama manusia dan mahluk Allah.

Kamis, 17 Desember 2020

Penelitian Kompetitif Kemenag 2021, Nilainya Capai Rp50 Juta Per Penelitian


Rekan-rekan peneliti bidang keagamaan bisa memanfaatkan informasi penelitian ini untuk motivasi dan penyemangat dalam mendalami bidang kajiannya. Kegiatan ini diselenggarakan oleh Puslitbang Bimas Agama dan Layanan Keagamaan Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama Republik Indonesia.

Jika melihat dari persyaratan yang tertera, tidak banyak ketentuan yang ribet. Peserta bisa dari semua kalangan. Menariknya, kegiatan ini dilaksanakan pada 2021 dengan total biaya mencapai Rp50 juta. Sifatnya berbasis keluaran. Berikut adalah adalah kutipan utuh dari web kemenag.

 Unduh pamflet di sini. (unduh)

MAKSUD DAN TUJUAN

  1. Memberikan kesempatan kepada peneliti, akademisi, pemerhati masalah sosial keagamaan, dan pemerhati kebijakan untuk menuangkan ide dan gagasan dalam rancangan proposal yang komprehensif.
  2. Mendorong pelaksanaan penelitian yang efektif dan efisien untuk menghasilkan output penelitian yang berkualitas sebagai bahan pendukung kebijakan Kementerian Agama.

 

TEMA

Tema yang diangkat pada tahun ini adalah “Inovasi Pelayanan Keagamaan Masa Pandemi”. Skup tema ini bisa mencakup beberapa fokus kajian terkait beberapa hal di bawah ini, antara lain:

  1. Haji dan Umrah Masa Pandemi
  2. Gaya Hidup dan Isu Kekinian Produk Halal
  3. Ketahanan Keluarga di Masa Pandemi
  4. Hak Beragama Komunitas di Luar Enam Agama
  5. Pengembangan Potensi Ekonomi Umat Masa Pandemi
  6. Resolusi Konflik Keagamaan dan Kerukunan Umat Beragama
  7. Ekspresi Keberagamaan Masyarakat Kekinian
  8. Moderasi Beragama
  9. Peran Agama dalam Pencegahan Terorisme
  10. Peran Agama dalam Pembentukan Perilaku Anti-Korupsi

 

PERSYARATAN

1. Peserta berupa tim yang terdiri dari 2 atau 3 orang.

2. Peserta mengirimkan proposal penelitian dengan kelengkapan sebagai berikut (unduh) :

a. Rencana Anggaran Biaya (RAB) Penelitian (unduh)

b. Daftar riwayat hidup masing-masing anggota tim (unduh)

c. Pernyataan izin dari atasan / pimpinan instansi / lembaga (unduh)

d. Pernyataan belum pernah diajukan kepada pihak lain (bermaterai Rp 10.000) (unduh)

e. Pernyataan bebas plagiasi (bermaterai Rp 10.000). (unduh)

Peserta mengirimkan proposal dan lampirannya melalui tautan: https://bit.ly/submitkompetitifpusat1


Selamat mencoba bagi yang berminat. Semoga sukses dan semangat terus mengembangkan penelitian dan pengabdian demi Indonesia yang lebih baik.

Sumber: Puslitbang Bimas Agama dan Layanan Keagamaan


Kamis, 29 Oktober 2020

Eksotisme Pantai Pulau Berhala


BEBATUAN terlihat jelas di tepi pantai ketika perahu mendekati Pulau Berhala, Sabtu (15/10/2011) itu.

Perahu pun harus berhati-hati ketika hendak merapat ke pantai karena batu dan karang yang berserakan siap menghadang.

Apalagi ombak hari itu begitu kuat dan siap menghempaskan perahu sewaktu-waktu. Dengan kondisi air yang bening, bebatuan itu tampak jelas di dasar air.

Pulau Berhala terletak di bagian selatan Kabupaten Lingga, Provinsi Kepulauan Riau (Kepri) dan berbatasan langsung dengan Kabupaten Tanjung Jabung Timur, Provinsi Jambi.

Nama pulau ini mencuat ketika polemik perebutan terjadi antara kedua pemerintahan hingga akhirnya pemerintah pusat memastikan Berhala masuk dalam wilayah administratif Provinsi Jambi.

Menurut informasi, nama Berhala diambil dari gelar seorang bangsawan keturunan Turki. Selain memiliki panorama pantai yang indah, pulau ini memiliki nilai sejarah yang penting, baik dari masa Kesultanan Melayu hingga masa penjajahan.

Mungkin, letak strategis pulau inilah yang menjadikannya memiliki peranan penting.

Hamparan bebatuan di Pulau Berhala tak hanya terdapat di tepi pantai Berhala, tetapi juga di pulau-pulau kecil yang berada di sekitarnya.


Pantauan dari pompong yang mengantar Tribun, hamparan pasir putih juga tampak indah di pantai Pulau Telur yang berada di sebelah timur Berhala. Sedangkan di Pulau Layak, tampak batu-batu cadar berukuran besar dengan berbagai bentuk.


Di antara pulau Layak dan Berhala inilah pelabuhan Pulau Berhala berdiri. Pelabuhan ini sudah dibangun dengan beton-beton kokoh.


Ketika lepas dari pelabuhan, gapura "Selamat Datang" berdiri kokoh dan siap menyambut siapa saja yang datang ke pulau ini.


Beberapa plang bertuliskan serupa juga dijumpai ketika memasuki perkampungan warga. Bahkan, di tengah perkampungan pun ada gerbang "Selamat Datang" yang dibuat oleh Pemerintah Kabupaten Lingga.


Ketika Tribun sampai di area pemukiman, warga sedang asyik menunggu perhelatan hiburan yang diselenggarakan oleh Dinas Pariwisata Lingga.


Saat itu bertepatan dengan malam hiburan dalam rangkaian acara Lingga Fishing Festival yang digelar sejak Jumat hingga Sabtu (14-16/10/2011).


"Ini malam penutupan," ujar seorang warga yang ditemui Tribun.


Menurut keterangan warga, kebanyakan orang itu adalah para pendatang yang ingin meramaikan kegiatan tersebut. Ketika acara sudah selesai, mereka pun akan meninggalkan pulau ini.


Sedangkan warga pulau Berhala sendiri hanya sekitar 40 kepala keluarga dengan penduduk 100-an jiwa lebih. Mereka menempati sisi timur dari pulau yang memiliki luas 47.990 meter persegi.


