Selasa, 30 Mei 2017
Puasa dan Pembebasan Sosial
Puasa dan Pembebasan Sosial
Oleh Abd. Rahman Mawazi*
"Hai orang-orang yang beriman,
diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana telah diwajibkan kepada orang-orang
sebelum kamu agar kamu sekalian bertaqwa" (QS. 2:183)
Momentum Ramadan selalu menarik perhatian bagi umat Islam.
Bukan saja karena bulan itu diagungkan dengan kewajiban melaksankan puasa
sebulan penuh dan segala keistimewaan dan kelebihannya, tetapi juga himbauan
pemenuhan kebutuhan spiritual akan keimanan dan ketakwaan. Banyak seruan yang
mengarah pada peningkatan ketakwaan, baik seruan melaksanakan ibadah syar’iyah maupaun ibadah sosial,
yang intinya agar menahan (al-imsak) diri dari perbuatan yang tidak
sesuai dengan norma agama dan melakukan suatu kebajikan yang menambah nilai
plus dari ibadah puasa itu sendiri.
Sebagai fondasi (rukun)
Islam, puasa merupakan kewajiban mutlak (fardu ‘ain) bagi umat Islam.
Didalammnya, disamping unsur filosofis yang terkandung, yakni peningkatan
ketakwaan (hablun min Allah), ada banyak muatan dan kadungan yang
berhubungan dengan kehidupan di dunia, khususnya sesama manusia (Hablun min
an-nas), yang dapat direnungkan bagi seorang hamba dengan melaksanakan
ibadah puasa penuh ketakwaan. Puasa mempunyai konteks tanggungjawab pribadi dan
juga tanggungjawab sosial. Karenanya, dalam berpuasa, disamping mewujudkan
kesalehan vertikal kepada Allah, juga untuk mewujudkan kesalehan herisontal
kepada sesama manusia dan mahluk Allah.
Ketakwaan itu akan
tampak bila diimplementasi dalam berkehidupan sosial. Seperti dikatan Ashgar
Ali Angineer, cendikiawan dari India, kesalehan yang disebutkan dalam al-Qur’an
bukan hanya kesalehan ritual, namun juga kesalehan sosial. Bukankah
permasalahan sosial dewasa ini cukup kompleks? Dan persoalan serius yang harus
segera dijawab umat Islam saat ini adalah menunjukkan seberapa relevan konsep
Islam sebagai agama ‘rahmat’ bisa dijadikan alat sekaligus solusi atas berbagai
persoalan sisio-ekonomi kontemporer; kemiskinan, keterbelakangan, penindasan,
dan ketidakberdayaan menghadapi perubahan-perubahan global—misalnya, ekonomi
dan politik.
Persoalan kemiskinan
misalnya, dimana jumlah masyarakat miskin di negeri ini semakin bertambah dalam
tiap tahunnya dan ketika mereka tidak lagi berdaya menghadapi persaingan hidup
mendapatkan ‘kelayakan’, memerlukuan solusi konkrit yang mampu mengentaskan
problema itu. Telah sering diperlihatkan dalam berita-berita kriminal bawah
kebanyakan masyarakat kelas bawah melakukan keriminalitas dengan alasan untuk
sesuap nasi, dan atau mempertaruhkan nasib dengan bermain judi—termasuk dalam
kategori ini adalah lotere—dan bahkan melakukan hal-hal yang irasional seperti
tahayul penggandaan uang (yang ujung-ujungnya tak lain hanyalah praktik
penipuan).
Fenomena kemiskinan,
bukan saja merupakan problem sosial tapi juga problem agama. Karena, kefakiran
bisa menyebabkan kekufuran (al-Hadist). Oleh karena itu, sebagai sesama manusia
kita diwajibkan saling tolong menolong. Dan konsep al-Qur’an mengenai
distribusi harta kekayaan sangat jelas, "Dalam harta kekayaan terdapat hak
peminta-minta dan orang yang hidup berkekurangan" (51:19). Ayat ini dengan
sangat jelas menyatakan bahwa kepemilikan tidak bersifat absolut, namun harus
dibagi-bagikan pada gologan masyarakat lemah (mustadl’afin).
