Jumat, 25 November 2016
Seni Budaya Lokal dalam Multikulturalisme
Multikulturalisme menjadi salah satu ciri khas bangsa
Indonesia. Multikulturalisme itu bisa dilihat dari banyaknya ragam budaya lokal
yang ada. Keragaman itulah yang menjadikan suatu identitas bangsa, bahwa ia
memiliki banyak potensi seni dan budaya yang dapat dijadikan salah satu warisan
peradaban manusia di bumi nusantara. Keragaman seni budaya itu dapat ditoleril
menjadi suatu kebanggaan tersendiri. Setiap provinsi minimal membunyai seni dan
budaya masing-masing yang menunjukkan identitas provinsi tersebut.
Namun, warisan seni dan budaya akan segera hilang musnah
ditelan zaman bila tidak dilestarikan. Moderenisasi menjadi alasan untuk
meninggalkan sebuah warisan yang mampu memberikan sumbangsih besar terhadap
bumi pertiwi ini. Sebagian besar dari penduduk Indonesia hanya menjadi penikmat
sejati (user). Untung, masih ada yang menikmati, bagaimana kalau tidak?
Sebenarnya, bila ada keinginan untuk mengembangkan seni dan
budaya lokal ini, niscaya akan menjadi sesuatu yang unik dan dapat menjadi aset
bangsa. Dalam artian, masyarakat Indonesia tidak hanya sekedar menjadi
penikmati tetapi juga mempelajarinya kemudian melestarikannya.
Banyak sekali potensi seni dan budaya nasional yang mampu
meraih prestasi internasional, hanya saja fasilatas untuk mengembangkan potensi
tersebut sangat minim. Disamping itu juga minat pemuda untuk mengembangkan
warisan budaya semakin sedikit. Generasi tua selalu menjadi tumpuan untuk
mengembang-kannya, lantas siapa yang akan mewarisi budaya ini?
Wayang misalnya. Banyak para pemerhati luar (asing) menaruh
perhatian pada seni yang satu ini. Karena keunikannya dan memang sulit untuk
melakukannya, wayang tidak dapat dipelajari oleh setiap orang, jangankan orang
luar daerah, masyarakat Jawa sebagai pemilik seni budaya ini saja belum tentu
bisa, apalagi masyarakat luar Jawa yang note bene bukan pewaris budaya. Akan
tetapi, karena keunikannya itu wayang telah berhasil memikat perhatian dunia
internasional melalui dalang Ki Manteb Soedarsono. Ia di undang ke Prancis
untuk mendalang di sana yang selanjutnya menerima anugrah penghargaan sebagai
salah satu budaya yang diakui dunia Internasional.
Ini menunjukkan bahwa seni dan budaya Indonesia, telah mampu
memberikan sumbangsih besar di dunia internasional. Oleh karena itu,
peluang-peluang internasional seperti ini tidak hanya menjadi milik satu
generasi saja, tetapi juga menjadi peluang bagi masyarakat dunia. Indentitas
budaya yang menasional seharusnya terus dilestarikan dan deikembangkan oleh
generasi-generasi penerusnya. Sehingga budaya lokal yang sudah diakui oleh
kalangan internasional tidak kehilangan indentitasnya yang sudah mendunia.
Tidak hanya seni budaya lokal yang kita miliki. Secara
historis, bangsa Indonesia sebelum kedatangan bangsa-bangsa dari Eropa menjadi
tempat persinggahan dan lahan pasar bagi para pedagang dari Timur Tengan dan
daratan Asia. Dan tak terelakkan, proses transformasi kebudayaan pun terjadi di
sini. Seperti kita lihat sekarang ini, banyak budaya yang ternyat merupakan
gabungan dua budaya, misalkan masjid Kudus yang mempuyai arsitektur budaya
masyarakat Hindu kala itu dan Timur Tengah. Salah satu warisan budaya yang
mampu menarik perhatian.
Selain itu, candi Borobudur merupakan salah satu dari tujuah
keajaiban dunia dan hal ini tidk bisa kita elakkan dari warisan budaya kita.
Dismping bangunan yang super besar, ada relief yang dapat memberikan suatu
jawaban atas hipotesa para peneliti untuk mengetahui sebuah kehidupan disaat
candi di bangun. Akankah kita mengingkari bahwa kita memilik sebuah potensi
internasional yang tanpa kita sadari.
Banyak usaha yang dilakukan untuk mengangkat nama Indonesai
di dunia internasional melalui seni dan budaya. Dan sumbangsih merekapun telah
mampu memberikan nama besar bagi Indonesia. Muammar misalnya, seorang qori’
(pembaca Al-Qur’an) pernah meraih peringkat Intenasional karena kemampuannya
dalam melantunkan ayat-ayat Al-Qur`an. Untuk pentas Qari` bertaraf
internasional ini selalu dimiliki oleh bangsa Indonesia dari setiap perlombaan
internasional.
