Beberapa hari ini kuperhatikan anak-anak sekolah dasar (SD)
pulang lewat depan di depan Kios F21 Mobile. Pada hari tertentu, kulihat
seragam mereka berbeda-beda. Itu artinya, mereka tidak satu sekolah. Ada kemungkinan
mereka tinggal berdekatan, tetapi sekolah di SD yang berbeda. Setiap siang,
selalu saja terlihat silih berganti rombongan anak SD itu lewat. Padahal di
pagi hari, jarang saya lihat mereka berangkat bersama.
Dulu, yang kualami seperti itu juga ketika masih duduk di
bangku SD 024 Seipanas. Berangkat seorang diri, tetapi pulangnya bersama-sama
dengan teman yang lain. Tampaknya, di antara mereka itu ada juga yang merupakan
siswa dari SD 024. Setidaknya itu yang kutengarai dari warna seragam olah
raganya, putih dan kemerahan. Sedangkan baju batiknya, warna jingga.
Perjalanan itu masih serupa. Dulu, kios tak bernama dan
berjualan camilan saja. Tidak sedikit juga teman-teman yang masih memiliki sisa
uang jajan berbelanja di kois ini. Kini, kios itu kuberi nama Kios F21 Mobile
sebagai tempat jualan paket internet murah. Dan dari balik kios itu pulalah terbayang
olehku masa-masa SD dulu. Yang tak kalah penting lagi yakni seorang guru kami,
wali kelas ketika di kelas enam.
Saya yakin, setiap orang memiliki memori tersendiri dengan
masa kanak-kanaknya. Mungkin kita sudah sukses menjadi seorang penulis,
pengusaha, pejabat, karyawan di perusahaan top ataupun profesi lainnya. Tepi memori masa lalu itu akan tetap
terkenang pada momentum tertentu.
Pesan Ketika Dewasa
Ketika reuni itu digelar, guru kami itu memang sungguh
membangkitkan memori masa lalu. Setidaknya itu untukku. Entahlah bagi
teman-teman yang lain. Sebagian dari pada itu telah kutiliskan pada tulisan
pertama reuni dengan judul ......... Silahkan baca lagi yaa
Kali ini saya tidak hendak bernostalgia terlalu dengan masa
di masa SD itu. Di bagian akhir tulisan ini, saya hendak menuliskan beberapa
pesan dari guru kami. Itu adalah petuah yang, menurut saya, wajib “diabadikan”
dengan tulisan. Niatan ini dilandasi dari petuah yang berbunyi, “ikatlah ilmu
dengan tulisan.”
Ibu Henny memberikan tiga poin petuah. (Siapa di antara
teman-teman yang masih ingat dengan petuah beliau itu?) Setidaknya itu yang
masih terekam dalam memoriku hingga tulisan ini dibuat.
Pertama, berbakati pada orang tua. Kami sudah menjadi orang
tua. Tetapi Bu Henny tetap berbepesan agar kami tetap berbakti pada orang tau.
Ia berpesan demikian justru karena kami telah menjadi orang tua. Menurut
beliau, orang tua itu sangat membutuhkan kasih perhatian dari anak-anaknya. Justru
kami yang sudah menjadi orang tua, bisa merasakan bagaimana mengasuh anak-anak;
saat rewel, saat meminta sesuatu, saat tidak mempedulikan nasihat dan teguran
kita, serta lain sebagainya. Begitulah yang dirasakan oleh orang tua ketika
sudah renta. Dan saat itulah berbakti kepadanya menjadi nilai lebih menyejukan
hati orangtua.
Kedua, jangan tinggalkan salat. Bagi Bu Henny, perintah
salat dalam agama itu penting. Ia tidak peduli dengan aliran atau mazhab apa
yang dianut. Namun, salat merupakan tiang agama yang harus terus ditegakan. Kita,
kata beliau, tidak bisa hanya mengejar materi sebab tidak bisa dibawa mati.
Pada saat reuni digelar, Bu Henny sendiri sedang melaksanakan puasa sunnah di
bulan Syawal.
Dan yang ketiga, pererat silaturahmi. Bu Henny memuji kami
yang masih menyempatkan diri untuk bisa bersilaturahmi. Bahkan, beliau mengaku
selalu berupaya hadir dalam setiap undangan silaturahmi yang digelar
murid-muridnya, dari semua angkatan, dari berbagai sekolah tempat ia pernah
mengajar. Karena dalam silaturahmi, kata beliau, akan mengenal mempererat
hubungan satu sama lainnya. Bisa saling membantu, saling meringankan, saling
berbagi informasi, dan sebagainya.
Itulah petuah penting Bu Henny yang masih terekam dalam
memoriku. Pesan yang disampaikan kepada kami ketika kami telah dewasa secara
umur. Sedangkan petuah dan pesannya ketika kami masih dibangku SD, telah
tertindih memori baru. Itulah keterbatasan sebagai manusia. Namun bisa jadi,
satu di antara petuahnyalah yang telah memberikan motivasi lebih pada kita
hingga hari ini. Mungkin tanpa kita sadari.
Sebagai catatan tambaha, beliau juga berpesan agar mendidik
anak dengan baik. Sebab, zaman sekarang ini tantangannnya lebih beragam,
khususnya di era digital. Lingkungan, kata beliau, sangat mempengaruhi
pertumbuhan anak. Dan tidak sedikit anak-anak menjadi korban kekerasakan
ataupun tidak kriminal. Tidak sedikit pula anak-anak yang terlibat menjadi
pelakunya.
Inilah catatan dari bilik kiosku, kios tempat menuliskan
naskah ini. Kios ini pula menjadi tempat aktifitas harian dalam menjalan
beberapa usaha yang kulakukan selain bekerja sebagai jurnalis.
Iya memori SD pasti masih melekat.... Apalagi skrg beberapa temen sdku sudah punya cucu... Hehehe
BalasHapusWow... Sudah punya cucu? Mereka orang hebat.
HapusAq udah gak ingat lagi temen2 SD. Hanya beberapa aja yang masih ingat 😁.
BalasHapusMungkin krn dulu saya tak melanjutkan sekolah di Batam, sehingga masih melekat dlm ingatan.
Hapus