Begitu juga dengan
keterbelakangan, penindasan, dan ketidakberdayaan selalu saja menimpa
masyarakat kelas bawah (baca; mustadl’afin). Negeri ini adalah
negeri dengan penduduk muslim terbesar dunia, negeri ini masuk dalam deretan
negeri miskin, dan negeri ini juga masuk dalam kategori negeri terkorup di
dunia. Cukup sudah predikat yang disandangkan pada negeri ini dimana penduduk
mayoritasnya adalah muslim. Dan bentuk fenomena sosial yang paling akut juga
diderita oleh orang muslim. Padahal, Islam sebagai agama rahmat membawa misi
persaudaraan yang universal (universal brotherhood), kesejahteraan (equality),
dan keadilan sosial (social justice) (Ashgar Ali Angineer,1999).
Memahami Islam sebatas
pemenuhan kebutuhan moral spiritual tidaklah benar. Karena, selain memenuhi
kewajiban menunaikan ibadah, Islam juga memerintahkan akan kepedulian sosial.
Oleh karena itu, merepon peroblematika kontemporer dengan bersandar pada konsep
al-Qur’an, melelui reinterpretasi terhadapnya, merupakan suatu keharusan, sebab
zaman selalu berubah dan berkembang. Mempertahankan stagnasi sama-halnya dengan
membiarkan kemandulan umat. Dan, secara otomatis, Islam dengan konsep rahmatan
lil alamin tidaklah lagi menjadi rahmat, melainkan bencana yang
disebabkan oleh umat Islam sendiri.
Kondisi sosial
kontemporer; kemiskinan, keterbelakangan, penindasaan, ketidakberdayaan, dan
sebaginya memerlukan respon agar tidak berlarut-larut menimpa umat Islam.
Disinilah dibutuhkan ijtihadiyah baru dalam merespon
problematika tersebut. Jamal Albana, cendikia dari Mesir, mengatakan bahwa
jihad—berasa dari kata jahada yang berarti
bersungguh-sungguh—masa kini bukanlah bagaimana mati di jalan Allah, meliankan
bagaimana kita hidup dijalan Allah. Pembebasan umat dari keterbelengguaan,
kemiskinan, penindasan dan segala macam bentuk ketidakberdayaan masyarakat,
terutama mustadl’afin, merupakan kesalehan sosial. Menurut Abdul
Munir Mulkhan, guru besar Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta,
iman dan kesalehan seseorang tidak hanya dilihat dari pemenuhan rukun iman dan
rukun Islam, melainkan juga pemihakan pada kepentingan kaum mustadl’afin(kaum
tertindas). Membela dan membebaskan kaum mustadl’afin merupakan
kewajiban dan tanggung jawab bersama. Karena itu, Hassan Hanafi, pemikir kiri
Islam, menganggap bahwa tantangan terbesar bagi umat Islam adalah kemiskinan,
keterbalakangan, dan ketertindasan. Bila demikian, agenda muslim yang harus
direalisasikan secepatnya adalah "jihad sosial". Sudah saatnya
revolusi sosial dilakukan.
Islam dan Pembebasan
Sejarah telah
membuktikan bahwa kehadiran Islam di tengah masyarakat Arab jahiliyah membawa
misi revolusi besar-besaran, yakni pembebasan umat manusia dari kejahiliyahan
menuju peradaban humanis-dinamis, baik bidang ketuhanan (tauhid), ahklak,
sosial-budaya, politik dan perekonomian. Sang pembebas, Muhammad Saw. membawa
masyarakat jahiliyah menuju keterbebasan dari belenggu yang menimpa mereka.
