Sabtu, 19 Agustus 2017
Cara Mengindentifikasi Lapak Online Palsu di Tokopedia, Shopee, Bukalapak, Lazada dan Lainnya
Pernahkah Anda tertipu dari transaksi jual beli online? Jika
pernah. Silahkan berbagi informasi di kolom komentar. Jika Anda belum tertipu,
silahkan simak tulisan ini agar jangan tertipu. Belajar dari pengalaman diri
sendiri dan orang lain untuk lebih baik. Ah... Serupa itulah kiranya kalimat
bijaksana yang sering kita dengar.
Pada artikel kali ini, saya ingin berbagi cerita perihal
lapak-lapak yang “diduga penipu” di marketplace ternama di Indonesia; Tokopedia,
Shopee, Lazada, Bukalapak dan lainnya. Situs yang saya sebutkan itu memang bersaing
untuk menjadi tempat belanja online masyarakat Indonesia serta berupaya
menjemput pelapak sebanyak mungkin. Kebetulan saya dan beberapa teman termasuk
sering berselancar mencari barang melalui marketplace itu. Beberapa hari lalu,
saya sedang mencari beberapa produk elektronik melalui marketplace juga. Namun,
saya mendapati kejanggalan pada beberapa toko. Hal ini sudah sering saya jumpai
setiap kali melakukan perburuan barang di marketplace. Itulah mengapa saya
ingin berbagi kisah dan kiat terhindar dari pelapak palsu itu.
Sering kita dengar, marketplace tersebut merupakan tempat
transaksi online yang aman. Tidak sedikit pula pembeli memilih menjadikannya
sebagai tempat transaksi walaupun belanjanya dengan cara komunikasi langsung. Ops....
mungkin kamu bertanya, apa iya bisa ada penipuan di situ? Bukankah marketplace
seperti Tokopedia, Shopee, Lazada, Bukalapak dan lainnya lebih aman? Oh...
tunggu dulu. Yang namanya penipuan itu bisa terjadi di mana saja. Para
penipupun berakal panjang untuk menjerat korbannya.
Kita percaya bahwa aturan yang diterapkan di marketplace,
seperti yang telah saya sebutkan itu, sangat ketat dan aman. Seorang teman
pernah bertransaksi melalui salah satunya. Ketika itu, ia membeli beberapa item
barang. Namun, setalah barang diterima, ada beberapa item yang tidak ada. Setelah
dikonfirmasi ke admin marketplace, memang diketahui bahwa penjual tidak
menyertakan barang itu. Akhirnya uang dia dikembalikan senilai barang yang
tidak terkirim dan ia pun mendapatkan voucher belanja senilainya, sebagai
kompensasi. Itulah gambaran betapa ketatnya aturan di marketplace itu. Ada juga
teman saya yang, untuk bayar tagihan listrik saja, menggunakannya karena bebas
biaya administrasilah, lebih gampanglah, kejar poinlah, dan macam-macam
alasannya.
Seketat-ketatnya aturan, tetap ada celah bagi para penipu. Dan
para penipu ini adalah “orang pintar”, bahkan termasuk “orang nekat”. Para penipu
yang mahir didunia cyber, mungkin bisa mengalihkan IP Address. Penipu yang
mahir dalam komunikasi, mungkin akan menuliskan kata dan kalimat yang memikat. Nah,
kitalah yang harus bijak menentukan.
Untuk mengindentifasi lapak-lapak penipu di marketplace terbilang
gampang-gampang susah. Di bilang gampang, karena mungkin kita telah mengetahui
karakteristik lapak atau toko, maupun produk-produk yang dipajang di
etalasenya. Di bilang susah, karena harga yang diberikan betul-betul
menggiurkan. Bagi orang yang “kebelet” ingin punya produk premium dengan harga
murah, maka akan gampang terpedaya oleh model yang begini. Ciri-ciri toko atau
lapak penipu ini biasa meliputi beberapa hal.
Jika sedang berselancar di salah satu marketpalce melalui
kolom pencarian, kita akan digiring pada produk yang paling dekat dengan kata
kunci. Misalnya, kita memasukkan S7 Edge. Maka produk yang terkait akan keluar.