Dalam seni lukis misalnya, tercatat Raden Saleh, Affandi, Amri
Yahya dan masih banyak lagi sebagai maestro dalam bidang seni. Karya-karya
mereka selalu dilirik oleh pemerhati seni dunia. Diakui atau tidak, kualitas
seni budaya kita telah mampu meyedot perhatian dunia internasional. Dan masih
banyak contoh-contoh lain.
Sebagai generasi muda tentu kita bangga dengan apa yang
telah mereka torehkan bagi bangsa Indonesia, namun akan lebih bangga lagi bila
kita sebagai generasi mudah mampu berkarya dan diakui oleh kalangan
internasional. Oleh sebab itu, prestasi internasional ini terus kita
pertahankan untuk tetap memberikan citra positif akan kesenian dan kebudayaan
kita. Harapan kita kedepan haruis ada lembaga swadaya masyarakat yang
memberikan perhatian penuh terhadap keberagaman budaya yang dimiliki bangsa
Indonesia.
Untuk terus mengembangkan dan melestarikan nudaya lokal itu
menurut penulis ada beberapa hal yang harus segera diperhatikan. Pertama,
memberi tempat untuk pengembangan. Tanpa mendapat suatu perhatian kusus sebuah
seni dan budaya akan mendapat perhatian, karena tanpa sokongan dari seluruh
elemen tidak mungkin akan tercapai suatu pelestarian. Kedua, memupukkan
nilai-nilai budaya lokal maupun nasional. Hal ini sebagai cinta akan kebudayaan
sendiri. Dan ketiga, mengembangkannya. Agar tidak monoton dan ketingglan dari
seni dan budaya modern perlu ada pengembangan lebih lanjut, dalam artian tidak
merusak nilai-nilai seni dan budaya leluhur.
Hal tersebut tidak akan pernah terealisir tanpa kepedulian
kita bersama, bahkan hanya menjadi angan-angan yang tak kunjung tercapai. Dan
akan terjadi suatu fregmentasi historis pewarisan budaya. Karenanya,
mempertahankan budaya sandiri merupakan suatu keharusan dan menerima budaya
luar selama sesuai dengan budaya kita bukanlah suatu larangan..
Dengan demikian seni budaya lokal maupun nasional akan terus
tetap menjadi minat untuk diperhatikan dan dipelajari, sehingga nilai-nilai
astetika yang terkandung didalamnya senantiasa dapat dinikmati oleh generasi
seterusnya. Dan bukan mustahil dengan kekesenia dan kebudayaan tersebut indonesia
semakin mampu meraih peluang prestasi internasional.
Ini adalah tulisan lama, sekitar 2004 silam.
Kamis, 17 November 2016
Agama Melawan Budaya Korupsi
Indonesia dikenal sebagai
bangsa religius sekaligus bangsa terkorup. Predikat religus semestinya tidak
bergandengan dengan predikat korup, karena agama mengajarkan nilai-nilai moral
fundamental. Agama mana pun, khususnya Islam, mengutuk tindakan korupsi dalam
bentuk apapun, sebab bertentangan dengan nilai-nilai universal agama: prinsip
keadilan, akuntabilitas, dan tanggung jawab. Intinya, agama-agama bertujuan
memperbaiki moralitas manusia.
Ilustrasi kartun gerakan anti korupsi dari markuni.com |
Dalam Islam, korupsi dengan
segala dampak negatifnya yang menimbulkan berbagai distorsi terhadap kehidupan
negara dan masyarakat, dapat dikategorikan perbuatan fasad atau
merusak tata kehidupan di muka bumi, yang juga amat dikutuk oleh Tuhan. Bagaimana tidak, akibat
korupsi, Indonesia mengalami krisis ekonomi yang berdampak pada dimensi-dimensi
lain, seperti politik, sosial, dan budaya. Dimensi-dimensi itu berakibat pula
keterbelakangan, kemiskinan, kebodohan, pengangguran, dan tingginya tingkat
kriminalitas.
Memang, tidak ada kajian
empiris tentang pengaruh agama terhadap praktik korupsi. Azyumardi Azra (2004)
menyimpulkan bahwa tinggi rendahnya tingkat korupsi tidak banyak terkait dengan
agama, melainkan lebih terkait dengan tata hukum yang jelas dan tegas yang
diiringi penegakan hukum berat terhadap para koruptor. Pendapat Azyumardi Azra ini diperkuat dengan
hasil survei International Country Risk Guide Index (IRCGI). Menurut IRCGI,
sejak 1992 hingga 2000, indeks korupsi di Indonesia terus meningkat dari
sekitar tujuh menjadi hampir sembilan (pada 2000). Kecendrungan yang sama juga
terjadi di Rusia, yang mayoritas penduduknya Kristen, dengan indeks hampir
sembilan pada 2000.
