Ramadan yang bersamaan dengan
pandemi Covid-19 ini memang spesial. Spesial sekali karena saya kerap bosan ada
di rumah walau kerjaan banyak. Maka, pilihannya adalah melakukan kegiatan fisik
dengan banyak mengerjakan [hal ihwal entah berantah] di rumah yang sedang di
renovasi. (Maklum, saat ini saya sedang
menempati rumah kontrakan dan sebelumnya juga belum punya rumah sendiri.)
Sebelum Ramadan tiba, saya memang
sudah mempersiapkan diri untuk mengobati kerinduan semasa di pesantren dulu, ya
tepatnya di Ponpes Badridduja di Kraksaan, Probolinggo, Jawa Timur. Rentang
1996 hingga 2002 saya di sana. Dan banyak pula cerita yang menjadi titik kisar
perjalanan hidup di mulai dari sana.
Nah, satu hal yang sangat rindukan
ialah khataman kitab semasa puasa. Telah menjadi tradisi di sebagian pondok
pesantren di Jawa khataman kitab khusus selama bulan Ramadan saja. Biasanya,
para santrinya juga datang dari pesantren lain. Di Badridduja, yang ketika itu
masih diasuh KH. Badri Masduqi, juga rutin menyelenggarakan pengajian khatmul
kitab yang dimulai beberapa hari sebelum Ramadan, dan berakhir pada 25 Ramadan.
Baca juga: Benarkah Agama itu Sebagai Candu?
Tradisi khatamul kitab itu sudah
lama sekali tidak saya ikuti lagi. Bahkan, membaca kitab-kitab pun sudah sangat
jarang sejak di bangku kuliah. Bagi saya, repot sekali jika setiap kali tugas
harus bersumber dari kitab asli, dan akan lebih mudah jika menggunakan
terjemahannya. Barulah pada saat di bangku magister, saya mulai lagi agak rutin
membuka kitab-kitab ketika berkunjung ke perpustakaan kampus.
Dan sejak beralih status
pekerjaan sekarang, semakin tergeraklah diri ini untuk kembali mengaji
kitab-kitab semasa di pesantren dulu. Hal ini beranjak dari rasa gelisah dan
gundah ketika bertemu dengan mahasiswa. Banyak di antaranya yang berasal dari
pesantren, tetapi pengetahuan fikihnya menurut saya masih kurang. Banyak juga
terlihat “agamis” tetapi pengetahuan agama masih belum sepadan. Banyak juga
yang terlihat cukup menguasai tema pembahasan, tetapi ternyata tidak bisa baca
kitab dan tidak pernah. Lalu mereka berargumen dengan ala pemahamannya
sendiri terhadap Al-Qur’an dan Hadis dengan merujuk kitab-kitab yang mereka
sendiri tidak bisa membacanya.
Maka, saya masih fakir ilmu ini
memesan kitab kuning secara daring melalu marketplace. Kitab yang saya beli itu
adalah fikih-fikih dasar, Sullam at-Taufiq, Syafinah al-Najah dengan Syarah
Kasyifah-nya, Taqrib dengan Syarah Fath al-Qoriib, dan Fathul Mu’in. Satu kitab
saya jadikan referensi utama untuk mengaja Fikih dengan cara mereka membaca dan
memahami namun dengan cara saya, yakni mereka saya bekali kitab Syafinah yang
sudah ada terjemahannya.
Nah, untuk yang kitab Fath
al-Mu’in, saya mengaji ke KH. Badri Masduqi, pengasuh pertama Ponpes Badridduja
yang telah wafat pada sekitar 2002, beberapa setelah menjadi alumnus pondok
untuk melanjutkan kuliah ke Jogja. Sependek ingatan saya, Fath al-M’uin adalah
kitab yang menjadi kurikulum di Madrasah Asas Lilulumil Islamiyah (selanjutnya
disebut Asas) untuk santri kelas 4 hingga 6. Yang mengajarkan adalah para ustaz.
