Judul: Orang Kaya di Negeri Miskin
Penulis: Eko Prasetyo
Penerbit : Resist Book
Cetakan : I, Juli 2005
Tebal : i-vi + 172 Halaman
|
Di negara padat penduduk, kemiskinan selalu menjadi problem. Sama halnya di Indonesia, di mana penduduk kelas menengah ke bawah merupakan mayoritas. Telah banyak usaha yang dilakukan oleh pemerintah dalam mengentaskan kemiskinan, seperti transmigrasi dan pembukaan lowongan kerja baru. Namun, usaha tersebut belum mampu membuahkan hasil signifikan. Kemiskinan justru semakin merajalela.
Kemiskinan acap kali diidentikan dengan kebodohan dan kemalasan. Dikatakan bodoh karena sebagian besar mereka berpendidikan rendah. Begitu juga kemampuan mereka ketika menyekolahkan anak-anaknya, hanya mampu pada tingkat pendidikan (maksimal) pertama, bahkan putus sekolah pada tingkat sekolah dasar. Dan dikatakan malas karena mereka hanya mampu menjadi pekerja kasar, semisal pemulung, kuli bangunan, tukang becak, pembantu rumah tangga, dan lainnya. Sehingga, mereka tidak memiliki rumah layak pakai, konsumsi makanan pas-pasan, tidak memiliki prabotan rumah, dan lainnya.
Sedang di lain sisi, fenomena minoritas orang kaya hidup berlimpahan harta benda, mampu memenuhi kebutuhan hidup, bahkan bisa bergota-ganti mobil mewah setiap bulan. Realitas minoritas yang sangat bertolak belakang dengan mayoritas. Di negeri ini, yang kaya selalu beruntung. Gambaran tersebut menjadi bahasan penting dalam buku "Orang Kaya di Negeri Miskin". Eko Prasetyo, penulis buku ini, membongkar fenomena kehidupan orang kaya dan realitas kehidupan orang miskin.
Sama halnya dengan orang miskin, orang kaya di negeri ini juga bertambah jumlahnya dalam setiap tahun. Jika orang miskin harus bekerja keras, peras keringat dalam memenuhi kebutuhan hidupnya, maka orang kaya hanya cukup dengan duduk santai sambil memegang pulpen atau membuat siasat dalam meng-goal-kan suatu peraturan yang sama sekali tidak menguntungkan rakyat. Ada juga yang membangun gurita perusahaan dengan mengupah buruh dengan sangat murah.
Selain pengusaha, pejabat adalah contoh Mereka merupakan pekerja di sektor pelayan publik dan pembuat kebijakan publik untuk mensejahterakan rakyat. Setiap kebijakan yang dilegalkan sangat bergantung pada mereka. Namun, sangat disayangkan bila kekuasaan yang dipegang disalah gunakan hanya untuk kepentingan sesaat, seperti yang terjadi pada kasus-kasus penggusuran dibeberapa kota besar.
Di beberapa kota terjadi peringkusan besar-besaran teradap beberapa orang yang berprofesi sebagai pengemis, pemulung, hingga pekerja seks komersial. Jika tukang becak dengan alasaan estetika tata kota, maka para pekerja seks komersial menjadi sasaran dengan alasan pemberantasan kemaksiatan. (hlm.138)
Yang lebih menyakitkan lagi, pembelian tanah dengan sistem “ganti rugi” selalu merugikan dan menimbulkan masalah. Dan tanah tersebut—seringkali—akan digunakan untuk pendirian mall, hypermarket, hotel, apertemen,, dan pabrik-pabrik yang memakan lahan cukup luas. Bagi masyarakat pinggiran—mau tidak mau—harus rela atas penjualan tanah pada para pemilik modal. Konsekuensinya dari hal ini akan semakin menelantarkan penduduk kelas menengah yang dengan keterpaksaan harus membeli tanah dan rumah baru dengan harga lebih mahal. Atau, jika mereka tidak terkena paksaan menjual tanahnya, terpaksa terkena limbah pabrik yang berdiri menjadi tetangganya.
Sungguh sangat berkuasa orang yang memiliki kekayaan dan kekuasaan. Dengan kekayaan semua keadaan dapat disulap menjadi seperti yang diinginkan. Dan “kebohongan-kebohongan” kekuasaan dilakukan tanpa tercium bau busuknya. Hidup ini memang tak selalu adil.
