Selasa, 30 Juni 2020
Pembangunan Kampus Tak Boleh Terlalu Maju
Senin, 08 Juni 2020
KH Badri Masduqi, Kitab Kuning dan Kaset-kaset Rekamannya
Ramadan yang bersamaan dengan pandemi Covid-19 ini memang spesial. Spesial sekali karena saya kerap bosan ada di rumah walau kerjaan banyak. Maka, pilihannya adalah melakukan kegiatan fisik dengan banyak mengerjakan [hal ihwal entah berantah] di rumah yang sedang di renovasi. (Maklum, saat ini saya sedang menempati rumah kontrakan dan sebelumnya juga belum punya rumah sendiri.)
Sebelum Ramadan tiba, saya memang sudah mempersiapkan diri untuk mengobati kerinduan semasa di pesantren dulu, ya tepatnya di Ponpes Badridduja di Kraksaan, Probolinggo, Jawa Timur. Rentang 1996 hingga 2002 saya di sana. Dan banyak pula cerita yang menjadi titik kisar perjalanan hidup di mulai dari sana.
Nah, satu hal yang sangat rindukan ialah khataman kitab semasa puasa. Telah menjadi tradisi di sebagian pondok pesantren di Jawa khataman kitab khusus selama bulan Ramadan saja. Biasanya, para santrinya juga datang dari pesantren lain. Di Badridduja, yang ketika itu masih diasuh KH. Badri Masduqi, juga rutin menyelenggarakan pengajian khatmul kitab yang dimulai beberapa hari sebelum Ramadan, dan berakhir pada 25 Ramadan.
Baca juga: Benarkah Agama itu Sebagai Candu?
Tradisi khatamul kitab itu sudah lama sekali tidak saya ikuti lagi. Bahkan, membaca kitab-kitab pun sudah sangat jarang sejak di bangku kuliah. Bagi saya, repot sekali jika setiap kali tugas harus bersumber dari kitab asli, dan akan lebih mudah jika menggunakan terjemahannya. Barulah pada saat di bangku magister, saya mulai lagi agak rutin membuka kitab-kitab ketika berkunjung ke perpustakaan kampus.
Dan sejak beralih status pekerjaan sekarang, semakin tergeraklah diri ini untuk kembali mengaji kitab-kitab semasa di pesantren dulu. Hal ini beranjak dari rasa gelisah dan gundah ketika bertemu dengan mahasiswa. Banyak di antaranya yang berasal dari pesantren, tetapi pengetahuan fikihnya menurut saya masih kurang. Banyak juga terlihat “agamis” tetapi pengetahuan agama masih belum sepadan. Banyak juga yang terlihat cukup menguasai tema pembahasan, tetapi ternyata tidak bisa baca kitab dan tidak pernah. Lalu mereka berargumen dengan ala pemahamannya sendiri terhadap Al-Qur’an dan Hadis dengan merujuk kitab-kitab yang mereka sendiri tidak bisa membacanya.
Maka, saya masih fakir ilmu ini memesan kitab kuning secara daring melalu marketplace. Kitab yang saya beli itu adalah fikih-fikih dasar, Sullam at-Taufiq, Syafinah al-Najah dengan Syarah Kasyifah-nya, Taqrib dengan Syarah Fath al-Qoriib, dan Fathul Mu’in. Satu kitab saya jadikan referensi utama untuk mengaja Fikih dengan cara mereka membaca dan memahami namun dengan cara saya, yakni mereka saya bekali kitab Syafinah yang sudah ada terjemahannya.
Nah, untuk yang kitab Fath al-Mu’in, saya mengaji ke KH. Badri Masduqi, pengasuh pertama Ponpes Badridduja yang telah wafat pada sekitar 2002, beberapa setelah menjadi alumnus pondok untuk melanjutkan kuliah ke Jogja. Sependek ingatan saya, Fath al-M’uin adalah kitab yang menjadi kurikulum di Madrasah Asas Lilulumil Islamiyah (selanjutnya disebut Asas) untuk santri kelas 4 hingga 6. Yang mengajarkan adalah para ustaz.