Negara-negara manyoritas
berpenduduk muslim yang lain, seperti Pakistan, Banglades, dan Nigeria juga
memiliki indeks korupsi amat tinggi, rata-rata di atas tujuh. Begitu juga
dengan negara-negara berpenduduk Kristen, seperti Argentina, Meksiko, Filipina,
atau Kolombia yang indeks korupsinya juga di atas tujuh. Bahkan, Thailand yang
mayoritas penduduknya Budha, indeks korupsinya juga hampir mencapai delapan.
Sementara itu, ada negara
lain, yang meyoritas beragama Islam, seperti Iran, Arab Saudi, dan Malaysia
dengan angka korupsi yang jauh lebih rendah dibandingkan Indonesia atau
Pakistan. Juga ada negara mayoritas Kristen seperti Amerika Serikat, Kanada, atau
Inggris dengan indek korupsi dibawah dua.
Kenyataan ini menunjukkan
bahwa agama dan keberagamaan adalah dua hal yang berbeda. Kesalehan individual
belum tentu membawa kesalehan sosial dan profesional. Begitu banyak orang yang
dianggap alim dan saleh justru berbuat korupsi. Begitu juga orang yang rajin
sembahyang tidak berarti bersih dari korupsi.
Kita tidak perlu pesimis,
seolah-olah agama tidak mampu mendorong antikorupsi. Bukan agama yang gagal,
melainkan tokoh dan penganut agama itu yang belum memaknai agama secara tepat.
Sebab, agama-agama tidak membenarkan kejahatan, ketidakjujuran, dan segala
bentuk amoralitas sosial. Agama-agama mengajarkan moral mulia, budaya malu,
kukuh dalam kebaikan, gaya hidup sederhana, etos kerja tinggi, serta orientasi
pada kemajuan dan prestasi.
Namun, ajaran tersebut
belum terejawantahkan dalam kehidupan keseharian. Karena itu, pemahaman umat
atas agama harus diarahkan pula untuk mampu merumuskan apa yang dinamakan
"kemungkaran-kemungkaran sosial"—meminjam istilah Zuly Qodir—sebagai
bentuk kekafiran baru atau kekafiran modern, termasuk korupsi.
Penafsiran agama yang
harfiah, tekstual, dan kaku seperti doktrin takdir bahwa Tuhan menentukan
segalanya dan manusia cuma nrimo apa adanya, membawa
keberagamaan yang pasif dan tidak leberatif. Agama sebatas bersifat formal, padahal
pada saat yang sama pembusukan moral sedang terjadi.
Bagaimana mengobyektifkan
agama sehingga ia berperan positif terhadap upaya pemberantasan budaya korupsi?
Apabila pendekatan politik dan hukum lebih bersifat represif—meski juga
bersifat preventif—dalam pemberantasan korupsi, maka agama berlaku lebih pada
level preventif. Timbul anggapan, undang-undang anti korupsi dengan sendirinya
akan menjamin penanggulangan korupsi. Padahal hukum kurang menyentuh tataran
preventif. Siapa yang dapat menjamin gerak-gerik seseorang setiap detik
diperhatikan aparatur hukum?
Agama, dalam konteks
demikian, memosisikan dirinya sebagai bimbingan dan kontrol transendental
(Ilahi). Bahwa penganut agama seharusnya merasa dikontrol oleh Zat Yang
Mahatahu kapan pun dia berada. Selain itu, agama umumnya mengajarkan kehidupan
sesudah mati. Bahwa meski tindakan korupsi yang dilakukan di sini sempat lepas
dari pengawasan manusia, pengadilan di kemudian akhir (akhirat) tidak akan
melepaskannya. Keberagamaan yang subtantif semacam inilah yang dapat mencegah
penganut agama dari tindakan korupsi. (Muhammad Ali, 2000).
Gerakan antikorupsi yang
digalang ormas keagamaan, seperti Muhammdiyah, NU, Persis dan yang lainnya,
pada hakikatnya adalah perlawanan budaya terhadap kejahatan korupsi yang sudah
sedemikian parah. Tujuan perlawanannya ialah mengaktualkan kembali kehendak
untuk hidup halal yang diajarkan agama (Islam) sebagai habitus tandingan.
Dan bagi NU sendiri,
gerakan antikorupsi menjadi bagian dan kesinambungan dari Gerakan
Mabadi’ Khaira Ummah yang merupakan langkah awal pembentukan umat yang
terbaik yang membawa rahmat untuk semua, yaitu umat yang mampu melaksanakan
misi al-amru bi al-ma’ruf dan an-nahyu an al-munkar. wallahu'alam.
Senin, 14 November 2016
Memotret Geliat Konsumerisme Metropolitan
Setiap kali pergi ke mall, kita seringkali melihat pemandangan sekelompok anak muda dan atau sepasang anak cucu Adam dan Hawa yang sedang menikmati suasana keramaian mall, dan tidak sedikit pula sekelompok keluarga yang turut meramaikan pula. Cobalah mulai sekarang Anda tidak hanya melihat sekadar itu. Beranikan diri untuk menjadi seorang peneliti walau kelas kacangan, dan Anda akan menemukan apa yang sebenarnya terjadi.
