Sabtu, 31 Desember 2016
Menikmati Kemegahan Masjid Agung Natuna
Kalaulah ke Natuna, jangan lupa menyempatkan diri melihat
keindahan arsitektur Masjid Agung Natuna. Masjid ini memang megah. Bahkan
termegah yang ada di Kepri. Sebab itu, masjid ini selalu terlihat sangat cantik dari berbagai sisinya. Anda bisa mencari berbagai foto menarik masjid
ini di internet. Saya sungguh kagum.
Dari jalan raya, masjid ini terlihat indah dengan latar
belakang gunung Ranai yang selalu mengeluarkan kabut tipi di puncaknya. Kolam
memanjang yang di apit jalan utama akses dari dan ke masjid ini selalu
diumpakan oleh para traveler sebagai di Taj Mahal di India. Wajar bila beberapa
majalah travel dan pariwisata menyebutnya sebagai Taj Mahal-nya Indonesia.
Masjid ini memang cukup megah dengan struktur kubah
bersusun. Ini merupakan model arsitekru modern yang banyak digunakan masjid-masjid
di Indonesia saat ini. Halamannya terhampar luas dengan gerbang indah di bagian
depan. Para fotografer selalu saja menemukan spot terbaru untuk foto terbaik
ketika mencoba membidik gambar di sekitarnya.
Nikmati juga ornamen interior masjid yang begitu indah di
dalamnya. Di masjid ini juga terdapat beduk terpanjang atau pun mungkin salah
satu yang juga terbesar di Indonesia. (Maaf, bila salah membendingkan dengan
beberapa bedug yang ada di kota-kota lain). Bedug ini berada di sisi timur masjid,
di bagian serambi.
Tetapi, bila dilihat dari bentuknya, panjangnya sekitar dua
depa orang dewasa. Sedangkan kayu yang digunakan, merupakan satu batang kayu utuh
yang diambil dari hutan gunung Ranai. Lobang di bagian tengahnya dipahat oleh
tenaga ahli sehingga berbentuk lobang.
Khusus untuk yang muslim, jika mengunjung masjid ini, ada
baiknya untuk menunaikan salat, baik untuk salat fardu maupun sunnah. Mungkin
Anda bisa merasakan kenikmatan salat di masjid megah ini. Siapa tahu justru di
masjid megah ini ada banyak hidayah yang bisa didapatkan. Berwisata dengan
beribadah. Itulah konsep wisata religi.
Kamis, 29 Desember 2016
Setelah Empat Tahun, Bersua Kembali dengan Natuna
Perjalan ke Natuna kali ini mengusung misi sosial, yakni memenuhi undangan dari Smile Train bersama dengan Korem 033 Wira Pratama yang sedang mengadakan bakti sosial operasi sumbing bibir dan langit-langit gratis dalam rangka memperingati Hari Juang Kartika 2016.
Inilah perjalan kedua ke pulau terluar yang berada di wilayah Kepri. Beberapa tahun belakang ini, nama Natuna sedang menjadi pembicaraan di tingkat internasional Karena persetegangan perebutan wilayah teritorial di laur yang menjadi jalur sibuk perdagangan dunia. Semua negara berkepentingan untuk mendapatkan kekuasaan di Laut China Selatan, termasuk di Indonesia.
Di tengah hiruk-pikuk politik itu, pemerintah Indonesia justru telah memperkuat posisi Natuna dengan berabagai pembangunan infrastruktur. Termasuk lapangan terbang Ranai yang saat ini sedang dalam pelebaran dan perluasan. Saya tidak hendak berkisah tentang politik internasional di Laut China Selatan. Saya hanya mau membandingkan Natuna dari kunjungan pertama pada 2012 silam dan kunjungan kedua pada 2016 ini.
Gunung Ranai masih memperlihatkan kecantikan dengan kabut tipis di puncaknya. Gunung itu masih terlihat indah dari berbagai sisi, baik dari Landasan Udara Ranai maupun dari masjid agung Natuna. Itulah gunung dulunya menjadi salah satu penanda navigasi dalam pelayanan kuno.
Begitu beranjak keluar dari bandara, secara keseluruhan memang tidak ada perubahan. Pemandangan masih tampak seperti beberap atahun lalu. Bedanya, beberapa rumah tepian jalan terlihat lebih kokoh di banding sebelumnya.
Oh, inilah Natuna sekarang. Kabar baiknya, jaringan telekomunikasi sudah lebih baik di banding dulu. Di sekitaran bandara, pengguna Telkomsel masih bisa merasakan sinyal 4G hingga kepusat keraiaman kota yang berjalan sekitar dua kilometer saja. Sedangkan provider yang lain sudah 3G. Lumyan untuk layanan data. Kita masih bisa menyapa dunia luar dengan koneksi internet. Mungkin masyarakat Natuna juga merasa tidak jauh dengan pulau-pulau pusat geliat aktivitas manusia karena teknologi telekomunikasi dan informatika ini.
