Jumat, 22 Mei 2020
Berkenalan dengan Mazhab Frankfurt dan Teori Kritisnya
Minggu, 03 Mei 2020
Menggugah (lagi) Kepekaan Kita Terhadap Visi Sosial Islam
Islam mengajarkan kesalehan bagi setiap individunya namun tidak abai dengan lingkungan sosial sekitarnya. Maka, ketika beragama hanya mementingkan diri sendiri, ia belum mengamalkan ajaran agama sepenuhnya.
Ada banyak dalil dalam Alquran dan Hadis yang menyebutkan perihal pentingnya kepedulian sosial sebagai bagian dari kewajiban individual. Misalnya saja surat Al-Ma’un (QS. 107) yang artinya: (1) Tahukah kamu (orang) yang mendustakan agama? (2) maka itulah orang yang menghardik anak yatim (3) dan tidak mendorong memberi makan orang miskin (4) Maka celakalah orang yang salat, (5) [yaitu] orang-orang yang lalai terhadap salatnya, (6) yang berbuat riya (7) dan enggan [memberikan] bantuan.
Beberapa waktu belakangan banyak sekali postingan tentang masyarakat fakir dan miskin. Tentu hal ini sangat disayangkan di tengah masyarakat muslim sebagai mayoritas di negeri ini. Muslim yang sejatinya muslim tentu dapat menjalankan visi Islam secara baik, antara kesalehan individual dan juga sosialnya. Adanya tetangga yang kelaparan, itu sebagai petanda kepedulian sosial masih lemah.
Baca juga: Runtuhnya Negara Madinah: Islam Kemasyarakatan versus Islam Kenegaraan
Ayat di atas telah mengategorikan orang-orang yang enggan membantu kaum miskin termasuk orang yang mendustakan agama. Ini patut kita camkan dengan baik agar bantuan terhadap orang miskin itu tidak hanya kita lakukan di bulan Ramadan saja. Membantu kaum duafa itu semestinya tidak kenal waktu dan juga tidak mengenal identitas kesukuan, ras dan agama. Pengentasan kemiskinan itu adalah visi humanisme universal.
Pembebasan umat dari keterbelengguaan, kemiskinan, penindasan dan segala macam bentuk ketidakberdayaan masyarakat, terutama mustadl’afin (kaum tertindas), merupakan kesalehan sosial. Menurut Abdul Munir Mulkhan, iman dan kesalehan seseorang tidak hanya dilihat dari pemenuhan rukun iman dan rukun Islam, melainkan juga pemihakan pada kepentingan kaum mustadl’afin.
“Kefakiran mendekatkan pada kekafiran.” Demikian hadis Nabi mengingatkan kita. Seorang yang perutnya belum terisi tidak bisa berpikir jernih. Ia gelisah karena fisiknya tidak mampu diandalkan. Antara otak dan ototnya tidak bisa sinkron bekerja. Konsentrasinya mudah terganggu. Beda halnya dengan orang yang memilih berpuasa untuk mendekatkan diri kepada Allah.
Di masa kebijakan untuk tetap di rumah saja selama pandemi Covid-19 ini, banyak masyarakat mengalami pendapatan rendah dan bahkan tidak lagi memiliki pendapatan karena kebijakan untuk mengurangi hubungan sosial antar masyarakat. Pemerintah memang telah memprediksi terjadi peningkatan jumlah kaum duafa. Pemerintah dan masyarakat juga telah menyalurkan bantuannya bagi masyarakat kurang mampu. Inilah ujian bagi kita untuk peduli kepada meraka.
Baca juga: Benarkah Agama itu Sebagai Candu?