Baca juga: Perjalanan Panjang Pencarian Tuhan
Ketika Ramadan KH. Badri Masduqi sendiri yang membaca langsung. Metode membaca pun berbeda dengan pengajian kitab pada umumnya. Misalnya, kitab Fath al-Wahhab yang biasa beliau bacakan malam hari sejam setelah Isya dengan penjelasan yang lantang dan detail. Pada khataman kitab Ramadan, pembacaan kitab tidak terlalu diiringi dengan penjelasan yang terlalu panjang, tetapi penjelasan seperlunya saja.
Ramadan kali ini, saya memulai mengaji lagi kitab Fath al-Mu’in ini kepada KH. Badri Masduqi. Namun, kali ini tidak langsung, melainkan melalui aplikasi yang telah dikembangkan oleh lembaga Syeikh Badri Institut (SBI). Aplikasi kasi ini bisa didapatkan di Playstore bagi pengguna Android. Maka, mulailah saya mengunggah bagian awal dari kajian kitab ini. Dan saya pun sengat senang dapat mendengar kembali suara beliau. Bahkan mataku berbinar senang. Maka jadilah saya mengaji daring atau online dengan beliau. (Selain itu, saya juga terkadang mengikuti pengajian online dari KH Tauhidullah Badri, Gus Ulil Absar Abdallah, Gus Aguk dan Prof. Abdul Mustakim)
Kaset itu dan Media Daring kini
Saya betul-betul tak menyangka bahwa kumpulan kaset rekaman ini bakal melepas kerinduanku dan yang lebih penting lagi ialah pengajian ini mampu menembus waktu yang tidak saya duga sebelumnya. Mengapa? Ternyata dengan adanya kaset ini, KH Badri Masduqi tetap hidup, maksudnya dengan pengajian ini , beliau terasa seperti hidup.
Sudah menjadi kebiasaan dari guruku ini untuk merekam pengajian kitab yang beliau ampu. Rekaman itu terkadang dilakukan langsung ketika pengajian. Ada juga, menurut info yang saya dengar, rekaman dalam kaset itu memang sengaja beliau rekam sendiri untuk diberikan pada santri ketika beliau berhalangan mengajar, sehingga santri tetap bisa mengaji walaupun beliau sendiri sedang tidak berada di tempat.
Baca juga: Resep Terong Bakar Sederhana ala Santri yang Enak dan Lezat
Khusus untuk kaset pengajian, belau biasa membaca kitab menggunakan pengeras suara. Hal ini dilakukan agar santri yang berada di luar dari kediaman (dhalem) beliau juga bisa mendengar, wabil khusus santriwati yang bisa turut mengaji dari sisi musala. Jadi, memang ada unsur sengaja oleh beliau untuk merekam pengajian kitab-kitab itu agar bisa digunakan para santri.
Saya pernah melihat santri senior yang hendak membaca Kitab Tafsir Jalalain harus belajar dengan bersungguh-sungguh, baik dengan cara membaca kitab maknaan (baca: terjemahan) teman yang lain atau mendengarkan kaset pengajian yang lalu-lalu. Nah, artinya, memang sudah menjadi biasa di kalangan santri Asas merekam dan mendengarkan rekaman dari pengajian Kiai. Kalau saya tak salah ingat, memang ada santri yang khusus untuk menjadi semacam operatornya.
Kaset-kaset pengajian ini juga cukup banyak di ruangan beliau. Saya pernah melihatnya sendiri. Yang menarik, kaset itu bukan hanya pengajian kitab, tetapi juga ada rekaman pengajian akbar, baik yang diisi oleh beliau atau dari kiai dan masyayikh lainnya. Dan masih berhubungan dengan kaset pula, beliau terbiasa mengirimkan kaset yang berisi pendapatnya kepada beberapa tokoh, khususnya seruan untuk para pejabat.