Awalnya, sebelum Islam
datang, praktik perbudakan begitu marak, kaum perempuan (seakan) tidak
mempunyai harga—mereka dengan teganya menguburkan hidup-hidup bayi perempuan
karena dianggap hanya akan membawa kerugian dan petaka bagi keluarga dan
kebilahnya. Perempuan dijadikan pelampiasan nafsu libido para lelaki dengan
menikahi mereka tanpa batas. Begitu juga dengan pola pikir masyarakat jahiliyah
yang irasional dan mengedepankan adat-istiadat yang sarat dengan mitos. Oleh
karenaya mereka dikenal dengan masyarakat jahiliyah. Namun sejak
kedatangan Sang Pembebas, kebiasaan dekimian sedikit demi sedikit mulai
dirubah. Praktik perbudakan mulai dikurangi dengan adanya
kewajiban—sebagai kafarat (tebusan)—memerdekakan budak bagi
seseorang yang melanggar suatu perintah syariat, poligami dibatasi maksimal
empat orang istri bagi mereka yang mampu berbuat adil terhadap istri-istrinya,
dan kepercayaan mitos dirubah dengan penanaman aqidah yang kokoh.
Termasuk juga pembebasan
sosial yang telah dilakukan oleh Nabi adalah menghapus primordialisme dan
fanatisme kesukuan. Islam datang dengan konsep tidak membeda-bedakan suku, ras,
dan golongan dihadapan Allah menjadi pintu menuju kehidupan harmonis umat
manusia. al-Qur’an menyebutkan, "Hai manusia! Kami telah manciptakan
kalian dari laki-laki dan perempuan, dan membuat kalian menjadi
berbangsa-bangsa dan bersuku-suku, supaya kamu sekalian saling mengenal satu
sama lain. Sesungguhnya, yang paling mulia diantara kamu sekalian disi Allah
adalah yang paling bertakwa.". Ini merupakan konsep yang paling
revolusioner, dimana tidak ada lagi kesenjangan umat manusia yang disebabkan
perbedaan ras, suku bangsa, dan golongan.
Diranah sosio-ekonomi
misalnya, Islam juga menawarkan konsep revolusioner, yakni keadilan distributif
dan melarang praktik culas dalam mengumpulkan harta kekayaan, seperti
penimbunan kebutuhan perekonomian (QS.6:34), praktir rentenir dan riba (mengambil
keuntungan dengan sistem bunga)(2:275-278). Hal ini bermakna bahwa agar
penikmatan kebutuhan tidak hanya berputar dikalangan orang-orang kaya,
melainkan merata pada seluruh lapisan masyarakat. Dan agar kesenjangan sosial
-pembedaan si kaya dan si miskin- tidak lagi menjadi kemelut, melainkan suatu
kebutuhan imbal balik, yakni saling membutuhkan.
Sekelimut histori
peradaban umat Islam masa awal diatas perlu jadikan contoh untuk
didialektikakan dengan keberadaan umat masa kini yang begitu banyak mengalami
problematika sosial dan menuntut respon dari sekian konsep Islam. Apalagi,
tantangan hidup di era global ini telah menjadikan wajah buram bagi umat Islam
yang terbukti dengan begitu banyaknya masyarakat muslim di dunia yang mengalami
kelaparan, kemiskinan, penindasan dan keterbelakangan.
Oleh karena itu, melalui
momen puasa kali ini, kita tingkatkan moral spritual dan moral sosial. Sebab,
bangunan moral spiritual bukan hanya sebagai pembebasan personal, melainkan
kesalehan untuk pembebasan sosial—yang juga merupakan moral sosial. Solidaritas
kemanusian menjadi nilai plus dalam upaya meningkatkan ketaqwaan. Dan
mudah-mudahan puasa yang kita jalani telah memuat sisi batiniah (esoterik)
sekaligus sisi lahiriyah (eksoteris). Wallahu a’lam.
