Mengenal Sufisme Waliyah Zainab dan Bawean
Abd. Rahman Mawazi*
Sosok Syeikh Siti Jenar memang fenomenal. Ia adalah seorang wali yang dipinggirkan akibat ajaran-ajarannya. Konsep manunggaling kawula gusti, merupakan ajaran sufisme Siti Jenar yang ditolak para wali (walisongo) karena dinilai bertentangan dengan norma Islam dan menyesatkan. Ia kemudian dipinggirkan dan akhirnya dihukum mati.
Satu dasawarsa terakhir ini telah banyak litelatur yang mengupas sejarah hidup dan ajaran wali yang bernama asli Abdul Jalil. Tidak sedikit dari litelatur tersebut kemudian menjadi best seller. Hal ini dikarenakan keingintahuan masyarakat terhadap sosok dan konsep ajaran sufismenya yang kontreversial. Dan, buku Waliyah Zainab, Putri Pewaris Syeikh Siti Jenar ini juga berusaha menjelaskan konsep ajaran Syeikh Siti Jenar sebagaimana juga dipraktik oleh generasi penerus, Waliyah Zainab.
M. Dhiyauddin Quswandhi, penulis buku, mengupas ajaran Siti Jenar dari sebuah naskah kuno tidak berjudul yang menjelaskan tentang Sastro Cettho Wadiningrat atau ilmu tentang rahasia kehidupan, yang sering juga disebut sebagai ilmu kebegjan, ilmu mencapai kehidupan sejati. Naskah yang ditulis oleh generasi ketiga Siti Jenar, Sunan Sendang, berbahasa Jawa Kuno, dan tampaknya cukup bisa dipahami oleh penulis, yang tak lain adalah keturunan dari Sunan Sendang sendiri.
|
Judul : Waliyah Zainab, Putri Pewaris Syeikh Siti Jenar:
Sejarah Pradaban Agama di Pulau Bawean
Penulis : M. Dhiyauddin Qushwandhi
Penerbit : Yayasan Waliyah Zainab Diponggo, Gresik
Cetakan: Pertama, Maret 2008
Tebal : xxxiii+315 halaman
|
Dalam ajaran sufisme terdapat empat tahapan akidah, yakni syariat, thariqat, hakikat, ma’rifat. Kempat tahapan tersebut dalam ajaran sufisme Wali Songo dikenal dengan takon, tekkun, tekken, tekan. Sedang Siti Jenar mengistilahkannya sebagai catur wiworo werit (empat perjalanan yang sulit) karena dalam menapaki setiap tahapnya penuh aral yang tidak gampang dilalui.
Pengistilah Siti Jenar tersebut cukup mempunyai alasan sebab, menurutnya, empat perjalanan itu merupakan pengejawantahan dari kalimat Laa ilaaha illa Allah. tahapan syariah mengandung makna ila-ilah (menuju Allah), thariqah berarti li-lah (untuk Allah), haqiqah sebagai fi-ilah (di dalam Allah), dan ma’rifah memuat bi-ilah (bersama Allah). Selain itu, keemapat tahapan juga memilki makna lain, yaitu syari’ah sebagai tataran ’ilmu, thariqah sebagai tataran ’amal, haqiqah sebagai tataran hal, dan ma’rifah sebagai tataran sirr. (h.240) Tataran ilmu atau syar’iah, misalnya, bermakna bahwa syariat merupakan jenjang dan pengenalan aqliyah terhadap syariat, thariqat, hakikat, ma’rifat, berikut semua kandungannya.
Yang menjadi simbol keweritan dalam tahapan perjalanan akidah seseorang ialah penerapan empat tahapan dalam setiap tahapannya. Level syari’ah memiliki tahapan syariat, thariqat, hakikat, ma’rifat. Begitu juga di level-level selanjutnya. Melewati empat hahapan dalam setiap levelnya adalah perjalanan yang amat sulit karena aral, cobaan, serta tantangan dalam setiap tahapannya tidak mudah dilalui.
Oleh karena itu, penghayatan seorang hamba atas empat hal di atas mutlak diperlukan guna menuju suatu kesempunaan dalam berakidah. Bila sukses, ia akan merasakan puncak kesempurnaan keimanan, di mana keimanan tidak lagi sekedar bermakna percaya an sich kepada Allah, melainkan berbarengan dengan kecintaan (hub) dan selanjutnya penyatuan diri. Bila demikian, maka seorang hamba akan merasa bersatu dengan Khaliqnya—yang dalam konsep Ibn Arabi disebut wihdatul wujud.
Pulau Bawean
Ajaran Sufisme tersebut kemudian dipraktikkan oleh generasi keempat Syeikh Siti Jenar, Sayyidah Waliyah Zainab, di Bawean. Konstalasi politik di Jawa yang tidak memungkinkan bagi keturunan dan pengikut ajaran Siti Jenar memaksa Waliyah Zainab beserta rombongannya hijrah ke pulau Bawean. Kehadiran Waliyah Zainab di sana, selain sebagai bentuk pengasingan diri, juga menyiarkan agama Islam, yang kelak mencapai kesuksesan di masa adipati Sumenep, Umar Mas’ud.
Menurut M. Dhiyauddin Qushwandi, penyiar pertama agama Islam di Bawean ialah rombongan pengungsi dari kerajaan Campa. Hal ini sangat dimungkinkan karena letak Bawean yang steragis sebagai pulau transit pelayaran. Termasuk di dalamnya ialah Sunan Ampel dan ibundanya, Putri Condrowulan, yang kini makamnya terletak di desa Komalasa. Penemuan makam Putri Condrowulan ini merupakan suatu jawaban dari teta-teki sejarah.
Penemuan lain yang tak kalah pentingnya ialah prihal keberadaan makam laksamana muslim Cina Cheng Ho. Menurut Dhiyauddin, melihat posisi Bawean yang terletak di Laut Jawa, sangat mungkin Cheng Ho memilih Bawean sebagai tempat berdomisili hingga akhir hanyatnya. Hal ini berdasarkan informasi sejarah yang menyatakan bahwa konstalasi politik dinasti Ming saat itu sedang goncang, dan tidak adanya kabar atau informasi sejarah yang menyebutkan ke mana Cheng Ho berlayar sejak meninggalkan Jawa. Adapaun bukti yang menguatkan ialah, bahwa makam yang dikenal oleh masyarakat setempat sebagai Jujuk Tampo ialah dari kata ”tampo”. Ditengarai kata ”tampo” berasal dari bahasa Cina ”dempo”, yang berarti nahkoda. Selain penemuan tersebut, Dhiyauddin juga memastikan bahwa huruf Honocoroko tercipta di Bawean.
Kehadiran buku ini, dengan demikian, selain mengungkap ajarah sufisme Siti Jenar yang kontroversial itu, juga mengungkap suatu peristiwa masa lalu yang masih menjadi misteri masa kini. Survei lapangan yang dilakukan penulis serta telaah litelatur yang ketat menjadikan buku ini layak untuk dijadikan rujukan bagi mereka yang berdedikasi di bidang sejarah sekaligus sebagai pintu bagi penelitian lebih lanjut. Sebab, jika berbicara sejarah, hal itu adalah bukti-bukti yang tertinggal dan masih ada, baik berupa tulisan, naskah, ataupun artefak yang bisa dibuktikan kebenarannya secara ilmiah. Tampa itu semua, ia hanya menjadi dongeng atau mitos belaka.
*Abd. Rahman Mawazi,
pustakawan, alumnus UIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta.