Sepekan sudah Kabinet Kerja Joko Widodo-Jusuf Kalla dilantik. Dari nama serta simbol yang ditunjukan pada saat pengumuman kabinet itu—berbaju putih dengan lengan disingsingkan—setidaknya sudah mencerminkan semangat kerja. Apalagi komposisi menterinya diklaim berimbang antara kalangan politisi [profesional] dan profesional [murni]. Namun, akankah kabinet ini bisa bekerja hebat?
Minggu, 23 November 2014
Profesional Tersandung Prosedural
Sepekan sudah Kabinet Kerja Joko Widodo-Jusuf Kalla dilantik. Dari nama serta simbol yang ditunjukan pada saat pengumuman kabinet itu—berbaju putih dengan lengan disingsingkan—setidaknya sudah mencerminkan semangat kerja. Apalagi komposisi menterinya diklaim berimbang antara kalangan politisi [profesional] dan profesional [murni]. Namun, akankah kabinet ini bisa bekerja hebat?
Dari sekian banyak menteri dari kalangan professional itu, misalnya,
Rahmat Gobel dan Susi Pudjiastuni. Kehadiran Susi termasuk fenomenal. Ia dianggap
hadir dari kalangan profesional yang memiliki pengalaman di bidang perikanan
dan kelautan. Bahkan, beberapa kali Susi menyatakan akan menjadikan sektor kelautan
memiliki nilai bisnis yang mampu memberikan keuntungan (devisa) sehingga
bertahan berkesinambungan bagi penyejahteraan rakyat.
Karakter kepemimpinan kalangan profesional itu biasanya ditunjukan
dengan sikap cepat dan tepat dalam pengambilan keputusan karena semangatnya
adalah semangat kerja. Hal ini sangat lumrah dipraktikan para manager di
perusahaan, sebab bila menunda-nunda keputusan justru akan semakin menimbulkan
kerugian yang lebih besar lagi. Tegas selalu diperlihatkan dalam setiap
kebijakannya.
Semangat kerja seperti itu akan sulit dilakukan pada sistem tata negara.
Sebelum melakukan tindakan, harus ada prosedur terlebih dahulu yang dilalui,
khususnya pendanaan. Dalam pemerintahan, program kerja tidak akan pernah
dilaksanakan jika tidak termasuk dalam anggaran dan atau bila anggaran itu belum
tersedia.
Setiap tahunnya, diakui atau tidak, anggaran belanja negara/daerah
selalu telat turun rata-rata tiga bulan sejak tahun anggaran berjalan.
Pemerintah daerah sudah cukup merasakan kondisi itu, yang ditandai dengan
seringnya penundaan pembayaran gaji para pegawai honorer dan bahkan juga gaji
anggota DPRD. Kondisi demikian, tentu menjadi batu sandungan yang tidak mudah
bagi para menteri di Kabinet Kerja. Dalam sistem anggaran negara, hampir bisa
dikatakan program selalu tidak bisa dilakukan tepat waktu karena, lagi-lagi,
alasan dana.
Hal ini akan diperparah lagi bila sumber daya manusia di lembaga yang
dipimpin belum seirama. Tidaklah mudah mengubah pola pikir dan etos kerja
birokrat yang kerap kali kurang inisiasi, apalagi bila berbenturan dengan
anggaran. Mau tidak mau, pemerintahan saat ini pun harus mensosialisasikan visi
dan misi pada pejabat birokrasi dari level tertinggi hingga terandah demi
membangun etos kerja yang seirama.
KIH v KMP
Fenomena kekinian dari konstalasi politik di gedung Dewan Perwakilan
Rakyat (DPR) telah menimbulkan dua kubu sebagai imbas secara langsung dari
dukungan saat pemilihan presiden dan wakil presiden lalu. Yang lebih ekstrim
lagi ialah Koalisi Indonesia Hebat (KIH) membentuk struktur baru DPR dengan
alasan tidak percaya dengan pemimpian DPR yang dikuasai Koalisi Merah Putih
(KMP).
Realitas politik di Senayan itu tentu akan berimbas pada kinerja pemerintahan
Joko Widodo-Jusuf Kalla. Pemerintah (eksekutif) akan kebingungan dalam
koordinasi dengan legislatif yang terpecah belah. Yang jelas, sikap apapun yang
menunjukan keberpihakan pada salah satu dari dua DPR itu akan menimbulkan
konsekuensi tersendiri. Padahal, DPR memiliki peran budgeting yang juga penting untuk merealisasikan program
pemerintahannya dan peran legislasi yang akan menentukan nasib perjalanan
negara; bukan nasib untuk sekelompok belaka.
Sistem demokrasi memang memungkinkan kekuasaan tidak hanya diisi oleh
seorang atau sekelompok saja. Kekuasaan bisa terbagi pada orang atau kelompok
lain untuk saling menjaga nilai etika politik demi mewujudkan cita-cita
bernegara. Kenyataan saat ini, ketika KIH berkeinginan agar alat kekuasaan
negara, dalam hal ini eksekutif dan legislatif, hanya milik KIH, maka hal itu
tidak sejalan dengan semangat demokrasi itu sendiri. Yang diperlukan adalah
komunikasi politik dari para elit partai untuk mencari solusi terbaik dari
persoalan tersebut.
Apabila konflik Senayang tidak kunjung usai, maka akan semakin
menyulitkan pemerintahan Joko Widodo-Jusuf Kalla dalam menjalan visi dan
misinya. Bahkan, ketika tidak ada konflik pun, masih tetap sulit juga karena
kuasa DPR dipimpin oleh kelompok lain (baca; KMP). Seprofesional apapun kabinet
yang dibangun, masih akan tersandung oleh prosedur itu sebagai konsekuensi dari
sistem tata negara yang berlaku di negara kita. Semangat kerja dari Kabinet
Kerja pun akan sulit terealisasi dalam tahun pertama pemerintahan Joko
Widodo-Jusuf Kalla.
NB: Tulisan ini dibuat sepekan usai pelantikan kabinet.