Senin, 24 September 2012

Penuba, Tertindih Memori Perjalanan Hidup ( 2-Habis )



BARAK - Gedung ini dulu digunakan sebagai kantor dan barak bagi pasukan Belanda.
Di gedung ini juga terdapat sebuah penjara.

Penuba tidaklah setenar Dabo-Singkep ataupun Daik Lingga. Sejarahnya tidak semudah dua tempat yang terakhir ketika kita menjelajahi mesin pencarian internet. Di dunia maya, Penuba terkenal dengan pelabuhannya, namun sebatas nama saja, tidak ada keterangan lebih lengkap. Penuba seperti tertindih oleh memori baru perjalanan hidup.

Kakek tua itu duduk santai pada ruang tamu di rumahnya dengan sebatang rokok. Ia seperti tidak menghirau panas yang menyengat di luar sana. Santai, tenang, dengan tatapan sayu. Dialah Kamis (87), bekas tentara bentukan Jepang atau heiho. Tiga tahun lamanya, ia pun sempat menjadi komandan regu.

“Diambil saja, bukan sengaja nak ikut. Semua yang muda-muda waktu itu disuruh ikut,” tuturnya mengisahkan peristiwa lalu kala ia masih berusia sekitar 17 tahun. Saat itu, tidak ada pilihan bagi pemuda. Jepang memaksa, melebihi paksaan orang-orang Belanda. Kala itu, 1942, Jepang sedang terlibat perang Pasifik dan berambisi menjadi imperial di Asia tenggara. Tak pelak, Kamis pun menjadi tentara dan harus meninggalkan Penuba. Jepang tidak menjadikan penuba sebagai pusat aktivitas, mereka lebih memilih di daerah yang kini disebut desa Selayar.

Ia bersama dengan puluhan pemuda lainnya di kirim ke kamp konsentrasi Jepang di Singapura. Di sana, mereka dilatih baris berbaris dan latihan perang. Setiap hari, latihan dan latihan saja yang dilakukan. Pagi hari, mereka memulai latihan dengan senam (taiso) sebelum sarapan. Waktu pun berlalu, hingga akhirnya mereka diantar kembali ke Penuba seiring kekalahan Jepang karena jatuhnya bom nuklir di Hirosima oleh tentara sekutu. “Pangkat saya ada satu,” katanya mengenang pangkat terakhir yang diterimanya.

Namun jauh sebelum Jepang memasuki Tanah Air, Belanda sudah menjadikan Penuba sebagai markas polisi dan tentara. Mereka adalah orang-orang Indonesia yang direkrut untuk menjadi polisi atau tentara oleh pemerintah Hindia Belanda. Meraka adalah penduduk dari luar Penuba yang disengaja didatangkan. Sedangkan warga Penuba dijadikan pembantu bagi tentara maupun polisi, termasuk juga kakek Jang (86).

PENJARA - Cela kecil pada pintu dibalik tumpukan tiplek itu adalah sel tahanan atau penjara yang digunakan oleh pemerintah Hindia Belanda saat berkantor di Penuba

Tiga Pahlawan
Menurut Jang, tidak semua tentara Penuba itu mengikuti begitu saja kebijakan-kebijakan Belanda. Hal itu terbukti dengan tewasnya Sersan Kilak. Kabar yang beredar di Penuba, Serma Kilak yang berasal dari Indonesia bagian timur di ditembak oleh polisi Belanda. Ia dilumpuhkan karena hendak berebut senjata.

“Ditembak di depan kantor bea cukai dekat pelabuhan,” ujar Jang. Ia tidak begitu mengingat apa penyebab penembakan itu. Namun, dari kabar yang beradar, ia berebut senjata dan hendak meninggalkan Penuba sehingga dianggap sebagai pembangkang.

Kilak adalah satu di antara tiga orang yang disebut sebagai pahlawan kemerdekaan. Masyarakat Penuba juga menyebut nama dr Sumitr dan Arbain. Tidak ada kabar yang jelas perihal dua orang yang terakhir ini. Namun, ketika jasadnya sudah dipindahkan ke makam pahlawan di Dabo Singkep. Ada kabar, kerangka dr. Sumitro sudah dibawa keluarga ke Jawa.

“Tidak ada yang tahu. Tapi masyarakat menyebut mereka pahlawan,” kata Rais, tokoh masyarakat setempat yang menunjukan bekas makam ketiganya. Cerita heroic ketika pun terputus, tidak ada tetua di kampung itu yang meingat bagaimana peranan ketiga. Tetapi mereka ditengarai hidup semasa perjuangan kemerdekaan.

RUMAH TUA - Bangunan ini adalah peninggalan pemerintah Hindia Belanda.
Kini, terdapat dua bangunan yang masih tersisa namun tidak lagi terawat.

Sejauh Memandang
Seram. Itulah kesan dari bangunan tua itu. Masyarakat tidak banyak menyambangi benteng pemantauan itu sejak kejadian bunuh diri beberapa tahun silam. Mereka takut. Dari bukit itu, aktivitas pelayaran laut bisa dipantau. Termasuk juga kepal-kapal yang hendak berlabuh di pelabuhan Tanjung Buton di Daik Lingga.

Ketika masa konfrontasi (1962-1966), Penuba menjadi bagian konsentrasi pertahanan. Di sanalah pasukan askar bela negara juga berkumpul. Mereka bukanlah tentara TNI. Mereka militer tidak resmi, yakni warga sipil yang sedang semangat membara hendak melawan Malaysia. Mereka inilah yang ditakui oleh Malaysia hingga membakar lambang dan simbol-simbol Indonesia di KBRI Kuala Lumpur sebagai aksi protes.

Di penuba inilah pasukan TNI AL memainkan peranannya. Kapal-kapal mereka silih berganti bersandar di pelabuhan yang teduh itu. Bahkan, benteng pemantauan yang tidak jauh dari barak tentara Belanda itu sengaja dibangun oleh TNI AL. “Itu peninggalan TNI AL masa konfrontasi. Sekarang terbengkalai. Orang tak berani,” tutur Rais lagi.

Ketika menajaki bukit itu, maka akan tampak seisi pulau Selayar. Gunung Daik yang terkenal itu tampak begitu jelas, apalagi kala cuaca cerah. Di gedung bekas itu, kata Rais, kita boleh melihat sejauh memandang. Sayang, ia terbengkalai. Tak terurus. “Besi masih bagus-bagus. Ini butuh perhatian dari pemerintah,” ucap kepala desa Penuba, Dwi Abdi. (Abd Rahman Mawazi)

NB: Tulisan ini pernah terbit bersambung di harian Tribun Batam pada 15-19 September 2012.

0 komentar:

http://www.resepkuekeringku.com/2014/11/resep-donat-empuk-ala-dunkin-donut.html http://www.resepkuekeringku.com/2015/03/resep-kue-cubit-coklat-enak-dan-sederhana.html http://www.resepkuekeringku.com/2014/10/resep-donat-kentang-empuk-lembut-dan-enak.html http://www.resepkuekeringku.com/2014/07/resep-es-krim-goreng-coklat-kriuk-mudah-dan-sederhana-dengan-saus-strawberry.html http://www.resepkuekeringku.com/2014/06/resep-kue-es-krim-goreng-enak-dan-mudah.html http://www.resepkuekeringku.com/2014/09/resep-bolu-karamel-panggang-sarang-semut-lembut.html

Posting Komentar