Pulau ini merupakan pusat administrasi pemerintahan tingkat desa dengan seorang kepala desa yang bernama Encik Syarif.

Selain kantor desa, di sini terdapat sebuah Puskesmas Pembantu yang siap melayani warga, satu bangunan masjid, satu bangunan koperasi, dan gedung sekolah dasar serta sekolah menengah pertama (SMP). Kedua sekolah ini menempati gedung berdampingan dengan delapan lokal.


"Semua pembangunan ini dari Pemerintah Kabupaten Lingga, Provinsi Kepri. Rumah-rumah warga pun sebagian besar adalah bantuan dari pemerintah. Yang ditempati warga hanya di bagian timur ini saja," kata Encik Syarif.


Menurutnya, pembangunan itu sudah dilakukan sejak 2002 saat Berhala masih di bawah Pemerintahan Kabupaten Kepulauan Riau, Propinsi Riau.


Di pulau ini, ada bebukitan dengan berbagai jenis pepohonan nan hijau. Bukit itu sering kali menjadi petunjuk bagi pelayar yang melintasi daerah laut sekitarnya.


Sementara warga yang sehari-hari bekerja sebagai nelayan tidak mengeksploitasi hutan itu. Mereka hanya mengambil kayu-kayu dari hutan sesuai dengan kebutuhan saja.


“Ikan di sini banyak. Karena itu pula Lingga Fishing Festival diselenggarakan di sini. Tapi memang, kondisi angin lagi kurang baik. Laut dan pantai di sini memang indah dan banyak ikannya,” kata Encik lagi.


Tulisan ini sudah pernah terbit di batam.tribunnews.com

Selasa, 30 Juni 2020

Pembangunan Kampus Tak Boleh Terlalu Maju

Suatu ketika Pak De berkerut kening mendengar cerita Pak Cik yang hendak urun pemikiran perihal masa depan kampus tempat dia bekerja. Dengan seksama, Pak De terus menyimak sembari melirikkan mata ke atas. 

Ya, Pak De sedang membayangkan pembangunan imajinatif yang disampaikan Pak Cik. Namun Pak De masih merasa pelik dan segera memberikan komentar seperti biasa. 

"Nape mike (kamu, red) diam saja," tiba-tiba Pak Cik bertanya, "biasanya mike cepat saja balas cakap aku?!" 

"Aku sedang membayangkan imajinasi pembangunan yang kamu ceritakan," kata Pak De yang masih memang muka serius.

Pak Cik pun menceritakan ide lagi. Ia berkata bahwa pembangunan kampus ini harus maju. Kampus ini tidak boleh hanya seperti saat ini saja. Apalagi, kata dia, sebenarnya tanah kampus ini masih cukup luas dan harus dimaksimalkan untuk pembangunan ke depan. Sudah saatnya pimpinan dan seluruh orang di kampus ini berpikir pembangunan kampus maju ke depan.

"Kan ide ku bagus. Bagaimana menurut kamu?" Tanya Pak Cik lagi.

Pak De masih tetap menunjukan sikap seriusnya. Sampai-sampai Pak Cik dah malas nak layan obrolan itu lagi karena sikap Pak De.

"Gini lo Pak Cik. Aku ini kayaknya gak setuju dengan ide atau imajinasi mu itu," kata Pak De. Sontak saja Pak Cik balik badan dan hendak duduk lagi, padahal ia sudah berniat beranjak dari tempat ngobrol itu.

"Menurutku, ide mu itu terlalu berbahaya. Ada banyak dampak negatif atau mudhorotnya daripada manfaatnya," ujar Pak De. 

Nah, kini giliran Pak Cik pula yang berkerut kening. Ia merasa heran bila idenya itu dianggap mengandung mudhorot. 

Pak De lalu menjelaskan buat pikiran hasil mengerutkan kening. Menurut Pak De, setidaknya ada dua dampak bila ide Pak Cik diwujudkan dalam pembangunan kampus. Pertama, masyarakat sekitar akan marah dah bahkan sangat marah sekali bila pembangunan kampus ini terlalu maju ke depan. Sebab, masyarakat di sekitar kampus akan menjadi lebih sulit dan mereka akan merasa terhalangi dan tertinggal oleh sebab pembangunan kampus. 

Kedua, kampus akan dicap sebagai institusi yang tidak sesuai dengan lembaga pendidikan. Nah, dampak ini tentu akan membikin citra negatif bagi kampus. Akibatnya, kamu justru akan sepi peminat. Masyarakat sekitarnya tidak lagi mau memasukkan anaknya di kampus.

"Dan yang ketiga, pemimpin yang mau mewujudkan ide itu mu adalah pemimpin yang paling tidak bijak. Contoh pemimpin yang tak patut ditiru. Makanya, jangan kowe (kamu) sampaikan idemu kepada siapapun," kata Pak De mengakhiri hasil analisanya.

Kini giliran Pak Cik pula yang kerut kening, bahkan jeritannya lebih tebal dari yang awal. Dan Pak Cik masih mencoba memahami pendapat Pak De yang dinilainya aneh. Tapi mau bagaimana juga, beda pendapat itu memang hal biasa, namun bagi Pak Cik, kita perlu mencernanya dengan baik sisi perbedaan itu agar ditemukan titik persamaan.

"Aku tak paham lah, cem mana pula bisa jadi mudhorot? Kampus ini kan memang perlu dibangun. Gedung yang sekarang ini saja sudah tidak cukup untuk belajar mengajar," Pak Cik mencoba menyanggah.

"Gini lo Pak Cik, tanah kampus ini memang luas. Gedungnya juga baru satu. Ya, betul memang harus dibangun," kata pak De.

"Ya, terus dimana salahnya?" Tanya Pak Cik mencoba menelisik lebih dalam lagi. 

Pak De pun menjelaskan lagi. "Gini lo. Aku tahu tanah kampus ini luas. Tapi menurutku, pembangunan kampus ini tidak boleh terlalu maju. Di depan kampus kita itu jalan lintas provinsi yang menghubungkan kabupaten dan kota. Di jalus lintas ini juga kendaraan berat lewat. Loh, kalau pembangunan kampus terlalu maju ke depan dengan memaksimalkan tanah, ya tentu jalan raya itu jadi tertutup. Dampaknya, ya kayak yang saya sampaikan tadi. Gitu loh Pak Cik."

"Ah, sialan lab Pak De nig," keluhnya.