Nah, di sanalah kita akan mendapati perbedaan harga dari setiap penawaran toko.
Harga murah dan termurah dari yang tampil, biasanya akan menjadi pilihan
pertama untuk kita klik. Nah... Penipu biasanya memanfaatkan kondisi ini untuk
memikat calon korbannya.
Lapak atau toko di marketplace akan selalu mencantumkan
spesifikasi produk sebaik mungkin. Kateranga itu pun dibuat detail namun tidak
panjang. Informasi yang cukup, biasanya akan menarik minat pembeli. Namun di
lapak gadungan, biasanya informasi itu dimulai dengan klaim. Klaim terhadap
pelayanan terbaik dan harga termurah. Di sepanjang keterangannya itu, nanti
akan ada model atau tipe produk-produk lain yang juga disebutkan bersamaan
dengan daftar panjang.
Mengapa dibuat keterangan begitu? Karena biasanya, kita
cendrung abai dengan bahasa keterangan yang atas sehingga akan memperhatikan
daftar harga produk lain yang dibuat. Padahal, kalau dicermati, dari pengalaman
saya, tidak sedikit keterangan itu yang dikopi paste dari keterangan orang
lain. Bahkan, ada yang diterjemahkan melalui perangkat.
Sedangkan pada keterangan yang pendek, biasanya akan
dipasang keterangan barang seadanya. Lalu ia akan mengarahkan untuk
berkomunikasi langsung via chat ataupun aplikasi sosial media, entah itu
whatsapp, BBM, Messenger, BeTalk, WeChat, dan lainnya. Intiny, pelapak gadungan itu akan mengarahkan
ke sana.
Periksalah penilaian ataupun komentar di bagian kolom-kolom
yang telah tersedia pada setiap produk. Setelah dua indikasi terpenuhi, dan jika
tidak ada penilaian, sudah sepatutnya untuk curiga. Jika tidak ada komentar
atau ada komentar yang jawabannya agak kurang memuaskan, patut juga dicurigai. Biasanya,
ketika chat di kolom yang tersedia, pelapak akan mengarahkan untuk menghubunginya
melalui chat di luar yang disediakan oleh marketplace itu.
Aduh... saya bawa-bawa pula kata “bayi”. Maafkanlah saya. Itu
hanya perumpamaan saja. Saya ingin mengatakan, bahwa toko atau lapak gadungan
yang bertebaran di marketplace itu kebanyakan umurnya baru berbilang minggu. Jarang
sekali saya menemukan yang berumur sampai dua bulan. Saya menduga ada beberapa
sebab. Pertama, toko-toko yang diindikasi penipu dihapus oleh admin marketplace
setelah ada laporan dari calon pembeli. Kedua, mungkin sengaja dihapus oleh si
pembuka lapak itu sendiri ketika sudah berhasil mendapatkan korban. Bayangkan saja,
kalau dari toko yang dia bina itu dapat transaksi senilai Rp 2 juta, kan
lumayan.
Setelah kita lihat profil dari toko atau lapak itu, maka
akan terlihat juga daftar produk dan item jualannya. Yang saya temukan,
toko-toko yang diduga penipu ini biasanya telah memiliki puluhan bahkan ratusan
produk dalam toko online itu. Sepintas, hal itu akan memberikan kesan bahwa
toko ini memiliki banyak barang, toko itu toko yang “profesional”, toko itu sudah
berpengalaman, dan lainnya. Namun anehnya, produk yang terlihat di kolom gambar
itu cendrung sama. Paling ada sekitar lima atau tidak sampai 10 item. Baik foto,
judul, dan keterangannya pun sama. Itulah trik mereka untuk mengelabui.
Setidaknya itulah ciri-ciri untuk mengidentifikasi toko atau
lapak penipu yang tersebar di marketplace. Dari ribuan hingga puluhan ribu pelapak
online di marketplace, mungkin tidak banyak penipunya. Namun, jangan sampai
kita pula yang menjadi korbannya. Mudah-mudah kita semua semakin cermat dalam
berbelanja online di era digital ini. Semoga saja tulisan singkat ini
bermanfaat.