Pesatnya perkembangan mall dan pusat perbelanjaan serupa telah menghadirkan suatu fenomena baru. Mall sekarang tidak hanya menjadi tempat transaksi jual beli (leizur feilure). Mall malah memperluas fungsi raiso de etre-nya tersebut menjadi tempat rekreasi, media ekspresi ego, dan media hegemoni. Orang – terutama anak muda – pergi ke mall bukan lagi didorong oleh keinginan untuk membeli apa yang dibutuhkan (need), tetapi apa yang diinginkan (want).
Suasa berbelanja di suatu pusat perbelanjaan. Foto tribunnews.com |
Aktifitas membeli berdasarkan kebutuhan akan berhenti jika telah terpenuhi. Namun dengan pertimbangan ingin, aktifitas membeli tidak akan ada ujungnya kecuali bila hasrat itu telah meredah, padahal hasrat manusia tidak akan ada habisnya. Setiap kali ada “yang baru”, hasrat itu akan muncul.
Semetara itu, kekuatan hegemoni kapital tidak akan pernah kehabisan akal untuk melakukan perubahan. Tidak satu menit pun dilewatkannya untuk menemukan sesuatu yang baru. “Inovasi tanpa henti” yang didukung oleh “hasrat tanpa henti” ini menjadi arena bagi keberlangsungan hegemoni tadi. Empu jargon yang pertama semakin perkasa, sedangkan yang kedua merelakan dirinya menjadi “pelayan” yang siap melayani kapan saja—untuk mengatakan konsumen setia.
Dalam rangka melangsungkan hegemoninya, kaum kapitalis ini tidak hanya melakukan pencarian inovasi baru yang siap menggempur pasar, tetapi juga diciptakannya mitos-mitos yang disandarkan pada kepentingan mereka, seperti mitos kecantikan dan kegantengan, trandy, funky, serta modis. Naomi Wolf, seorang peneliti dari Amerika dalam Mitos Kecantikan (2004), menyebutkan bahwa kehadiran kontes kecantikan, betis indah, tubuh ideal, dan sebagainya merupakan salah satu perpanjangan imprealisasi dari para kapitalis. Orang disebut cantik bila menggunakan lipstik ini dan bedak itu.
Sebutan trandy, funky, dan modis kemudian hanya diperuntukkan bagi mereka yang menggunakan pakaian bermerek tertentu—dengan mode setiap kali berubah dalam waktu yang cepat—yang trend-nya sengaja diciptakan. Orang yang mengikuti perubahan itu akan disanjung dengan sebutan modern, sedangkan bagi yang tidak ikut serta dianggap ketinggalan zaman. Kata modern kemudian beralih menjadi modernisme yang lebih berbau ideologis. Banyaknya barang hasil produksi di pasaran telah mengubah pola konstruksi kehidupan masyarakat. Masyarakat merasa cukup dan puas dengan mengkonsumsi, yang sekaligus mengeliminir potensi dirinya sendiri untuk memproduksi. Tanpaknya adigium Descartes, “aku berpikir maka aku ada”, dapat dipreteli menjadi “aku mengkonsumsi maka aku ada”. Walhasil, keberadaan masyarakat ditentukan oleh kemampuan mengkonsumsi, dan disitulah tercipta apa yang disebut dengan “masyarakat konsumtif”.
Dari sini timbul pertanyaan mengapa tingkat konsumsi begitu tinggi, sampai-sampai tercipta masyarakat konsumtif? Muhammad Syukri (2004) menyebutkan minimal ada dua kekuatan yang mempengaruhi prilaku konsumsi. Pertama, kekuatan kapitalis atau produsen. Banyaknya modal (capital) yang dimiliki oleh kapitalis memungkin untuk mendirikan perusahaan-perusahaan besar (the large corporate) di berbagai belahan dunia. Munculnya perusahaan besar ini bukan hanya untuk memenuhi kebutuhan produsen, tetapi untuk mendapatkan hasil (laba) yang sebesar-besarnya. Karena itu, sistem produk mengikuti pola over-produksi, yaitu usaha untuk memproduksi barang sebanyak-banyaknya.
Kedua, kekuatan media. Media, terutama media elektronik seperti telivisi (TV), sangat berguna untuk memasarkan semua produk kepada masyarakat luas. Kekuatan media bukan hanya kemampuannya melipat dunia menjadi sepetak gambar yang dapat dijangkau dengan sekejap waktu, tetapi pada kekuatan hegemonik yang memperngaruhinya. TV, meminjam bahasa Baudrillard, meyelenggarakan simulasi. Simulasi itu pada hakekatnya tidak mencerminkan realitas sesungguhnya, melainkan dicitrakan dengan realitas yang menditerminisi kesadaran kita. Itulah yang kemudian disebut dengan hypper-reality (realitas semu). Pecitraan yang dihadirkan oleh TV mempengaruhi kesadaran masyarakat sehingga prilakunya diatur oleh simulasi-simulasi yang ditampilkan. Akibatnya, masyarakat terjebak pada prilaku konsumerisme yang banyak diintrodusir oleh TV.
