Snorkeling di Pulau Petong, Mengapa Tidak? (1)

Pulau Petong ini berada di sisi selatan Batam. Lebih kurang perjalanan satu setengah jam dari titik keberangkatan kami di Kepri Mall hingga sampai di jembatan enam. Tentu saja, kita akan melewati jambatan satu Barelang yang telah menjadi ikon Batam.

Rasakan Sejuk Air Gunung Daik di Resun

Air terjun Resun, begitu nama yang dilebelkan untuk air terjun yang terletak di desa Resun itu. Airnya mengalir dari pengunungan di tanah Lingga. Air terjun Resun ialah satu di antara sekian banyak aliran air terjun dari gunung Daik.

Kampung Boyan di Dabo Singkep

Para perantau ini seringkali meninggalkan jejak berupa nama kampung, yakni Kampung Boyan. Nah, itulah yang menjadi pijakan, tradisi rantau warga Bawean memiliki jejak, baik berupa nama maupun tradisi. Di Dabo Singkep, terdapat juga sebuah kampung bernama Kampung Boyan.

Menikmati Keindahan Masjid Agung Natuna

Masjid ini memang megah. Bahkan termegah yang ada di Kepri. Sebab itu, masjid ini selalu terlihat sangat cantik dari berbagai sisinya. Anda bisa mencari berbagai foto menarik masjid ini di internet. Saya sungguh kagum.

Puasa dan Pembebasan Sosial

Puasa mempunyai konteks tanggungjawab pribadi dan juga tanggungjawab sosial. Karenanya, dalam berpuasa, disamping mewujudkan kesalehan vertikal kepada Allah, juga untuk mewujudkan kesalehan herisontal kepada sesama manusia dan mahluk Allah.

Jumat, 28 Oktober 2016

Menggali (lagi) Semangat Kaum Muda

Dipenghujung Oktober 1928 silam, sejumlah pemuda dari Jong Java, Jong Sumatera Bond, Jong Ambon, Jong Batak, Jong Celebes, Jong Islameiten Bond, dan lain sebagainya berkumpul memikirkan keberadaan dan nasib bangsanya. Pertemuan yang digagas oleh Perhimpunan Pelajar-pelajar Indonesia itu merupakan pertemuan kedua kalinya. Setelah mereka mengadakan pembahasan, mereka sampai pada satu kesimpulan, bahwa jika bangsa Indonesia ingin merdeka, bangsa Indonesia harus bersatu. Untuk itu mereka bersumpah yang terkenal dengan nama Sumpah Pemuda yang diikrarkan pada akhir kongres, yaitu pada tanggal 28 Oktober 1928. sumpah itu berbunyi:
Kami putra dan putri Indonesia, mengaku berbangsa yang satu, bangsa Indonesia. 
Kami putra dan putri Indonesia, mengaku bertanah air yang satu, tanah air Indonesia. 
Kami putra dan putri Indonesia, menjunjung bahasa persatuan, bahasa Indonesia.
Ilustrasi semangat kaum muda. Sumber athanjp.blogspot.co.id

