Aku saat berusia sembilan tahun ketika di kampung |
Saya tersentak ketika seorang teman mengaku sudah jenuh
dengan aktivitasnya di kota berkategori metropolis ataupun metropolitan. Ia mengaku
ingin hidup di kota kecil di kampung, yang bukan termasuk metropolitan.
Alasannya, selama berada di kota metropolis itu, ia merasakan kekurangan dalam
hal spiritualitas. Sebab, selama ini ia hidup di lingkungan perkampungan yang
kental dengan tradisi bersarung, berkegiatan sosial dan kekeluargaan, serta
bercengkrama santai di sudut-sudut kampung.
Saya pun tersentak mendengarnya. Kota metropolis seperti
Batam dan Jakarta, kata dia, memang talah membuatnya hanya disibukkan dengan pekerjaan
dan pencarian materi. Memang, ada waktu untuk berkumpul bersosialisasi dengan
tetangga ataupun masyarakat dan ada
waktu untuk beribadah. Namun, itu semua masih dirasa kurang dalam hal
spiritualitas dan pengabdian sosial. Di kota, kata dia lagi, pengabdian sosial
pun masih dalam perhitungan materi. “Ujung-ujungnya, kita sibuk dengan materi,”
kata dia menegaskan. “Aku ingin balik kampung saja,” kata dia lagi.
Pernyataan itu sempat mengganggu pikiranku. Sekilas
terbanyang perihal kehidupan masyarakat di kampung halaman orang tua, di Pulau
Bawean, dengan rutinitas masyarakat kebanyakan sebagai petani, nelayan, buruh,
dan sebagian karyawan atau pegawai. Terbayang pula dengan kehidupan yang lepas
dari hingar bingar kendaraan dan kemacetan pada saat jam sibuk. Ah... sudahlah.
Itu hanya sebuah banyangan karena sayapun hanya numpang lahir saja di sana.
Yang sedikit mengusik pikiran saya. Apa yang diutarakan oleh
teman itu, bersamaan pula dengan fenomena pulang kampung di Batam. Yang ini
alasannya berbeda. Bukan karena alasan spiritualitas dan pengabdian sosial,
tetapi karena kelesuan ekonomi. Mereka
menilai Batam tidak lagi seperti dulu: cari kerja susah dan kebutuhan masih
tetap tinggi. Nah, kalau ini alasannya ialah alasan materialis.
Di Batam ini, dulunya, penduduknya terbilang nyaman. Keluar masuk
atau berpindah-pindah tempat kerja gampang saja karena tingkat kebutuhan tenaga
kerja begitu tinggi. Bosan menjadi operator di sebuah perusahaan elektronik,
bisa berhenti dan menjadi pramuniaga di toko-toko dalam mal. Bahkan, ketika
bosan bekerja pada orang atau perusahaan lain, bisa menjadi tukang ojek, yang
penghasilannya pun lumayan. Itu dulu, sekitar 1990-an hingga 2000-an awal. Kala itu, orang berbondong datang ke Batam
untuk mengadukan nasib bidang perekonomiannya. Sebab itu, mungkin bisa disebutkan kini 80
persen penduduk di Batam saat ini adalah pendatang dari berbagai penjuru
daerah. Saya punya kawan dari suku Batak, Jawa, Padang, dan ada juga yang campuran.
zaman dulu belum musim selfie |
Anak perantau
Merantau ke kota, apalagi kota dengan kategori metropolitan,
sering kali menjadi impian banyak orang dengan harapan bisa menambah
pundi-pundi kekayaan. Sukses di perantauan
memang kerap diukur dengan seberapa nilai kekayaan yang dimiliki ataupun
sebarapa banyak mampu mengirim ke kampung halaman. Daya pikat kota dengan
angan-angan atau impian bisa “memperbaiki nasib” itu telah berhasil menciptakan
urbanisasi besar-besarn era modern ini. Perihal filosofi dari tradisi perantauan
ini memang berbeda. Silahkan saja baca buku-buku sejarah perantauan atau
diaspora suku bangsa di Indonesia dan buku antropologi.
Proses kehidupan di metropolitan telah melahirkan persilangan:
silang budaya, silang ketuturan, dan lainnya. Nah, ketika memasuki generasi
pertama, maka lahirlah identitas kebudayaan dan ketuturan yang baru.
Gampangnya, misalnya, orang tua saya kelahiran Jawa Timur, saya kelahiran
Batam. Kemudian ketika ditanya, “kamu orang mana?” saat menjawab Batam. Kecendrungan
akan ditanyakan lagi, “asli Batam?” disitulah kegalauan akan muncul. Orang tua
yang Jawa masih mewariskan kejawaannya dalam keluarga. Tetapi kelahiran telah
memperjelas identitas awalnya. Sama saja bingungnya, ketika si peranakan rantau
ditanyaka, “kampungnya di mana?” Nak jawab apa, coba? (Sekarang, bagaimana
perasaan kalian bila itu terjadi? Silahkan tuliskan di kolom komentar saja
ya..?)
Atau bisa saja, lahirnya di kampung halaman, tetapi justru
tidak pernah hidup lama di kampungnya. Teman pun tak punya di sana. Nah,
bagaimana mengidentifikasi diri? Entahlah.... biasanya hal seperti itu
diselesaikan secara “adat” alias disesuaikan konteks saja. (kalau pembaca punya
pendapat, silahkan tuliskan di kolom komentar saja)
Kembali pada cerita teman yang ingin balik ke kampung
halamannya. Kehidupan kota yang membuatnya terlalu sibuk dengan pertimbangan materi
itu, memang sudah banyak dibahas oleh teoritikus. Dan gejala kehausan
spiritualisme sudah banyak terjadi di kota-kota metropolitas seluruh dunia. Bahkan,
masyarakat negara maju pun sudah berupaya memilih kembali ke kehidupan natural,
kembali pada pengisian spirititualisme dalam diri. Tidak sedikit pula yang
memilih liburan ke daerah pelosok sekadar me-refreshing diri. Jika temanku itu
memilih untuk pulang kampung, maka kuucapkan untuk selamat beradaptasi kembali
di kampungmu. Terima kasih.
0 komentar:
Posting Komentar