Selasa, 30 Mei 2017

Puasa dan Pembebasan Sosial

Puasa dan Pembebasan Sosial
Oleh Abd. Rahman Mawazi*

"Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana telah diwajibkan kepada orang-orang sebelum kamu agar kamu sekalian bertaqwa" (QS. 2:183)



Momentum Ramadan  selalu menarik perhatian bagi umat Islam. Bukan saja karena bulan itu diagungkan dengan kewajiban melaksankan puasa sebulan penuh dan segala keistimewaan dan kelebihannya, tetapi juga himbauan pemenuhan kebutuhan spiritual akan keimanan dan ketakwaan. Banyak seruan yang mengarah pada peningkatan ketakwaan, baik seruan melaksanakan ibadah syar’iyah maupaun ibadah sosial, yang intinya agar menahan (al-imsak) diri dari perbuatan yang tidak sesuai dengan norma agama dan melakukan suatu kebajikan yang menambah nilai plus dari ibadah puasa itu sendiri.
Sebagai fondasi (rukun) Islam, puasa merupakan kewajiban mutlak (fardu ‘ain) bagi umat Islam. Didalammnya, disamping unsur filosofis yang terkandung, yakni peningkatan ketakwaan (hablun min Allah), ada banyak muatan dan kadungan yang berhubungan dengan kehidupan di dunia, khususnya sesama manusia (Hablun min an-nas), yang dapat direnungkan bagi seorang hamba dengan melaksanakan ibadah puasa penuh ketakwaan. Puasa mempunyai konteks tanggungjawab pribadi dan juga tanggungjawab sosial. Karenanya, dalam berpuasa, disamping mewujudkan kesalehan vertikal kepada Allah, juga untuk mewujudkan kesalehan herisontal kepada sesama manusia dan mahluk Allah.
Ketakwaan itu akan tampak bila diimplementasi dalam berkehidupan sosial. Seperti dikatan Ashgar Ali Angineer, cendikiawan dari India, kesalehan yang disebutkan dalam al-Qur’an bukan hanya kesalehan ritual, namun juga kesalehan sosial. Bukankah permasalahan sosial dewasa ini cukup kompleks? Dan persoalan serius yang harus segera dijawab umat Islam saat ini adalah menunjukkan seberapa relevan konsep Islam sebagai agama ‘rahmat’ bisa dijadikan alat sekaligus solusi atas berbagai persoalan sisio-ekonomi kontemporer; kemiskinan, keterbelakangan, penindasan, dan ketidakberdayaan menghadapi perubahan-perubahan global—misalnya, ekonomi dan politik.
Persoalan kemiskinan misalnya, dimana jumlah masyarakat miskin di negeri ini semakin bertambah dalam tiap tahunnya dan ketika mereka tidak lagi berdaya menghadapi persaingan hidup mendapatkan ‘kelayakan’, memerlukuan solusi konkrit yang mampu mengentaskan problema itu. Telah sering diperlihatkan dalam berita-berita kriminal bawah kebanyakan masyarakat kelas bawah melakukan keriminalitas dengan alasan untuk sesuap nasi, dan atau mempertaruhkan nasib dengan bermain judi—termasuk dalam kategori ini adalah lotere—dan bahkan melakukan hal-hal yang irasional seperti tahayul penggandaan uang (yang ujung-ujungnya tak lain hanyalah praktik penipuan).
