Perintah menunaikan zakat disebut dalam Al-Qur’an sebanyak 32
kali, bahkan diulang 82 kali sebutannya dengan memakai kata-kata yang sinonim
dengannya, yakni sadekah dan infak. Pengulangan tersebut mengandung maksud
bahwa zakat mempunyai kedudukan, fungsi dan peranan yang sangat penting. Zakat
memiliki kekhususan karena pelaksanaannya merupakan implementasi rukun Islam.
Salah satu penyebab diperintahkanya zakat, selain sebagai bentuk pengabdian
kepada Allah, adalah dikarenakan sering terjadinya kesenjangan sosial pada
masyarakat Arab kala itu. Zakat merupakan rukun Islam yang kental dengan
dimensi sosial.
Dalam pemerintahan Islam, zakat merupakan salah satu pemasukan
resmi bagi kas negara, selain fa'i, kharaj, dan jizyah.
Pemerintah berkewajiban memungut, mengelola, dan mendistribuskannya (QS 9:103)
karena ia telah diamanahkan untuk mewujudkan kesejahteraan sosial (QS 4:59)
yang selalu bermuara pada prinsip keadilan, kemerdekaan dan kesetaraan di
hadapan hukum yang menunjang terjadinya harmonisasi kehidupan bermasyarakat.
Keadilan sosial dalam Islam, misalnya, tidak mengharuskan agar
setiap orang mempunyai tingkat kemampuan ekonomi yang sama dan terhapusnya
kemiskinan dalam masyarakat, tetapi menciptakan suatu kondisi masyarakat yang
harmonis dan dinamis, rendahnya jurang pemisah antara si kaya dan si miskin,
dan hilangnya faktor-faktro penyebab rendahnya produktivitas, pertumbuhan dan
pengembangan potensi sumber daya manusia dan alam.
Karena Zakat = Pajak
Dalam konteks saat ini, khususnya di Indonesia, sumber pendanaan
negara hanya meliputi zakat, kharaj, dan jizyah. Sumber-sumber tersebut dalam
istilah sekarang disebut pajak. Masdar F. Mas’udi menyebutkan, dalam istilah
teknis syari’at, pajak atas warga negara yang muslim disebut “zakat”, atas
warga negara nonmuslim disebut “jizyah”. Jadi, pendapatan negara bersumber pada
dua kelas. Pertama pendapatan religius, yakni pajak yang dibebankan kepada kaum
muslim, berupa zakat dan pajak tanah (usr), dan lainnya. Kedua,
pendapatan sekuler, yakni pajak yang dikumpulkan dari orang nonmuslim. Masuk
dalam kategori ini ialah jizyah, pajak untuk mendapatkan hak milik kharaj,
pajak atas hasil tanah, dan pajak terhadap para pedagang nonmuslim.
Maka, uang negara (bait al-mal) merupakan pajak yang
dipungut dari rakyatnya dan investasi lainnya yang tidak dimiliki secara
indiviudal. Fungsi kas negara tersebut (1) ditujukan untuk pembayaran
kebutuhan negara, seperti untuk membayar gaji pegawai dan tentara, membeli
peralatan persenjataan, dan sebagainya. Dan (2) ditujukan untuk kepentingan
umum dan fasilitas umum, seperti bantuan bagi kaum duafa', pembuatan jalan
raya, jembatan dan lain sebagainya.
Uang negara, dengan demikian, pada hakekatnya ialah uang Allah
yang diamanahkan pada negara untuk didistribusikan sebesar-besarnya bagi kesejahteraan
umat tanpa diskriminasi apapun. Satu rupiah dari uang pajak—juga setiap
titik-titik kekuasaan yang dibiayai degan uang negara—harus
dipertanggungjawabkan kepada Allah (di akhirat) dan kepada rakyatnya (di
dunia). Maka, segala praktik yang merugikan keuangan negara, seperti korupsi,
merupakan perbuatan yang melanggar syari'at dan setiap kuam muslim khususnya
dan masyarakat umumnya berkewajiban memerangi korupsi dan menganggap sebagai
musuh bagi kemanusiaan. Sedangbaitul mal atau lembaga serupa lainya
ialah untuk mengoptimalkan pengelolaan zakat.
Di negara kita, telah ada undang-undang yang mengatur tentang
pengelolaan zakat, yakni UU no. 38 Tahun 1999. Undang-undang tersebut menjadi
landasan yuridis bagi pengelolaan zakat yang secara nasional potensi
per-tahunya mencapai Rp20 triliun. Namun sayangnya, keberadaan UU tersebut
masih seperti tiada saja (wujuduhu ka adamihi). Badan Amil Zakat sebagai
lembaga resmi pemerintah dan lembaga zakat profesional lainya baru mampu
menghimpun Rp 900 miliar saja.