Senin, 08 Juni 2020

KH Badri Masduqi, Kitab Kuning dan Kaset-kaset Rekamannya


Ramadan yang bersamaan dengan pandemi Covid-19 ini memang spesial. Spesial sekali karena saya kerap bosan ada di rumah walau kerjaan banyak. Maka, pilihannya adalah melakukan kegiatan fisik dengan banyak mengerjakan [hal ihwal entah berantah] di rumah yang sedang di renovasi.  (Maklum, saat ini saya sedang menempati rumah kontrakan dan sebelumnya juga belum punya rumah sendiri.)

Sebelum Ramadan tiba, saya memang sudah mempersiapkan diri untuk mengobati kerinduan semasa di pesantren dulu, ya tepatnya di Ponpes Badridduja di Kraksaan, Probolinggo, Jawa Timur. Rentang 1996 hingga 2002 saya di sana. Dan banyak pula cerita yang menjadi titik kisar perjalanan hidup di mulai dari sana.

Nah, satu hal yang sangat rindukan ialah khataman kitab semasa puasa. Telah menjadi tradisi di sebagian pondok pesantren di Jawa khataman kitab khusus selama bulan Ramadan saja. Biasanya, para santrinya juga datang dari pesantren lain. Di Badridduja, yang ketika itu masih diasuh KH. Badri Masduqi, juga rutin menyelenggarakan pengajian khatmul kitab yang dimulai beberapa hari sebelum Ramadan, dan berakhir pada 25 Ramadan.

Baca juga: Benarkah Agama itu Sebagai Candu?

Tradisi khatamul kitab itu sudah lama sekali tidak saya ikuti lagi. Bahkan, membaca kitab-kitab pun sudah sangat jarang sejak di bangku kuliah. Bagi saya, repot sekali jika setiap kali tugas harus bersumber dari kitab asli, dan akan lebih mudah jika menggunakan terjemahannya. Barulah pada saat di bangku magister, saya mulai lagi agak rutin membuka kitab-kitab ketika berkunjung ke perpustakaan kampus.

Dan sejak beralih status pekerjaan sekarang, semakin tergeraklah diri ini untuk kembali mengaji kitab-kitab semasa di pesantren dulu. Hal ini beranjak dari rasa gelisah dan gundah ketika bertemu dengan mahasiswa. Banyak di antaranya yang berasal dari pesantren, tetapi pengetahuan fikihnya menurut saya masih kurang. Banyak juga terlihat “agamis” tetapi pengetahuan agama masih belum sepadan. Banyak juga yang terlihat cukup menguasai tema pembahasan, tetapi ternyata tidak bisa baca kitab dan tidak pernah. Lalu mereka berargumen dengan ala pemahamannya sendiri terhadap Al-Qur’an dan Hadis dengan merujuk kitab-kitab yang mereka sendiri tidak bisa membacanya.

Maka, saya masih fakir ilmu ini memesan kitab kuning secara daring melalu marketplace. Kitab yang saya beli itu adalah fikih-fikih dasar, Sullam at-Taufiq, Syafinah al-Najah dengan Syarah Kasyifah-nya, Taqrib dengan Syarah Fath al-Qoriib, dan Fathul Mu’in. Satu kitab saya jadikan referensi utama untuk mengaja Fikih dengan cara mereka membaca dan memahami namun dengan cara saya, yakni mereka saya bekali kitab Syafinah yang sudah ada terjemahannya.

Nah, untuk yang kitab Fath al-Mu’in, saya mengaji ke KH. Badri Masduqi, pengasuh pertama Ponpes Badridduja yang telah wafat pada sekitar 2002, beberapa setelah menjadi alumnus pondok untuk melanjutkan kuliah ke Jogja. Sependek ingatan saya, Fath al-M’uin adalah kitab yang menjadi kurikulum di Madrasah Asas Lilulumil Islamiyah (selanjutnya disebut Asas) untuk santri kelas 4 hingga 6. Yang mengajarkan adalah para ustaz.

Baca juga: Perjalanan Panjang Pencarian Tuhan

Ketika Ramadan KH. Badri Masduqi sendiri yang membaca langsung. Metode membaca pun berbeda dengan pengajian kitab pada umumnya. Misalnya, kitab Fath al-Wahhab yang biasa beliau bacakan malam hari sejam setelah Isya dengan penjelasan yang lantang dan detail. Pada khataman kitab Ramadan, pembacaan kitab tidak terlalu diiringi dengan penjelasan yang terlalu panjang, tetapi penjelasan seperlunya saja.

Ramadan kali ini, saya memulai mengaji lagi kitab Fath al-Mu’in ini kepada KH. Badri Masduqi. Namun, kali ini tidak langsung, melainkan melalui aplikasi yang telah dikembangkan oleh lembaga Syeikh Badri Institut (SBI). Aplikasi kasi ini bisa didapatkan di Playstore bagi pengguna Android. Maka, mulailah saya mengunggah bagian awal dari kajian kitab ini. Dan saya pun sengat senang dapat mendengar kembali suara beliau. Bahkan mataku berbinar senang. Maka jadilah saya mengaji daring atau online dengan beliau. (Selain itu, saya juga terkadang mengikuti pengajian online dari KH Tauhidullah Badri, Gus Ulil Absar Abdallah, Gus Aguk dan Prof. Abdul Mustakim)

 

Kaset itu dan Media Daring kini

Saya betul-betul tak menyangka bahwa kumpulan kaset rekaman ini bakal melepas kerinduanku dan yang lebih penting lagi ialah pengajian ini mampu menembus waktu yang tidak saya duga sebelumnya. Mengapa? Ternyata dengan adanya kaset ini, KH Badri Masduqi tetap hidup, maksudnya dengan pengajian ini , beliau terasa seperti hidup.

Sudah menjadi kebiasaan dari guruku ini untuk merekam pengajian kitab yang beliau ampu. Rekaman itu terkadang dilakukan langsung ketika pengajian. Ada juga, menurut info yang saya dengar, rekaman dalam kaset itu memang sengaja beliau rekam sendiri untuk diberikan pada santri ketika beliau berhalangan mengajar, sehingga santri tetap bisa mengaji walaupun beliau sendiri sedang tidak berada di tempat.

Baca juga: Resep Terong Bakar Sederhana ala Santri yang Enak dan Lezat

Khusus untuk kaset pengajian, belau biasa membaca kitab menggunakan pengeras suara. Hal ini dilakukan agar santri yang berada di luar dari kediaman (dhalem) beliau juga bisa mendengar, wabil khusus santriwati yang bisa turut mengaji dari sisi musala. Jadi, memang ada unsur sengaja oleh beliau untuk merekam pengajian kitab-kitab itu agar bisa digunakan para santri.

