MESS - Bangunan yang kini bernama Mess itu, pada masa Belanda adalah rumah candu. |
“Penuba; Terpencil namun tidak tercecer”. Tulisan itu tampak
jelas di antara ilalang yang mulai tinggi di depan sebuah bangunan peninggalan
Belanda yang berada lebih tinggi dari jalan raya di desa Penuba, pulau Selayar.
Tulisan itu seakan memiliki makna tersirat; tentang sejarah dan harapan
masyarakatnya.
Beberapa orang tampak duduk santai di bawah pohon asam
setelah keluar dari area pelabuhan Penuba. Mereka tampak bercengkrama ringan
menikmati semilir angin di siang itu. Sekilas, pohon asam yang bejejer di
pinggiran jalan itu mengingatkan pada jalan raya di pulau Jawa yang dibangun
oleh Jendral Herman Willem Daendels pada
1800-an, kini dikenal dengan jalur pantura.
“Inilah Penuba,” kata Rais, tokoh masyarakat setempat ketika
bertemu dengan Tribun beberapa waktu lalu di warung kopi sebuah ruko. Rumah
toko (ruko) dari kayu berjejer rapi di sepanjang jalan di depan lapangan
merdeka. Kondisinya jauh berbeda dengan ruko-ruko yang ada di Batam atapun di
Tanjungpinang.
Di harapan ruko itu, rumah papan berarsitektur kuno itu
menarik pemandangan siapapun yang datang ke sana. Ia disebut “mess”, yang kini
berfungsi sebagai penginapan sederhana bagi wisatawan. Tepat di bawah pagar itu
pula tulisan di atas tersusun rapi berwarna hitam putih. Mess dan kantor desa
di sebelahnya adalah bagian dari peninggalan Belanda. Itulah peninggalan
Belanda yang pertama bisa dijumpai ketika tiba di sana.
“Mess itu dulunya rumah candu,” kata kepala desa Penuba, Dwi
Abdi. Sedangkan kantor desa dulunya adalah kantor bea cukai. Menyusuri jalan di
bagian barat, tedapat dua rumah dinas pejabat Belanda. Rumah itu menghadap ke
pulau Singkep. Di belakangnya terdapat bangunan memanjang yang di tengahnya
juga tedapat sebuah penjara, tepatnya di lokasi SMPN 4 Lingga. Masyarakat di
sana mengenal area sekolah itu sebagai barak dan basis pertahanan.
Penuba, yang dulunya hanya sebuah kampung kecil (kini
dikenal Penuba Lama) berkembang pesat ketika Belanda menjadikannya sebagai
pusat perkantoran dan administrasi. Belanda mulai memasuki Penuba pada awal
abad ke-19 seiring ekspansi pencarian biji timah di laut Singkep. Dalam
Lembaran Negara Pemerintah Hindia Belanda Nomor 66 Tahun 1922, yang juga pernah
diubah pada lembaran Nomor 201 Tahun 1924 disebutkan, Penuba adalah pusat
pemerintahan setingkat kecamatan atau dikenal dengan Onder Afdeling dipimpin
oleh seorang controleur yang mencakup
wilayah Lingga, Singkep, dan pulau-pulau lain di sekitarnya.
Satu nama seorang controleur
yang masih diingat oleh Jang (86) yakni Kapten Sunday. “Kalau marah bilangnya,
“godverdomme”. Bisalah sikit-sikit bahasa Indonesia,” ujarnya mengenang ketika
ditemui di serambi rumahnya. Itu adalah basaha umpatan dalam bahasa Belanda.
Saat itu, Jang muda adalah bagian dari bagian tentara rekrutan Belanda yang
selalu mengikuti perintah si Kapten. Suatu waktu, ia pun pernah di perintahkan
untuk ke Kijang, Singapura, dan kembali lagi ke Penuba.
PELABUHAN - Inilah pelabuhan Penuba yang dulunya melayani perdagangan international |
Selat yang Teduh
Selat Penuba adalah selat yang teduh. Ia berharapan dengan pulau
Lipan yang menghambat derasnya gelombang dan arus dari selatan. Sedangkan di
bagian barat selat itu adalah pulau Singkep yang berjarak hanya sekitar 15
menit dari pelabuhan Jagoh, Singkep. Sebab itulah, air di selat penuba ini
tenang dan menjadi tempatan tambatan kapal yang paling bagus.
Dahulu, pelayaran menuju Tanjungpinang maupun ke dunia
internasional dilayani dari pelabuhan Penuba. Sebab itulah Penuba masuk dalam
catatan pelayaran dan pelabuhan international, sama halnya dengan pulau Sambu
di kota Batam. Hasil rempah-rempah maupun tambang diekspor ke Singapura melalui
pelabuhan ini.
Namun, riauh perkotaan itu mulai meredup seiring dengan
perpindaan beberapa staf Belanda ke Dabo Singkep. Kala itu, pemerintahan
Belanda sedang mengejar timah yang terkandung dalam bumi Singkep. “Patung (singa)
yang di Dabo itu dari sini. Dipindah tahun 1939,” kata Jang. Patung itu adalah
bukti yang kini masih bisa lihat di depan kantor Dinas Kependudukan dan Catatan
Sipil (Disdukcapil).
Kandungan timah di Singkep, lambat laun meredupkan Penuba.
Orang berbondong-bondong diangkut untuk dipekerjakan di Dabo. Mereka dipaska
membangun kota baru. Beberapa kali, Penuba menjadi markas militer, termasuk
markas komando diera konfrontasi Indonesia dan Malaysia. Namun, nama penuba
redup begitu saja, bagaikan ibu kota yang dilupakan. Ia menjadi teduh, seteduh
selat Penuba
“Sayangnya, bangunan peninggalan Belanda di sini kurang
mendapat perhatian dari pemkab. Ini adalah cagar budaya yang bisa memiliki
nilai jual untuk pariwisata juga,” keluh kepala Desa Penuba, Dwi Abdi.
Pada Mei 2012 lalu, Pemkab dan DPRD Lingga telah menetapkan
pulau Selayar menjadi satu kecamatan. Kelak, mungkin saja, Penuba akan kembali
lebih hidup, melebihi masa onder afdeling, setelah aktif menjadi ibu kota
kecamatan baru seperti pada sebuah tulisan di dinding pagar Mess itu. (abd
rahman mawazi)
NB: Tulisan ini pernah terbit bersambung di harian Tribun Batam pada !5-19 September 2012.
Baca juga Penuba, Tertindih Memori Perjalanan Hidup ( 2-Habis )
NB: Tulisan ini pernah terbit bersambung di harian Tribun Batam pada !5-19 September 2012.
Baca juga Penuba, Tertindih Memori Perjalanan Hidup ( 2-Habis )
mudah mudahan kemajuan penuba tidak melunturkan budayanya pak :)
BalasHapusmudah mudahan kemajuan penuba tidak melunturkan budayanya pak :)
BalasHapus