Demi nilai sosial Masyarakat modern yang lebih dicirikan dengan masyarakat konsumsi (consumer sociaty) membeli sesuatu bukan dikarenakan kebutuhan melainkan lebih disebabkan oleh keinginan yang bersumber pada nilai prestise di masyarakat. Carl Gustave Jung mengungkapkan bahwa pada tingkat tertentu ada yang membedakan proses konsumsi dalam masyarakat, yaitu innermotivate. Menurutnya, innermotivate adalah sebuah dorongan, hasrat dan rangsangan yang bersemayam dalam diri manusia yang mengendalikan actus (tindakan) seseorang.
Dalam masyarakat pedalaman, yang taraf kehidupannya menengah kebawah, motif itu merupakan kebutuhan dasar yang sama sekali tidak terpengaruhi oleh tingkat dan jenis produksi. Mereka membeli barang untuk memenuhi fungsi utilitas bukan yang lainnya. Lain halnya dengan kebanyakan kaum “kaya” kota, mereka membeli barang demi pelampiasan keinginan dan hasrat membeli yang nyata-nyata dipengaruhi oleh tingkat dan jenis produksi. Dan pilihan terhadap jenis-jenis tertentu sangat dipengaruhi oleh nilai-nilai sosial dari pada nilai pakai. Mereka tidak lagi mengkonsumsi objek, namun makna-makna sosial yang tersembunyi di dalamnya.
Sebagai contoh, sekarang orang membeli ponsel bukan ditentukan oleh nilai guna untuk memudahkan berkomunikasi, tetapi ditentukan oleh fasilitas-fasilitas lainnya yang tidak begitu penting yang bersifat komplementer. Orang yang memegang HP dengan fasilitas lengkap—dan tentunya mahal—akan menandai status, kelas, dan simbol sosial tertentu. Contoh lain, orang yang mengendarai mobil BMW, Mercy, Roll Royce, dan Volvo berbeda dengan orang yang mengendarai Carry, Espass, dan L 300 dalam prestise nilai sosialnya.
Keberadaan demikian semakin tampak jelas dalam masyarakat kota di Indonesia, yang artinya budaya konsumerisme akan semakin merasuki pola hidup masyarakat. Lambat laun, seiring dengan era perdagangan bebas, kehadiran mall—yang selalu bergandengan hypermarket—juga akan menggilas pasar-pasar tradisional.
Jumat, 11 November 2016
Sepenggal Kisah Bersama SimPATI Saat Kuliah S2
Baru
dua pekan terakhir ini saya memiliki smartphone Android berlayar sentuh. Bukan
tanpa alasan menggunakannya, melainkan karena jaringan telekomunikasi di
#indonesiamakindigital. Sedangkan selama enam tahun lebih, saya adalah pengguna
BlackBerry Curve 8520 atau yang sering disebut BB Ge
mini. Ya, BB ini adalah
ponsel terlama yang pernah saya miliki. Seingat saya, sudah tiga kali dia
berganti kulit, dari hitam ke putih lalu menjadi ungu seperti sekarang.
Kondisinya pun sudah memprihatinkan setelah dipreteli oleh si adik yang kini
berusia dua tahun.
SimPATI dengan paket BB Unlimited Murah hanya Rp 10 ribu perbulan |
Dan
sepanjang waktu itu pula, BB Gemini ini telah merasakan kartu SimPATI dari
Telkomsel. Keduanya telah menyatu hingga kini. Entah sampai kapan, saya pun
belum tahu sebab saya masih merasa nyaman mengawinkan keduanya.
Walau usinya yang sudah memasuki uzur, BB Gemini dan
kartu SimPATI itu telah menemani ke berbagai daerah; dari Batam ke Dabo dan
Daik di Kabupaen Lingga, Ranai di Natuna, Pontianak dan Singkawang di
Kalimantan Barat, ketika bergelut dengan pekerjaan; di kota Gudeg Jogjakara dan
kota Kraksaan Kabupaten Probolinggo di Jawa Timur ketika mengenyam bangku
pascasarjana; dan saat berkunjung ke Singapura dan juga Malaysia. Alasan historis inilah yang membuat keduanya belum
terpisahkan.
Tulisan ini bukan
hendak menceritakan BB Gemini yang sudah diikat dengan karet, tetapi cerita
tentang kartu SimPATI-ku yang unik ini. Ya, saya sebut unik karena ada paket
istimewa yang ditawarkan untuk pelanggan setianya. Inilah kisah itu.
Jangan Abaikan SMS Promosi
Kebetulan saya dan istri sama-sama menggunakan kartu SimPATI dari Telkomsel. Saat itu,
saya sedang menikmati liburan Idul Fitri pada 2015 lalu, kala datang sebuah SMS
promosi dari Telkomsel yang mengabarkan promo terbaru untuk paket BB unlimited
bulanan. Kabar yang termaktub di dalamnya ialah info paket seharga Rp 10ribu saja.