Fenomena kemiskinan, bukan saja merupakan problem sosial tapi juga problem agama. Karena, kefakiran bisa menyebabkan kekufuran (al-Hadist). Oleh karena itu, sebagai sesama manusia kita diwajibkan saling tolong menolong. Dan konsep al-Qur’an mengenai distribusi harta kekayaan sangat jelas, "Dalam harta kekayaan terdapat hak peminta-minta dan orang yang hidup berkekurangan" (51:19). Ayat ini dengan sangat jelas menyatakan bahwa kepemilikan tidak bersifat absolut, namun harus dibagi-bagikan pada gologan masyarakat lemah (mustadl’afin).
Begitu juga dengan keterbelakangan, penindasan, dan ketidakberdayaan selalu saja menimpa masyarakat kelas bawah (baca; mustadl’afin). Negeri ini adalah negeri dengan penduduk muslim terbesar dunia, negeri ini masuk dalam deretan negeri miskin, dan negeri ini juga masuk dalam kategori negeri terkorup di dunia. Cukup sudah predikat yang disandangkan pada negeri ini dimana penduduk mayoritasnya adalah muslim. Dan bentuk fenomena sosial yang paling akut juga diderita oleh orang muslim. Padahal, Islam sebagai agama rahmat membawa misi persaudaraan yang universal (universal brotherhood), kesejahteraan (equality), dan keadilan sosial (social justice) (Ashgar Ali Angineer,1999).
Memahami Islam sebatas pemenuhan kebutuhan moral spiritual tidaklah benar. Karena, selain memenuhi kewajiban menunaikan ibadah, Islam juga memerintahkan akan kepedulian sosial. Oleh karena itu, merepon peroblematika kontemporer dengan bersandar pada konsep al-Qur’an, melelui reinterpretasi terhadapnya, merupakan suatu keharusan, sebab zaman selalu berubah dan berkembang. Mempertahankan stagnasi sama-halnya dengan membiarkan kemandulan umat. Dan, secara otomatis, Islam dengan konsep rahmatan lil alamin tidaklah lagi menjadi rahmat, melainkan bencana yang disebabkan oleh umat Islam sendiri.
Kondisi sosial kontemporer; kemiskinan, keterbelakangan, penindasaan, ketidakberdayaan, dan sebaginya memerlukan respon agar tidak berlarut-larut menimpa umat Islam. Disinilah dibutuhkan ijtihadiyah baru dalam merespon problematika tersebut. Jamal Albana, cendikia dari Mesir, mengatakan bahwa jihad—berasa dari kata jahada yang berarti bersungguh-sungguh—masa kini bukanlah bagaimana mati di jalan Allah, meliankan bagaimana kita hidup dijalan Allah. Pembebasan umat dari keterbelengguaan, kemiskinan, penindasan dan segala macam bentuk ketidakberdayaan masyarakat, terutama mustadl’afin, merupakan kesalehan sosial. Menurut Abdul Munir Mulkhan, guru besar Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta, iman dan kesalehan seseorang tidak hanya dilihat dari pemenuhan rukun iman dan rukun Islam, melainkan juga pemihakan pada kepentingan kaum mustadl’afin(kaum tertindas). Membela dan membebaskan kaum mustadl’afin merupakan kewajiban dan tanggung jawab bersama. Karena itu, Hassan Hanafi, pemikir kiri Islam, menganggap bahwa tantangan terbesar bagi umat Islam adalah kemiskinan, keterbalakangan, dan ketertindasan. Bila demikian, agenda muslim yang harus direalisasikan secepatnya adalah "jihad sosial". Sudah saatnya revolusi sosial dilakukan.