Saya pernah melihat santri senior yang hendak membaca Kitab Tafsir Jalalain harus belajar dengan bersungguh-sungguh, baik dengan cara membaca kitab maknaan (baca: terjemahan) teman yang lain atau mendengarkan kaset pengajian yang lalu-lalu. Nah, artinya, memang sudah menjadi biasa di kalangan santri Asas merekam dan mendengarkan rekaman dari pengajian Kiai. Kalau saya tak salah ingat, memang ada santri yang khusus untuk menjadi semacam operatornya.

Kaset-kaset pengajian ini juga cukup banyak di ruangan beliau. Saya pernah melihatnya sendiri. Yang menarik, kaset itu bukan hanya pengajian kitab, tetapi juga ada rekaman pengajian akbar, baik yang diisi oleh beliau atau dari kiai dan masyayikh lainnya. Dan masih berhubungan dengan kaset pula, beliau terbiasa mengirimkan kaset yang berisi pendapatnya kepada beberapa tokoh, khususnya seruan untuk para pejabat.

Baca juga: Runtuhnya Negara Madinah: Islam Kemasyarakatan versus Islam Kenegaraan

Sekarang, dapat dipetik hikmah dari kaset-kaset itu, bahwa KH Badri Masduqi merasa begitu pentingnya media komunikasi yang tidak mudah terdistorsi. Komunikasi paling efektif yang tentu bertemu langsung antar komunikannya. Namun, selain itu, komunikasi juga mengenal pesan simbol (dan teks) yang sering kali menimbulkan salah paham, multi tafsir, dan bahkan pesan yang ingin disampaikan bisa terdistorsi. Sedangkan pesan suara lebih mudah dipahami oleh lawan bicara yang tidak bertemu langsung. KH Badri Masduqi sangat paham perihal pola komunikasi seperti ini sehingga dalam banyak hal dan yang perlu mendapatkan penjelasan panjang, beliau justru kerap mengirimkan pesan suara melalui kaset.

Di era digital ini pula, kaset-kaset pengajian kitab kuning beliau kembali diaktualisasikan. Hal ini berkat kerja keras dari teman-teman di Syeikh Badri Institut (SBI), lembaga yang mendedikasikan diri untuk merawat dan mereaktualisasi semangat perjuangan KH Badri Masduqi. Digitalisasi kaset-kaset pengajian kitab kuning yang kini tersedia di PlayStore ini pun berkat kerja keras teman-teman di SBI. Saya belum bisa berkontribusi apa pun untuk SBI ini kecuali hanya pacapa (berwacana doang).

Digitalisasi pengajian kitab kuning KH. Badri Masduqi ini adalah langkah nyata dalam upaya menghidupkan selalu semangat dari KH. Badri Masduqi. Mungkin beliau tidak banyak dikenal oleh generasi 2000-an, tetapi santrinya dan jemaah tarekat Tijaniyah cukup mengenalnya, khususnya di Jawa Timur.

Setidaknya, kehadiran rekaman pengajian KH Badri Masduqi secara digital ini bisa menambah referensi bagi pecinta ngaji kitab kuning model sorongan. Dan yang paling saya suka, pengajian kitab kuning dari KH Badri Masduqi itu diartikan dalam bahasa Indonesia. Pola dalam mengartikan kitab juga masih tetap mempertahankan gaya penerjemahan berbasis ilmu nahwu. (Ya, kalau gaya bahasa Jawa, masih pakai ngutawi iku iki lah, dan saya tak paham sama sekali).

Baca juga: Menggugah (lagi) Kepekaan Kita Terhadap Visi Sosial Islam

Menjaga semangat

Saat ini, tantangan terberat bagi saya ialah konsisten dalam mengaji. Setelah Ramadan 1441 H berlalu, belum ada lagi membuka kitab dan mengaji. Aplikasinya sudah saya hapus untuk sementara karena memori ponsel sudah penuh. Memang menjaga konsistensi dan keistiqomahan dalam mengaji ini penuh tantangan. Walau bagaimanapun, saya masih berjuang melawan kemalasan dalam diri. Saya masih akan tetap berjuang menirukan semangat KH. Badri Masduqi yang selalu konsisten mengajar santrinya.

Oh iya, konsistensi dan keistiqomahan KH. Badri Masduqi dalam mengajar dan belajar ini patut dicontoh. Saya dengar informasi, beliau kerap membaca kitab di waktu luangnya. Dan beliau termasuk sangat update dalam kitab. Saya pernah melihat beberapa kitab baru yang “berserakan” di meja dekat ruang tamu, di dalam kamar dan dekat tempat mengajar. Yang masih terekam dalam ingatan saya ialah karya-karya dari Syeikh Sayyid Alwi Al-Malaki Al-Hasani.  

Mudah-mudahan saya [dan pembaca tulisan ini juga] bisa istiqomah belajar seperti beliau. Tetap semangat membaca dan belajar seperti KH Badri Masduqi. []

 

Jumat, 22 Mei 2020

Berkenalan dengan Mazhab Frankfurt dan Teori Kritisnya


Judul : Sejarah Mazhab Frankrfurt: Imajenasi Dialektis dalam perkembangan Teori Kritis
Penulis : Martin Jay
Penerbit : Kreasi Wacana, Yogyakarta
Cetakan : Agustus, 2005
Tebal : xlix + 544 Halaman (Termasuk Indeks)

Kekuatan Nazisme di Jerman, dan kemudian timbulnya perang ideologi antara Barat dan Timur (Kapitalisme dan Sosialisme), berdampak buruk bagi kalangan cendikiawan yang konsen dalam kajian sosial khususnya. Cendikiawan, dengan pemikiran kirinya harus menerima keterasingan, bahkan diasingkan jauh dari negaranya.
Kenyataan pahit ini diterima oleh cendikiawan pada kelompok kajian yang tergabung dalam Institut Fįr Sozialforschung (Institut Penelitian Sosial), di Frankfurt. Namun ditengah pengasingan, para cendikiawan Institut itu tetap melakukan proses penelitiannya hingga mereka bersatu kembali pada 1950, setelah beberapa tahun pindah ke Amerika.
Mereka gelisah, mereka cemas dan oleh karena itu merasa harus bertindak dengan cara mereka sendiri demi mempertanggungjawabkan karunia kecerdasan dan hati nurani yang mereka miliki. Hingga akhirnya karya-karya mereka, baik yang berbentuk buku maupun makalah, menjadi kajian penting bagi cendikia diluar mereka.

