Snorkeling di Pulau Petong, Mengapa Tidak? (1)

Pulau Petong ini berada di sisi selatan Batam. Lebih kurang perjalanan satu setengah jam dari titik keberangkatan kami di Kepri Mall hingga sampai di jembatan enam. Tentu saja, kita akan melewati jambatan satu Barelang yang telah menjadi ikon Batam.

Rasakan Sejuk Air Gunung Daik di Resun

Air terjun Resun, begitu nama yang dilebelkan untuk air terjun yang terletak di desa Resun itu. Airnya mengalir dari pengunungan di tanah Lingga. Air terjun Resun ialah satu di antara sekian banyak aliran air terjun dari gunung Daik.

Kampung Boyan di Dabo Singkep

Para perantau ini seringkali meninggalkan jejak berupa nama kampung, yakni Kampung Boyan. Nah, itulah yang menjadi pijakan, tradisi rantau warga Bawean memiliki jejak, baik berupa nama maupun tradisi. Di Dabo Singkep, terdapat juga sebuah kampung bernama Kampung Boyan.

Menikmati Keindahan Masjid Agung Natuna

Masjid ini memang megah. Bahkan termegah yang ada di Kepri. Sebab itu, masjid ini selalu terlihat sangat cantik dari berbagai sisinya. Anda bisa mencari berbagai foto menarik masjid ini di internet. Saya sungguh kagum.

Puasa dan Pembebasan Sosial

Puasa mempunyai konteks tanggungjawab pribadi dan juga tanggungjawab sosial. Karenanya, dalam berpuasa, disamping mewujudkan kesalehan vertikal kepada Allah, juga untuk mewujudkan kesalehan herisontal kepada sesama manusia dan mahluk Allah.

Sabtu, 31 Desember 2016

Menikmati Kemegahan Masjid Agung Natuna


Kalaulah ke Natuna, jangan lupa menyempatkan diri melihat keindahan arsitektur Masjid Agung Natuna. Masjid ini memang megah. Bahkan termegah yang ada di Kepri. Sebab itu, masjid ini selalu terlihat sangat cantik dari berbagai sisinya. Anda bisa mencari berbagai foto menarik masjid ini di internet. Saya sungguh kagum.


Dari jalan raya, masjid ini terlihat indah dengan latar belakang gunung Ranai yang selalu mengeluarkan kabut tipi di puncaknya. Kolam memanjang yang di apit jalan utama akses dari dan ke masjid ini selalu diumpakan oleh para traveler sebagai di Taj Mahal di India. Wajar bila beberapa majalah travel dan pariwisata menyebutnya sebagai Taj Mahal-nya Indonesia.

Masjid ini memang cukup megah dengan struktur kubah bersusun. Ini merupakan model arsitekru modern yang banyak digunakan masjid-masjid di Indonesia saat ini. Halamannya terhampar luas dengan gerbang indah di bagian depan. Para fotografer selalu saja menemukan spot terbaru untuk foto terbaik ketika mencoba membidik gambar di sekitarnya.


Nikmati juga ornamen interior masjid yang begitu indah di dalamnya. Di masjid ini juga terdapat beduk terpanjang atau pun mungkin salah satu yang juga terbesar di Indonesia. (Maaf, bila salah membendingkan dengan beberapa bedug yang ada di kota-kota lain). Bedug ini berada di sisi timur masjid, di bagian serambi.

Tetapi, bila dilihat dari bentuknya, panjangnya sekitar dua depa orang dewasa. Sedangkan kayu yang digunakan, merupakan satu batang kayu utuh yang diambil dari hutan gunung Ranai. Lobang di bagian tengahnya dipahat oleh tenaga ahli sehingga berbentuk lobang.

Khusus untuk yang muslim, jika mengunjung masjid ini, ada baiknya untuk menunaikan salat, baik untuk salat fardu maupun sunnah. Mungkin Anda bisa merasakan kenikmatan salat di masjid megah ini. Siapa tahu justru di masjid megah ini ada banyak hidayah yang bisa didapatkan. Berwisata dengan beribadah. Itulah konsep wisata religi. 

Kamis, 29 Desember 2016

Setelah Empat Tahun, Bersua Kembali dengan Natuna

Perjalan ke Natuna kali ini mengusung misi sosial, yakni memenuhi undangan dari Smile Train bersama dengan Korem 033 Wira Pratama yang sedang mengadakan bakti sosial operasi sumbing bibir dan langit-langit gratis dalam rangka memperingati Hari Juang Kartika 2016.
Inilah perjalan kedua ke pulau terluar yang berada di wilayah Kepri. Beberapa tahun belakang ini, nama Natuna  sedang menjadi pembicaraan di tingkat internasional Karena persetegangan perebutan wilayah teritorial di laur yang menjadi jalur sibuk perdagangan dunia. Semua negara berkepentingan untuk mendapatkan kekuasaan di Laut China Selatan, termasuk di Indonesia.
Di tengah hiruk-pikuk politik itu, pemerintah Indonesia justru telah memperkuat posisi Natuna dengan berabagai pembangunan infrastruktur. Termasuk lapangan terbang Ranai yang saat ini sedang dalam pelebaran dan perluasan. Saya tidak hendak berkisah tentang politik internasional di Laut China Selatan. Saya hanya mau membandingkan Natuna dari kunjungan pertama pada 2012 silam dan kunjungan kedua pada 2016 ini.
Gunung Ranai masih memperlihatkan kecantikan dengan kabut tipis di puncaknya. Gunung itu masih terlihat indah dari berbagai sisi, baik dari Landasan Udara Ranai maupun dari masjid agung Natuna. Itulah gunung dulunya menjadi salah satu penanda navigasi dalam pelayanan kuno.
Begitu beranjak keluar dari bandara, secara keseluruhan memang tidak ada perubahan. Pemandangan masih tampak seperti beberap atahun lalu. Bedanya, beberapa rumah tepian jalan terlihat lebih kokoh di banding sebelumnya.
Oh, inilah Natuna sekarang. Kabar baiknya, jaringan telekomunikasi sudah lebih baik di banding dulu. Di sekitaran bandara, pengguna Telkomsel masih bisa merasakan sinyal 4G hingga kepusat keraiaman kota yang berjalan sekitar dua kilometer saja. Sedangkan provider yang lain sudah 3G. Lumyan untuk layanan data. Kita masih bisa menyapa dunia luar dengan koneksi internet. Mungkin masyarakat Natuna juga merasa tidak jauh dengan pulau-pulau pusat geliat aktivitas manusia karena teknologi telekomunikasi dan informatika ini.
Namun perjalanan ke Natuna ini adalah perjalanan yang sangat mahal. Bayangkan saja, setiap hari hanya satu pesawat dari maskapai WING Air yang bergantian dengan Sriwijaya untuk melayani transportasi Natuna-Batam. Tiketnya, sudah tentu tidak murah. Saya mendapatkan tiket dengan harga Rp 3 juta lebih dikit untuk pergi dan pulang. Lama perjalanan sekitar dua jam lah.
Nah kalau transportasi laut, alamak… bisa berhari-hari untuk sampai ke sana. Paling cepat sehari semalam menggunakan kapal pelni yang bersandar di Bintan. Transportasi ini adalah masalah yang paling pelik untuk Natuna dan diduga menjadi biang kerok atas lambannya pembangunan dan pertumbuhan perekonomian. Menurut saya, apa yang terjadi di Natuna itu sama saja dengan pulau-pualau lain yang ada di Indonesia. Nasibnya terbengkalai karena kesulitan akses transportasi.
Karena saya berangkat bersama dengan rombongan dokter yang hendak melakukan kegiatan pengabdian bagi mayarakat di Natuna, maka jadwal aktivitas pun disesuaikan dengan jadwal mereka. Pak dr. Senja, SpBP adalah ketua rombongan. Dari penilaian subyektif saya, ia adalah dokter yang energik. Mengapa tidak, setelah memantau pasien yang akan menjalani operasi sumbing bibir di RSUD Natuna, ia juga justru mengambil inisiatif untuk menikmati keindangan Natuna. Ini dia kisah serunya. Tunggu di tulisan selanjutnya ya…

