Snorkeling di Pulau Petong, Mengapa Tidak? (1)

Pulau Petong ini berada di sisi selatan Batam. Lebih kurang perjalanan satu setengah jam dari titik keberangkatan kami di Kepri Mall hingga sampai di jembatan enam. Tentu saja, kita akan melewati jambatan satu Barelang yang telah menjadi ikon Batam.

Rasakan Sejuk Air Gunung Daik di Resun

Air terjun Resun, begitu nama yang dilebelkan untuk air terjun yang terletak di desa Resun itu. Airnya mengalir dari pengunungan di tanah Lingga. Air terjun Resun ialah satu di antara sekian banyak aliran air terjun dari gunung Daik.

Kampung Boyan di Dabo Singkep

Para perantau ini seringkali meninggalkan jejak berupa nama kampung, yakni Kampung Boyan. Nah, itulah yang menjadi pijakan, tradisi rantau warga Bawean memiliki jejak, baik berupa nama maupun tradisi. Di Dabo Singkep, terdapat juga sebuah kampung bernama Kampung Boyan.

Menikmati Keindahan Masjid Agung Natuna

Masjid ini memang megah. Bahkan termegah yang ada di Kepri. Sebab itu, masjid ini selalu terlihat sangat cantik dari berbagai sisinya. Anda bisa mencari berbagai foto menarik masjid ini di internet. Saya sungguh kagum.

Puasa dan Pembebasan Sosial

Puasa mempunyai konteks tanggungjawab pribadi dan juga tanggungjawab sosial. Karenanya, dalam berpuasa, disamping mewujudkan kesalehan vertikal kepada Allah, juga untuk mewujudkan kesalehan herisontal kepada sesama manusia dan mahluk Allah.

Selasa, 14 Juli 2015

Prinsip Kemashlahatan Zakat

Ilustrasi zakat sebagai pengentas kemiskinan. Sumber www.zimosy.com 

Perintah menunaikan zakat disebut dalam Al-Qur’an sebanyak 32 kali, bahkan diulang 82 kali sebutannya dengan memakai kata-kata yang sinonim dengannya, yakni sadekah dan infak. Pengulangan tersebut mengandung maksud bahwa zakat mempunyai kedudukan, fungsi dan peranan yang sangat penting. Zakat memiliki kekhususan karena pelaksanaannya merupakan implementasi rukun Islam. Salah satu penyebab diperintahkanya zakat, selain sebagai bentuk pengabdian kepada Allah, adalah dikarenakan sering terjadinya kesenjangan sosial pada masyarakat Arab kala itu. Zakat merupakan rukun Islam yang kental dengan dimensi sosial.
Dalam pemerintahan Islam, zakat merupakan salah satu pemasukan resmi bagi kas negara, selain fa'ikharaj, dan jizyah. Pemerintah berkewajiban memungut, mengelola, dan mendistribuskannya (QS 9:103) karena ia telah diamanahkan untuk mewujudkan kesejahteraan sosial (QS 4:59) yang selalu bermuara pada prinsip keadilan, kemerdekaan dan kesetaraan di hadapan hukum yang menunjang terjadinya harmonisasi kehidupan bermasyarakat.

Keadilan sosial dalam Islam, misalnya, tidak mengharuskan agar setiap orang mempunyai tingkat kemampuan ekonomi yang sama dan terhapusnya kemiskinan dalam masyarakat, tetapi menciptakan suatu kondisi masyarakat yang harmonis dan dinamis, rendahnya jurang pemisah antara si kaya dan si miskin, dan hilangnya faktor-faktro penyebab rendahnya produktivitas, pertumbuhan dan pengembangan potensi sumber daya manusia dan alam.

Karena Zakat = Pajak
Dalam konteks saat ini, khususnya di Indonesia, sumber pendanaan negara hanya meliputi zakat, kharaj, dan jizyah. Sumber-sumber tersebut dalam istilah sekarang disebut pajak. Masdar F. Mas’udi menyebutkan, dalam istilah teknis syari’at, pajak atas warga negara yang muslim disebut “zakat”, atas warga negara nonmuslim disebut “jizyah”. Jadi, pendapatan negara bersumber pada dua kelas. Pertama pendapatan religius, yakni pajak yang dibebankan kepada kaum muslim, berupa zakat dan pajak tanah (usr), dan lainnya. Kedua, pendapatan sekuler, yakni pajak yang dikumpulkan dari orang nonmuslim. Masuk dalam kategori ini ialah jizyah, pajak untuk mendapatkan hak milik kharaj, pajak atas hasil tanah, dan pajak terhadap para pedagang nonmuslim.
Maka, uang negara (bait al-mal) merupakan pajak yang dipungut dari rakyatnya dan investasi lainnya yang tidak dimiliki secara indiviudal. Fungsi kas negara tersebut (1) ditujukan untuk pembayaran kebutuhan negara, seperti untuk membayar gaji pegawai dan tentara, membeli peralatan persenjataan, dan sebagainya. Dan (2) ditujukan untuk kepentingan umum dan fasilitas umum, seperti bantuan bagi kaum duafa', pembuatan jalan raya, jembatan dan lain sebagainya.
Uang negara, dengan demikian, pada hakekatnya ialah uang Allah yang diamanahkan pada negara untuk didistribusikan sebesar-besarnya bagi kesejahteraan umat tanpa diskriminasi apapun. Satu rupiah dari uang pajak—juga setiap titik-titik kekuasaan yang dibiayai degan uang negara—harus dipertanggungjawabkan kepada Allah (di akhirat) dan kepada rakyatnya (di dunia). Maka, segala praktik yang merugikan keuangan negara, seperti korupsi, merupakan perbuatan yang melanggar syari'at dan setiap kuam muslim khususnya dan masyarakat umumnya berkewajiban memerangi korupsi dan menganggap sebagai musuh bagi kemanusiaan. Sedangbaitul mal atau lembaga serupa lainya ialah untuk mengoptimalkan pengelolaan zakat.
Di negara kita, telah ada undang-undang yang mengatur tentang pengelolaan zakat, yakni UU no. 38 Tahun 1999. Undang-undang tersebut menjadi landasan yuridis bagi pengelolaan zakat yang secara nasional potensi per-tahunya mencapai Rp20 triliun. Namun sayangnya, keberadaan UU tersebut masih seperti tiada saja (wujuduhu ka adamihi). Badan Amil Zakat sebagai lembaga resmi pemerintah dan lembaga zakat profesional lainya baru mampu menghimpun Rp 900 miliar saja.
Padahal, keuntungan penanganan zakat oleh pemerintah atau lembaga independen lainnya anatara ialah (1) wajib zakat dan pajak akan lebih disiplin dalam memenuhi kewajiban, dan kaum fakir miskin lebih terjamin haknya, (2) perasaan fakir miskin lebih dapat dijaga sebagai pemilik hak, tidak seperti meminta-minta, (3) pembari zakat atau pajak akan lebih tertib, (4) zakat atau pajak yang diperuntukkan bagi kepentingan umum akan lebih karena pemerintah lebih mengetahui sasaran pemanfaatannya. (M. Daud Ali:1988)