Senin, 29 Mei 2017
Teror itu Menghantui Dunia
Teror itu Menghantui Dunia
Oleh Abd. Rahman Mawazi
Mungkin kita sudah bosan mendengar kata teror. Bukan saja karena aksi itu begitu menakutkan dengan banyaknya korban berjatuhan, melainkan juga kerugian materiil yang tak terhingga. Motif dan tujuan toror-toror itu pun beraneka ragam, mulai dari masalah individual, ras, agama, ideologi, politik, ekonomi hingga pertahanan negara. Dari beragamnya motif tersebut sampai-sampai sulit untuk mengidentifikasi siapa aktor yang berkepentingan dibalik itu.
Walter Laqueur mengupas dengan jelas tentang terorisme itu. Melalui tragedi teror dunia pada dekade terakhir yang menelan banyak nyawa manusia diulasnya tanpa batas, bahkan dimulai dari sejarah munculnya terorime hingga terorisme modern. Menurutnya, terorisme adalah kekerasan, namun tidak setiap bentuk kekerasan adalah terorisme. Dan terorime tidaklah sama maknanya dengan perang sipil, perbanditan, atau perang gerilya.
Awalnya, terorisme merupakan aksi kelompok dengan jumlah kecil yang terjadi pada wilayah kecil pula. Namun, pada perkembangan selanjutnya aksi teror dilakukan untuk kepentingan-kepentingan kolektif hingga akhirnya menjadi sebuah gerakan menakutkan. Aksi bom bunuh diri dan pembunuhan massal, adalah bukti konkrik akan kengerian terorisme.
Pembunuhan masal yang dilakukan suatu kelompok memberikan pelajaran baru bagi kelompok lain yang ingin melakukan eksekusi melalui aksi terorisme sebagai jalan terakhir. Tak ayal, seringkali aksi-aksi terorisme diboncengi oleh ideologi yang mempengaruhi gerak langkah kelompoknya atas nama mempertahankan ideologi, kepentingan politik dan stabilitas nasional. Fanatisme ideologi—bisa jadi—membentuk kelompok terorisme.
Sejarah telah mencatat betapa besar jumlah kematian ketika terjadi perang dunia pertama dan kedua. Hal ini bukan lagi bersifat dalam tritorial suatu negara, melainkan lintas negara yang berhubungan dengan kepentingan politik dan ekonomi. Maka, pengguanan senjata berat yang mampu melumpuhkan musuh menjadi pilihan untuk meraih kemenangan. Hitunganya adalah kalah atau menang. Sudah pasti keinginannya ialah menang.
Akhirnya, diciptakanlah senjata canggih yang ampuh untuk menumpas musuh hingga takluk tanpa kata. Lahirnya bom atom, sebagai perkembangan persenjataan paling ampuh menumpas ratusan ribu jiwa manusia, seperti yang terjadi di Nagasaki, Jepang ketika perang dunia kedua, menjadi rebutan para penggila darah manusia. Masing-masing negara pun bersaing untuk melengkapi persenjataannya. Program nuklir dan roket dengan hulu ledak yang sangat dahsat, selalu terus dikembangkan. Alasanya, untuk mempertahankan keamanan negara. Bagaimanapun, senjata pemusnah massal menjadi bagian dalam menghantui dunia. Jika dahulu teror merupakan aksi yang hanya membahayakan daerah tertentu, kini dengan adanya senjata pemusnah massal masyarakat dunia harus terbayangi oleh betapa ganasnya senjata itu.
Aksi teror dunia masa kini bukan sembarang aksi. Segala tindak-tanduk dari kegiatan yang akan dilakukan telah terencana matang. Kecanggihan teknologi pun tak luput dijadikan sarana. Bahkan, bukan mustahil sebuah teror bentuk maya (cyberterrorism) menjadi sarana paling ampuh. Dan teror bukan saja terjadi didunia nyata, tetapi juga di dunia imajiner. Manusia begitu dihantui oleh teror-teror yang terselubung bersamaan dengan kemajuan zaman dan teknologi.