Jumat, 25 November 2016

Seni Budaya Lokal dalam Multikulturalisme


Multikulturalisme menjadi salah satu ciri khas bangsa Indonesia. Multikulturalisme itu bisa dilihat dari banyaknya ragam budaya lokal yang ada. Keragaman itulah yang menjadikan suatu identitas bangsa, bahwa ia memiliki banyak potensi seni dan budaya yang dapat dijadikan salah satu warisan peradaban manusia di bumi nusantara. Keragaman seni budaya itu dapat ditoleril menjadi suatu kebanggaan tersendiri. Setiap provinsi minimal membunyai seni dan budaya masing-masing yang menunjukkan identitas provinsi tersebut.
Namun, warisan seni dan budaya akan segera hilang musnah ditelan zaman bila tidak dilestarikan. Moderenisasi menjadi alasan untuk meninggalkan sebuah warisan yang mampu memberikan sumbangsih besar terhadap bumi pertiwi ini. Sebagian besar dari penduduk Indonesia hanya menjadi penikmat sejati (user). Untung, masih ada yang menikmati, bagaimana kalau tidak?
Sebenarnya, bila ada keinginan untuk mengembangkan seni dan budaya lokal ini, niscaya akan menjadi sesuatu yang unik dan dapat menjadi aset bangsa. Dalam artian, masyarakat Indonesia tidak hanya sekedar menjadi penikmati tetapi juga mempelajarinya kemudian melestarikannya.
Banyak sekali potensi seni dan budaya nasional yang mampu meraih prestasi internasional, hanya saja fasilatas untuk mengembangkan potensi tersebut sangat minim. Disamping itu juga minat pemuda untuk mengembangkan warisan budaya semakin sedikit. Generasi tua selalu menjadi tumpuan untuk mengembang-kannya, lantas siapa yang akan mewarisi budaya ini?
Wayang misalnya. Banyak para pemerhati luar (asing) menaruh perhatian pada seni yang satu ini. Karena keunikannya dan memang sulit untuk melakukannya, wayang tidak dapat dipelajari oleh setiap orang, jangankan orang luar daerah, masyarakat Jawa sebagai pemilik seni budaya ini saja belum tentu bisa, apalagi masyarakat luar Jawa yang note bene bukan pewaris budaya. Akan tetapi, karena keunikannya itu wayang telah berhasil memikat perhatian dunia internasional melalui dalang Ki Manteb Soedarsono. Ia di undang ke Prancis untuk mendalang di sana yang selanjutnya menerima anugrah penghargaan sebagai salah satu budaya yang diakui dunia Internasional.
Ini menunjukkan bahwa seni dan budaya Indonesia, telah mampu memberikan sumbangsih besar di dunia internasional. Oleh karena itu, peluang-peluang internasional seperti ini tidak hanya menjadi milik satu generasi saja, tetapi juga menjadi peluang bagi masyarakat dunia. Indentitas budaya yang menasional seharusnya terus dilestarikan dan deikembangkan oleh generasi-generasi penerusnya. Sehingga budaya lokal yang sudah diakui oleh kalangan internasional tidak kehilangan indentitasnya yang sudah mendunia.
Tidak hanya seni budaya lokal yang kita miliki. Secara historis, bangsa Indonesia sebelum kedatangan bangsa-bangsa dari Eropa menjadi tempat persinggahan dan lahan pasar bagi para pedagang dari Timur Tengan dan daratan Asia. Dan tak terelakkan, proses transformasi kebudayaan pun terjadi di sini. Seperti kita lihat sekarang ini, banyak budaya yang ternyat merupakan gabungan dua budaya, misalkan masjid Kudus yang mempuyai arsitektur budaya masyarakat Hindu kala itu dan Timur Tengah. Salah satu warisan budaya yang mampu menarik perhatian.
Selain itu, candi Borobudur merupakan salah satu dari tujuah keajaiban dunia dan hal ini tidk bisa kita elakkan dari warisan budaya kita. Dismping bangunan yang super besar, ada relief yang dapat memberikan suatu jawaban atas hipotesa para peneliti untuk mengetahui sebuah kehidupan disaat candi di bangun. Akankah kita mengingkari bahwa kita memilik sebuah potensi internasional yang tanpa kita sadari.
Banyak usaha yang dilakukan untuk mengangkat nama Indonesai di dunia internasional melalui seni dan budaya. Dan sumbangsih merekapun telah mampu memberikan nama besar bagi Indonesia. Muammar misalnya, seorang qori’ (pembaca Al-Qur’an) pernah meraih peringkat Intenasional karena kemampuannya dalam melantunkan ayat-ayat Al-Qur`an. Untuk pentas Qari` bertaraf internasional ini selalu dimiliki oleh bangsa Indonesia dari setiap perlombaan internasional.
Dalam seni lukis misalnya, tercatat Raden Saleh, Affandi, Amri Yahya dan masih banyak lagi sebagai maestro dalam bidang seni. Karya-karya mereka selalu dilirik oleh pemerhati seni dunia. Diakui atau tidak, kualitas seni budaya kita telah mampu meyedot perhatian dunia internasional. Dan masih banyak contoh-contoh lain.
Sebagai generasi muda tentu kita bangga dengan apa yang telah mereka torehkan bagi bangsa Indonesia, namun akan lebih bangga lagi bila kita sebagai generasi mudah mampu berkarya dan diakui oleh kalangan internasional. Oleh sebab itu, prestasi internasional ini terus kita pertahankan untuk tetap memberikan citra positif akan kesenian dan kebudayaan kita. Harapan kita kedepan haruis ada lembaga swadaya masyarakat yang memberikan perhatian penuh terhadap keberagaman budaya yang dimiliki bangsa Indonesia.
Untuk terus mengembangkan dan melestarikan nudaya lokal itu menurut penulis ada beberapa hal yang harus segera diperhatikan. Pertama, memberi tempat untuk pengembangan. Tanpa mendapat suatu perhatian kusus sebuah seni dan budaya akan mendapat perhatian, karena tanpa sokongan dari seluruh elemen tidak mungkin akan tercapai suatu pelestarian. Kedua, memupukkan nilai-nilai budaya lokal maupun nasional. Hal ini sebagai cinta akan kebudayaan sendiri. Dan ketiga, mengembangkannya. Agar tidak monoton dan ketingglan dari seni dan budaya modern perlu ada pengembangan lebih lanjut, dalam artian tidak merusak nilai-nilai seni dan budaya leluhur.
Hal tersebut tidak akan pernah terealisir tanpa kepedulian kita bersama, bahkan hanya menjadi angan-angan yang tak kunjung tercapai. Dan akan terjadi suatu fregmentasi historis pewarisan budaya. Karenanya, mempertahankan budaya sandiri merupakan suatu keharusan dan menerima budaya luar selama sesuai dengan budaya kita bukanlah suatu larangan..