Latar belakanh inilah yang menyatukan mereka ke dalam sebuah visi dan misi sekaligus aksi yang kemudian mengkristal menjadi sebuah mazhab, yakni Mazhab Frankfurt. Satu alasan utama bagi relevansi Mazhab Frankfurt adalah sangat kaya dan bervariasinya karya yang dibuat bedasarkan pengaruh tokohnya, semisal Max Horkheimer, Eric Fromm, Theodor W Adorno dan lainnya yang sangat terkenal akan kebrilianan pemikirannya.
Termasuk generasi penerus pemikiran mereka, semisal Jurgen Habermas, Alfred Schmitt, dan Albrecht Wellmer. Bahkan, seperti dikutip penulis, Foucaolt sendiri pernah mengatakan; "Jika saja aku mengenal Mazhab Frankfurt sewaktu muda, besar kemungkinan aku tidak akan tergoda untuk melakukan apapun dalam hidupku kecuali mengomentari mereka. Namun, pengaruh mereka terhadapku tetap retrospektif, pengaruh mereka padaku kurasakan ketika aku tidak lagi di usia "penemuan-penemuan" intlektual." (hlm.xxv)
Sejarah Mazhab Frankfurt yang ditulis oleh Martin Jay ini mencoba memotret dinamika yang terjadi dalam Mazhab Frankfurt, proses yang harus dilewatinya dalam melahirkan karya-karya brilian yang hingga saat ini masih diperhitungkan dikencah kajian ilmu-ilmu sosial, sampai perbentukan pemikiran dan kepentingan dengan pihak kawan maupun lawan.
Ketika Mazhab Frankfurt hadir, kapitalisme Barat dengan Jerman sebagai salah satu wakil yang terkemuka telah memasuki tahap yang secara kualitatif baru, sedangkan keberhasilan sosialisme Uni Soviet terkesan ambigu. Disinilah, menurut Martin Jay, Teori Kritis semakin dipaksa menempati posisi transendan seiring dengan semakin pudarnya kelas pekerja revolusioner.


Teori Kritis, sebagaimana namanya, diekspresikan melalui serangkaian kritik terhadap pemikiran dan tradisi-tradisi filasafat lain. Perkembangannya kemudian berlangsung melalui dialog. Kelahirannya berkarakter dialektis sebagaimana metode yang ingin diterapkan kepada fenomena sosial. Maka tak heran bila inti dari Teori Kritis, menurut Martin Jay adalah kebencian terhadap sistem filosofis yang tertutup.(hlm.57)
Teori Kritis tidak melihat dirinya hanya sebagai ekspresi kesadaran sebagai satu kelas, melainkan menyatukan dirinya dengan kekuatan 'progresif' yang berkeinginan untuk 'menyatakan kebenaran'. Ketika lahirnya Teori kritis, filsafat dialektika yang diterapkan Hegelian dan Marxisme tak lain hanyalah merupakan imajinasi dealiktis belaka. Oleh sebab itu, Teori Kritis menolak memberhalakan pengetahuan sebagai sesuatu yang terpisah dan lebih penting dari pada tindakan.
Selain melahirkan Teori Kritis, sesungguhnya masih banyak hal lain yang diupayakan Mazhab Frankfurt. Diantaranya adalah pengawinan Marxisme dengan psikoanalisis, studi tentang otoritarianisme dan kritik budaya massa, yang kajiannya dilakukan dalam rentang waktu 1925 sampai 1950, sebagaimana terekan dalam buku ini.
Dengan membaca Sejarah Mazhab Frankfurt, bisa jadi buah yang akan diperoleh adalah tentang betapa berharganya integritas dan loyalitas pada kebenaran bagi seorang cendikiawan. Tak kurang dari itu, akan disadari pula betapa pentingnya tradisi pemikiran yang telah menggembeleng seseorang hingga menjadi cendikia.


Naskah ini ditulis Desember 2005

Minggu, 03 Mei 2020

Menggugah (lagi) Kepekaan Kita Terhadap Visi Sosial Islam

(sumber: sutterstock by kompas.com)

Islam mengajarkan kesalehan bagi setiap individunya namun tidak abai dengan lingkungan sosial sekitarnya. Maka, ketika beragama hanya mementingkan diri sendiri, ia belum mengamalkan ajaran agama sepenuhnya.

Ada banyak dalil dalam Alquran dan Hadis yang menyebutkan perihal pentingnya kepedulian sosial sebagai bagian dari kewajiban individual. Misalnya saja surat Al-Ma’un (QS. 107) yang artinya: (1) Tahukah kamu (orang) yang mendustakan agama? (2) maka itulah orang yang menghardik anak yatim (3) dan tidak mendorong memberi makan orang miskin (4) Maka celakalah orang yang salat, (5) [yaitu] orang-orang yang lalai terhadap salatnya, (6) yang berbuat riya  (7) dan enggan [memberikan] bantuan.

Beberapa waktu belakangan banyak sekali postingan tentang masyarakat fakir dan miskin. Tentu hal ini sangat disayangkan di tengah masyarakat muslim sebagai mayoritas di negeri ini. Muslim yang sejatinya muslim tentu dapat menjalankan visi Islam secara baik, antara kesalehan individual dan juga sosialnya. Adanya tetangga yang kelaparan, itu sebagai petanda kepedulian sosial masih lemah.

Baca juga: Runtuhnya Negara Madinah: Islam Kemasyarakatan versus Islam Kenegaraan

Ayat di atas telah mengategorikan orang-orang yang enggan membantu kaum miskin termasuk orang yang mendustakan agama. Ini patut kita camkan dengan baik agar bantuan terhadap orang miskin itu tidak hanya kita lakukan di bulan Ramadan saja. Membantu kaum duafa itu semestinya tidak kenal waktu dan juga tidak mengenal identitas kesukuan, ras dan agama. Pengentasan kemiskinan itu adalah visi humanisme universal.

Pembebasan umat dari keterbelengguaan, kemiskinan, penindasan dan segala macam bentuk ketidakberdayaan masyarakat, terutama mustadl’afin (kaum tertindas), merupakan kesalehan sosial. Menurut Abdul Munir Mulkhan, iman dan kesalehan seseorang tidak hanya dilihat dari pemenuhan rukun iman dan rukun Islam, melainkan juga pemihakan pada kepentingan kaum mustadl’afin.