Catatan: Tolong jangan diviralkan. Nanti para pelapak penipu
tersinggung. hehehehehe
Tunggu tulisan lanjutan perihal kiat berbelanja online, termasuk
memilih lapak-lapak terpercaya.
Jumat, 11 Agustus 2017
Aku di antara Bawean dan Batam
Aku saat berusia sembilan tahun ketika di kampung |
Saya tersentak ketika seorang teman mengaku sudah jenuh
dengan aktivitasnya di kota berkategori metropolis ataupun metropolitan. Ia mengaku
ingin hidup di kota kecil di kampung, yang bukan termasuk metropolitan.
Alasannya, selama berada di kota metropolis itu, ia merasakan kekurangan dalam
hal spiritualitas. Sebab, selama ini ia hidup di lingkungan perkampungan yang
kental dengan tradisi bersarung, berkegiatan sosial dan kekeluargaan, serta
bercengkrama santai di sudut-sudut kampung.
Saya pun tersentak mendengarnya. Kota metropolis seperti
Batam dan Jakarta, kata dia, memang talah membuatnya hanya disibukkan dengan pekerjaan
dan pencarian materi. Memang, ada waktu untuk berkumpul bersosialisasi dengan
tetangga ataupun masyarakat dan ada
waktu untuk beribadah. Namun, itu semua masih dirasa kurang dalam hal
spiritualitas dan pengabdian sosial. Di kota, kata dia lagi, pengabdian sosial
pun masih dalam perhitungan materi. “Ujung-ujungnya, kita sibuk dengan materi,”
kata dia menegaskan. “Aku ingin balik kampung saja,” kata dia lagi.
Pernyataan itu sempat mengganggu pikiranku. Sekilas
terbanyang perihal kehidupan masyarakat di kampung halaman orang tua, di Pulau
Bawean, dengan rutinitas masyarakat kebanyakan sebagai petani, nelayan, buruh,
dan sebagian karyawan atau pegawai. Terbayang pula dengan kehidupan yang lepas
dari hingar bingar kendaraan dan kemacetan pada saat jam sibuk. Ah... sudahlah.
Itu hanya sebuah banyangan karena sayapun hanya numpang lahir saja di sana.
Yang sedikit mengusik pikiran saya. Apa yang diutarakan oleh
teman itu, bersamaan pula dengan fenomena pulang kampung di Batam. Yang ini
alasannya berbeda. Bukan karena alasan spiritualitas dan pengabdian sosial,
tetapi karena kelesuan ekonomi. Mereka
menilai Batam tidak lagi seperti dulu: cari kerja susah dan kebutuhan masih
tetap tinggi. Nah, kalau ini alasannya ialah alasan materialis.
Di Batam ini, dulunya, penduduknya terbilang nyaman. Keluar masuk
atau berpindah-pindah tempat kerja gampang saja karena tingkat kebutuhan tenaga
kerja begitu tinggi. Bosan menjadi operator di sebuah perusahaan elektronik,
bisa berhenti dan menjadi pramuniaga di toko-toko dalam mal. Bahkan, ketika
bosan bekerja pada orang atau perusahaan lain, bisa menjadi tukang ojek, yang
penghasilannya pun lumayan. Itu dulu, sekitar 1990-an hingga 2000-an awal. Kala itu, orang berbondong datang ke Batam
untuk mengadukan nasib bidang perekonomiannya. Sebab itu, mungkin bisa disebutkan kini 80
persen penduduk di Batam saat ini adalah pendatang dari berbagai penjuru
daerah. Saya punya kawan dari suku Batak, Jawa, Padang, dan ada juga yang campuran.
zaman dulu belum musim selfie |
Anak perantau
Merantau ke kota, apalagi kota dengan kategori metropolitan,
sering kali menjadi impian banyak orang dengan harapan bisa menambah
pundi-pundi kekayaan. Sukses di perantauan
memang kerap diukur dengan seberapa nilai kekayaan yang dimiliki ataupun
sebarapa banyak mampu mengirim ke kampung halaman. Daya pikat kota dengan
angan-angan atau impian bisa “memperbaiki nasib” itu telah berhasil menciptakan
urbanisasi besar-besarn era modern ini. Perihal filosofi dari tradisi perantauan
ini memang berbeda. Silahkan saja baca buku-buku sejarah perantauan atau
diaspora suku bangsa di Indonesia dan buku antropologi.