Dengan demikian seni budaya lokal maupun nasional akan terus tetap menjadi minat untuk diperhatikan dan dipelajari, sehingga nilai-nilai astetika yang terkandung didalamnya senantiasa dapat dinikmati oleh generasi seterusnya. Dan bukan mustahil dengan kekesenia dan kebudayaan tersebut indonesia semakin mampu meraih peluang prestasi internasional.


Ini adalah tulisan lama, sekitar 2004 silam.

Kamis, 17 November 2016

Agama Melawan Budaya Korupsi


Indonesia dikenal sebagai bangsa religius sekaligus bangsa terkorup. Predikat religus semestinya tidak bergandengan dengan predikat korup, karena agama mengajarkan nilai-nilai moral fundamental. Agama mana pun, khususnya Islam, mengutuk tindakan korupsi dalam bentuk apapun, sebab bertentangan dengan nilai-nilai universal agama: prinsip keadilan, akuntabilitas, dan tanggung jawab. Intinya, agama-agama bertujuan memperbaiki moralitas manusia.
Ilustrasi kartun gerakan anti korupsi dari markuni.com
Dalam Islam, korupsi dengan segala dampak negatifnya yang menimbulkan berbagai distorsi terhadap kehidupan negara dan masyarakat, dapat dikategorikan perbuatan fasad atau merusak tata kehidupan di muka bumi, yang juga amat dikutuk oleh Tuhan. Bagaimana tidak, akibat korupsi, Indonesia mengalami krisis ekonomi yang berdampak pada dimensi-dimensi lain, seperti politik, sosial, dan budaya. Dimensi-dimensi itu berakibat pula keterbelakangan, kemiskinan, kebodohan, pengangguran, dan tingginya tingkat kriminalitas.
Memang, tidak ada kajian empiris tentang pengaruh agama terhadap praktik korupsi. Azyumardi Azra (2004) menyimpulkan bahwa tinggi rendahnya tingkat korupsi tidak banyak terkait dengan agama, melainkan lebih terkait dengan tata hukum yang jelas dan tegas yang diiringi penegakan hukum berat terhadap para koruptor. Pendapat Azyumardi Azra ini diperkuat dengan hasil survei International Country Risk Guide Index (IRCGI). Menurut IRCGI, sejak 1992 hingga 2000, indeks korupsi di Indonesia terus meningkat dari sekitar tujuh menjadi hampir sembilan (pada 2000). Kecendrungan yang sama juga terjadi di Rusia, yang mayoritas penduduknya Kristen, dengan indeks hampir sembilan pada 2000.
Negara-negara manyoritas berpenduduk muslim yang lain, seperti Pakistan, Banglades, dan Nigeria juga memiliki indeks korupsi amat tinggi, rata-rata di atas tujuh. Begitu juga dengan negara-negara berpenduduk Kristen, seperti Argentina, Meksiko, Filipina, atau Kolombia yang indeks korupsinya juga di atas tujuh. Bahkan, Thailand yang mayoritas penduduknya Budha, indeks korupsinya juga hampir mencapai delapan.
Sementara itu, ada negara lain, yang meyoritas beragama Islam, seperti Iran, Arab Saudi, dan Malaysia dengan angka korupsi yang jauh lebih rendah dibandingkan Indonesia atau Pakistan. Juga ada negara mayoritas Kristen seperti Amerika Serikat, Kanada, atau Inggris dengan indek korupsi dibawah dua.
Kenyataan ini menunjukkan bahwa agama dan keberagamaan adalah dua hal yang berbeda. Kesalehan individual belum tentu membawa kesalehan sosial dan profesional. Begitu banyak orang yang dianggap alim dan saleh justru berbuat korupsi. Begitu juga orang yang rajin sembahyang tidak berarti bersih dari korupsi.
Kita tidak perlu pesimis, seolah-olah agama tidak mampu mendorong antikorupsi. Bukan agama yang gagal, melainkan tokoh dan penganut agama itu yang belum memaknai agama secara tepat. Sebab, agama-agama tidak membenarkan kejahatan, ketidakjujuran, dan segala bentuk amoralitas sosial. Agama-agama mengajarkan moral mulia, budaya malu, kukuh dalam kebaikan, gaya hidup sederhana, etos kerja tinggi, serta orientasi pada kemajuan dan prestasi.
Namun, ajaran tersebut belum terejawantahkan dalam kehidupan keseharian. Karena itu, pemahaman umat atas agama harus diarahkan pula untuk mampu merumuskan apa yang dinamakan "kemungkaran-kemungkaran sosial"—meminjam istilah Zuly Qodir—sebagai bentuk kekafiran baru atau kekafiran modern, termasuk korupsi.
Penafsiran agama yang harfiah, tekstual, dan kaku seperti doktrin takdir bahwa Tuhan menentukan segalanya dan manusia cuma nrimo apa adanya, membawa keberagamaan yang pasif dan tidak leberatif. Agama sebatas bersifat formal, padahal pada saat yang sama pembusukan moral sedang terjadi.
Bagaimana mengobyektifkan agama sehingga ia berperan positif terhadap upaya pemberantasan budaya korupsi? Apabila pendekatan politik dan hukum lebih bersifat represif—meski juga bersifat preventif—dalam pemberantasan korupsi, maka agama berlaku lebih pada level preventif. Timbul anggapan, undang-undang anti korupsi dengan sendirinya akan menjamin penanggulangan korupsi. Padahal hukum kurang menyentuh tataran preventif. Siapa yang dapat menjamin gerak-gerik seseorang setiap detik diperhatikan aparatur hukum?
Agama, dalam konteks demikian, memosisikan dirinya sebagai bimbingan dan kontrol transendental (Ilahi). Bahwa penganut agama seharusnya merasa dikontrol oleh Zat Yang Mahatahu kapan pun dia berada. Selain itu, agama umumnya mengajarkan kehidupan sesudah mati. Bahwa meski tindakan korupsi yang dilakukan di sini sempat lepas dari pengawasan manusia, pengadilan di kemudian akhir (akhirat) tidak akan melepaskannya. Keberagamaan yang subtantif semacam inilah yang dapat mencegah penganut agama dari tindakan korupsi. (Muhammad Ali, 2000).
Gerakan antikorupsi yang digalang ormas keagamaan, seperti Muhammdiyah, NU, Persis dan yang lainnya, pada hakikatnya adalah perlawanan budaya terhadap kejahatan korupsi yang sudah sedemikian parah. Tujuan perlawanannya ialah mengaktualkan kembali kehendak untuk hidup halal yang diajarkan agama (Islam) sebagai habitus tandingan.
Dan bagi NU sendiri, gerakan antikorupsi menjadi bagian dan kesinambungan dari Gerakan Mabadi’ Khaira Ummah yang merupakan langkah awal pembentukan umat yang terbaik yang membawa rahmat untuk semua, yaitu umat yang mampu melaksanakan misi al-amru bi al-ma’ruf dan an-nahyu an al-munkar. wallahu'alam.