Sedemikian ngerinya, keberadaan manusia di muka bumi telah dihantui teror-teror yang tak jelas motifnya. Akan tetapi, bagaimanpun teror telah mengelilingi kehidupan kita, kehadirannya tidak dapat ditolak. Teror yang mungkin telah menjadi ideologi—meminjam istilah Abdullah Sumrahadi—bukanlah ide utopis. Sebab, serentetan aksi teror dunia dilakukan oleh kelompok (yang bahkan rela mati) dengan perencanaan matang. Teror telah menunjukkan realitas buruk.
Buku ini mengulas hasib tentang terorisme. Jika saat ini yang kita ketahui bahwa terorisme identik dengan agama (Islam), maka dengan membaca buku ini akan menemukan suatu yang lebih luas tentang terorisme itu. Beberapa aksi gerakan islam, seperti HAMAS, al-Qaedah, PLO (Palestine Liberation Organization) dan lain sebaginya memang merupakan bukti bahwa aksi tersebut dilakuakan oleh sebagian kelompok umat Islam, namun teror bukanlah semata-mata merupakan pekerjaan ‘biadab’ Muslim.
Bukan mustahil terorisme telah juga diboncengi oleh aksi-aksi gangstar dan kelompok kejahatan terorganisir, meski bukan berarti aksi terorisme identik atau menjadi gembong kejahatan terorganisir. Memang harus diakui, acap kali gerakan-gerakan terorisme berbarengan dengan aksi-aksi ilegal kejahatan. Sebab, sarana yang digunakan untuk meloloskan suatu usaha dalam mensukseskan agenda mereka yang paling efektif adalah praktek ilegal.
Yang menarik dari buku ini adalah data dan fakta yang disajikan. Analisa yang dilakukan oleh penulisnya, Walter Laqueur terhadap tragedi terorisme dibelahan dunia memberikan suatu gambaran utuh tentang terorisme yang telah berabad-abad eksis hingga hari ini. Bahakan, teror di masa yang akan datang justru lebih berbahaya dibandinggkan teror-teror yang ada sekarang. Pengembangan senjata-senjata biologis dan kimia serta kecanggihan teknologi adalah hantu terorisme dunia akan datang. Bisa jadi aksi-aksi teror bukan lagi dilakukan secara kolektif, melainkan kelompok yang lebih besar seperti negara atau yang lebih kecil hanya segelintir person. Tanpa kita sadari dan terlepas dari fanatisme, ternyata perkembangan sains dan teknologi turut menyuburkan perkembangan teror dunia.
Meskipun demikian, kita boleh saja berbeda pandangan dengan apa yang telah dipaparkan oleh Walter Laqueur, sebab kajian terhadap terorisme belumlah tuntas sampai disini. Masih banyak yang harus digali dibalik aksi menakutkan itu. Setidaknya buku ini menjadi sarana yang efektif menuju sebuah pamahaman tentang terorisme.
Minggu, 14 Mei 2017
Kaya di Tengah Kemiskinan
Judul: Orang Kaya di Negeri Miskin
Penulis: Eko Prasetyo
Penerbit : Resist Book
Cetakan : I, Juli 2005
Tebal : i-vi + 172 Halaman
|
Di negara padat penduduk, kemiskinan selalu menjadi problem. Sama halnya di Indonesia, di mana penduduk kelas menengah ke bawah merupakan mayoritas. Telah banyak usaha yang dilakukan oleh pemerintah dalam mengentaskan kemiskinan, seperti transmigrasi dan pembukaan lowongan kerja baru. Namun, usaha tersebut belum mampu membuahkan hasil signifikan. Kemiskinan justru semakin merajalela.
Kemiskinan acap kali diidentikan dengan kebodohan dan kemalasan. Dikatakan bodoh karena sebagian besar mereka berpendidikan rendah. Begitu juga kemampuan mereka ketika menyekolahkan anak-anaknya, hanya mampu pada tingkat pendidikan (maksimal) pertama, bahkan putus sekolah pada tingkat sekolah dasar. Dan dikatakan malas karena mereka hanya mampu menjadi pekerja kasar, semisal pemulung, kuli bangunan, tukang becak, pembantu rumah tangga, dan lainnya. Sehingga, mereka tidak memiliki rumah layak pakai, konsumsi makanan pas-pasan, tidak memiliki prabotan rumah, dan lainnya.
