Judul: Runtuhnya Negara Madnah: Islam
Kemasyarakatan versus Islam Kenegaraan
Penulis: Jamal Albana
Penerbit: Pilar Media, Yogyakarta
Cetakan: I, Oktober 2005
Tebal: xx + 592 halaman
Diskursus tentang negara, termasuk realisi
Islam dan negara, menjadi bagian tak terpisahkan dalam kajian keagamaan.
Asumsi ini berpijak pada argumen bahwa pemikiran maupun
praktik yang menyangkut masalah politik, sosial, ekonomi, atau realitas apapun
tidak begitu saja menafikan referensi agama.
Persoalan negara dan pemerintahan dalam wacana Islam memang menjadi
perdebatan serius. Hal ini dikarenakan keinginan sebagian Muslim untuk
mewujudkan suatu pemerintahan yang menjalankan syariat sebagai dasar resmi
negara, karena dinilai sebagai pilihan ideal yang dapat menjawab segala konteks
dan problem keumatan.
Negara Madinah yang dipraktekkan Nabi
serta khilafah yang dipraktekkan oleh al-khulafa' al-Rasyidun menjadi
rujukan bagi sebuah cita-cita negara Islam. Keberhasilan Nabi menentramkan umat
Madinah kemudian menjadikannya sebagai pemangku kekuasaan yang diserahkan
masysrakat Madinah penuh kesadaran. Keberhasilan Nabi membuatnya
menduduki dualisme peran kekuasaan, sebagai Rasul dan kepala pemerintahan.
Namun menurut Jamal Albana, dalam buku Runtuhnya Negara Madinah ini,
mempunyai perspektif berbeda terhadap sejarah Madinah. Menurutnya, Negara
Madinah belum cukup memenuhi kriterium sebuah negara. Konsep negara ini bisa
dibilang merupakan ekprimen sejarah satu-satunya yang dilakukan Nabi disaat
kondisi menuntut beliau untuk menerima jabatan dalam memimpin masyarakat.
Baginya, menganalogikan konsep negara Islam terhadap Negara Madinah adalah
suatu kesalah besar.
Fakta sejarah dunia Muslim telah mencatat
bahwa ketika doktrin agama ditawarkan untuk menjadi ideologi dalam bernegara,
baik secara progresif maupaun tidak telah menimbulkan konsekuansinya
masing-masing. Berdasarkan fakta sejarah itu pula Albana mulai menganalisa.
Menurutnya, kekuasaanlah yang
merusak alkhilafah ar-rasyidah dan mengubah menjadi monarki
otoriter. Albana menengarai hal ini terjadi sejak Muawiyah ibn
Abu Sufyan memegang kekuasaan. Ini bukti paling kuat dalam kasus kejahatan
kekuasaan. Dia selalu, dan harus menghancurkan sistem manapun yang bersandar
padanya. Hingga akhirnya, khalifah selanjutnya mengubah sandararannya menjadi
kekuasaan dalam dua simbol; pedang dan harta.
Dan selanjutmya, praktik kekhalifaan
kemudian muncul berlandaskan pada konsep teokrasi Islam, yang justru dikenal
sebagai pemerintahan yang despotik dan hegemonik, agama pada masa itu cendrung
hanya menjadi alat legitimasi kekuasaan. Seperti yang terjadi pada pemerintahan
Bani Umayyah dan Abbasiyah.
Masuknya agama dalam ideologi kekuasaan
bertolak belakang dengan doktrin agama yang akhirnya membelenggu umatnya. Dengan kekuasaan interpretasi doktrin agama menjadi milik penguasa, dengan
kekuasan pula praktek keberagamaan ditangan penguasa. Karena hubungan yang
membedakan antara umat dan kekuasan adalah bahwa kekuasaan tidak berpihak pada
umat, dan hanya cendrung menjadikannya sebagai alat pengendalian dan
penindasan. Maka, menurut Albana, kekuasaan pun tidak akan mampu mengemban misi
dakwah atau memperjuangkan peranan nialai-nialai agama.