Senin, 14 November 2016

Memotret Geliat Konsumerisme Metropolitan

Setiap kali pergi ke mall, kita seringkali melihat pemandangan sekelompok anak muda dan atau sepasang anak cucu Adam dan Hawa yang sedang menikmati suasana keramaian mall, dan tidak sedikit pula sekelompok keluarga yang turut meramaikan pula. Cobalah mulai sekarang Anda tidak hanya melihat sekadar itu. Beranikan diri untuk menjadi seorang peneliti walau kelas kacangan, dan Anda akan menemukan apa yang sebenarnya terjadi.

Pesatnya perkembangan mall dan pusat perbelanjaan serupa telah menghadirkan suatu fenomena baru. Mall sekarang tidak hanya menjadi tempat transaksi jual beli (leizur feilure). Mall malah memperluas fungsi raiso de etre-nya tersebut menjadi tempat rekreasi, media ekspresi ego, dan media hegemoni. Orang – terutama anak muda – pergi ke mall bukan lagi didorong oleh keinginan untuk membeli apa yang dibutuhkan (need), tetapi apa yang diinginkan (want).

Suasa berbelanja di suatu pusat perbelanjaan. Foto tribunnews.com 
Aktifitas membeli berdasarkan kebutuhan akan berhenti jika telah terpenuhi. Namun dengan pertimbangan ingin, aktifitas membeli tidak akan ada ujungnya kecuali bila hasrat itu telah meredah, padahal hasrat manusia tidak akan ada habisnya. Setiap kali ada “yang baru”, hasrat itu akan muncul.

Semetara itu, kekuatan hegemoni kapital tidak akan pernah kehabisan akal untuk melakukan perubahan. Tidak satu menit pun dilewatkannya untuk menemukan sesuatu yang baru. “Inovasi tanpa henti” yang didukung oleh “hasrat tanpa henti” ini menjadi arena bagi keberlangsungan hegemoni tadi. Empu jargon yang pertama semakin perkasa, sedangkan yang kedua merelakan dirinya menjadi “pelayan” yang siap melayani kapan saja—untuk mengatakan konsumen setia.

Dalam rangka melangsungkan hegemoninya, kaum kapitalis ini tidak hanya melakukan pencarian inovasi baru yang siap menggempur pasar, tetapi juga diciptakannya mitos-mitos yang disandarkan pada kepentingan mereka, seperti mitos kecantikan dan kegantengan, trandy, funky, serta modis. Naomi Wolf, seorang peneliti dari Amerika dalam Mitos Kecantikan (2004), menyebutkan bahwa kehadiran kontes kecantikan, betis indah, tubuh ideal, dan sebagainya merupakan salah satu perpanjangan imprealisasi dari para kapitalis. Orang disebut cantik bila menggunakan lipstik ini dan bedak itu.

Sebutan trandy, funky, dan modis kemudian hanya diperuntukkan bagi mereka yang menggunakan pakaian bermerek tertentu—dengan mode setiap kali berubah dalam waktu yang cepat—yang trend-nya sengaja diciptakan. Orang yang mengikuti perubahan itu akan disanjung dengan sebutan modern, sedangkan bagi yang tidak ikut serta dianggap ketinggalan zaman. Kata modern kemudian beralih menjadi modernisme yang lebih berbau ideologis. Banyaknya barang hasil produksi di pasaran telah mengubah pola konstruksi kehidupan masyarakat. Masyarakat merasa cukup dan puas dengan mengkonsumsi, yang sekaligus mengeliminir potensi dirinya sendiri untuk memproduksi. Tanpaknya adigium Descartes, “aku berpikir maka aku ada”, dapat dipreteli menjadi “aku mengkonsumsi maka aku ada”. Walhasil, keberadaan masyarakat ditentukan oleh kemampuan mengkonsumsi, dan disitulah tercipta apa yang disebut dengan “masyarakat konsumtif”.

Dari sini timbul pertanyaan mengapa tingkat konsumsi begitu tinggi, sampai-sampai tercipta masyarakat konsumtif? Muhammad Syukri (2004) menyebutkan minimal ada dua kekuatan yang mempengaruhi prilaku konsumsi. Pertama, kekuatan kapitalis atau produsen. Banyaknya modal (capital) yang dimiliki oleh kapitalis memungkin untuk mendirikan perusahaan-perusahaan besar (the large corporate) di berbagai belahan dunia. Munculnya perusahaan besar ini bukan hanya untuk memenuhi kebutuhan produsen, tetapi untuk mendapatkan hasil (laba) yang sebesar-besarnya. Karena itu, sistem produk mengikuti pola over-produksi, yaitu usaha untuk memproduksi barang sebanyak-banyaknya.

Kedua, kekuatan media. Media, terutama media elektronik seperti telivisi (TV), sangat berguna untuk memasarkan semua produk kepada masyarakat luas. Kekuatan media bukan hanya  kemampuannya melipat dunia menjadi sepetak gambar yang dapat dijangkau dengan sekejap waktu, tetapi pada kekuatan hegemonik yang memperngaruhinya. TV, meminjam bahasa Baudrillard, meyelenggarakan simulasi. Simulasi itu pada hakekatnya tidak mencerminkan realitas sesungguhnya, melainkan dicitrakan dengan realitas yang menditerminisi kesadaran kita. Itulah yang kemudian disebut dengan hypper-reality (realitas semu). Pecitraan yang dihadirkan oleh TV mempengaruhi kesadaran masyarakat sehingga prilakunya diatur oleh simulasi-simulasi yang ditampilkan. Akibatnya, masyarakat terjebak pada prilaku konsumerisme yang banyak diintrodusir oleh TV.

Demi nilai sosial Masyarakat modern yang lebih dicirikan dengan masyarakat konsumsi (consumer sociaty) membeli sesuatu bukan dikarenakan kebutuhan melainkan lebih disebabkan oleh keinginan yang bersumber pada nilai prestise di masyarakat. Carl Gustave Jung mengungkapkan bahwa pada tingkat tertentu ada yang membedakan proses konsumsi dalam masyarakat, yaitu innermotivate. Menurutnya, innermotivate adalah sebuah dorongan, hasrat dan rangsangan yang bersemayam dalam diri manusia yang mengendalikan actus (tindakan) seseorang.