Karena
saat itu paket yang saya gunakan mendekati masa akhir aktivasi, maka saya
berniat mencobanya. Toh, kalau sukses, saya beruntung. Kalau pun tidak, saya
akan tetap memakai paket BB unlimited seharga Rp 99ribu perbulannya. Sebab,
banyak aktivitas yang saya lakukan membutuhkan koneksi internet, dan semua terasa lebih gampang bila dilakukan dari ponsel.
Singkat
cerita, istri saya menyarankan agar hanya mengisi pulsa Rp 10 ribu saja supaya
paket yang sudah ada tidak otomatis diperpanjang. Sarannya itu saya terima. Dan
akhirnya, paket BB Unlimited habis. Segera saya daftarkan paket baru sesuai
petunjuk pada SMS promisi. Tapi sayang, saya lupa teknis daftarnya ketika itu.
Alhamdulillah, aktivasi berhasil, yakni paket BB unlimited bulanan dengan harga
Rp 10 ribu. Ini adalah paket BB unlimited termurah yang saya tahu dan saya
nikmati.
Tetapi,
saya belum puas. Saya khawatir paket baru ini membatasi aktivitas saya dari
ponsel. Maklumlah, ini era digital, di mana banyak aktivitas bila dilakukan
melalui perangkat yang hanya segenggaman saja. Maka saya coba membuka browser
lalu mengakses portal berita online atau media daring. "Yes, bisa"
ucapku dalam hati.
Hati
masih gundah, apakah push email juga masih aktif? Ada dua email yang saya
aktifkan di ponsel. Keduanya sama-sama penting karena terkait pekerjaan. Maka
untuk mengujinya, saya mengrim email dari yang satu ke yang lain. Isinya tak
ada yang penting karena hanya mengetes saja. Beberapa jenak tidak ada
tanda-tanda ikon email masuk. Aduh!!! Bahaya ini. Dengan sedikit cemas, saya
sering perhatikan lampu ikon di sudut atas layar sembari menjawab beberapa
komentar di Facebook. Akhirnya masuk juga barang itu. Hati pun lega. Dan promo
harga paket BB unlimited murah Rp 10ribu per bulan itu tak mengurangi satupun
manfaatnya.
Maka, tanpa pikir panjang, ketika paket BB istri pun
habis, langsung saja memilih paket baru sebagaimana yang telah saya lakukan di
BB saya sendiri. Betapa girangnya istri
saya karena kami bisa menghemat puluhan ribu rupiah untuk pulsa bulanan.
Apalagi saya tidak memiliki pekerjaan tetap dan harus membiayai kebutuhan
selama kuliah S2 di UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta.
Kalang Kabut Paket Habis
Di usia
kepala tiga dengan dua anak, kembali ke bangku kuliah ada pilihan yang
kenekatan. Saya nekat karena saya harus meninggalkan pekerjaan dan membiayai
kuliah secara mandiri. Belum lagi urusan dapur. Sebab itu, sedari awal saya
bertekad untuk bisa selesai kuliah secepat mungkin.
Di
tengah kesibukan penghujung smester tiga, saya sudah harus menyelesaikan
proposal tesis. Perputakaan, buku, laptop, dan internet adalah bagian penting.
Ketika di kampus, saya bisa menikmati fasilitas internet gratis. Ketika di kos,
saya harus menggunakan modem. Terkadang, kartu SimPATI itu harus berpisah
dengan BB untuk "selingkuh" dengan modem Telkomsel Flash. Ini hanya
tingga modem saja karena kartunya telah dipakai istri untuk BB dia tadi.
Biasanya saya memilih cari bacaan awal dari BB saya itu, bila ada yang cocok,
baru saya unduh di kampus. Biasalah, penghematan, dari pada harus beli paket
Telkomsel Flash.
Saat
sedang asyik mengerjakan proposal, paket BB lupa saya isi. Maka saya pun kalang
kabut sebab sumber bacaan melalui browser di BB otomatis terhenti. Padahal,
bacaan dari sumber-sumber di internet mempermudah dalam memahami setiap
pembahasan. Yang tidak kalah penting, beberapa tugas akhir kuliah disetor melalui
email, yang biasanya saya kiri melalui BB. Ketika berada di kampus saya coba
cari info pendaftaran paket BB unlimited murah itu. Perjuangan itu baru
berhasil di hari ketiga. Yes, saya masih beruntung menjadi pelanggan istimewa
Telkomsel.
Peristiwa serupa pun pernah terjadi beberapa kali hingga
akhirnya saya menyimpan kode akses rahasia untuk aktivasi paket murah itu,
yakni *550*1#. Silahkan saja Anda coba kode aksea itu, siapa
tahu Anda sedang beruntung, tepi saya tidak menjamin semuanya bisa. Setidaknya,
hingga saat ini, November 2016, paket BB saya masih menggunakan paket BB
unlimited murah dari Telkomsel. Banyak teman sekantor di Batam dan teman-teman
semasa kuliah yang iri dengan keistimewaan kartu SimPATI saya ini.