Gaya hidup (life style) orang kaya pun jauh berbeda dengan orang miskin. Misalnya, untuk perawatan badan orang kaya mengeluarkan jutaan rupiah agar postur tubuh tampak ideal, orang miskin hanya mampu mengandalkan karunia alamiah dari keberadaannya, hidup tanpa polesan kosmetik berlebihan dan berdandan seadanya. Begitu juga dengan kegemaran-kegemaran orang kaya, mulai dari refreshing akhir pekan sampai club-club pemilik kendaraan mewah. Keberadaan tersebut menjadi simbol pembeda status sosial. Kekayaan seakan memang perlu dilambangkan dan disimbolkan dalam aneka prilaku maupun bermanifestasi dalam mengkonsumsi barang. (hlm. 106)
Eksklusifisme kehidupan orang kaya telah menghadirkan selera konsumsi yang tinggi. Dan parahnya, kehidupan eksklusifisme dan konsumerisme marak menjadi impian mereka yang miskin. Demi berpenampilan eksklusif, mereka rela untuk mengeluarkan uang yang melebihi dari kebutuhan hidupnya. Budaya ini kini merajalela dikalangan masyarakat. Gaya hidup orang kaya dipraktekkan dengan penuh keterpaksaan hanya untuk memberikan kesan bahwa diera globalisasi gaya hidup harus berubah. Lagi-lagi si miskin, sebagai objek, terjangkit sindrom gaya hidup mewah.
Tradisi kekayaan yang berbasis pada keinginan untuk bersenang-senang dan enggan untuk berbagi menyiratkan kembali bentuk paling buram dari paras ketidak-adilan. Ketika di ranah kebijakan politik dan ekonomi rakyat miskin selalu dirugikan, maka pada ranah pendidikan pun demikian. Akibat tidak mampu membayar biaya pendidikan, para generasi penerus bangsa banyak yang meninggalkan bangku sekolah. Jangankan mendapat pendidikan yang layak, untuk bertahan di sebuah sekolah mereka harus pontang-panting. Kemiskinan memang menyengsarakan.
Melalui buku ini, Eko Prasetyo mengajak kita untuk melihat orang miskin dari sisi apa yang dimiliki ketimbang apa yang tidak dimiliki dan melihat kemampuan sosialnya (social capabilities). Sebab, dalam melihat orang kaya yang dijadikan patokan adalah juga tentang apa yang dimiliki. Oleh karena itu, paradigma yang digunakan dalam melihat orang miskin pun harus demikian. Dia berkeyakinan bahwa salah satu penyebab kemiskinan adalah keberadaan orang kaya yang belimpahan hartanya.
Dan secara tegas ia menyatakan bahwa kita harus menuding sistem dimana yang kaya akan terus-terusan berpeluang menumpuk kekayaan sedang si miskin akan terus-menerus mengalami penidasan. (hlm.167) Mungkin benar menjadi kaya bukan sesuatu yang keliru, tetapi menjadi masalah, ketika kekayaan tidak dibagi dan tidak diratakan. Karena kaya dan miskin adalah hukum alam.
Seperti pada beberapa karya Eko Prasetyo lainya, buku ini cukup menggugah dalam memberikan perspektif tetang perlawana terhadap penindasan, baik itu atas nama kebijakan-kebijakan pemerintah mauapun “perlawanan” terhadap globalisasi dengan sistem ekonomi neo liberal-nya yang hanya akan menghasilkan budaya konsumerisme. Data yang digunakan pun masih cukup relevan dan aktual dengan kondisi yang berkembang saat ini. Sehingga kita dapat dengan mudah menarik kesimpulan dari apa yang telah ditulisnya.
catatan:
Naskah di atas adalah tulisan 2005 lalu. Ini merupakan resensi saya atas buku yang ketika cukup hangat diperbincangan di kalangan mahasiswa. Mungkin, buku tersebut sudah tidak lagi diperjualbelikan. Bagi saya, tulisan ini sebuah nostalgia atas pengembaraan intelektual semasa fase pertama di Jogja (2002-2008). Terima kasih telah berkunjung ke blog saya ini.
catatan:
Naskah di atas adalah tulisan 2005 lalu. Ini merupakan resensi saya atas buku yang ketika cukup hangat diperbincangan di kalangan mahasiswa. Mungkin, buku tersebut sudah tidak lagi diperjualbelikan. Bagi saya, tulisan ini sebuah nostalgia atas pengembaraan intelektual semasa fase pertama di Jogja (2002-2008). Terima kasih telah berkunjung ke blog saya ini.
0 komentar:
Posting Komentar