Sasaran Distribusi
Memang, semetinya distribusi keuangan negara yang diperolah dari pajak (zakat) diarahkan untuk kesejahteraan yang terepresentasikan dalam delapan golongan sebagaimana disebutkan dalam QS. At-Taubah (9):60, “Innama al-shadaqaat li al-fuqara' wa al-masaakin wa al-'amiliin alaiha wa al-mu'allafah qulubihim wa fi al-riqab wa al-ghamiriin, wa fi sabil Allah wa ibn sabiil faridhah min Allah”. Kedelapan gologan tersebut memang orang yang berhak menerima zakat, namun kedelapan golongan tersebut telah merepresentasikan kaum yang perlu mendapatkan perhatian dan bantuan dari pemerintah, baik dari zakat maupun pajak lainnya. Selain zakat, sebagain besar ulama mengharuskan pemerintah mengelola pajak.
Dalam konteks kemasyarakatan dan kenegaraan modern saat ini, menurut Masdar F. Mas'udi, yang termasuk fuqara' atau kaum fakir ialah rakyat papa dengan pengasilan jauh dari kebutuhan. Kemudian yang termasuk masakin atau kaum miskin adalah orang-orang yang pengasilannya sedikit lebih baik daripada kaum fakir tapi masih di bawah ketentuan wajar. Sedangkan amilin berarti kebutuhan rutin (gaji oprasional) depertemen keuangan dan parat depertemen teknis sebagai pemasok barang-barang publik (publik goods). Dan mu’allaf qulubuhum, dalam kontek negara-kebangsaan, diarahkan pada program rehabilitasi sosial terhadap para narapidana, pengguna obat terlarang (narkoba), atau masyarakat terasing yang masih hidup di hutan-hutan.
Adapun yang masuk dalam pengertian riqab (budak) ialah kaum buruh yang teraniaya, atau masyarkat terasing yang tengah berjuang memerdekakan dirinya. Sementara gamirin atau orang yang terbelit hutang antaranya meliputi pembebasan utang para petani yang terkena puso dan atau pedagang yang bangkrut karena faktor-faktor yang benar-benar berada diluar kemampuan mereka. Fi sabilillah diartikan sebagai kemaslahatan umum yang bersifat fisik seperti jalan, bangunan-bangunan publik, dan semua sara umum yang diperuntukkan bagi kepentingan orang banyak, maupun yang bersifat nonfisik seperti biaya pertahanan-keamanan negara/rakyat, ketertiban masyarkat, penegakan hukum, pengembangan ilmu pengetahuan-seni-kebubudayaan, dan semua sektor yang kemashlahatannya kembali pada kepentingan umat manusia. Sedangkan ibn sabil dalam kontek sekarang berarti para pengungsi, baik karena bencana alam maupu bencana politik.
Dengan demikian, pengelolaan zakat tidak hanya bersifat jangka pendek sebagaimana yang telah menjadi kebiasaan selama ini—menyalurkannya pada malam Idul Fitri. Oleh sebab itu, adanya Lembaga seperti Badan Amil Zakat Nasional (Baznas), Lembaga Amil Zakat, Rumah Zakat Indonesia, dan lainnya cukup membantu dalam pelelolaan yang bersifat jangka panjang, misalnya bantuan bea siswa. Penulis berharap, pontensi zakat yang mencapai Rp 20 triliun pertahun tersebut dapat dimaksimalkan dan pengelolaan serta penyalurannya lebih tepat guna, yakni mampu menghilangkan faktor-faktor penyebab rendahnya produktivitas ekonomi dan keterbelakangan pendidikan. Semoga saja potensi zakat yang berhasil dihimpun tidak bernasib sama dengan kas negara lainnya—untuk mengatakan selalu banyak yang dikorupsi dan tidak tepat guna. wa Allah a'lam.



Tulisan ini pernah terbit di harian Batam Pos Edisi 30 September 2008.