Dalam masyarakat pedalaman, yang taraf kehidupannya menengah kebawah, motif itu merupakan kebutuhan dasar yang sama sekali tidak terpengaruhi oleh tingkat dan jenis produksi. Mereka membeli barang untuk memenuhi fungsi utilitas bukan yang lainnya. Lain halnya dengan kebanyakan kaum “kaya” kota, mereka membeli barang demi pelampiasan keinginan dan hasrat membeli yang nyata-nyata dipengaruhi oleh tingkat dan jenis produksi. Dan pilihan terhadap jenis-jenis tertentu sangat dipengaruhi oleh nilai-nilai sosial dari pada nilai pakai. Mereka tidak lagi mengkonsumsi objek, namun makna-makna sosial yang tersembunyi di dalamnya.

Sebagai contoh, sekarang orang membeli ponsel bukan ditentukan oleh nilai guna untuk memudahkan berkomunikasi, tetapi ditentukan oleh fasilitas-fasilitas lainnya yang tidak begitu penting yang bersifat komplementer. Orang yang memegang HP dengan fasilitas lengkap—dan tentunya mahal—akan menandai status, kelas, dan simbol sosial tertentu. Contoh lain, orang yang mengendarai mobil BMW, Mercy, Roll Royce, dan Volvo berbeda dengan orang yang mengendarai Carry, Espass, dan L 300 dalam prestise nilai sosialnya.

Keberadaan demikian semakin tampak jelas dalam masyarakat kota di Indonesia, yang artinya budaya konsumerisme akan semakin merasuki pola hidup masyarakat. Lambat laun, seiring dengan era perdagangan bebas, kehadiran mall—yang selalu bergandengan hypermarket—juga akan menggilas pasar-pasar tradisional.

Jumat, 11 November 2016

Sepenggal Kisah Bersama SimPATI Saat Kuliah S2

Baru dua pekan terakhir ini saya memiliki smartphone Android berlayar sentuh. Bukan tanpa alasan menggunakannya, melainkan karena jaringan telekomunikasi di #indonesiamakindigital. Sedangkan selama enam tahun lebih, saya adalah pengguna BlackBerry Curve 8520 atau yang sering disebut BB Ge
SimPATI dengan paket BB Unlimited Murah
hanya Rp 10 ribu perbulan 
mini. Ya, BB ini adalah ponsel terlama yang pernah saya miliki. Seingat saya, sudah tiga kali dia berganti kulit, dari hitam ke putih lalu menjadi ungu seperti sekarang. Kondisinya pun sudah memprihatinkan setelah dipreteli oleh si adik yang kini berusia dua tahun.
Dan sepanjang waktu itu pula, BB Gemini ini telah merasakan kartu SimPATI dari Telkomsel. Keduanya telah menyatu hingga kini. Entah sampai kapan, saya pun belum tahu sebab saya masih merasa nyaman mengawinkan keduanya.

Walau usinya yang sudah memasuki uzur, BB Gemini dan kartu SimPATI itu telah menemani ke berbagai daerah; dari Batam ke Dabo dan Daik di Kabupaen Lingga, Ranai di Natuna, Pontianak dan Singkawang di Kalimantan Barat, ketika bergelut dengan pekerjaan; di kota Gudeg Jogjakara dan kota Kraksaan Kabupaten Probolinggo di Jawa Timur ketika mengenyam bangku pascasarjana; dan saat berkunjung ke Singapura dan juga Malaysia. Alasan historis inilah yang membuat keduanya belum terpisahkan.
Tulisan ini bukan hendak menceritakan BB Gemini yang sudah diikat dengan karet, tetapi cerita tentang kartu SimPATI-ku yang unik ini. Ya, saya sebut unik karena ada paket istimewa yang ditawarkan untuk pelanggan setianya. Inilah kisah itu.

Jangan Abaikan SMS Promosi
Kebetulan saya dan istri sama-sama menggunakan kartu SimPATI dari Telkomsel. Saat itu, saya sedang menikmati liburan Idul Fitri pada 2015 lalu, kala datang sebuah SMS promosi dari Telkomsel yang mengabarkan promo terbaru untuk paket BB unlimited bulanan. Kabar yang termaktub di dalamnya ialah info paket seharga Rp 10ribu saja.
Karena saat itu paket yang saya gunakan mendekati masa akhir aktivasi, maka saya berniat mencobanya. Toh, kalau sukses, saya beruntung. Kalau pun tidak, saya akan tetap memakai paket BB unlimited seharga Rp 99ribu perbulannya. Sebab, banyak aktivitas yang saya lakukan membutuhkan koneksi internet, dan semua terasa lebih gampang bila dilakukan dari ponsel.
Singkat cerita, istri saya menyarankan agar hanya mengisi pulsa Rp 10 ribu saja supaya paket yang sudah ada tidak otomatis diperpanjang. Sarannya itu saya terima. Dan akhirnya, paket BB Unlimited habis. Segera saya daftarkan paket baru sesuai petunjuk pada SMS promisi. Tapi sayang, saya lupa teknis daftarnya ketika itu. Alhamdulillah, aktivasi berhasil, yakni paket BB unlimited bulanan dengan harga Rp 10 ribu. Ini adalah paket BB unlimited termurah yang saya tahu dan saya nikmati.
Tetapi, saya belum puas. Saya khawatir paket baru ini membatasi aktivitas saya dari ponsel. Maklumlah, ini era digital, di mana banyak aktivitas bila dilakukan melalui perangkat yang hanya segenggaman saja. Maka saya coba membuka browser lalu mengakses portal berita online atau media daring. "Yes, bisa" ucapku dalam hati.
Hati masih gundah, apakah push email juga masih aktif? Ada dua email yang saya aktifkan di ponsel. Keduanya sama-sama penting karena terkait pekerjaan. Maka untuk mengujinya, saya mengrim email dari yang satu ke yang lain. Isinya tak ada yang penting karena hanya mengetes saja. Beberapa jenak tidak ada tanda-tanda ikon email masuk. Aduh!!! Bahaya ini. Dengan sedikit cemas, saya sering perhatikan lampu ikon di sudut atas layar sembari menjawab beberapa komentar di Facebook. Akhirnya masuk juga barang itu. Hati pun lega. Dan promo harga paket BB unlimited murah Rp 10ribu per bulan itu tak mengurangi satupun manfaatnya.
Maka, tanpa pikir panjang, ketika paket BB istri pun habis, langsung saja memilih paket baru sebagaimana yang telah saya lakukan di BB saya sendiri. Betapa girangnya istri saya karena kami bisa menghemat puluhan ribu rupiah untuk pulsa bulanan. Apalagi saya tidak memiliki pekerjaan tetap dan harus membiayai kebutuhan selama kuliah S2 di UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta.

