Terik siang itu begitu menyengat. Namun semilir angir dari
arah laut menghilangkan gerah perjalanan begitu sampai di benteng Bukit Cening.
Ini adalah benteng pertahanan kedua setelah pulau Mepar dari kerjaan Riau saat
menjadikan Daik sebagai pusat pemerintahan. Di dalam benteng itu, deretan
meriam berjejer menghadap ke laut.
Dentuman meriam silih berganti untuk menaklukkan musuh yang berhasil lolos dari
gempuran benteng di Mepar. Perlawanan sengit membuat perang berlangsung lama. Hari
pun sudah mulai sore tetapi musuh masih terus memberikan perlawan. Dan
akhirnya, kapal musuh tak berkutik lagi ketika meriam penghancur, Tupai Kembar,
berhasil memuntahkan pelurunya di gudang mesiu kapal. Doar. Lambung kapal pun
pecah dan seluruh pasukan lanun kocar kacir dan terjun ke laut di selat
Kolombok.

Kisah di atas hanyalah kilasan hayalan tentang peperangan
membasmi para lanun dan pendatang yang membahayakan kedaulatan kerajaan.
Bayangan seperti itu bisa membuat kita bernostalgia dengan masa lalu. Sejah
pemerintahan berpindah dari Riau ke Daik Lingga, belum ada catatan perihal
peperangan besar yang terjadi layaknya perang di Tanjungpinang sebagai mana
yang dipimpin oleh Raja Haji Fisabillah.
“Secara umum, baik dalam kisah-kisah orang tua ataupun sumber tertulis, belum
ada peperangan besar yang terjadi di Lingga. Benteng-benteng itu dibangun untuk
pertahanan karena Lingga adalah ibu kota. Cerita yang banyak terdengar tentang
penaklukan para lalun dan perompak,” kata Lazuwardi, pemerhati sejarah di
Lingga. Meriam ini dibangun pada masa pemerintahan Sultan Abdurrahman Syah
(1812-1832).
Khayalan peperangan semacam itu muncul ketika berdiri di
meriam Tupai Beradu. Meriam ini adalah meriam terbesar dari 19 meriam yang ada
di Bukit Cening. Panjangnya 2,8 meter dengan deameter 12 centi meter. Dalam
penuturan warga, meriam ini diapit oleh meriam Mahkota Raja. Saat ini, susunan
meriam itu disesuaikan dengan kisah-kisah yang tersebar di masyarakat. Panglima
yang mengomandoi benteng itu dikenal bernama Panglima Pandak atau Panglima
Cening.
“Meriam Tupai Beradu ini diapit oleh meriam Mahkota Raja.
Kisah ini sudah turun temurun begitu. Sifatnya lebih sebagai meriam penghancur.
Mungkin karena ukuran lebih besar dari pada yang lain. Panglima Ceninglah yang
memegang komando dan yang memegang kendali meriam Tupai Beradu itu,” katanya
lagi.


Benteng Bukit Cening siap memiliki luas 32x30 centi meter.
Dari benteng ini, terlihat hamparan luas selat Kolombok. Selat ini menjadi
pintu masuk bagi setiap pedagang yang hendak berlabuh di pelabuhan Pabean
melalui sungai Daik. Di benteng itu juga ditemukan angka 1783 dan 1797 serta
tulisan VOC yang diduga sebagai tahun pembuatan meriam. Tulisan “VOC”
menandakan meriam itu dibeli dari pemerintah Hindia Belanda. Keterangan itu tertulis
pada prasasti di bagian depan benteng.
Kuala Daik
Sungai Daik adalah satu-satunya jalan untuk mencapai ke
pusat pemukiman penduduk dan area istana sultan. Di dalam aliran sungai itu
pula terdapat pelabuhan tempat bongkar muat barang. Namun, bagi musuh hendak
memasuki muara sungai, ia harus terlebih dahulu menaklukan benteng Kuala Daik dan
Kubu Pari yang tedapat puluhan meriam.
“Dulunya meriam di sana lebih banyak. Tetapi karena
lokasinya jauh dari pemukiman, perawatannya agak sulit. Sebelum diletakkan pada
beton, meriam-meriam itu berserakan,” kata seorang warga. Saat ini, ada 16
meriam yang berhasil ditemukan dari 21 meriam yang dikabarkan berada di kubu
parit ini. Ada kabar, beberapa meriam berhasil dipindahkan ke tengah pemukiman
penduduk.
Dengan jumlah sebanyak itu, meriam ini bisa menghalau musuh
dari jarak dekat, bahkan sebelum kapal musuh berhasil menyentuh bibir sungai. Apalagi,
benteng Kuala Daik yang berada tepat di bibir pantai juga selalu siap menuggu
kedatangan musuh yang berhasil lolos dari gempuran benteng Mepar dan Bukit
Cening. (Abd Rahman Mawazi)