“Kefakiran mendekatkan pada kekafiran.” Demikian hadis Nabi mengingatkan kita. Seorang yang perutnya belum terisi tidak bisa berpikir jernih. Ia gelisah karena fisiknya tidak mampu diandalkan. Antara otak dan ototnya tidak bisa sinkron bekerja. Konsentrasinya mudah terganggu. Beda halnya dengan orang yang memilih berpuasa untuk mendekatkan diri kepada Allah. 

Di masa kebijakan untuk tetap di rumah saja selama pandemi Covid-19 ini, banyak masyarakat mengalami pendapatan rendah dan bahkan tidak lagi memiliki pendapatan karena kebijakan untuk mengurangi hubungan sosial antar masyarakat. Pemerintah memang telah memprediksi terjadi peningkatan jumlah kaum duafa. Pemerintah dan masyarakat juga telah menyalurkan bantuannya bagi masyarakat kurang mampu. Inilah ujian bagi kita untuk peduli kepada meraka.

Baca juga: Benarkah Agama itu Sebagai Candu?

Jika zakat dan sedekah adalah kewajiban bagi yang mampu, maka sudah saatnya kita menunaikan zakat itu. Di tengah kondisi seperti ini, lebih baik lagi apabila memperbanyak sedekah, bukan mengharapkan sedekah dari orang lain. Ya, yang juga perlu diperhatikan, janganlah pula kita menjadi umat yang mudah berputus asa dengan mengaku miskin dan berharap pemberian dari orang lain. Dalam hal ini, Nabi juga menyindir kita, bahwa tangah di atas lebih baik daripada tangan di bawah. Jika kita punya standar hidup, maka tengoklah sejenak kehidupan kaum mustad’afin itu.

Momentum puasa Ramadan di tengah wabah ini setidaknya telah memberikan pelajaran berharga bagi kita untuk memperhatikan lingkungan sosial. Memperhatikan tentangga yang kurang mampu, baik tentangga dalam kompleks, antar kompleks, antara kampung, antara desa dan antara kota/kabupaten.

Menurut Hassan Hanafi, pemikir Islam lainnya, tantangan terbesar bagi umat Islam adalah kemiskinan, keterbalakangan, dan ketertindasan dan agenda yang harus direalisasikan secepatnya adalah "jihad sosial". Maka, sudah tugas muslim menjalankan visi sosial agama ini untuk mengentaskan kemiskinan dan pembebasan kaum mustad’afin sebagaimana tersurat dalam surah Al-Ma’un. Wallahu ‘alam.[]


Minggu, 26 April 2020

Puasa Kita di Tengah Pendemi (Sebuah Refleksi)




Pemerintah melalui Menteri Agama, Fachrul Razi, telah menetapkan hari ini (24/4) bertepatan sebagai 1 Ramadan 1441 Hijriah. Artinya, umat Islam akan melaksanakan puasa, ibadah wajib sebagai bagian dari rukun Islam. Tidak melaksanakan puasa bagi yang mampu, berarti tidak menjalan perintah agama.

Inti dari amalah pokok di bulan Ramadah ialah puasa. Tetapi, ada banyak ibadah penyerta, yang menjadi nilai tambah pahala bagi ibadah pokoknya. Nilai tambah itu pun telah menjadi bagian ritual dan tradisi masyarakat. Di Indonesia, masyarakat telah terbiasa dengan ritual salat tawarih berjamaah dan buka puasa bersama atau tradisi bazar Ramadan, ngabuburit atau sahur bersama.

Ritual dan tradisi itu telah menjadi bagian dari penyemerak dalam bulan Ramadan sehingga akan terasa sekali perbedaan bulan spesial ini dibanding dengan bulan-bulan lainnya. Hal ini pun dirasakan bukan hanya kaum muslim, tetapi yang non-muslim pun pasti akan merasakan perbedaan itu. Di televisi saja kita bisa melihat perbedaan tayangan yang disajikan, mulai dari iklan,  talkshow hingga sinetron beraroma religius.

Sebagai muslim, situasi ritual dan tradisi yang mengitari ibadah ini mendorong umat menjadi lebih Islami. Setidaknya, hal ini sebagai tanda bahwa Ramadan adalah bulan istimewa, bulan penuh berkah bagi pelaku ekonomi, berkah bagi masyarakat kurang mampu, dan berkah bagi yang mampu pula. Jelaslah bahwa Ramadan memiliki dimensi bathiniyah (spiritual) dan dzahiriyah (sosial, budaya dan ekonomi).

Terlepas dari itu semua, di tahun dengan angka cantik, 1441 H dan 2020 M ini, sedang ada cobaan yang cukup besar bagi umat manusia. Sekali lagi, ini adalah ujian bagi seluruh umat manusia, bukan hanya umat Islam. Virus dengan nama Covid-19 ini telah merajalela secara global dengan tingkat penularan yang cukup pesat. Inilah wabah yang mengoncang sebagian besar negara dan menjadi ujian berat bagi sebagian umat Islam, khususnya di Indonesia.

Dalam masa pendemi ini, pemerintah (baca; ulil amri) telah mengluarkan imbauan untuk tidak melakukan ritual tarawih berjaah dan buka bersama untuk daerah yang dengan kategori zona merah. Pun demikian, tradisi bazar Ramadan ataupun gabuburit juga ikut di larang. Alasannya jelas, untuk menghindari penyebarluasaran penularan virus yang belum memiliki vaksin ini.

Apa boleh buat, kita yang berada di Kepri, khususnya di pulau Batam dan Bintan, termasuk daerah dengan jumlah orang yang masuk dalam pengasawasan serta positif yang cukup tinggi. Sesuai dengan protokol kesehatan, kita dianjurkan untuk menjaga jarak fisik dan agar tetap di rumah saja. Sesuai dengan imbauan Majelis Ulama Indonesia (MUI) Provinsi Kepulauan Riau sebelumnya telah diimbau untuk tidak salat jemaah di masjid. Masyarakat dianjurkan salat di rumah.

Sungguh terasa sekali perbedaan Ramadan tahun ini dengan tahun-tahun sebelumnya. Saat artikel ini ditulis, azan Isya sudah berkumandang seperti biasa. Namun, warga sekitar perumahan tidak ada yang beranjak ke masjid. Padahal, saya yakin, sebagain besar dari kita sangat ingin sekali memenuhi shaf-shaf di masjid atau musalah di dekat rumah. Ingin rasanya menikmati malam-malam awal di bulan suci ini untuk menggugah kembali semangat beribadah kita. Namun apa daya, wabah ini telah memberikan suatu pelajaran berarti bagi kita agar tetap menjalankan ritual penyerta ibadah puasa, sepeti tarawih ini, di rumah saja.