Padahal, keuntungan penanganan zakat oleh pemerintah atau lembaga
independen lainnya anatara ialah (1) wajib zakat dan pajak akan lebih disiplin
dalam memenuhi kewajiban, dan kaum fakir miskin lebih terjamin haknya, (2)
perasaan fakir miskin lebih dapat dijaga sebagai pemilik hak, tidak seperti
meminta-minta, (3) pembari zakat atau pajak akan lebih tertib, (4) zakat atau
pajak yang diperuntukkan bagi kepentingan umum akan lebih karena pemerintah
lebih mengetahui sasaran pemanfaatannya. (M. Daud Ali:1988)
Sasaran Distribusi
Memang, semetinya distribusi keuangan negara yang diperolah dari
pajak (zakat) diarahkan untuk kesejahteraan yang terepresentasikan dalam
delapan golongan sebagaimana disebutkan dalam QS. At-Taubah (9):60, “Innama
al-shadaqaat li al-fuqara' wa al-masaakin wa al-'amiliin alaiha wa
al-mu'allafah qulubihim wa fi al-riqab wa al-ghamiriin, wa fi sabil Allah wa
ibn sabiil faridhah min Allah”. Kedelapan gologan tersebut memang orang
yang berhak menerima zakat, namun kedelapan golongan tersebut telah
merepresentasikan kaum yang perlu mendapatkan perhatian dan bantuan dari
pemerintah, baik dari zakat maupun pajak lainnya. Selain zakat, sebagain besar
ulama mengharuskan pemerintah mengelola pajak.
Dalam konteks kemasyarakatan dan kenegaraan modern saat ini,
menurut Masdar F. Mas'udi, yang termasuk fuqara' atau kaum
fakir ialah rakyat papa dengan pengasilan jauh dari kebutuhan. Kemudian yang
termasuk masakin atau kaum miskin adalah orang-orang yang
pengasilannya sedikit lebih baik daripada kaum fakir tapi masih di bawah
ketentuan wajar. Sedangkan amilin berarti kebutuhan rutin
(gaji oprasional) depertemen keuangan dan parat depertemen teknis sebagai
pemasok barang-barang publik (publik goods). Dan mu’allaf qulubuhum,
dalam kontek negara-kebangsaan, diarahkan pada program rehabilitasi sosial
terhadap para narapidana, pengguna obat terlarang (narkoba), atau masyarakat
terasing yang masih hidup di hutan-hutan.
Adapun yang masuk dalam pengertian riqab (budak)
ialah kaum buruh yang teraniaya, atau masyarkat terasing yang tengah berjuang
memerdekakan dirinya. Sementara gamirin atau orang yang
terbelit hutang antaranya meliputi pembebasan utang para petani yang terkena
puso dan atau pedagang yang bangkrut karena faktor-faktor yang benar-benar
berada diluar kemampuan mereka. Fi sabilillah diartikan
sebagai kemaslahatan umum yang bersifat fisik seperti jalan, bangunan-bangunan
publik, dan semua sara umum yang diperuntukkan bagi kepentingan orang banyak,
maupun yang bersifat nonfisik seperti biaya pertahanan-keamanan negara/rakyat,
ketertiban masyarkat, penegakan hukum, pengembangan ilmu
pengetahuan-seni-kebubudayaan, dan semua sektor yang kemashlahatannya kembali
pada kepentingan umat manusia. Sedangkan ibn sabil dalam kontek sekarang berarti
para pengungsi, baik karena bencana alam maupu bencana politik.
Dengan demikian, pengelolaan zakat tidak hanya bersifat jangka
pendek sebagaimana yang telah menjadi kebiasaan selama ini—menyalurkannya pada
malam Idul Fitri. Oleh sebab itu, adanya Lembaga seperti Badan Amil Zakat
Nasional (Baznas), Lembaga Amil Zakat, Rumah Zakat Indonesia, dan lainnya cukup
membantu dalam pelelolaan yang bersifat jangka panjang, misalnya bantuan bea
siswa. Penulis berharap, pontensi zakat yang mencapai Rp 20 triliun pertahun
tersebut dapat dimaksimalkan dan pengelolaan serta penyalurannya lebih tepat
guna, yakni mampu menghilangkan faktor-faktor penyebab rendahnya produktivitas
ekonomi dan keterbelakangan pendidikan. Semoga saja potensi zakat yang berhasil
dihimpun tidak bernasib sama dengan kas negara lainnya—untuk mengatakan selalu
banyak yang dikorupsi dan tidak tepat guna. wa Allah a'lam.
0 komentar:
Posting Komentar