Namun perjalanan ke Natuna ini adalah perjalanan yang sangat mahal. Bayangkan saja, setiap hari hanya satu pesawat dari maskapai WING Air yang bergantian dengan Sriwijaya untuk melayani transportasi Natuna-Batam. Tiketnya, sudah tentu tidak murah. Saya mendapatkan tiket dengan harga Rp 3 juta lebih dikit untuk pergi dan pulang. Lama perjalanan sekitar dua jam lah.
Nah kalau transportasi laut, alamak… bisa berhari-hari untuk sampai ke sana. Paling cepat sehari semalam menggunakan kapal pelni yang bersandar di Bintan. Transportasi ini adalah masalah yang paling pelik untuk Natuna dan diduga menjadi biang kerok atas lambannya pembangunan dan pertumbuhan perekonomian. Menurut saya, apa yang terjadi di Natuna itu sama saja dengan pulau-pualau lain yang ada di Indonesia. Nasibnya terbengkalai karena kesulitan akses transportasi.
Karena saya berangkat bersama dengan rombongan dokter yang hendak melakukan kegiatan pengabdian bagi mayarakat di Natuna, maka jadwal aktivitas pun disesuaikan dengan jadwal mereka. Pak dr. Senja, SpBP adalah ketua rombongan. Dari penilaian subyektif saya, ia adalah dokter yang energik. Mengapa tidak, setelah memantau pasien yang akan menjalani operasi sumbing bibir di RSUD Natuna, ia juga justru mengambil inisiatif untuk menikmati keindangan Natuna. Ini dia kisah serunya. Tunggu di tulisan selanjutnya ya…
Inilah perjalan kedua ke pulau terluar yang berada di wilayah Kepri. Beberapa tahun belakang ini, nama Natuna sedang menjadi pembicaraan di tingkat internasional Karena persetegangan perebutan wilayah teritorial di laur yang menjadi jalur sibuk perdagangan dunia. Semua negara berkepentingan untuk mendapatkan kekuasaan di Laut China Selatan, termasuk di Indonesia.
Di tengah hiruk-pikuk politik itu, pemerintah Indonesia justru telah memperkuat posisi Natuna dengan berabagai pembangunan infrastruktur. Termasuk lapangan terbang Ranai yang saat ini sedang dalam pelebaran dan perluasan. Saya tidak hendak berkisah tentang politik internasional di Laut China Selatan. Saya hanya mau membandingkan Natuna dari kunjungan pertama pada 2012 silam dan kunjungan kedua pada 2016 ini.
Gunung Ranai masih memperlihatkan kecantikan dengan kabut tipis di puncaknya. Gunung itu masih terlihat indah dari berbagai sisi, baik dari Landasan Udara Ranai maupun dari masjid agung Natuna. Itulah gunung dulunya menjadi salah satu penanda navigasi dalam pelayanan kuno.
Begitu beranjak keluar dari bandara, secara keseluruhan memang tidak ada perubahan. Pemandangan masih tampak seperti beberap atahun lalu. Bedanya, beberapa rumah tepian jalan terlihat lebih kokoh di banding sebelumnya.
Oh, inilah Natuna sekarang. Kabar baiknya, jaringan telekomunikasi sudah lebih baik di banding dulu. Di sekitaran bandara, pengguna Telkomsel masih bisa merasakan sinyal 4G hingga kepusat keraiaman kota yang berjalan sekitar dua kilometer saja. Sedangkan provider yang lain sudah 3G. Lumyan untuk layanan data. Kita masih bisa menyapa dunia luar dengan koneksi internet. Mungkin masyarakat Natuna juga merasa tidak jauh dengan pulau-pulau pusat geliat aktivitas manusia karena teknologi telekomunikasi dan informatika ini.
Namun perjalanan ke Natuna ini adalah perjalanan yang sangat mahal. Bayangkan saja, setiap hari hanya satu pesawat dari maskapai WING Air yang bergantian dengan Sriwijaya untuk melayani transportasi Natuna-Batam. Tiketnya, sudah tentu tidak murah. Saya mendapatkan tiket dengan harga Rp 3 juta lebih dikit untuk pergi dan pulang. Lama perjalanan sekitar dua jam lah.
Nah kalau transportasi laut, alamak… bisa berhari-hari untuk sampai ke sana. Paling cepat sehari semalam menggunakan kapal pelni yang bersandar di Bintan. Transportasi ini adalah masalah yang paling pelik untuk Natuna dan diduga menjadi biang kerok atas lambannya pembangunan dan pertumbuhan perekonomian. Menurut saya, apa yang terjadi di Natuna itu sama saja dengan pulau-pualau lain yang ada di Indonesia. Nasibnya terbengkalai karena kesulitan akses transportasi.
Karena saya berangkat bersama dengan rombongan dokter yang hendak melakukan kegiatan pengabdian bagi mayarakat di Natuna, maka jadwal aktivitas pun disesuaikan dengan jadwal mereka. Pak dr. Senja, SpBP adalah ketua rombongan. Dari penilaian subyektif saya, ia adalah dokter yang energik. Mengapa tidak, setelah memantau pasien yang akan menjalani operasi sumbing bibir di RSUD Natuna, ia juga justru mengambil inisiatif untuk menikmati keindangan Natuna. Ini dia kisah serunya. Tunggu di tulisan selanjutnya ya…