Kalang Kabut Paket Habis
Di usia kepala tiga dengan dua anak, kembali ke bangku kuliah ada pilihan yang kenekatan. Saya nekat karena saya harus meninggalkan pekerjaan dan membiayai kuliah secara mandiri. Belum lagi urusan dapur. Sebab itu, sedari awal saya bertekad untuk bisa selesai kuliah secepat mungkin.
Di tengah kesibukan penghujung smester tiga, saya sudah harus menyelesaikan proposal tesis. Perputakaan, buku, laptop, dan internet adalah bagian penting. Ketika di kampus, saya bisa menikmati fasilitas internet gratis. Ketika di kos, saya harus menggunakan modem. Terkadang, kartu SimPATI itu harus berpisah dengan BB untuk "selingkuh" dengan modem Telkomsel Flash. Ini hanya tingga modem saja karena kartunya telah dipakai istri untuk BB dia tadi. Biasanya saya memilih cari bacaan awal dari BB saya itu, bila ada yang cocok, baru saya unduh di kampus. Biasalah, penghematan, dari pada harus beli paket Telkomsel Flash.
Saat sedang asyik mengerjakan proposal, paket BB lupa saya isi. Maka saya pun kalang kabut sebab sumber bacaan melalui browser di BB otomatis terhenti. Padahal, bacaan dari sumber-sumber di internet mempermudah dalam memahami setiap pembahasan. Yang tidak kalah penting, beberapa tugas akhir kuliah disetor melalui email, yang biasanya saya kiri melalui BB. Ketika berada di kampus saya coba cari info pendaftaran paket BB unlimited murah itu. Perjuangan itu baru berhasil di hari ketiga. Yes, saya masih beruntung menjadi pelanggan istimewa Telkomsel.
Peristiwa serupa pun pernah terjadi beberapa kali hingga akhirnya saya menyimpan kode akses rahasia untuk aktivasi paket murah itu, yakni *550*1#. Silahkan saja Anda coba kode aksea itu, siapa tahu Anda sedang beruntung, tepi saya tidak menjamin semuanya bisa. Setidaknya, hingga saat ini, November 2016, paket BB saya masih menggunakan paket BB unlimited murah dari Telkomsel. Banyak teman sekantor di Batam dan teman-teman semasa kuliah yang iri dengan keistimewaan kartu SimPATI saya ini.

Memaksimalkan Digital
Walaupun saya telah mengakui kualitas Telkomsel, tetapi saya hendak mencoba menggunakan kartu lain dalam menikmati layanan digital di era #IndonesiaMakinDigital ini. Uji coba ini saya terapkan pada smartphone Android baru saya yang sudah 4G. Semua provider telekomunikasi sedang berlomba menggaet pelanggan dengan tawaran bonus kuota 4G yang supet besar.
Maka pada dua slot kartu, saya isi dua kartu berbeda sekaligus. Saya hendak menguji kekuatan sinyal dan jaringan keduanya. Dalam dua pekan ini, penggunaan dua kartu itu selalu saya gonta ganti apabila support sinyalnya jelek. Nah celakanya, ketika saya bertugas di pinggiran Batam, sinyal yang tertangkap menjadi 3G dan sesekali ganti EDGE, bahkan yang satu lagi konsisten di EDGE.

Hingga saat ini, saya masih menguji secara obyektif, yang mana satu sinyal 4 G-nya paling stabil di Batam ini. Ini sudah zaman digital dan #indonesiamakindigital juga. Sehingga jangan hanya terpikat promo belaka. Jadi, menurut pembaca yang budiman, kartu perdana apa yang cocok untuk mendukung digital style? Silahkan usulkan pada saya, karena kartu itu akan menjadi pendamping untuk kartu SimPATI-ku yang telah banyak menemani saya. Namun bila gagal, bukan mustahil semua kartu yang saya gunakan merupakan produk Telkomsel yang telah teruji. Toh masih ada kartu lain yang harga paketnya lebih sesuai kebutuhan seperti Kartu AS ataupun Loop.


Tulisan ini untuk diikut sertakan dalam lomba #IndonesiaMakinDigital yang diselenggarakan oleh Telkom 