Baca juga: Perjalanan Panjang Pencarian Tuhan
Ketika Ramadan KH. Badri Masduqi
sendiri yang membaca langsung. Metode membaca pun berbeda dengan pengajian
kitab pada umumnya. Misalnya, kitab Fath al-Wahhab yang biasa beliau bacakan
malam hari sejam setelah Isya dengan penjelasan yang lantang dan detail. Pada
khataman kitab Ramadan, pembacaan kitab tidak terlalu diiringi dengan penjelasan
yang terlalu panjang, tetapi penjelasan seperlunya saja.
Ramadan kali ini, saya memulai
mengaji lagi kitab Fath al-Mu’in ini kepada KH. Badri Masduqi. Namun, kali ini
tidak langsung, melainkan melalui aplikasi yang telah dikembangkan oleh lembaga
Syeikh Badri Institut (SBI). Aplikasi kasi ini bisa didapatkan di Playstore
bagi pengguna Android. Maka, mulailah saya mengunggah bagian awal dari kajian
kitab ini. Dan saya pun sengat senang dapat mendengar kembali suara beliau.
Bahkan mataku berbinar senang. Maka jadilah saya mengaji daring atau online
dengan beliau. (Selain itu, saya juga terkadang mengikuti pengajian online dari
KH Tauhidullah Badri, Gus Ulil Absar Abdallah, Gus Aguk dan Prof. Abdul
Mustakim)
Kaset itu dan Media Daring kini
Saya betul-betul tak menyangka
bahwa kumpulan kaset rekaman ini bakal melepas kerinduanku dan yang lebih
penting lagi ialah pengajian ini mampu menembus waktu yang tidak saya duga
sebelumnya. Mengapa? Ternyata dengan adanya kaset ini, KH Badri Masduqi tetap
hidup, maksudnya dengan pengajian ini , beliau terasa seperti hidup.
Sudah menjadi kebiasaan dari
guruku ini untuk merekam pengajian kitab yang beliau ampu. Rekaman itu terkadang
dilakukan langsung ketika pengajian. Ada juga, menurut info yang saya dengar,
rekaman dalam kaset itu memang sengaja beliau rekam sendiri untuk diberikan
pada santri ketika beliau berhalangan mengajar, sehingga santri tetap bisa
mengaji walaupun beliau sendiri sedang tidak berada di tempat.
Baca juga: Resep Terong Bakar Sederhana ala Santri yang Enak dan Lezat
Khusus untuk kaset pengajian,
belau biasa membaca kitab menggunakan pengeras suara. Hal ini dilakukan agar
santri yang berada di luar dari kediaman (dhalem) beliau juga bisa mendengar,
wabil khusus santriwati yang bisa turut mengaji dari sisi musala. Jadi,
memang ada unsur sengaja oleh beliau untuk merekam pengajian kitab-kitab itu
agar bisa digunakan para santri.
Saya pernah melihat santri senior
yang hendak membaca Kitab Tafsir Jalalain harus belajar dengan bersungguh-sungguh,
baik dengan cara membaca kitab maknaan (baca: terjemahan) teman yang lain atau mendengarkan kaset pengajian yang lalu-lalu. Nah, artinya, memang sudah menjadi biasa di
kalangan santri Asas merekam dan mendengarkan rekaman dari pengajian Kiai.
Kalau saya tak salah ingat, memang ada santri yang khusus untuk menjadi semacam
operatornya.
Kaset-kaset pengajian ini juga
cukup banyak di ruangan beliau. Saya pernah melihatnya sendiri. Yang menarik,
kaset itu bukan hanya pengajian kitab, tetapi juga ada rekaman pengajian akbar,
baik yang diisi oleh beliau atau dari kiai dan masyayikh lainnya. Dan masih
berhubungan dengan kaset pula, beliau terbiasa mengirimkan kaset yang berisi
pendapatnya kepada beberapa tokoh, khususnya seruan untuk para pejabat.