Baca juga: Runtuhnya Negara Madinah: Islam Kemasyarakatan versus Islam Kenegaraan
Sekarang, dapat dipetik hikmah dari kaset-kaset itu, bahwa KH Badri Masduqi merasa begitu pentingnya media komunikasi yang tidak mudah terdistorsi. Komunikasi paling efektif yang tentu bertemu langsung antar komunikannya. Namun, selain itu, komunikasi juga mengenal pesan simbol (dan teks) yang sering kali menimbulkan salah paham, multi tafsir, dan bahkan pesan yang ingin disampaikan bisa terdistorsi. Sedangkan pesan suara lebih mudah dipahami oleh lawan bicara yang tidak bertemu langsung. KH Badri Masduqi sangat paham perihal pola komunikasi seperti ini sehingga dalam banyak hal dan yang perlu mendapatkan penjelasan panjang, beliau justru kerap mengirimkan pesan suara melalui kaset.
Di era digital ini pula, kaset-kaset pengajian kitab kuning beliau kembali diaktualisasikan. Hal ini berkat kerja keras dari teman-teman di Syeikh Badri Institut (SBI), lembaga yang mendedikasikan diri untuk merawat dan mereaktualisasi semangat perjuangan KH Badri Masduqi. Digitalisasi kaset-kaset pengajian kitab kuning yang kini tersedia di PlayStore ini pun berkat kerja keras teman-teman di SBI. Saya belum bisa berkontribusi apa pun untuk SBI ini kecuali hanya pacapa (berwacana doang).
Digitalisasi pengajian kitab kuning KH. Badri Masduqi ini adalah langkah nyata dalam upaya menghidupkan selalu semangat dari KH. Badri Masduqi. Mungkin beliau tidak banyak dikenal oleh generasi 2000-an, tetapi santrinya dan jemaah tarekat Tijaniyah cukup mengenalnya, khususnya di Jawa Timur.
Setidaknya, kehadiran rekaman pengajian KH Badri Masduqi secara digital ini bisa menambah referensi bagi pecinta ngaji kitab kuning model sorongan. Dan yang paling saya suka, pengajian kitab kuning dari KH Badri Masduqi itu diartikan dalam bahasa Indonesia. Pola dalam mengartikan kitab juga masih tetap mempertahankan gaya penerjemahan berbasis ilmu nahwu. (Ya, kalau gaya bahasa Jawa, masih pakai ngutawi iku iki lah, dan saya tak paham sama sekali).
Baca juga: Menggugah (lagi) Kepekaan Kita Terhadap Visi Sosial Islam
Menjaga semangat
Saat ini, tantangan terberat bagi saya ialah konsisten dalam mengaji. Setelah Ramadan 1441 H berlalu, belum ada lagi membuka kitab dan mengaji. Aplikasinya sudah saya hapus untuk sementara karena memori ponsel sudah penuh. Memang menjaga konsistensi dan keistiqomahan dalam mengaji ini penuh tantangan. Walau bagaimanapun, saya masih berjuang melawan kemalasan dalam diri. Saya masih akan tetap berjuang menirukan semangat KH. Badri Masduqi yang selalu konsisten mengajar santrinya.
Oh iya, konsistensi dan keistiqomahan KH. Badri Masduqi dalam mengajar dan belajar ini patut dicontoh. Saya dengar informasi, beliau kerap membaca kitab di waktu luangnya. Dan beliau termasuk sangat update dalam kitab. Saya pernah melihat beberapa kitab baru yang “berserakan” di meja dekat ruang tamu, di dalam kamar dan dekat tempat mengajar. Yang masih terekam dalam ingatan saya ialah karya-karya dari Syeikh Sayyid Alwi Al-Malaki Al-Hasani.
Mudah-mudahan saya [dan pembaca tulisan ini juga] bisa istiqomah belajar seperti beliau. Tetap semangat membaca dan belajar seperti KH Badri Masduqi. []