Tanggal tersebut cukup bertuah dan bersejarah bagi bangsa Indonesia, hingga kemudian ditetapkan sebagai Hari Sumpah Pemuda. Sumpah Pemuda menjadi motivasi untuk merdeka dari belenggu penjajahan Belanda. Sumpah Pemuda adalah virus bagi persatuan dan vitamin bagi spirit patriotisme yang mampu menggugah rakyat di setiap penjuru negeri. Karena itu, Sumpah Pemuda menjadi salah satu di antara berbagai landasan pilosofi bagi kebangkitan nasional kita, dan merupakan nilai yang sangat fundamental bagi persatuaan bangsa dan negara kita. Seperti halnya Hari Pahlawan 10 November, Pancasila dan Bhinneka Tunggal Ika.  Dari sanalah nasionalisme Indonesia mencapai puncaknya, yakni hanya mengenal satu kata INDONESIA.
Di saat rapat akbar itu pula diperdengarkan lagu Indonesia Raya karya Wage Rudolf Supratman untuk pertama kalinya. Lagu tersebut disambut dengan sangat meriah oleh peserta kongres. Sumpah Pemuda dan lagu Indonesia Raya semakin membakar semangat api persatuan dan perjuangan. Sejak itu pulalah muncul tokoh-tokoh pemuda antara lain, Mr. Moh. Yamin, Drs. Moh. Hatta, Sutan Syahrir, Ir Soekarno, Ali Sostroamidjojo, Mr. Sjarifuddin, Nasir Datuk Pamuntjak, Moh. Natsir, Mr. Moh. Room dll.
Sudah sekian tahun peristiwa bersejarah itu berlalu. Buah dari ikrar tersebut menghantarkan Indonesia pada kemerdekaannya. Sumpah Pemuda telah menjadi pilar pemersatu bangsa. Karena itu, kita wajib mengejewantahkan cita-cita para pencetus sumpah itu. Namun, realitas perjalanan bangsa yang melanda negeri kita dalam beberapa tahun terakhir ini rasanya berjalan terbalik. Jika dulu orang rela dan berani berkorban demi bangsa dan tanah air, kini justru makin banyak yang justru mengorbankan bangsa dan tanah air.
Pada titik ini, semangat patriotik bergeser menjadi depatriotik. Makna sumpah itu bagai terganjal batu besar sehingga sumpah tersebut seakan terhenti mengarusi jiwa dan semangat bangsa ini. Akibatnya, Indonesia sebagai sebuah bangsa dan tanah air kini bukannya makin berjaya, tetapi justru terkoyak. Gejala depatriotik dan denasionalis ini memang seharusnya lebih dini diantisipasi agar bangsa dan tanah air kita tak makin terkontaminasi dan terpuruk.
Lihatlah praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN) yang telah membawa bangsa pada keterperosokan ekonomi, politik, dan sosial. Korupsi seolah menjadi konsensus terselubung yang terjadi pada pemerintahan di hampir semua lebel, dari yang terendah hingga tertinggi. Para koruptor, yang kebanyakan adalah pejabat negara, lupa bahwa negara ini dibangun oleh kerja keras dan pengorbanan para pejuang. Mereka juga lupa bahwa setelah mereka akan ada anak cucu yang akan menjadi generasi penerus mereka.
Pemuda dan Cita-cita Bangsa
Sejarah telah menunjukkan kepada kita bahwa pemuda memainkan perenan penting dalam pembangunan bangsa. Pelopor kongres yang melahirkan Sumpah Pemuda adalah pemuda, yang mendorong Soekarno agar segera memroklamsikan kemerdekaan Indonesia juga pemuda, bahkan yang mendalagi gerakan reformasi juga pemuda. Betapa strategis peranan pemuda dalam pembangunan bangsa ini. Tak heran bila pemuda selalu disebut sebagai agent.
Bila demikian, pemuda adalah generasi yang menentukan ke arah mana bangsa ini akan dibawa. Sehingga, sangat tepat dikatakan bahwasanya dunia pemuda selalu dipenuhi dengan mitos-mitos panjang yang pada akhirnya akan menjebak pemikiran idealis pemuda pada fase-fase stagnan dan bahkan tak jarang terjerumus dalam pemikiran-pemikiran pragmatisme oportunis. Hanya pemuda yang berjiwa papilon yang mampu bebas dari pragmatisme maupun materialisme.
Untuk itu, pemuda membutuhkan integritas, intelegensia, dan moralisme yang mumpuni agar cita-cita bangsa tercapai. Dalam pengamatan penulis, pemuda Indonesia saat ini rentan terhadap pengaruh buruk globalisasi, cendrung bersikap pragmatis dan oportunis, serta terlena dengan romantisme masa lalu, sehingga dikhawatirkan akan mengancam semangat persatuan dan kesatuan bangsa. Padahal, pemuda juga merupakan pewaris bangsa. Dan, mau tidak mau, pemuda harus mendefinisikan dirinya sebagai generasi pelanjut dan pengemban cita-cita bangsa.
Saat ini, generasi muda Indonesia, yang juga terdiri dari pelajar dan mahasiswa, berjumlah sekitar 78 juta jiwa dari seluruh jumlah penduduk Indonesia–lebih dari 210 juta jiwa. Jumlah tersebut terhitung tidak sedikit, terlebih jika dipandang sebagai usia produktif yang potensial berpengaruh secara positif dan juga bisa secara negatif dalam lingkup pergaulan masyarakat Indonesia untuk saat ini dan ke depan.
Secara kuantitatif maupun kualitatif, pemuda menjadi strategis dan urgen untuk dipersoalkan dalam kaitannya dengan sejumlah persoalan bangsa yang saat ini semakin kompleks mendera masyarakat Indonesia. Secara kualitatif, sesosok pemuda memiliki posisi strategis, karena merupakan kumpulan potensi yang sedang dalam proses mencari dan mengukir identitas diri.
Biasanya, sosok pemuda senantiasa dilekatkan dengan ciri karakter yang kritis, progresif, radikal, idealis, dan anti kemapanan untuk perubahan masa depan yang lebih baik. Hanya saja, tidak selamanya ciri ideal seperti tersebut akan senantiasa melekat pada sosok pemuda, kapan dan dimana saja mereka berada. Tidak jarang, pada situasi dan kurun waktu tertentu, kita melihat kehadiran pemuda hanya sebagai pelengkap obyek penderita dan tidak sanggup menjadi subyek pelaku utama dari sebuah situasi yang mengharapkannya.
Harus diakui, medan perjuangan yang serba kompleks dalam mengisi kemerdekaan ini, menjadikan peran pemuda perlu lebih diorientasikan secara egaliter untuk memperkuat nilai keadilan dari setiap kebijakan dan program pembangunan negara. Loyalitas dan dedikasi posisi pemuda harus tetap berdiri tegak di atas nilai kebenaran dan keadilan. Karena apa pun alasannya, fenomena kepemudaan kini—untuk menyebut pemuda yang telah memiliki sedikit pendirian—relatif “termaterialisasi” di berbagai arena penyelenggaraan negara sehingga dangkal dan mandul tak berdaya dalam arus politik pragmatis. Kekhawatiran ini menyeruak karena harapan puncak kita adalah bagaimana perjuangan pemuda dapat menggilas penyelenggaraan negara yang serba korup, misalnya, dari sekian banyak masalah kebangsaan lainya.
Nah, semoga momentum Hari Sumpah Pemuda tahun ini dapat dijadikan salah satu nafas dalam rangka merapatkan dan mengkonsolidasikan kembali barisan pemuda untuk berjuang mewujudkan cita-cita dari funding futher bangsa, tentunya dengan mengisi hari-hari muda dengan hal-hal positif dan progresif. Ini sesuai dengan tema pemerintah pada peringatan Sumpah Pemuda tahun ini, "Meningkatkan Solidaritas, Integritas, dan Profesionalitas Pemuda menuju Bangsa yang Sejahtera dan Bermartabat". Semoga!