Senin, 24 September 2012

Penuba, Ibu Kota Yang Terlupakan (1)

MESS - Bangunan yang kini bernama Mess itu, pada masa Belanda adalah rumah candu.


“Penuba; Terpencil namun tidak tercecer”. Tulisan itu tampak jelas di antara ilalang yang mulai tinggi di depan sebuah bangunan peninggalan Belanda yang berada lebih tinggi dari jalan raya di desa Penuba, pulau Selayar. Tulisan itu seakan memiliki makna tersirat; tentang sejarah dan harapan masyarakatnya. 

Beberapa orang tampak duduk santai di bawah pohon asam setelah keluar dari area pelabuhan Penuba. Mereka tampak bercengkrama ringan menikmati semilir angin di siang itu. Sekilas, pohon asam yang bejejer di pinggiran jalan itu mengingatkan pada jalan raya di pulau Jawa yang dibangun oleh Jendral Herman Willem Daendels pada 1800-an, kini dikenal dengan jalur pantura.

“Inilah Penuba,” kata Rais, tokoh masyarakat setempat ketika bertemu dengan Tribun beberapa waktu lalu di warung kopi sebuah ruko. Rumah toko (ruko) dari kayu berjejer rapi di sepanjang jalan di depan lapangan merdeka. Kondisinya jauh berbeda dengan ruko-ruko yang ada di Batam atapun di Tanjungpinang.

Di harapan ruko itu, rumah papan berarsitektur kuno itu menarik pemandangan siapapun yang datang ke sana. Ia disebut “mess”, yang kini berfungsi sebagai penginapan sederhana bagi wisatawan. Tepat di bawah pagar itu pula tulisan di atas tersusun rapi berwarna hitam putih. Mess dan kantor desa di sebelahnya adalah bagian dari peninggalan Belanda. Itulah peninggalan Belanda yang pertama bisa dijumpai ketika tiba di sana.

“Mess itu dulunya rumah candu,” kata kepala desa Penuba, Dwi Abdi. Sedangkan kantor desa dulunya adalah kantor bea cukai. Menyusuri jalan di bagian barat, tedapat dua rumah dinas pejabat Belanda. Rumah itu menghadap ke pulau Singkep. Di belakangnya terdapat bangunan memanjang yang di tengahnya juga tedapat sebuah penjara, tepatnya di lokasi SMPN 4 Lingga. Masyarakat di sana mengenal area sekolah itu sebagai barak dan basis pertahanan.

Penuba, yang dulunya hanya sebuah kampung kecil (kini dikenal Penuba Lama) berkembang pesat ketika Belanda menjadikannya sebagai pusat perkantoran dan administrasi. Belanda mulai memasuki Penuba pada awal abad ke-19 seiring ekspansi pencarian biji timah di laut Singkep. Dalam Lembaran Negara Pemerintah Hindia Belanda Nomor 66 Tahun 1922, yang juga pernah diubah pada lembaran Nomor 201 Tahun 1924 disebutkan, Penuba adalah pusat pemerintahan setingkat kecamatan atau dikenal dengan Onder Afdeling dipimpin oleh seorang controleur yang mencakup wilayah Lingga, Singkep, dan pulau-pulau lain di sekitarnya.

Satu nama seorang controleur yang masih diingat oleh Jang (86) yakni Kapten Sunday. “Kalau marah bilangnya, “godverdomme”. Bisalah sikit-sikit bahasa Indonesia,” ujarnya mengenang ketika ditemui di serambi rumahnya. Itu adalah basaha umpatan dalam bahasa Belanda. Saat itu, Jang muda adalah bagian dari bagian tentara rekrutan Belanda yang selalu mengikuti perintah si Kapten. Suatu waktu, ia pun pernah di perintahkan untuk ke Kijang, Singapura, dan kembali lagi ke Penuba.

PELABUHAN - Inilah pelabuhan Penuba yang dulunya melayani perdagangan international

Selat yang Teduh
Selat Penuba adalah selat yang teduh. Ia berharapan dengan pulau Lipan yang menghambat derasnya gelombang dan arus dari selatan. Sedangkan di bagian barat selat itu adalah pulau Singkep yang berjarak hanya sekitar 15 menit dari pelabuhan Jagoh, Singkep. Sebab itulah, air di selat penuba ini tenang dan menjadi tempatan tambatan kapal yang paling bagus.

Dahulu, pelayaran menuju Tanjungpinang maupun ke dunia internasional dilayani dari pelabuhan Penuba. Sebab itulah Penuba masuk dalam catatan pelayaran dan pelabuhan international, sama halnya dengan pulau Sambu di kota Batam. Hasil rempah-rempah maupun tambang diekspor ke Singapura melalui pelabuhan ini.

Namun, riauh perkotaan itu mulai meredup seiring dengan perpindaan beberapa staf Belanda ke Dabo Singkep. Kala itu, pemerintahan Belanda sedang mengejar timah yang terkandung dalam bumi Singkep. “Patung (singa) yang di Dabo itu dari sini. Dipindah tahun 1939,” kata Jang. Patung itu adalah bukti yang kini masih bisa lihat di depan kantor Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil (Disdukcapil).

Kandungan timah di Singkep, lambat laun meredupkan Penuba. Orang berbondong-bondong diangkut untuk dipekerjakan di Dabo. Mereka dipaska membangun kota baru. Beberapa kali, Penuba menjadi markas militer, termasuk markas komando diera konfrontasi Indonesia dan Malaysia. Namun, nama penuba redup begitu saja, bagaikan ibu kota yang dilupakan. Ia menjadi teduh, seteduh selat Penuba

“Sayangnya, bangunan peninggalan Belanda di sini kurang mendapat perhatian dari pemkab. Ini adalah cagar budaya yang bisa memiliki nilai jual untuk pariwisata juga,” keluh kepala Desa Penuba, Dwi Abdi.

Pada Mei 2012 lalu, Pemkab dan DPRD Lingga telah menetapkan pulau Selayar menjadi satu kecamatan. Kelak, mungkin saja, Penuba akan kembali lebih hidup, melebihi masa onder afdeling, setelah aktif menjadi ibu kota kecamatan baru seperti pada sebuah tulisan di dinding pagar Mess itu. (abd rahman mawazi)

NB: Tulisan ini pernah terbit bersambung di harian Tribun Batam pada !5-19 September 2012.
Baca juga Penuba, Tertindih Memori Perjalanan Hidup ( 2-Habis )

2 komentar:

  1. mudah mudahan kemajuan penuba tidak melunturkan budayanya pak :)

    BalasHapus
  2. mudah mudahan kemajuan penuba tidak melunturkan budayanya pak :)

    BalasHapus