Proses kehidupan di metropolitan telah melahirkan persilangan:
silang budaya, silang ketuturan, dan lainnya. Nah, ketika memasuki generasi
pertama, maka lahirlah identitas kebudayaan dan ketuturan yang baru.
Gampangnya, misalnya, orang tua saya kelahiran Jawa Timur, saya kelahiran
Batam. Kemudian ketika ditanya, “kamu orang mana?” saat menjawab Batam. Kecendrungan
akan ditanyakan lagi, “asli Batam?” disitulah kegalauan akan muncul. Orang tua
yang Jawa masih mewariskan kejawaannya dalam keluarga. Tetapi kelahiran telah
memperjelas identitas awalnya. Sama saja bingungnya, ketika si peranakan rantau
ditanyaka, “kampungnya di mana?” Nak jawab apa, coba? (Sekarang, bagaimana
perasaan kalian bila itu terjadi? Silahkan tuliskan di kolom komentar saja
ya..?)
Atau bisa saja, lahirnya di kampung halaman, tetapi justru
tidak pernah hidup lama di kampungnya. Teman pun tak punya di sana. Nah,
bagaimana mengidentifikasi diri? Entahlah.... biasanya hal seperti itu
diselesaikan secara “adat” alias disesuaikan konteks saja. (kalau pembaca punya
pendapat, silahkan tuliskan di kolom komentar saja)
Kembali pada cerita teman yang ingin balik ke kampung
halamannya. Kehidupan kota yang membuatnya terlalu sibuk dengan pertimbangan materi
itu, memang sudah banyak dibahas oleh teoritikus. Dan gejala kehausan
spiritualisme sudah banyak terjadi di kota-kota metropolitas seluruh dunia. Bahkan,
masyarakat negara maju pun sudah berupaya memilih kembali ke kehidupan natural,
kembali pada pengisian spirititualisme dalam diri. Tidak sedikit pula yang
memilih liburan ke daerah pelosok sekadar me-refreshing diri. Jika temanku itu
memilih untuk pulang kampung, maka kuucapkan untuk selamat beradaptasi kembali
di kampungmu. Terima kasih.
Senin, 07 Agustus 2017
Sepandangan murid SD O24 Sei Panas dari Bilik Kios (Reuni SD-habis)
Beberapa hari ini kuperhatikan anak-anak sekolah dasar (SD)
pulang lewat depan di depan Kios F21 Mobile. Pada hari tertentu, kulihat
seragam mereka berbeda-beda. Itu artinya, mereka tidak satu sekolah. Ada kemungkinan
mereka tinggal berdekatan, tetapi sekolah di SD yang berbeda. Setiap siang,
selalu saja terlihat silih berganti rombongan anak SD itu lewat. Padahal di
pagi hari, jarang saya lihat mereka berangkat bersama.
Dulu, yang kualami seperti itu juga ketika masih duduk di
bangku SD 024 Seipanas. Berangkat seorang diri, tetapi pulangnya bersama-sama
dengan teman yang lain. Tampaknya, di antara mereka itu ada juga yang merupakan
siswa dari SD 024. Setidaknya itu yang kutengarai dari warna seragam olah
raganya, putih dan kemerahan. Sedangkan baju batiknya, warna jingga.
Perjalanan itu masih serupa. Dulu, kios tak bernama dan
berjualan camilan saja. Tidak sedikit juga teman-teman yang masih memiliki sisa
uang jajan berbelanja di kois ini. Kini, kios itu kuberi nama Kios F21 Mobile
sebagai tempat jualan paket internet murah. Dan dari balik kios itu pulalah terbayang
olehku masa-masa SD dulu. Yang tak kalah penting lagi yakni seorang guru kami,
wali kelas ketika di kelas enam.