Pada dasaranya usaha-usaha pendirian
Negara Islam di beberapa negara, menurut Albana justru tidak memiliki
unsur-unsur esensial sebagai sebuah Negara Islam, tak heran bila didalamnya
terdapat penindasan, pengekangan kebebasan, krisis ekonomi, inflasi yang
tinggi, kemiskinan yang menghinakan, ketiadan oposisi politik yang bebas, dan
pemenjaraan orang-orang yang dinilai membangkang. Disini, cermin
niali-nilai Islam justru hilang.
Kekuasaan yang merupakan ciri khas sebuah negara, pasti akan merusak
ideologi. Perusakan ini adalah salah satu tabiat dari kekuasaan. Sistem manapun
yang dibarengi dengan ide reformasi pasti akan dihancurkan, sistem manapun yang
berusaha menundukkannya pasti akan ditundukkannya. Oleh sebab itu, kekuasaan
akan cendrung merusak, korup, hegemonik, dan despotik bagi sebuah ideologi,
termasuk agama. Hal ini yang dijadikan dasar bagi Albana bahwa Islam adalah
sebagai agama dan umat, bukan agama dan negara.
Karena negara, yang selalu berporos pada kekekuasaan profan, tidak akan
pernah sejajar dengan nilai-nilai agama yang sakral. Ketika kekuasan merupakan
karakteristik teristimewa, ketika kekuasaan sebagai penyebab kerusakan, maka
artinya juga adalah bahwa kekuasaan tersebut akan merusak norma-norma Islam,
bila norma tersebut dibangun melalui negara dan muncul dari kekuasaan.
Jadi, ketika ideologi dan kekuasaan dipercampuradukkan, maka sudah suatu
kepastian dan tidak dapat dihindari lagi bahwa kekuasaan akan merusak ideologi.
Hal ini terbukti dari beberapa eksperimen pendirian Negara Islam yang ternyata
selalu mengalami kegagalan, sebab sejatinya memang tidak ada konsep Negara
(untuk menagatakan kekuasaan) Islam dalam syariah.
Yang menarik dari buku ini adalah kutipan
pemikiran dan ulasan dari beberapa tokoh yang menjadi rujukan konsep negara
Islam dan organisasi yang gencar memperjuangkannya. Mulai dari wacana kekuasaan
dalam Islam yang diplopori Jamaluddin al-Afghani sampai Hasan al-Banna, mulai
dari penggagasan ide "Negara Islam"-nya al-Maududi, Sayyid Quthb,
hingga al-Khomaini, dan mulia dari aksi gerakan kelompok Tafkir, Hizbu
at-Tahrir, hingga Jama'ah Islamiyah.
Namun dalam memperkuat argumennya, Albana tidak hanya merujuk pada
historisitas peradaban politik Islam. Ia juga mengambil contoh apa yang terjadi
diluar umat Islam, misalnya kekuasaan yang merusak Yahudi menjadi Zionis.
Menurutnya apa yangterjadi pada umat Yahudi dikarenakan perebutah kekuasan yang
berdasarkan pada akidah dari hasil interpretasi Taurat. Padahal akidah itu
selalu berhubungan pada golongan. Perseteruan inilah yang menjadikannya Zionis,
yang menurut Albana pula sebagai rahasia kejahatan yangdiperbuat para zionisme.
Setidanya, kehadiran buku ini mampu memberikan pemahaman baru bagi wacana
politik Islam dan mempertajam diskursus relasi islam dan negara. Dan
lebih-lebih, buku ini dapat menjadi kritik terhadap sejarah yang dijadikan
landasar konsep negara Islam.
Catatan:
Tulisan ini merupakan tulisan semasa masih
menempuh pendidikan strata satu di Yogyakarta. Tulisan ini dibuat pada 2005 ketika masih dalam proses belajar menulis. Jika
pun ada kurang pas, mohon maaf karena tidak ada pembaruan atau update terhadap
tulisan di dalamnya.[]