Rabu, 09 November 2016

Geliat Perekonomian di Pasar Tos3000 Jodoh

Pedagang ayam daging di pasar Tos3000 Jodoh. Pasar ini menjadi pasar induk bagi masyarakat Batam saat ini.
Telah beberapa tahun Pasar Tos3000 di Jodoh menjelma menjadi pasar pagi yang penuh sesak dengan pengunjung. Inilah pasar tersibuk di Batam dan menjadi "pasar induk" mendadak, menggantikan pamor pasar Tanjungpantun Jodoh yang sudah dikenal masyarakat Batam sejak 1980-an dan setelah kegagalan pasar induk yang dibangun pemerintah. 
Geliatnya pasar ini sudah dimulai sejak dini hari, ketika pada pedagang sayur mayur mulai berdatangan membawa sayuran segar dari berbagai daerah di Batam. Sebagian besar sayuran itu di datangkan dari Tembesi, Rempang ataupun Galang. Sedangkan umbi-umbian seperti kentang lebih banyak didatangkan dari Medan ataupun Jambi. Memang, kebutuhan makanan di Batam masih membutuhkan pasokan dari luar daerah.
Kemarin (23/10) pagi, para penjual sudah menggalar dagangan di rentang jalan antara Tos3000 hingga Top100 Jodoh. Dua ruas jalan itu dimanfaatkan oleh pedagang sayuran dan rempah untuk menggelar dagangan. Tak pelak, jalan itu pun tidak bisa dilalui oleh pengendara roda empat. Sedangkan untuk roda hanya bisa sebatas melewati sisi selatan jalur itu tatapi harus mendesakan dan bebagi dengan pedagang juga.
Kios dan lapak di dalam pasar Tos3000 menjadi pasar basah. Sedangkan di sisi kanaan, kiri, dan depannya menjadi tempat para penjual sayuran, rempah, dan buah-buahan. Ada juga yang menjajakan jajanan pasar di sela-sela pedagang sayuran. Di pasar ini, tidak sedikit orang yang menaruh harapan mengais rezeki. 
"Awas ada copet. Ibu-ibu hati-hati barangnya. Sekarang ini ibu-ibu pun sudah ada yang jadi copet," bunyi pengeras suara yang dibawa seorang pria itu menambah riuh suasana pasar. Di tengah desak-desakan antara pembeli, di saat itu pula pencopet beraksi. 
Selain suara mikrofon itu mengitari beberapa wilayah sepanjang jalan.  Peringatan itu memang wajar karena beberapa hari sebelumnya dua orang perempuan ditangkap sebab ketahuan mencuri dompet pengunjung pasar. Dan keduanya pun harus berurusan dengan polisi Lubuk Baja.
"Jagungnya delapan ribu, delapan ribu," teriak seorang penjual memanggil pembeli. Teriakan itu sudah khas di sebuah pasar. Teriakan demikian itu baru berhenti ketika penjualnya sedang melayani pembeli. 
Tentang saja, tidak semua pedagang di Tos3000 ini berteriak-teriak karena sebagian besar barang dagangan juga ada yang diberi papan harga. Pengunjung yang tertarik bisa membli langsung atau tawar menawar. Tawar menawar adalah kekhasan pasar tradisional berbeda dengan hipermarket modern yang semua telah terpasang harga.
"Kadang-kadang saja. Sekali seminggu kalau sempat. Mumpung sekarang hari minggu," kata seorang ibu saat berbincang dengan Tribun. Ia sengaja memilih menepi di dekat pasar karena tak kuat untuk memasuki pasar basah Tos3000. "Kalau ke dalam saya tak kuat. Biar mamak saja," lanjutnya.
Seorang pria yang menggendong anak juga tengah menunggu istrinya yang berbelanja ikan segar. Ia tidak tiga harus membawa anaknya berdesakan di tengah pegapnya ruangan pasar basah dengan berbagai aroma menyeruak ke hidung. Pria yang mengaku bernama Irwan ini dua pekan sekali atau ketika ada acara besar di rumah.
"Kalau di sini kan lebih murah. Selisihnya lumayan juga. Di sini sawi satu ikat dua ribu. Kalau beli tiga lima ribu. Ikatannya pun agak besar," ujarnya. Sedangkan di warung-warung dekat rumahnya Baloi, walau dengan harga yang sama, tetapi ikatannya lebih kecil. Ia bisa memaklumi karena pemilik warung juga mungkin kulakan di pasar Tos3000 ini. 
Kebutuhan masyarakat yang tersedia di pasar Tos3000 ini cukup lengkap. Walaupun hanya bulanan, tidak sedikit warga yang mencoba untuk berbelanja ke pasar pagi ini sacara langsung. Kebanyakan mereka yang berleanja datang dari Batuampar, Jodoh, Nagoya, Baloi, Pelita, dan juga Bengkong. 
Hingga pukul 06.30 pagi, masih ada sejumlah pedagang yang hendak membuka lapak. kebanyakan ialah pedagang umbi-umbian, seperti ubi, kentang, talas, dan gubis. Sedangkan pembeli datang silih berganti. Puncak geliatnya pada sekitar pukul 07.00. Tetapi sayang kemarin mendung mengelayut di atas lagit Jodoh. 
"Hujan, hujan, hujan," teriak para pedagang sembari menyiapkan payung besar. Beberapa pengunjung yang lain pun melakukan hal yang sama. Mereka harus menyelamatkan dagangan agar tidak terkontaminasi oleh air hujan yang memiliki zat kimia yang tajam, apalagi untuk sayur dedaunan. Biasanya, payung besar atau pun terpal itu baru digunakan ketika sengatan mentari  mulai menghangatkan tubuh. Tetapi pagi kemarin, daun payung dibuka lebih awal sebab gerimis mengundang.
"Mudah-mudahan saja tidak hujan. Kalau hujan pagi, kami repot mas," terang perempuan yang minta di sapa Bu Dhe saja. Sebagai pedagang, tentu yang diharapkan ialah pembeli. Apabila hujan di pagi hari, pembeli akan sepi sedang barang dagangan akan layu dan tidak layak jual lagi.
Ia agak cemas sembari berharap hujan tidak turun. Tetapi jika hanya gerimis, maka bisa jadi itu justru petanda baik di hari Minggu ini. Sebab, ujarnya dia, hari terpanjang untuk berjualan dalam sepekan ialah Minggu. Jika pada hari-hari biasanya hanya sampai pukul 09.00 atau maksimal pukul 10.00, tetapi pada hari Minggu ia bisa membuka lapak sampai pukul 11.00. Semua itu tergantung dari jumlah pembeli. Ini sudah menjadi hukum ekonomi, semakin banyak yang membeli maka pedagang pun akan semakin lama penggelar lapaknya. 
Tetapi, mereka sudah harus mulai mengemas barang dagangan secepatnya agar tidak mengganggu pemilik ruko dan para pengunjung ke toko-toko di Samarinda, Avava, dan Ramayana. Beruntung, kemarin itu hanya gerimis beberapa menit saja dan pengunjung pun masih cukup banyak hingga pedagang berjualan sampai siang. 
Ketika azan Dhuhur berkumandang, pedagang sudah bersih. Yang tersisa hanyalah pedagang yang membuka lapak di samping kanan Samarinda saja. Sedangkan di pasar Basah pun sudah mulai dikemasi. Sampah-sampah mulai di kumpulkan pada satu titik agar mudah diangkut para petugas. Geliat kehidupan pasar ini telah menyertai kehidupan masyarakat Batam. (abd. rahman mawazi)

Jumat, 28 Oktober 2016

Menggali (lagi) Semangat Kaum Muda

Dipenghujung Oktober 1928 silam, sejumlah pemuda dari Jong Java, Jong Sumatera Bond, Jong Ambon, Jong Batak, Jong Celebes, Jong Islameiten Bond, dan lain sebagainya berkumpul memikirkan keberadaan dan nasib bangsanya. Pertemuan yang digagas oleh Perhimpunan Pelajar-pelajar Indonesia itu merupakan pertemuan kedua kalinya. Setelah mereka mengadakan pembahasan, mereka sampai pada satu kesimpulan, bahwa jika bangsa Indonesia ingin merdeka, bangsa Indonesia harus bersatu. Untuk itu mereka bersumpah yang terkenal dengan nama Sumpah Pemuda yang diikrarkan pada akhir kongres, yaitu pada tanggal 28 Oktober 1928. sumpah itu berbunyi:
Kami putra dan putri Indonesia, mengaku berbangsa yang satu, bangsa Indonesia. 
Kami putra dan putri Indonesia, mengaku bertanah air yang satu, tanah air Indonesia. 
Kami putra dan putri Indonesia, menjunjung bahasa persatuan, bahasa Indonesia.
Ilustrasi semangat kaum muda. Sumber athanjp.blogspot.co.id