Selalu ada hikmah di balik sebuah peristiwa. Begitu mauidhah hasanah yang selalu disampaikan para alim ulama agar kita tidak menyibukan diri dengan hal-hal yang mubazir dalam beribadah. Hikmah itu mungkin belum tampak bagi kita, namun sebagian yang lain sudah merasakannya. Jikalau selama ini pernah-penik ibadah puasa seakan menjadi bagian tak terpisah dari ibadah pokok puasa itu sendiri, mungkin kita mulai perlu menyadari bahwa yang pokok dari ibadah puasa, ya puasa itu sendiri.

Ritual tambahan yang memberikan nilai (pahala) tambahan juga banyak jalannya. Jika kita berharap Ramadan memberikan dampak omzet lebih besar, jika kita berharap puasa bisa bersilaturahmi politik, atau hal serupa, mungkin kita perlu mempertimbangkan ulang makna puasa kita. Maka, perbaiki puasa kita, maka nilai tambahnya juga akan semakin baik. Mari kita berdoa, semoga kita bisa melaksanakan puasa penuh selama Ramadan dan wabah ini bisa segera berlalu dengan berkah Ramadah. Wallahu a’lam. []

Senin, 13 April 2020

Yang Mau Skripsi dan Tesis Wajib Tahu Syarat Penelitian Ilmiah Ini




Membicarakan tentang penelitian itu bisa dibilang gampang-gampang sudah. Terkesan gampang kalau hanya melihat hasil penelitian orang dan susah bahkan susah banget ketika hendak membuat penelitian sendidi. Tulisan ini sebagai panduan dasar bagi mahasiswa saya yang mengambil mata kuliah Metodologi Penelitian dan mudah-mudahan bisa menjadi bacaan semasa kuliah daring.

Baca juga: Menulis Skripsi atau Tesis Jadi Gampang dengan Google Cendekia


Sebelum melakukan penelitian, maka ada prasyarat yang harus dipenuhi. Bagian ini sangat penting sekali untuk diketahui setiap calon peneliti. Menurut saya, prasyarat sebuah penelitian itu setidaknya ada tiga hal. Ketiga hal ini lebih identik sebagai bahan renungan sebelum mengajukan judul dan sinopsis kepada dosen pembimbing akademik ataupun ke ketua jurusan.

Pertama, belum pernah diteliti. Kemudian muncul pertanyaannya, penelitian seperti apakah yang belum pernah diteliti? Meneliti sesuatu yang betul-betul baru itu bukanlah agak mustahil. Penelitian yang baru itu sebenarnya melanjutkan hasil penelitian yang terlebih dahulu. Oleh sebab itu, diperlukan telah pustaka yang baik untuk mengetahui cela yang belum belum diteliti oleh lain.  Jikalau tidak baru, maka penelitian itu akan disebut sebagai plagiat dan tidak memiliki kontribusi terhadap ilmu pengetahuan.

Baca juga: Menyelesaikan Skripsi itu Gampang. Ini Obatnya


Kedua, data tersedia. Terkadang kita terbayang sebuah penelitian yang belum pernah diteliti oleh peneliti sebalumnya. Tentu kita sangat bahagia dan merasa judul yang dipilih dari “bayangan” itu akan diterima oleh pembimbing akademik dan ataupun oleh ketua jurusan/prodi. Namun, ketika ditanya, “apakah datanya ada?” Nah, di sinilah sering kali tak mampu dijawab denga baik. Karena itu, sebelum mengajukan judul, ada baiknya mempertimbangkan soal data. Sebuah penelitian tidak akan disebut penelitian apabila tidak ada datanya. Lho... apa yang mau diteliti jika datanya saja tidak ada. Apa yang mau dianalisa jika datanya saja tidak ada.  

Ketiga, memiliki signifikanksi. Ini bagian penting jika dua hal di atas tadi ternyata tersedia. Maka perlu dicarikan signifikansi penelitian ini secara baik. Jika ada sesuai yang baru, tentu ada kontribusinya untuk perkembangan ilmu pengetahuan. Jika ada data, tentang akan melahirkan buah pemikiran dari perspektif yang berbeda. Dan bagian yang paling penting dari signifikansi ialah apakah penelitian ini sesuai dengan bidang keilmuan? Jika berkesesuian, maka akan memiliki signifikansi.

Baca juga: Asyiknya Menulis Resensi Buku


Tiga hal ini nantinya juga akan dituangkan dalam proposal penelitian sehingga kita perlu memperhatikan seksama jika hendak melakukan penelitian. Jangan asal bikin judul dan asal jadi saja, sebab yang akan melakukan penelitian adalah kita sendiri.

Nah, tips untuk mencari tema atau judul penelitian yang utama ialah kita menyukai dan memahami tema yang kita ambil. Kemudian, tema haruslah mikro dalam pembahasan, tidak boleh ambil tema terlalu makro karena nanti akan menimbulkan banyak persoalan.

Inilah sebagian yang perlu diperhatikan sebagai prasyarat untuk menentukan judul penelitian. []

Jumat, 31 Januari 2020

Bisakah Orang Asia (Indonesia) Berpikir?

Naskah resensi ini saya buat pada 2005 lalu namun lupa di media mana pernah diterbit. Saya menemukan kembali tulisan pada sebuah blog toko cinta buku dan kemudian menayangkan ulang di blong ini sebagai arsip. Inilah kecanggilahan jejak digital.



Judul: Bisakah Orang Asia Berpikir?
Penulis: Kishore Mahbubani
Penerbit: Teraju, 2005
Tebal: 362 halaman

Peradaban modern yang tak terbendung dengan globalisasi sebagai ikon utamanya telah menghadirkan suatu paradigma baru. Pradaban modern tak lain adalah pradaban Barat yang diakui sendiri oleh mereka sebagai pradaban universal dan patut dicontoh oleh selainnya. Dan memang diakui bahwa sampai saat ini Barat unggul dalam segala bidang, mulai dari teknologi, perekonomian, keilmuan dan kesejahteraan rakyat, dibandingkan dengan negara di luarnya, terutama Asia.

Asia tidak saja ketinggalan dalam bidang-bidang itu, melainkan juga hanya menjadi konsumen atas "produk-produk" Barat, seperti kebebasan individu dan demokrasi. Keculi Jepang, China, dan Macan Asia (Hongkong, Taiwan, Korea Selatan, dan Singapura), pola pikir masyarakat selain negara-negara tersebut masih dinilai stagnan. Fregmentasi histori peradaban yang beberapa abab lalu berjaya di bumi Asia hanya mampu menunjukkan romatisme sejarah.

