Dahulu, kami anak-anak ketika masih duduk di bangku Sekolah
Dasar (SD) saat bertemu beliau. Kini, kami telah membawa anak bersua kembali
dengan beliau. Dialah satu di antara guru kami ketika masih berseragam putih
merah di SD 024 Sei Panas (kini namanya berubah). Dia satu di antara guru kami
yang memiliki waktu hadir dalam acara silaturahmi teman-teman SD ku di Batam.
Namanya Heni (maaf lupa nama lengkapnya).
![]() |
entah foto milik siapa ini. ku ambil saja dari grup kita di FB. Ini dia wajah emak-emaknya |
Sore itu, silaturahmi digelar di rumah Haryanto, di Bengkong Harapan II. Ia yang berinisiatif dan memprakarsai terwujudnya kegiatan ini. Ia pula yang mengeluarkan biaya untuk konsumsi. Dia dan teman kami, Widiyanto (biasa disapa Widie), yang mendatangi satu per satu di antara kami untuk mewujudkan pertemuan itu. Tentu, saya harus berterima kasih padanya yang telah begitu berjasa mempertemukan kami kembali. Kami sudah biasa bertemu di dunia maya, tapi jarang bertemu secara fisik, di dunia nyata. Itulah yang membuatnya menjadi berkesan.
Momen itu sungguh momen yang mengesankan dan membahagikan.
Mungkin sebagian teman-teman masih sering bersua dalam suatu kegiatan. Tetapi
bagi saya, ini momentum yang penting, karena saya termasuk orang yang jarang
sekali bertemu dengan teman-teman SD dalam satu momentum. Sependek ingatanku,
dulu kami pernah reuni di rumah almarhum Sigit (anak pemilik Sate Asih di simpang Bengkong Harapan yang terkenal itu),
sekitar 1999-an. Setelah itu, saya pernah ikut juga bersilaturahmi ke rumah Bu
Heni di Bengkong Indah I. (Entah tahun
berapa, sepertinya itu setelah saya lulus kuliah atau berkisar antara 2008-2009).
Kami adalah murid-murid SD 024 Sei Panas yang lulus 1996.
Saya lupa, berapa jumlah teman-teman seangkatan kala itu. Seingat saya, ketika
kelas empat, kami terbagi dalam dua lokal. Begitu naik ke kelas lima, ada
pengurangan jumlah murid karena satu sekolah lagi telah berdiri, yakni 034 Sei
Panas, sehingga sebagian murid dipindahkan ke sana. Akhirnya, kami disatukan
ketika di kelas enam. Saya tidak ingat pasti, sepertinya jumlah kami lebih dari
40 orang. Karena, saya pernah duduk dengan berbagi meja bersama dua teman
lainnya. Ya, dua deretan awal diisi tiga orang. Itulah nostalgia dalam kelas.
Dan guru kami ini, adalah guru di kelas enam.
![]() |
formasi setengah lengkap dan sedikit formal. Maaf ya, saya terpaksa pergi duluan karena harus segera kerja |
Di antara teman-teman yang hadir itu, ada di antaranya yang
sejak lulus tidak pernah saya jumpai, khususnya teman yang perempuan. Ada juga
di antaranya sudah beberapa kali bersua karena memiliki komunitas yang sama
atau bertamu dan ataupun bersua di jalan. Alhamdulillah, di antara kami yang
hadir ini sudah memiliki pasangan. (So,
tidak ada peluang CLBK. Ups.... apa iya sudah ada yang cinta-cintaan di waktu
SD? Hehehe) Dan yang tidak kalah pentingnya, sebagian dari kami sudah
memiliki dua anak. (Semoga teman yang
belum dikaruniai anak, segera bisa terwujud)
Anak. Itulah yang menjadi pertanyaan guru kami itu setelah
beliau mencoba mengingat dan memastikan nama kami. Ia tidak tanya kami kerja di
mana dan berpenghasilan berapa. Ia bertanya, “sudah berapa anaknya?” atau
“punya [anak] berapa?” Saya sempat merenungkan perihal pertanyaan itu. Karena,
tidak semua dari kami membawa anak-anak kami. Tidak semua juga yang membawa
pasangannya. Melihat sebagian anak-anak dari teman masih banyak yang di bawah
tiga tahun (batita) dan bawah lima tahun (balita), beliau mengeluarkan
pertanyaan-pertanyaan susulan hingga akhirnya bekata, “sudah banyak ya cucu
ibu.”
Ya, cucu Ibu memang sudah banyak. Karena kami pun telah
beranjak tua. Kami, yang Ibu didik saat masih anak-anak, kini telah memasuki
usia dewasa. Bahkan, kami pun telah memiliki anak, yang Ibu Heni sebut “cucu”.
![]() |
antar kurus, berisi dan gemuk. Ups... jangan ada yang bahas lagi |
Teman-temanku. Kita masih sempat bersua. Kita masih bisa
berkomunikasi. Kita masih bisa berbagi cerita. Tetapi kebersamaan kala di
bangku SD itu telah berlalu sekitar 21 tahun lalu. Tepatnya sejak 1996. Dan kini,
2017. Kita masih bisa berkumpul walau tidak dengan formasi lengkap. Kita berkumpul
walau tidak dengan kemewahan. Kita berkumpul karena keikhlasan teman. Ikhlas
menjadi tuan rumah. Ikhlas datang ke tempat kegiatan. Ikhlas mendengarkan
kemabali petuah dari guru kita itu.
Ada baiknya petuah, nasehat, motivasi, dan saran dari guru
kita itu saya tuliskan di bagian tersendiri. Di simak saja tulisan selanjutnya
ya. Maklumlah, karena aktivitasku berkutat dengan dunia tulis menulis setiap
harinya, kadang jenuh juga. Ku harap teman-teman pengunjung blog ini tidak
jenuh menunggu kehadiran bagian tentang petuah dari guru kita, Ibu Heni.
0 komentar:
Posting Komentar