Sabtu, 02 Februari 2013

Daun Racun yang Menjadi Obat



Tulisan arab di lembaran daun itu tampak sedikit mencolok di antara barang-barang lain di museum Linggam Cahaya. Kalimat yang tertulis pada bagian pertama ialah bissmillahirrahmaanirrahiim. Menurut petugas penjaga museum, itu adalah daun dari pohon Embacang atau juga dikenal juga Bacang.

Tradisi mandi Safar menjadi bagian dari ritual tradisi melayu yang telah dipopulerkan oleh sultan Lingga Riau terakhir, Abdurrahman Muazzamsyah, saat hendak berangkat meninggalkan Daik menuju Singapura. Sultan yang kala itu hendak dimakzulkan oleh Belanda menyempatkan dulu untuk mengajak warganya melakukan mendi Safar di istana Kolam.

Sejak saat itu, tradisi mandi Safar kembali menggeliat dikalangan warga melayu di Daik. Dalam kegitan itu, air yang hendak digunakan untuk mandi penyiram pada pertama kali membasahi tubuh adalah air yang telah dimantra-mantrai oleh tokoh adat setempat. Mantra yang digunakan adalah sebuah isim yang ditulisakan pada benda lalu dicelupkan ke dalam tempayan ataupun gentong.

Menurut pemerhati budaya Lingga, Lazuardi, dulunya tidak hanya dedaunan yang digunakan. Adakalanya pelepah pohon. Zaman itu, terangnya, kerta merupakan barang mewah dan sulit untuk didapatkan. Kertas yang ada sering digunakan untuk kebutuhan administrasi kerajaan.

“Barulah setela itu daun yang digunakan. Menurut cerita-cerita, daun Embacang ini dipilih karena pohon ini memiliki racun. Siapa yang terkena tetesan getahnya akan terkena penyakit gatal-gatal dan kudis. Ada juga penyakit lain yang ditimbulkan dari daun ini. Makanya, kemudian daunnya dipilih,” paparnya.

Pemilihan daun tersebut, tambah dia, agar segala racun yang terdapat didalamnya tidak membawa petaka dan marabahaya bagi warga. Dengan dibacakan doa serta penulisan isim pada daun itu, diharapkan tidak lagi mencelakai warga. Akan tetapi, tidak ada patokan khusus dalam penggunana media daun tersebut.

Penulisan isim atau kalimat pada daun itu tidak sembarang. Hanya orang-orang tertentu yang bisa boleh menuliskannya, yakni ulama ataupun tokoh agama. Waktu penulisan juga sangat terpilih, yakni pada Jumat atau malam-malam lain yang dianggap paling bagus. Selama proses penulisan, sang penulis juga tidak diperkenankan berbica hingga penulisan selesai.

“Itu adalah aturan-aturannya. Sebab maksuda dan tujuan dari tulisan itu adalah doa atau permohonan. Tulisannya, bismillahirrahmaanirrahiim salaamun kaulam mir rabbir rahim dan seterusnya. Tentang hal ini ada diterangkan dalam kitab Tajul Mulk,” imbuhnya lagi.

Menurut Fadli, petugas museum Linggam Cahaya, dalam Kitab Tajul Mulk itu disebutkan bahwa tradisi itu untuk menolak balak anak cucu nabi Adam dari godaan Dajjal (sosok pembawa bencana dalam kepercayaan umat Islam, red). Dalam kitab tersebut juga diceritakan tentang awal mula tradisi tersebut. “Untuk pelaksanaannya, yakni pada hari Rabu terakhir di bulan Safar. Seperti disebutkan dalam kitab ini,” ujarnya saat membacakan keterangan dalam kitab itu kepada Tribun beberapa waktu lalu.


Masyarakat melayu meyakini kegiatan mandi Safar adalah bagian dari adat istiadat untuk tolak balak atau dijauhkan dari musibah dunia. Tradisi ini tidak hanya dilakukan oleh masyarakat Melayu di Lingga, melainkan juga di Malaka, Serawak, dan lainnya. 

0 komentar:

http://www.resepkuekeringku.com/2014/11/resep-donat-empuk-ala-dunkin-donut.html http://www.resepkuekeringku.com/2015/03/resep-kue-cubit-coklat-enak-dan-sederhana.html http://www.resepkuekeringku.com/2014/10/resep-donat-kentang-empuk-lembut-dan-enak.html http://www.resepkuekeringku.com/2014/07/resep-es-krim-goreng-coklat-kriuk-mudah-dan-sederhana-dengan-saus-strawberry.html http://www.resepkuekeringku.com/2014/06/resep-kue-es-krim-goreng-enak-dan-mudah.html http://www.resepkuekeringku.com/2014/09/resep-bolu-karamel-panggang-sarang-semut-lembut.html

Posting Komentar