Sedang di lain sisi, fenomena minoritas orang kaya hidup berlimpahan harta benda, mampu memenuhi kebutuhan hidup, bahkan bisa bergota-ganti mobil mewah setiap bulan. Realitas minoritas yang sangat bertolak belakang dengan mayoritas. Di negeri ini, yang kaya selalu beruntung. Gambaran tersebut menjadi bahasan penting dalam buku "Orang Kaya di Negeri Miskin". Eko Prasetyo, penulis buku ini, membongkar fenomena kehidupan orang kaya dan realitas kehidupan orang miskin.
Sama halnya dengan orang miskin, orang kaya di negeri ini juga bertambah jumlahnya dalam setiap tahun. Jika orang miskin harus bekerja keras, peras keringat dalam memenuhi kebutuhan hidupnya, maka orang kaya hanya cukup dengan duduk santai sambil memegang pulpen atau membuat siasat dalam meng-goal-kan suatu peraturan yang sama sekali tidak menguntungkan rakyat. Ada juga yang membangun gurita perusahaan dengan mengupah buruh dengan sangat murah.
Selain pengusaha, pejabat adalah contoh Mereka merupakan pekerja di sektor pelayan publik dan pembuat kebijakan publik untuk mensejahterakan rakyat. Setiap kebijakan yang dilegalkan sangat bergantung pada mereka. Namun, sangat disayangkan bila kekuasaan yang dipegang disalah gunakan hanya untuk kepentingan sesaat, seperti yang terjadi pada kasus-kasus penggusuran dibeberapa kota besar.
Di beberapa kota terjadi peringkusan besar-besaran teradap beberapa orang yang berprofesi sebagai pengemis, pemulung, hingga pekerja seks komersial. Jika tukang becak dengan alasaan estetika tata kota, maka para pekerja seks komersial menjadi sasaran dengan alasan pemberantasan kemaksiatan. (hlm.138)
Yang lebih menyakitkan lagi, pembelian tanah dengan sistem “ganti rugi” selalu merugikan dan menimbulkan masalah. Dan tanah tersebut—seringkali—akan digunakan untuk pendirian mall, hypermarket, hotel, apertemen,, dan pabrik-pabrik yang memakan lahan cukup luas. Bagi masyarakat pinggiran—mau tidak mau—harus rela atas penjualan tanah pada para pemilik modal. Konsekuensinya dari hal ini akan semakin menelantarkan penduduk kelas menengah yang dengan keterpaksaan harus membeli tanah dan rumah baru dengan harga lebih mahal. Atau, jika mereka tidak terkena paksaan menjual tanahnya, terpaksa terkena limbah pabrik yang berdiri menjadi tetangganya.
Sungguh sangat berkuasa orang yang memiliki kekayaan dan kekuasaan. Dengan kekayaan semua keadaan dapat disulap menjadi seperti yang diinginkan. Dan “kebohongan-kebohongan” kekuasaan dilakukan tanpa tercium bau busuknya. Hidup ini memang tak selalu adil.