Tanggal tersebut cukup bertuah dan bersejarah bagi bangsa Indonesia, hingga kemudian ditetapkan sebagai Hari Sumpah Pemuda. Sumpah Pemuda menjadi motivasi untuk merdeka dari belenggu penjajahan Belanda. Sumpah Pemuda adalah virus bagi persatuan dan vitamin bagi spirit patriotisme yang mampu menggugah rakyat di setiap penjuru negeri. Karena itu, Sumpah Pemuda menjadi salah satu di antara berbagai landasan pilosofi bagi kebangkitan nasional kita, dan merupakan nilai yang sangat fundamental bagi persatuaan bangsa dan negara kita. Seperti halnya Hari Pahlawan 10 November, Pancasila dan Bhinneka Tunggal Ika.  Dari sanalah nasionalisme Indonesia mencapai puncaknya, yakni hanya mengenal satu kata INDONESIA.
Di saat rapat akbar itu pula diperdengarkan lagu Indonesia Raya karya Wage Rudolf Supratman untuk pertama kalinya. Lagu tersebut disambut dengan sangat meriah oleh peserta kongres. Sumpah Pemuda dan lagu Indonesia Raya semakin membakar semangat api persatuan dan perjuangan. Sejak itu pulalah muncul tokoh-tokoh pemuda antara lain, Mr. Moh. Yamin, Drs. Moh. Hatta, Sutan Syahrir, Ir Soekarno, Ali Sostroamidjojo, Mr. Sjarifuddin, Nasir Datuk Pamuntjak, Moh. Natsir, Mr. Moh. Room dll.
Sudah sekian tahun peristiwa bersejarah itu berlalu. Buah dari ikrar tersebut menghantarkan Indonesia pada kemerdekaannya. Sumpah Pemuda telah menjadi pilar pemersatu bangsa. Karena itu, kita wajib mengejewantahkan cita-cita para pencetus sumpah itu. Namun, realitas perjalanan bangsa yang melanda negeri kita dalam beberapa tahun terakhir ini rasanya berjalan terbalik. Jika dulu orang rela dan berani berkorban demi bangsa dan tanah air, kini justru makin banyak yang justru mengorbankan bangsa dan tanah air.
Pada titik ini, semangat patriotik bergeser menjadi depatriotik. Makna sumpah itu bagai terganjal batu besar sehingga sumpah tersebut seakan terhenti mengarusi jiwa dan semangat bangsa ini. Akibatnya, Indonesia sebagai sebuah bangsa dan tanah air kini bukannya makin berjaya, tetapi justru terkoyak. Gejala depatriotik dan denasionalis ini memang seharusnya lebih dini diantisipasi agar bangsa dan tanah air kita tak makin terkontaminasi dan terpuruk.
Lihatlah praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN) yang telah membawa bangsa pada keterperosokan ekonomi, politik, dan sosial. Korupsi seolah menjadi konsensus terselubung yang terjadi pada pemerintahan di hampir semua lebel, dari yang terendah hingga tertinggi. Para koruptor, yang kebanyakan adalah pejabat negara, lupa bahwa negara ini dibangun oleh kerja keras dan pengorbanan para pejuang. Mereka juga lupa bahwa setelah mereka akan ada anak cucu yang akan menjadi generasi penerus mereka.
Pemuda dan Cita-cita Bangsa
Sejarah telah menunjukkan kepada kita bahwa pemuda memainkan perenan penting dalam pembangunan bangsa. Pelopor kongres yang melahirkan Sumpah Pemuda adalah pemuda, yang mendorong Soekarno agar segera memroklamsikan kemerdekaan Indonesia juga pemuda, bahkan yang mendalagi gerakan reformasi juga pemuda. Betapa strategis peranan pemuda dalam pembangunan bangsa ini. Tak heran bila pemuda selalu disebut sebagai agent.
Bila demikian, pemuda adalah generasi yang menentukan ke arah mana bangsa ini akan dibawa. Sehingga, sangat tepat dikatakan bahwasanya dunia pemuda selalu dipenuhi dengan mitos-mitos panjang yang pada akhirnya akan menjebak pemikiran idealis pemuda pada fase-fase stagnan dan bahkan tak jarang terjerumus dalam pemikiran-pemikiran pragmatisme oportunis. Hanya pemuda yang berjiwa papilon yang mampu bebas dari pragmatisme maupun materialisme.
Untuk itu, pemuda membutuhkan integritas, intelegensia, dan moralisme yang mumpuni agar cita-cita bangsa tercapai. Dalam pengamatan penulis, pemuda Indonesia saat ini rentan terhadap pengaruh buruk globalisasi, cendrung bersikap pragmatis dan oportunis, serta terlena dengan romantisme masa lalu, sehingga dikhawatirkan akan mengancam semangat persatuan dan kesatuan bangsa. Padahal, pemuda juga merupakan pewaris bangsa. Dan, mau tidak mau, pemuda harus mendefinisikan dirinya sebagai generasi pelanjut dan pengemban cita-cita bangsa.
Saat ini, generasi muda Indonesia, yang juga terdiri dari pelajar dan mahasiswa, berjumlah sekitar 78 juta jiwa dari seluruh jumlah penduduk Indonesia–lebih dari 210 juta jiwa. Jumlah tersebut terhitung tidak sedikit, terlebih jika dipandang sebagai usia produktif yang potensial berpengaruh secara positif dan juga bisa secara negatif dalam lingkup pergaulan masyarakat Indonesia untuk saat ini dan ke depan.
Secara kuantitatif maupun kualitatif, pemuda menjadi strategis dan urgen untuk dipersoalkan dalam kaitannya dengan sejumlah persoalan bangsa yang saat ini semakin kompleks mendera masyarakat Indonesia. Secara kualitatif, sesosok pemuda memiliki posisi strategis, karena merupakan kumpulan potensi yang sedang dalam proses mencari dan mengukir identitas diri.
Biasanya, sosok pemuda senantiasa dilekatkan dengan ciri karakter yang kritis, progresif, radikal, idealis, dan anti kemapanan untuk perubahan masa depan yang lebih baik. Hanya saja, tidak selamanya ciri ideal seperti tersebut akan senantiasa melekat pada sosok pemuda, kapan dan dimana saja mereka berada. Tidak jarang, pada situasi dan kurun waktu tertentu, kita melihat kehadiran pemuda hanya sebagai pelengkap obyek penderita dan tidak sanggup menjadi subyek pelaku utama dari sebuah situasi yang mengharapkannya.
Harus diakui, medan perjuangan yang serba kompleks dalam mengisi kemerdekaan ini, menjadikan peran pemuda perlu lebih diorientasikan secara egaliter untuk memperkuat nilai keadilan dari setiap kebijakan dan program pembangunan negara. Loyalitas dan dedikasi posisi pemuda harus tetap berdiri tegak di atas nilai kebenaran dan keadilan. Karena apa pun alasannya, fenomena kepemudaan kini—untuk menyebut pemuda yang telah memiliki sedikit pendirian—relatif “termaterialisasi” di berbagai arena penyelenggaraan negara sehingga dangkal dan mandul tak berdaya dalam arus politik pragmatis. Kekhawatiran ini menyeruak karena harapan puncak kita adalah bagaimana perjuangan pemuda dapat menggilas penyelenggaraan negara yang serba korup, misalnya, dari sekian banyak masalah kebangsaan lainya.
Nah, semoga momentum Hari Sumpah Pemuda tahun ini dapat dijadikan salah satu nafas dalam rangka merapatkan dan mengkonsolidasikan kembali barisan pemuda untuk berjuang mewujudkan cita-cita dari funding futher bangsa, tentunya dengan mengisi hari-hari muda dengan hal-hal positif dan progresif. Ini sesuai dengan tema pemerintah pada peringatan Sumpah Pemuda tahun ini, "Meningkatkan Solidaritas, Integritas, dan Profesionalitas Pemuda menuju Bangsa yang Sejahtera dan Bermartabat". Semoga!