Islam dan Pembebasan
Sejarah telah membuktikan bahwa kehadiran Islam di tengah masyarakat Arab jahiliyah membawa misi revolusi besar-besaran, yakni pembebasan umat manusia dari kejahiliyahan menuju peradaban humanis-dinamis, baik bidang ketuhanan (tauhid), ahklak, sosial-budaya, politik dan perekonomian. Sang pembebas, Muhammad Saw. membawa masyarakat jahiliyah menuju keterbebasan dari belenggu yang menimpa mereka.
Awalnya, sebelum Islam datang, praktik perbudakan begitu marak, kaum perempuan (seakan) tidak mempunyai harga—mereka dengan teganya menguburkan hidup-hidup bayi perempuan karena dianggap hanya akan membawa kerugian dan petaka bagi keluarga dan kebilahnya. Perempuan dijadikan pelampiasan nafsu libido para lelaki dengan menikahi mereka tanpa batas. Begitu juga dengan pola pikir masyarakat jahiliyah yang irasional dan mengedepankan adat-istiadat yang sarat dengan mitos. Oleh karenaya mereka dikenal dengan masyarakat jahiliyah. Namun sejak kedatangan Sang Pembebas, kebiasaan dekimian sedikit demi sedikit mulai dirubah. Praktik perbudakan mulai dikurangi dengan adanya kewajiban—sebagai kafarat (tebusan)—memerdekakan budak bagi seseorang yang melanggar suatu perintah syariat, poligami dibatasi maksimal empat orang istri bagi mereka yang mampu berbuat adil terhadap istri-istrinya, dan kepercayaan mitos dirubah dengan penanaman aqidah yang kokoh.
Termasuk juga pembebasan sosial yang telah dilakukan oleh Nabi adalah menghapus primordialisme dan fanatisme kesukuan. Islam datang dengan konsep tidak membeda-bedakan suku, ras, dan golongan dihadapan Allah menjadi pintu menuju kehidupan harmonis umat manusia. al-Qur’an menyebutkan, "Hai manusia! Kami telah manciptakan kalian dari laki-laki dan perempuan, dan membuat kalian menjadi berbangsa-bangsa dan bersuku-suku, supaya kamu sekalian saling mengenal satu sama lain. Sesungguhnya, yang paling mulia diantara kamu sekalian disi Allah adalah yang paling bertakwa.". Ini merupakan konsep yang paling revolusioner, dimana tidak ada lagi kesenjangan umat manusia yang disebabkan perbedaan ras, suku bangsa, dan golongan.
Diranah sosio-ekonomi misalnya, Islam juga menawarkan konsep revolusioner, yakni keadilan distributif dan melarang praktik culas dalam mengumpulkan harta kekayaan, seperti penimbunan kebutuhan perekonomian (QS.6:34), praktir rentenir dan riba (mengambil keuntungan dengan sistem bunga)(2:275-278). Hal ini bermakna bahwa agar penikmatan kebutuhan tidak hanya berputar dikalangan orang-orang kaya, melainkan merata pada seluruh lapisan masyarakat. Dan agar kesenjangan sosial -pembedaan si kaya dan si miskin- tidak lagi menjadi kemelut, melainkan suatu kebutuhan imbal balik, yakni saling membutuhkan.
Sekelimut histori peradaban umat Islam masa awal diatas perlu jadikan contoh untuk didialektikakan dengan keberadaan umat masa kini yang begitu banyak mengalami problematika sosial dan menuntut respon dari sekian konsep Islam. Apalagi, tantangan hidup di era global ini telah menjadikan wajah buram bagi umat Islam yang terbukti dengan begitu banyaknya masyarakat muslim di dunia yang mengalami kelaparan, kemiskinan, penindasan dan keterbelakangan.
Oleh karena itu, melalui momen puasa kali ini, kita tingkatkan moral spritual dan moral sosial. Sebab, bangunan moral spiritual bukan hanya sebagai pembebasan personal, melainkan kesalehan untuk pembebasan sosial—yang juga merupakan moral sosial. Solidaritas kemanusian menjadi nilai plus dalam upaya meningkatkan ketaqwaan. Dan mudah-mudahan puasa yang kita jalani telah memuat sisi batiniah (esoterik) sekaligus sisi lahiriyah (eksoteris). Wallahu a’lam.


*Tulisan semasa masih di Jogja antara 2002-2008

0 komentar:

http://www.resepkuekeringku.com/2014/11/resep-donat-empuk-ala-dunkin-donut.html http://www.resepkuekeringku.com/2015/03/resep-kue-cubit-coklat-enak-dan-sederhana.html http://www.resepkuekeringku.com/2014/10/resep-donat-kentang-empuk-lembut-dan-enak.html http://www.resepkuekeringku.com/2014/07/resep-es-krim-goreng-coklat-kriuk-mudah-dan-sederhana-dengan-saus-strawberry.html http://www.resepkuekeringku.com/2014/06/resep-kue-es-krim-goreng-enak-dan-mudah.html http://www.resepkuekeringku.com/2014/09/resep-bolu-karamel-panggang-sarang-semut-lembut.html

Posting Komentar