Snorkeling di Pulau Petong, Mengapa Tidak? (1)

Pulau Petong ini berada di sisi selatan Batam. Lebih kurang perjalanan satu setengah jam dari titik keberangkatan kami di Kepri Mall hingga sampai di jembatan enam. Tentu saja, kita akan melewati jambatan satu Barelang yang telah menjadi ikon Batam.

Rasakan Sejuk Air Gunung Daik di Resun

Air terjun Resun, begitu nama yang dilebelkan untuk air terjun yang terletak di desa Resun itu. Airnya mengalir dari pengunungan di tanah Lingga. Air terjun Resun ialah satu di antara sekian banyak aliran air terjun dari gunung Daik.

Kampung Boyan di Dabo Singkep

Para perantau ini seringkali meninggalkan jejak berupa nama kampung, yakni Kampung Boyan. Nah, itulah yang menjadi pijakan, tradisi rantau warga Bawean memiliki jejak, baik berupa nama maupun tradisi. Di Dabo Singkep, terdapat juga sebuah kampung bernama Kampung Boyan.

Menikmati Keindahan Masjid Agung Natuna

Masjid ini memang megah. Bahkan termegah yang ada di Kepri. Sebab itu, masjid ini selalu terlihat sangat cantik dari berbagai sisinya. Anda bisa mencari berbagai foto menarik masjid ini di internet. Saya sungguh kagum.

Puasa dan Pembebasan Sosial

Puasa mempunyai konteks tanggungjawab pribadi dan juga tanggungjawab sosial. Karenanya, dalam berpuasa, disamping mewujudkan kesalehan vertikal kepada Allah, juga untuk mewujudkan kesalehan herisontal kepada sesama manusia dan mahluk Allah.

Jumat, 22 Mei 2020

Berkenalan dengan Mazhab Frankfurt dan Teori Kritisnya


Judul : Sejarah Mazhab Frankrfurt: Imajenasi Dialektis dalam perkembangan Teori Kritis
Penulis : Martin Jay
Penerbit : Kreasi Wacana, Yogyakarta
Cetakan : Agustus, 2005
Tebal : xlix + 544 Halaman (Termasuk Indeks)

Kekuatan Nazisme di Jerman, dan kemudian timbulnya perang ideologi antara Barat dan Timur (Kapitalisme dan Sosialisme), berdampak buruk bagi kalangan cendikiawan yang konsen dalam kajian sosial khususnya. Cendikiawan, dengan pemikiran kirinya harus menerima keterasingan, bahkan diasingkan jauh dari negaranya.
Kenyataan pahit ini diterima oleh cendikiawan pada kelompok kajian yang tergabung dalam Institut Fįr Sozialforschung (Institut Penelitian Sosial), di Frankfurt. Namun ditengah pengasingan, para cendikiawan Institut itu tetap melakukan proses penelitiannya hingga mereka bersatu kembali pada 1950, setelah beberapa tahun pindah ke Amerika.
Mereka gelisah, mereka cemas dan oleh karena itu merasa harus bertindak dengan cara mereka sendiri demi mempertanggungjawabkan karunia kecerdasan dan hati nurani yang mereka miliki. Hingga akhirnya karya-karya mereka, baik yang berbentuk buku maupun makalah, menjadi kajian penting bagi cendikia diluar mereka.