Memaksimalkan Digital
Walaupun
saya telah mengakui kualitas Telkomsel, tetapi saya hendak mencoba menggunakan
kartu lain dalam menikmati layanan digital di era #IndonesiaMakinDigital ini.
Uji coba ini saya terapkan pada smartphone Android baru saya yang sudah 4G.
Semua provider telekomunikasi sedang berlomba menggaet pelanggan dengan tawaran
bonus kuota 4G yang supet besar.
Maka
pada dua slot kartu, saya isi dua kartu berbeda sekaligus. Saya hendak menguji
kekuatan sinyal dan jaringan keduanya. Dalam dua pekan ini, penggunaan dua
kartu itu selalu saya gonta ganti apabila support sinyalnya jelek. Nah
celakanya, ketika saya bertugas di pinggiran Batam, sinyal yang tertangkap
menjadi 3G dan sesekali ganti EDGE, bahkan yang satu lagi konsisten di EDGE.
Hingga
saat ini, saya masih menguji secara obyektif, yang mana satu sinyal 4 G-nya
paling stabil di Batam ini. Ini sudah zaman digital dan #indonesiamakindigital
juga. Sehingga jangan hanya terpikat promo belaka. Jadi, menurut pembaca yang
budiman, kartu perdana apa yang cocok untuk mendukung digital style? Silahkan
usulkan pada saya, karena kartu itu akan menjadi pendamping untuk kartu
SimPATI-ku yang telah banyak menemani saya. Namun bila gagal, bukan mustahil
semua kartu yang saya gunakan merupakan produk Telkomsel yang telah teruji. Toh
masih ada kartu lain yang harga paketnya lebih sesuai kebutuhan seperti Kartu
AS ataupun Loop.
Tulisan ini untuk diikut sertakan dalam lomba #IndonesiaMakinDigital yang diselenggarakan oleh Telkom
Rabu, 09 November 2016
Geliat Perekonomian di Pasar Tos3000 Jodoh
Pedagang ayam daging di pasar Tos3000 Jodoh. Pasar ini menjadi pasar induk bagi masyarakat Batam saat ini. |
Telah beberapa tahun
Pasar Tos3000 di Jodoh menjelma menjadi pasar pagi yang penuh sesak dengan
pengunjung. Inilah pasar tersibuk di Batam dan menjadi "pasar induk"
mendadak, menggantikan pamor pasar Tanjungpantun Jodoh yang sudah dikenal masyarakat
Batam sejak 1980-an dan setelah kegagalan pasar induk yang dibangun
pemerintah.
Geliatnya pasar ini
sudah dimulai sejak dini hari, ketika pada pedagang sayur mayur mulai
berdatangan membawa sayuran segar dari berbagai daerah di Batam. Sebagian besar
sayuran itu di datangkan dari Tembesi, Rempang ataupun Galang. Sedangkan
umbi-umbian seperti kentang lebih banyak didatangkan dari Medan ataupun Jambi.
Memang, kebutuhan makanan di Batam masih membutuhkan pasokan dari luar daerah.
Kemarin (23/10) pagi,
para penjual sudah menggalar dagangan di rentang jalan antara Tos3000 hingga
Top100 Jodoh. Dua ruas jalan itu dimanfaatkan oleh pedagang sayuran dan rempah
untuk menggelar dagangan. Tak pelak, jalan itu pun tidak bisa dilalui oleh
pengendara roda empat. Sedangkan untuk roda hanya bisa sebatas melewati sisi
selatan jalur itu tatapi harus mendesakan dan bebagi dengan pedagang juga.
Kios dan lapak di dalam
pasar Tos3000 menjadi pasar basah. Sedangkan di sisi kanaan, kiri, dan depannya
menjadi tempat para penjual sayuran, rempah, dan buah-buahan. Ada juga yang
menjajakan jajanan pasar di sela-sela pedagang sayuran. Di pasar ini, tidak
sedikit orang yang menaruh harapan mengais rezeki.
"Awas ada copet.
Ibu-ibu hati-hati barangnya. Sekarang ini ibu-ibu pun sudah ada yang jadi copet,"
bunyi pengeras suara yang dibawa seorang pria itu menambah riuh suasana pasar.
Di tengah desak-desakan antara pembeli, di saat itu pula pencopet
beraksi.
Selain suara mikrofon
itu mengitari beberapa wilayah sepanjang jalan. Peringatan itu memang wajar
karena beberapa hari sebelumnya dua orang perempuan ditangkap sebab ketahuan
mencuri dompet pengunjung pasar. Dan keduanya pun harus berurusan dengan polisi
Lubuk Baja.
