Perang Reteh meletus ketika Belanda mengerahkan pasukannya dari Tanjungpinang pada Oktober 1858. Pasukan itu hendak menaklukan Raja Sulung di Reteh, Indragiri, Riau. 25 kapal perang penuh meriam dan pasukan besar dikirim agar Raja Sulung tunduk dan mengakui sultan Sulaiman. Namun, ada satu meriam yang tertinggal dan menagis, yaitu meriam sumbing.
Meriam sumbing yang kini berada di pulau Mepar, Lingga, konon dikabarkan menagis karena tidak diikutsertakan dalam perang itu. Tagisnya tidak lagi terdengar setelah disusulkan ke Reteh dan turut serta dalam pertempuran yang akhirnya menewaskan Raja Sulung. Dan keganasan meriam sumbing ketika itu, melebihi perkiraan banyak orang. Meriam sumbing kala itu dianggap sebagai produk yang belum sempurna dan tidak tahan lama untuk diajak bertempur.
“Setelah perang usai, ternyata terdengar kabar bahwa meriam itu tidak hanya kokoh dalam bertahan, tetapi juga kuat dalam menyerang hingga membuat moncongnya sumbing. Itu kisah yang masyahur di masyarakat,” kata Lazuwardi, warga Daik yang menjadi pemerhati sejarah Lingga. Dalam sebuah makalahnya,
Perang Reteh berkobar karena Raja Sulung tidak mau tunduk kepada Belanda dan Sultan Sulaiman Badrul Alam Syah (1857-1883). Sultan Sulaiman naik tahta setelah Belanda memakzulkan Sultan Mahmud Muzaffar Syah yang berada di Singapura. Sedangkan Raja Sulung menjadi pengikut setia Sultan Mahmud setelah ditolong usai perebutan kekuasan di Siak pada 1784 dan diangkat sebagai Panglima Besar Reteh.
Ketika perang Reteh usai pada bulan berikutnya, seluruh meriam yang berada di benteng pertanahan di pulau Mepar dikembalikan pada posisi semua, termasuk meriam sumbing yang memiliki panjang sekitar 1,5 meter itu. Meski telah sumbing, ia tetap menjadi idola dalam pertahanan. Saat ini, meriam itu berada tidak jauh dari sebuah musholla di pulau Mepar, sekitar 20 meter dari gerbang masuk pulau itu. Dulunya banyak meriam hanya berserakan saja di sekitar pemukiman wawrga dan kini meriam itu sudah disusun bagian bukit pulau Mepar.
Meriam sumbing pun dianggap sebagai meriam paling kramat diantara meriam-meriam lainnya. Dalam novel Mutiara Karam karya Tusiran Suseso, meriam sumbing dikisahkan sebagai senjata andalan Datuk Kaya Mepar saat hendak menumpas para lanun atas titah sultan Mahmud Syah. Meriam itupun selalu tetap berada di Mepar dan menjadi meriam paling keramat. Terlepas dari berbagai kisahnya, meriam Sumbing telah menjadi bagian dari mitologi masyarakat Lingga.
Akan tetapi, Repelita Wahyu Oetomo dari Balai Arkeologi Medan dalam sebuah artikelnya menyebutkan sumbing pada moncong meriam itu disebabkan oleh kualitas barang yang kurang bagus. Ia menduga meriam itu buatan dari daerah yang teknologinya belum maju sehingga pada saat terlalu sering digunakan, bagian depannya kepanasan dan pecah.
Pertahanan Pertama
Pulau Mepar memiliki fungsi strategis dalam pertahanan kerajaan Riau-Lingga. Pulau yang ketika mengitarinya tidak sampai setengah ini di kepalai oleh seorang temanggung. Namun, kekuasan temanggung ini berbeda dengan Temanggung Abdul Jamal yang megusasi ke bulan Bulang dan sekitarnya. Temanggung di Mepar hanya berkuasa di Mepar saja sebagai hadiah dari Sultah Mahmud Syah III saat memindahkan ibu kota kerajaan dari Riau-Bintan ke Daik-Lingga.
Sebagai benteng pertahanan, seluruh sisi pulau itu pun dipenuhi oleh benteng atau kubu. Jangan bayangkan benteng yang dimaksud ini adalah tembok beton tebal dengan ketinggiannya, benteng ini hanya berupa gundukan tanah atau susunan bebatuan untuk tempat berlindung. Meriam-meriam, diletakkan di atas gundukaan tanah adan ada juga yang muncungkan berada di antara tumpukan batu. Ada sekitar lima benteng di pulau itu, sebagian sudah tergerus oleh laut.
“Yang paling atas itu benteng Lekok. Benteng ini bisa memantau seluruh penjuru di laut. Benteng pulau Mepar ini adalah benteng pertahanan pertama. Di bukit Cengkeh juga ada benteng, tapi lebih tepatnya semacam pos pantauan. Dari sana kemudian dikirim sinyal ke Mepar,” terang Lazuardi.
Benteng yang dilengkapi meriam di Mepar selalu siap siaga bila ada musuh. Apalagi, selat Lima yang memisahkan pulau Lingga dan Selayar sering menjadi jalur pelayaran. Setiap kapal yang datang selalu terpantau dari pos di Bukit Cengkeh dan benteng–benteng di Mepar pun bersiaga ketika kapal itu dicurigai sebagai ancaman.
Posisi Mepar ini kurang lebih dengan posisi Penyegat dan Tajungpinang yang menjadi benteng pertahanan paling depan. Mepar ini berada di seberang dari pelabuhan Buton, Daik. Pelabuhan inilah yang pada masa-masa akhir kerajaan digunakan Belanda sebagai tempat untuk mengontrol gerak gerik sultan beserta seluruh rakyat yang keluar masuk Daik.
Jika di Penyengat memiliki banyak peninggalan infrastruktur, termasuk masjidnya yang sudah terkenal ke sentaro negeri. Sedangkan peninggalan masa kerajaan di Mepar hanya benteng-benteng itu serta makam dari temanggung dan keturunannya. Kini, pemkab Lingga melalui Disbudpar telah menjadikan Mepar sebagai satu destinasi wisata di Lingga. (abd rahman mawazi/bersambung klik di sini)
Baca juga : Meriam Penghancur itu Bernama Tupai Beradu
0 komentar:
Posting Komentar