Latar belakanh inilah yang menyatukan mereka ke dalam sebuah visi dan misi sekaligus aksi yang kemudian mengkristal menjadi sebuah mazhab, yakni Mazhab Frankfurt. Satu alasan utama bagi relevansi Mazhab Frankfurt adalah sangat kaya dan bervariasinya karya yang dibuat bedasarkan pengaruh tokohnya, semisal Max Horkheimer, Eric Fromm, Theodor W Adorno dan lainnya yang sangat terkenal akan kebrilianan pemikirannya.
Termasuk generasi penerus pemikiran mereka, semisal Jurgen Habermas, Alfred Schmitt, dan Albrecht Wellmer. Bahkan, seperti dikutip penulis, Foucaolt sendiri pernah mengatakan; "Jika saja aku mengenal Mazhab Frankfurt sewaktu muda, besar kemungkinan aku tidak akan tergoda untuk melakukan apapun dalam hidupku kecuali mengomentari mereka. Namun, pengaruh mereka terhadapku tetap retrospektif, pengaruh mereka padaku kurasakan ketika aku tidak lagi di usia "penemuan-penemuan" intlektual." (hlm.xxv)
Sejarah Mazhab Frankfurt yang ditulis oleh Martin Jay ini mencoba memotret dinamika yang terjadi dalam Mazhab Frankfurt, proses yang harus dilewatinya dalam melahirkan karya-karya brilian yang hingga saat ini masih diperhitungkan dikencah kajian ilmu-ilmu sosial, sampai perbentukan pemikiran dan kepentingan dengan pihak kawan maupun lawan.
Ketika Mazhab Frankfurt hadir, kapitalisme Barat dengan Jerman sebagai salah satu wakil yang terkemuka telah memasuki tahap yang secara kualitatif baru, sedangkan keberhasilan sosialisme Uni Soviet terkesan ambigu. Disinilah, menurut Martin Jay, Teori Kritis semakin dipaksa menempati posisi transendan seiring dengan semakin pudarnya kelas pekerja revolusioner.


Teori Kritis, sebagaimana namanya, diekspresikan melalui serangkaian kritik terhadap pemikiran dan tradisi-tradisi filasafat lain. Perkembangannya kemudian berlangsung melalui dialog. Kelahirannya berkarakter dialektis sebagaimana metode yang ingin diterapkan kepada fenomena sosial. Maka tak heran bila inti dari Teori Kritis, menurut Martin Jay adalah kebencian terhadap sistem filosofis yang tertutup.(hlm.57)
Teori Kritis tidak melihat dirinya hanya sebagai ekspresi kesadaran sebagai satu kelas, melainkan menyatukan dirinya dengan kekuatan 'progresif' yang berkeinginan untuk 'menyatakan kebenaran'. Ketika lahirnya Teori kritis, filsafat dialektika yang diterapkan Hegelian dan Marxisme tak lain hanyalah merupakan imajinasi dealiktis belaka. Oleh sebab itu, Teori Kritis menolak memberhalakan pengetahuan sebagai sesuatu yang terpisah dan lebih penting dari pada tindakan.
Selain melahirkan Teori Kritis, sesungguhnya masih banyak hal lain yang diupayakan Mazhab Frankfurt. Diantaranya adalah pengawinan Marxisme dengan psikoanalisis, studi tentang otoritarianisme dan kritik budaya massa, yang kajiannya dilakukan dalam rentang waktu 1925 sampai 1950, sebagaimana terekan dalam buku ini.
Dengan membaca Sejarah Mazhab Frankfurt, bisa jadi buah yang akan diperoleh adalah tentang betapa berharganya integritas dan loyalitas pada kebenaran bagi seorang cendikiawan. Tak kurang dari itu, akan disadari pula betapa pentingnya tradisi pemikiran yang telah menggembeleng seseorang hingga menjadi cendikia.


Naskah ini ditulis Desember 2005

Minggu, 03 Mei 2020

Menggugah (lagi) Kepekaan Kita Terhadap Visi Sosial Islam

(sumber: sutterstock by kompas.com)

Islam mengajarkan kesalehan bagi setiap individunya namun tidak abai dengan lingkungan sosial sekitarnya. Maka, ketika beragama hanya mementingkan diri sendiri, ia belum mengamalkan ajaran agama sepenuhnya.

Ada banyak dalil dalam Alquran dan Hadis yang menyebutkan perihal pentingnya kepedulian sosial sebagai bagian dari kewajiban individual. Misalnya saja surat Al-Ma’un (QS. 107) yang artinya: (1) Tahukah kamu (orang) yang mendustakan agama? (2) maka itulah orang yang menghardik anak yatim (3) dan tidak mendorong memberi makan orang miskin (4) Maka celakalah orang yang salat, (5) [yaitu] orang-orang yang lalai terhadap salatnya, (6) yang berbuat riya  (7) dan enggan [memberikan] bantuan.