Baca juga: Runtuhnya Negara Madinah: Islam Kemasyarakatan versus Islam Kenegaraan
Sekarang, dapat dipetik hikmah
dari kaset-kaset itu, bahwa KH Badri Masduqi merasa begitu pentingnya media
komunikasi yang tidak mudah terdistorsi. Komunikasi paling efektif yang tentu
bertemu langsung antar komunikannya. Namun, selain itu, komunikasi juga
mengenal pesan simbol (dan teks) yang sering kali menimbulkan salah paham,
multi tafsir, dan bahkan pesan yang ingin disampaikan bisa terdistorsi.
Sedangkan pesan suara lebih mudah dipahami oleh lawan bicara yang tidak bertemu
langsung. KH Badri Masduqi sangat paham perihal pola komunikasi seperti ini
sehingga dalam banyak hal dan yang perlu mendapatkan penjelasan panjang, beliau
justru kerap mengirimkan pesan suara melalui kaset.
Di era digital ini pula,
kaset-kaset pengajian kitab kuning beliau kembali diaktualisasikan. Hal ini
berkat kerja keras dari teman-teman di Syeikh Badri Institut (SBI), lembaga
yang mendedikasikan diri untuk merawat dan mereaktualisasi semangat perjuangan
KH Badri Masduqi. Digitalisasi kaset-kaset pengajian kitab kuning yang kini
tersedia di PlayStore ini pun berkat kerja keras teman-teman di SBI. Saya belum
bisa berkontribusi apa pun untuk SBI ini kecuali hanya pacapa (berwacana
doang).
Digitalisasi pengajian kitab
kuning KH. Badri Masduqi ini adalah langkah nyata dalam upaya menghidupkan
selalu semangat dari KH. Badri Masduqi. Mungkin beliau tidak banyak dikenal
oleh generasi 2000-an, tetapi santrinya dan jemaah tarekat Tijaniyah cukup
mengenalnya, khususnya di Jawa Timur.
Setidaknya, kehadiran rekaman pengajian
KH Badri Masduqi secara digital ini bisa menambah referensi bagi pecinta
ngaji kitab kuning model sorongan. Dan yang paling saya suka, pengajian kitab
kuning dari KH Badri Masduqi itu diartikan dalam bahasa Indonesia. Pola dalam
mengartikan kitab juga masih tetap mempertahankan gaya penerjemahan berbasis
ilmu nahwu. (Ya, kalau gaya bahasa Jawa, masih pakai ngutawi iku iki lah, dan saya tak paham sama sekali).
Baca juga: Menggugah (lagi) Kepekaan Kita Terhadap Visi Sosial Islam
Menjaga semangat
Saat ini, tantangan terberat bagi
saya ialah konsisten dalam mengaji. Setelah Ramadan 1441 H berlalu, belum
ada lagi membuka kitab dan mengaji. Aplikasinya sudah saya hapus untuk
sementara karena memori ponsel sudah penuh. Memang menjaga konsistensi dan keistiqomahan dalam mengaji ini penuh tantangan. Walau bagaimanapun,
saya masih berjuang melawan kemalasan dalam diri. Saya masih akan tetap berjuang
menirukan semangat KH. Badri Masduqi yang selalu konsisten mengajar santrinya.
Oh iya, konsistensi dan
keistiqomahan KH. Badri Masduqi dalam mengajar dan belajar ini patut dicontoh.
Saya dengar informasi, beliau kerap membaca kitab di waktu luangnya. Dan beliau
termasuk sangat update dalam kitab. Saya pernah melihat beberapa kitab baru
yang “berserakan” di meja dekat ruang tamu, di dalam kamar dan dekat tempat
mengajar. Yang masih terekam dalam ingatan saya ialah karya-karya dari Syeikh Sayyid
Alwi Al-Malaki Al-Hasani.
Mudah-mudahan saya [dan pembaca
tulisan ini juga] bisa istiqomah belajar seperti beliau. Tetap semangat membaca
dan belajar seperti KH Badri Masduqi. []