Saya yakin, setiap orang memiliki memori tersendiri dengan
masa kanak-kanaknya. Mungkin kita sudah sukses menjadi seorang penulis,
pengusaha, pejabat, karyawan di perusahaan top ataupun profesi lainnya. Tepi memori masa lalu itu akan tetap
terkenang pada momentum tertentu.
Pesan Ketika Dewasa
Ketika reuni itu digelar, guru kami itu memang sungguh
membangkitkan memori masa lalu. Setidaknya itu untukku. Entahlah bagi
teman-teman yang lain. Sebagian dari pada itu telah kutiliskan pada tulisan
pertama reuni dengan judul ......... Silahkan baca lagi yaa
Kali ini saya tidak hendak bernostalgia terlalu dengan masa
di masa SD itu. Di bagian akhir tulisan ini, saya hendak menuliskan beberapa
pesan dari guru kami. Itu adalah petuah yang, menurut saya, wajib “diabadikan”
dengan tulisan. Niatan ini dilandasi dari petuah yang berbunyi, “ikatlah ilmu
dengan tulisan.”
Ibu Henny memberikan tiga poin petuah. (Siapa di antara
teman-teman yang masih ingat dengan petuah beliau itu?) Setidaknya itu yang
masih terekam dalam memoriku hingga tulisan ini dibuat.
Pertama, berbakati pada orang tua. Kami sudah menjadi orang
tua. Tetapi Bu Henny tetap berbepesan agar kami tetap berbakti pada orang tau.
Ia berpesan demikian justru karena kami telah menjadi orang tua. Menurut
beliau, orang tua itu sangat membutuhkan kasih perhatian dari anak-anaknya. Justru
kami yang sudah menjadi orang tua, bisa merasakan bagaimana mengasuh anak-anak;
saat rewel, saat meminta sesuatu, saat tidak mempedulikan nasihat dan teguran
kita, serta lain sebagainya. Begitulah yang dirasakan oleh orang tua ketika
sudah renta. Dan saat itulah berbakti kepadanya menjadi nilai lebih menyejukan
hati orangtua.
Kedua, jangan tinggalkan salat. Bagi Bu Henny, perintah
salat dalam agama itu penting. Ia tidak peduli dengan aliran atau mazhab apa
yang dianut. Namun, salat merupakan tiang agama yang harus terus ditegakan. Kita,
kata beliau, tidak bisa hanya mengejar materi sebab tidak bisa dibawa mati.
Pada saat reuni digelar, Bu Henny sendiri sedang melaksanakan puasa sunnah di
bulan Syawal.
Dan yang ketiga, pererat silaturahmi. Bu Henny memuji kami
yang masih menyempatkan diri untuk bisa bersilaturahmi. Bahkan, beliau mengaku
selalu berupaya hadir dalam setiap undangan silaturahmi yang digelar
murid-muridnya, dari semua angkatan, dari berbagai sekolah tempat ia pernah
mengajar. Karena dalam silaturahmi, kata beliau, akan mengenal mempererat
hubungan satu sama lainnya. Bisa saling membantu, saling meringankan, saling
berbagi informasi, dan sebagainya.
Itulah petuah penting Bu Henny yang masih terekam dalam
memoriku. Pesan yang disampaikan kepada kami ketika kami telah dewasa secara
umur. Sedangkan petuah dan pesannya ketika kami masih dibangku SD, telah
tertindih memori baru. Itulah keterbatasan sebagai manusia. Namun bisa jadi,
satu di antara petuahnyalah yang telah memberikan motivasi lebih pada kita
hingga hari ini. Mungkin tanpa kita sadari.
Sebagai catatan tambaha, beliau juga berpesan agar mendidik
anak dengan baik. Sebab, zaman sekarang ini tantangannnya lebih beragam,
khususnya di era digital. Lingkungan, kata beliau, sangat mempengaruhi
pertumbuhan anak. Dan tidak sedikit anak-anak menjadi korban kekerasakan
ataupun tidak kriminal. Tidak sedikit pula anak-anak yang terlibat menjadi
pelakunya.
Inilah catatan dari bilik kiosku, kios tempat menuliskan
naskah ini. Kios ini pula menjadi tempat aktifitas harian dalam menjalan
beberapa usaha yang kulakukan selain bekerja sebagai jurnalis.