Maka tak heran bila Kishore Mahbubani mempertanyakan kemampuan berpikir orang Asia dengan "Bisakah Orang Asia Berpikir?". Pertayaan ini bukanlah melecehkan masyarakat Asia, melainkan sebuah kesadaran yang datang terlambat ketika perkembangan peradaban Asia mulai memasuki ranah yang lebih maju. Diakui atau tidak, menjelang abad 21 perkembangan Asia, khususnya Asia Pasifik, begitu pesat terutama bidang perekonomian.

Menurut Mahbubani, Timur (baca; Asia) dan Barat memiliki ciri khas perpikir. Pola pikir orang Asia besifat 'holistik', yakni perhatian yang lebih menekankan pada konteks, toleran pada kontradiksi, dan sedikit bergantung pada logika. Sedangkan orang Barat cendrung berpola pikiran 'analitis', menghindari kontradiksi, berfokus pada obyek-obyek yang berbeda dari konteksnya, dan lebih mengedepankan logika (hlm.xxxi). Atau dalam bahasa Dawam Raharjo, dalam pengantarnya, orang Barat lebih rasional, sedangkan orang Asia lebih emosional. Inilah perbedaan mendasar dari tipelogi dua masyarakat, Timur dan Barat.

Sejarah mencatat bahwa beberapa pradaban seribu tahun yang lalu begitu sukses dan tumbuh subur di bumi Asia. Saat itu, orang China, Arab dan India memimpi perkebangan paradaban. Dan diantaranya pula terjadi pertukaran kebudayaan yang saling mendukung kemajuan dari masing-masing. Sedangkan Eropa masih dalam masa "kegelapan" yang dimulai ketika runtuhnya Kekaisaran Romawi. Namun, apa yang terjadi kemudian sungguh diluar dugaan, ketiga peradaban besar Asia itu runtuh dan terpuruk dalam keterpencilan sejarah.

Sebaliknya, bangsa Eropa-lah yang maju ke depan, muncul sebagai peradaban pertama yang mendominasi dunia. Keajaiban seakan menyeruak dalam pikiran orang Eropa. Perubahan terjadi diseluruh sektor kehidupan. Perubahan yang diikuti kemajuan dan peningkatan peradaban, dari renaisan hingga pencerahan, dari revolusi saintifik hingga revolusi industri, yang akhirnya menjadikan dunia diluanya sebagai negeri koloninya. Yang paling menyakitkan pada Asia bukanlah kolonisasi fisik, tetap kolonisasi mental yang menyebabkan orang Asia menyakini superior Barat.

Bila berkaca pada sejarah di atas, maka, menurut Mahbubani, jawaban dari pertayaan yang dijadikan judul bukunya adalah "tidak bisa", orang Asia tidak bisa berpikir. Alasannya, bagaimana mungkin peradaban Asia yang begitu maju luluh lantak. Namun ia juga memberikan alasan untuk jawaban "bisa" dari pertayaannya.

Prestasi ekonomi masyarakata Asia Timur adalah salah satunya. Kedua, adanya perubahan penting yang tengah terjadi dalam pikiran-pikiran orang Asia. Mereka tak lagi percaya jika satu-satunya cara berkembang adalah dengan jalan menjiplak atau membebek. Sekarang mereka yakin bisa membuat solusinya sendiri. Peruabahan pikiran orang Asia terjadi pelan-pelan. Memang mereka tidak sempurna, tapi jelas-jelas tampak superior. Hal ini disebabkan oleh adanya kesadaran bahwa, seperti masyarakat Barat, mereka memiliki filsafat, budaya, dan sosial yang kaya yang bisa dijadikan sandaran dan digunakan untuk mengembangkan masyarakat modern dan berkembang. Ini sebagai alasan ketiga.

Namun, tantangan-tantangan yang dihadapi masyarakat Asia jauh lebih kompleks sebelum bisa meraih tingkat prestasi yang komprehenif. Misalnya Tantangan serius dalam bidang sosial dan keamanan, yang sampai saat ini masih sering terjadi perang sipil dan pemberontakan dalam negeri, masih memperlihatkan wajah kesuramannya. Hal ini, menurut Mahbubani memungkinkan untuk menjawab mungkin dari pertayaannya. Selain itu, yang "mungkin" adalah pemeliharaan kekuatan tradisi nilai-nilai Asia, seperti kasih sayang pada keluarga sebagai institusi, rasa hormat pada kepentingan sosial, sifat berhemat, konservatisme dalam adat istiadat sosial, dan rasa hormat pada pemimpin, menumbuhkan mind Asia yang khas.

Jika tolok ukurnya adalah pradaban Barat yang bisa diserap untuk seluruh segemen kehidupan di Asia, maka tantangan selanjutnya adalah bagaimana orang Asia menyerap apa yang dimilikinya seperti ia menyerap apa yang telah diprakarsai oleh Barat. Akan tetapi yang sangat memungkin atas pilihan jawaban "mungkin" adalah optimisme orang Asia, sama halnya ketika bangsa Eropa memiliki optimisme saat memasuki renaisan. Dan kepercayaan akan perubahan ini harus dipupuk sedemikian agar tetap bersemi dan membuahkan keberhasilan.

Dalam bahasa Mahbubani, perubahan itu hanyalah masalah waktu (ketika, bukan jika), peradaban Asia mencapai perkembangan yang sama dengan peradaban Barat (hlm.xli). Artinya keniscayaan peruabahan Asia bukan ide utopis, melainkan suatu kenyataan riil. Hegemoni dan dominasi Barat atas Timur akan runtuh secara bertahap.

Bila dikaitkan dalam konteks Indonesia, pertanyaan seperti yang dilontarkan Mahbubani ini tentunya akan memberikan dampak positif untuk perkembangan Indonesia di masa depan. Sebab, munculnya pertayaan seperti tanyakan Mahbubani dari judul buku ini, tak lain hanyalah upaya merangsang masyarakat Asia untuk memulai perubahan yang sebenarnya mampu mereka lakukan. Karena merupakan kesalahan besar ketika manusia Asia hanya bisa menjiplak 'produk' Barat tanpa bisa mengembangkannya menjadi sebuah kritik akan stnagnasi yang telah mengkronis.

Abd. Rahman Mawazi, Pecinta Buku.

Mudahan-mudahan penanyangan ulang tulisan ini bermanfaat buat pembaca.