Beberapa waktu belakangan banyak sekali postingan tentang masyarakat fakir dan miskin. Tentu hal ini sangat disayangkan di tengah masyarakat muslim sebagai mayoritas di negeri ini. Muslim yang sejatinya muslim tentu dapat menjalankan visi Islam secara baik, antara kesalehan individual dan juga sosialnya. Adanya tetangga yang kelaparan, itu sebagai petanda kepedulian sosial masih lemah.

Baca juga: Runtuhnya Negara Madinah: Islam Kemasyarakatan versus Islam Kenegaraan

Ayat di atas telah mengategorikan orang-orang yang enggan membantu kaum miskin termasuk orang yang mendustakan agama. Ini patut kita camkan dengan baik agar bantuan terhadap orang miskin itu tidak hanya kita lakukan di bulan Ramadan saja. Membantu kaum duafa itu semestinya tidak kenal waktu dan juga tidak mengenal identitas kesukuan, ras dan agama. Pengentasan kemiskinan itu adalah visi humanisme universal.

Pembebasan umat dari keterbelengguaan, kemiskinan, penindasan dan segala macam bentuk ketidakberdayaan masyarakat, terutama mustadl’afin (kaum tertindas), merupakan kesalehan sosial. Menurut Abdul Munir Mulkhan, iman dan kesalehan seseorang tidak hanya dilihat dari pemenuhan rukun iman dan rukun Islam, melainkan juga pemihakan pada kepentingan kaum mustadl’afin.

“Kefakiran mendekatkan pada kekafiran.” Demikian hadis Nabi mengingatkan kita. Seorang yang perutnya belum terisi tidak bisa berpikir jernih. Ia gelisah karena fisiknya tidak mampu diandalkan. Antara otak dan ototnya tidak bisa sinkron bekerja. Konsentrasinya mudah terganggu. Beda halnya dengan orang yang memilih berpuasa untuk mendekatkan diri kepada Allah. 

Di masa kebijakan untuk tetap di rumah saja selama pandemi Covid-19 ini, banyak masyarakat mengalami pendapatan rendah dan bahkan tidak lagi memiliki pendapatan karena kebijakan untuk mengurangi hubungan sosial antar masyarakat. Pemerintah memang telah memprediksi terjadi peningkatan jumlah kaum duafa. Pemerintah dan masyarakat juga telah menyalurkan bantuannya bagi masyarakat kurang mampu. Inilah ujian bagi kita untuk peduli kepada meraka.

Baca juga: Benarkah Agama itu Sebagai Candu?

Jika zakat dan sedekah adalah kewajiban bagi yang mampu, maka sudah saatnya kita menunaikan zakat itu. Di tengah kondisi seperti ini, lebih baik lagi apabila memperbanyak sedekah, bukan mengharapkan sedekah dari orang lain. Ya, yang juga perlu diperhatikan, janganlah pula kita menjadi umat yang mudah berputus asa dengan mengaku miskin dan berharap pemberian dari orang lain. Dalam hal ini, Nabi juga menyindir kita, bahwa tangah di atas lebih baik daripada tangan di bawah. Jika kita punya standar hidup, maka tengoklah sejenak kehidupan kaum mustad’afin itu.

Momentum puasa Ramadan di tengah wabah ini setidaknya telah memberikan pelajaran berharga bagi kita untuk memperhatikan lingkungan sosial. Memperhatikan tentangga yang kurang mampu, baik tentangga dalam kompleks, antar kompleks, antara kampung, antara desa dan antara kota/kabupaten.

Menurut Hassan Hanafi, pemikir Islam lainnya, tantangan terbesar bagi umat Islam adalah kemiskinan, keterbalakangan, dan ketertindasan dan agenda yang harus direalisasikan secepatnya adalah "jihad sosial". Maka, sudah tugas muslim menjalankan visi sosial agama ini untuk mengentaskan kemiskinan dan pembebasan kaum mustad’afin sebagaimana tersurat dalam surah Al-Ma’un. Wallahu ‘alam.[]