Gaya hidup (life style) orang kaya pun jauh berbeda dengan orang miskin. Misalnya, untuk perawatan badan orang kaya mengeluarkan jutaan rupiah agar postur tubuh tampak ideal, orang miskin hanya mampu mengandalkan karunia alamiah dari keberadaannya, hidup tanpa polesan kosmetik berlebihan dan berdandan seadanya. Begitu juga dengan kegemaran-kegemaran orang kaya, mulai dari refreshing akhir pekan sampai club-club pemilik kendaraan mewah. Keberadaan tersebut menjadi simbol pembeda status sosial. Kekayaan seakan memang perlu dilambangkan dan disimbolkan dalam aneka prilaku maupun bermanifestasi dalam mengkonsumsi barang. (hlm. 106)
Eksklusifisme kehidupan orang kaya telah menghadirkan selera konsumsi yang tinggi. Dan parahnya, kehidupan eksklusifisme dan konsumerisme marak menjadi impian mereka yang miskin. Demi berpenampilan eksklusif, mereka rela untuk mengeluarkan uang yang melebihi dari kebutuhan hidupnya. Budaya ini kini merajalela dikalangan masyarakat. Gaya hidup orang kaya dipraktekkan dengan penuh keterpaksaan hanya untuk memberikan kesan bahwa diera globalisasi gaya hidup harus berubah. Lagi-lagi si miskin, sebagai objek, terjangkit sindrom gaya hidup mewah.
Tradisi kekayaan yang berbasis pada keinginan untuk bersenang-senang dan enggan untuk berbagi menyiratkan kembali bentuk paling buram dari paras ketidak-adilan. Ketika di ranah kebijakan politik dan ekonomi rakyat miskin selalu dirugikan, maka pada ranah pendidikan pun demikian. Akibat tidak mampu membayar biaya pendidikan, para generasi penerus bangsa banyak yang meninggalkan bangku sekolah. Jangankan mendapat pendidikan yang layak, untuk bertahan di sebuah sekolah mereka harus pontang-panting. Kemiskinan memang menyengsarakan.
Melalui buku ini, Eko Prasetyo mengajak kita untuk melihat orang miskin dari sisi apa yang dimiliki ketimbang apa yang tidak dimiliki dan melihat kemampuan sosialnya (social capabilities). Sebab, dalam melihat orang kaya yang dijadikan patokan adalah juga tentang apa yang dimiliki. Oleh karena itu, paradigma yang digunakan dalam melihat orang miskin pun harus demikian. Dia berkeyakinan bahwa salah satu penyebab kemiskinan adalah keberadaan orang kaya yang belimpahan hartanya.
Dan secara tegas ia menyatakan bahwa kita harus menuding sistem dimana yang kaya akan terus-terusan berpeluang menumpuk kekayaan sedang si miskin akan terus-menerus mengalami penidasan. (hlm.167) Mungkin benar menjadi kaya bukan sesuatu yang keliru, tetapi menjadi masalah, ketika kekayaan tidak dibagi dan tidak diratakan. Karena kaya dan miskin adalah hukum alam.
Seperti pada beberapa karya Eko Prasetyo lainya, buku ini cukup menggugah dalam memberikan perspektif tetang perlawana terhadap penindasan, baik itu atas nama kebijakan-kebijakan pemerintah mauapun “perlawanan” terhadap globalisasi dengan sistem ekonomi neo liberal-nya yang hanya akan menghasilkan budaya konsumerisme. Data yang digunakan pun masih cukup relevan dan aktual dengan kondisi yang berkembang saat ini. Sehingga kita dapat dengan mudah menarik kesimpulan dari apa yang telah ditulisnya.
catatan:
Naskah di atas adalah tulisan 2005 lalu. Ini merupakan resensi saya atas buku yang ketika cukup hangat diperbincangan di kalangan mahasiswa. Mungkin, buku tersebut sudah tidak lagi diperjualbelikan. Bagi saya, tulisan ini sebuah nostalgia atas pengembaraan intelektual semasa fase pertama di Jogja (2002-2008). Terima kasih telah berkunjung ke blog saya ini.
catatan:
Naskah di atas adalah tulisan 2005 lalu. Ini merupakan resensi saya atas buku yang ketika cukup hangat diperbincangan di kalangan mahasiswa. Mungkin, buku tersebut sudah tidak lagi diperjualbelikan. Bagi saya, tulisan ini sebuah nostalgia atas pengembaraan intelektual semasa fase pertama di Jogja (2002-2008). Terima kasih telah berkunjung ke blog saya ini.