"Jagungnya delapan
ribu, delapan ribu," teriak seorang penjual memanggil pembeli. Teriakan
itu sudah khas di sebuah pasar. Teriakan demikian itu baru berhenti ketika
penjualnya sedang melayani pembeli.
Tentang saja, tidak
semua pedagang di Tos3000 ini berteriak-teriak karena sebagian besar barang
dagangan juga ada yang diberi papan harga. Pengunjung yang tertarik bisa membli
langsung atau tawar menawar. Tawar menawar adalah kekhasan pasar tradisional
berbeda dengan hipermarket modern yang semua telah terpasang harga.
"Kadang-kadang
saja. Sekali seminggu kalau sempat. Mumpung sekarang hari minggu," kata
seorang ibu saat berbincang dengan Tribun. Ia sengaja memilih menepi di dekat
pasar karena tak kuat untuk memasuki pasar basah Tos3000. "Kalau ke dalam
saya tak kuat. Biar mamak saja," lanjutnya.
Seorang pria yang
menggendong anak juga tengah menunggu istrinya yang berbelanja ikan segar. Ia
tidak tiga harus membawa anaknya berdesakan di tengah pegapnya ruangan pasar
basah dengan berbagai aroma menyeruak ke hidung. Pria yang mengaku bernama
Irwan ini dua pekan sekali atau ketika ada acara besar di rumah.
"Kalau di sini kan
lebih murah. Selisihnya lumayan juga. Di sini sawi satu ikat dua ribu. Kalau
beli tiga lima ribu. Ikatannya pun agak besar," ujarnya. Sedangkan di
warung-warung dekat rumahnya Baloi, walau dengan harga yang sama, tetapi ikatannya
lebih kecil. Ia bisa memaklumi karena pemilik warung juga mungkin kulakan di
pasar Tos3000 ini.
Kebutuhan masyarakat
yang tersedia di pasar Tos3000 ini cukup lengkap. Walaupun hanya bulanan, tidak
sedikit warga yang mencoba untuk berbelanja ke pasar pagi ini sacara langsung.
Kebanyakan mereka yang berleanja datang dari Batuampar, Jodoh, Nagoya, Baloi,
Pelita, dan juga Bengkong.
Hingga pukul 06.30 pagi,
masih ada sejumlah pedagang yang hendak membuka lapak. kebanyakan ialah
pedagang umbi-umbian, seperti ubi, kentang, talas, dan gubis. Sedangkan pembeli
datang silih berganti. Puncak geliatnya pada sekitar pukul 07.00. Tetapi sayang
kemarin mendung mengelayut di atas lagit Jodoh.
"Hujan, hujan,
hujan," teriak para pedagang sembari menyiapkan payung besar. Beberapa
pengunjung yang lain pun melakukan hal yang sama. Mereka harus menyelamatkan
dagangan agar tidak terkontaminasi oleh air hujan yang memiliki zat kimia yang
tajam, apalagi untuk sayur dedaunan. Biasanya, payung besar atau pun terpal itu
baru digunakan ketika sengatan mentari mulai menghangatkan tubuh. Tetapi
pagi kemarin, daun payung dibuka lebih awal sebab gerimis mengundang.
"Mudah-mudahan saja
tidak hujan. Kalau hujan pagi, kami repot mas," terang perempuan yang
minta di sapa Bu Dhe saja. Sebagai pedagang, tentu yang diharapkan ialah
pembeli. Apabila hujan di pagi hari, pembeli akan sepi sedang barang dagangan
akan layu dan tidak layak jual lagi.
Ia agak cemas sembari
berharap hujan tidak turun. Tetapi jika hanya gerimis, maka bisa jadi itu
justru petanda baik di hari Minggu ini. Sebab, ujarnya dia, hari terpanjang
untuk berjualan dalam sepekan ialah Minggu. Jika pada hari-hari biasanya hanya
sampai pukul 09.00 atau maksimal pukul 10.00, tetapi pada hari Minggu ia bisa
membuka lapak sampai pukul 11.00. Semua itu tergantung dari jumlah pembeli. Ini
sudah menjadi hukum ekonomi, semakin banyak yang membeli maka pedagang pun akan
semakin lama penggelar lapaknya.
Tetapi, mereka sudah
harus mulai mengemas barang dagangan secepatnya agar tidak mengganggu pemilik
ruko dan para pengunjung ke toko-toko di Samarinda, Avava, dan Ramayana.
Beruntung, kemarin itu hanya gerimis beberapa menit saja dan pengunjung pun
masih cukup banyak hingga pedagang berjualan sampai siang.
Ketika azan Dhuhur
berkumandang, pedagang sudah bersih. Yang tersisa hanyalah pedagang yang
membuka lapak di samping kanan Samarinda saja. Sedangkan di pasar Basah pun
sudah mulai dikemasi. Sampah-sampah mulai di kumpulkan pada satu titik agar
mudah diangkut para petugas. Geliat kehidupan pasar ini telah menyertai
kehidupan masyarakat Batam. (abd. rahman mawazi)