Jika zakat dan sedekah adalah kewajiban bagi yang mampu, maka sudah saatnya kita menunaikan zakat itu. Di tengah kondisi seperti ini, lebih baik lagi apabila memperbanyak sedekah, bukan mengharapkan sedekah dari orang lain. Ya, yang juga perlu diperhatikan, janganlah pula kita menjadi umat yang mudah berputus asa dengan mengaku miskin dan berharap pemberian dari orang lain. Dalam hal ini, Nabi juga menyindir kita, bahwa tangah di atas lebih baik daripada tangan di bawah. Jika kita punya standar hidup, maka tengoklah sejenak kehidupan kaum mustad’afin itu.
Momentum puasa Ramadan di tengah wabah ini setidaknya telah memberikan pelajaran berharga bagi kita untuk memperhatikan lingkungan sosial. Memperhatikan tentangga yang kurang mampu, baik tentangga dalam kompleks, antar kompleks, antara kampung, antara desa dan antara kota/kabupaten.
Menurut Hassan Hanafi, pemikir Islam lainnya, tantangan terbesar bagi umat Islam adalah kemiskinan, keterbalakangan, dan ketertindasan dan agenda yang harus direalisasikan secepatnya adalah "jihad sosial". Maka, sudah tugas muslim menjalankan visi sosial agama ini untuk mengentaskan kemiskinan dan pembebasan kaum mustad’afin sebagaimana tersurat dalam surah Al-Ma’un. Wallahu ‘alam.[]
Minggu, 26 April 2020
Puasa Kita di Tengah Pendemi (Sebuah Refleksi)
Pemerintah melalui Menteri Agama, Fachrul Razi, telah menetapkan hari ini (24/4) bertepatan sebagai 1 Ramadan 1441 Hijriah. Artinya, umat Islam akan melaksanakan puasa, ibadah wajib sebagai bagian dari rukun Islam. Tidak melaksanakan puasa bagi yang mampu, berarti tidak menjalan perintah agama.
Inti dari amalah pokok di bulan Ramadah ialah puasa. Tetapi, ada banyak ibadah penyerta, yang menjadi nilai tambah pahala bagi ibadah pokoknya. Nilai tambah itu pun telah menjadi bagian ritual dan tradisi masyarakat. Di Indonesia, masyarakat telah terbiasa dengan ritual salat tawarih berjamaah dan buka puasa bersama atau tradisi bazar Ramadan, ngabuburit atau sahur bersama.
Ritual dan tradisi itu telah menjadi bagian dari penyemerak dalam bulan Ramadan sehingga akan terasa sekali perbedaan bulan spesial ini dibanding dengan bulan-bulan lainnya. Hal ini pun dirasakan bukan hanya kaum muslim, tetapi yang non-muslim pun pasti akan merasakan perbedaan itu. Di televisi saja kita bisa melihat perbedaan tayangan yang disajikan, mulai dari iklan, talkshow hingga sinetron beraroma religius.
Sebagai muslim, situasi ritual dan tradisi yang mengitari ibadah ini mendorong umat menjadi lebih Islami. Setidaknya, hal ini sebagai tanda bahwa Ramadan adalah bulan istimewa, bulan penuh berkah bagi pelaku ekonomi, berkah bagi masyarakat kurang mampu, dan berkah bagi yang mampu pula. Jelaslah bahwa Ramadan memiliki dimensi bathiniyah (spiritual) dan dzahiriyah (sosial, budaya dan ekonomi).
Terlepas dari itu semua, di tahun dengan angka cantik, 1441 H dan 2020 M ini, sedang ada cobaan yang cukup besar bagi umat manusia. Sekali lagi, ini adalah ujian bagi seluruh umat manusia, bukan hanya umat Islam. Virus dengan nama Covid-19 ini telah merajalela secara global dengan tingkat penularan yang cukup pesat. Inilah wabah yang mengoncang sebagian besar negara dan menjadi ujian berat bagi sebagian umat Islam, khususnya di Indonesia.
Dalam masa pendemi ini, pemerintah (baca; ulil amri) telah mengluarkan imbauan untuk tidak melakukan ritual tarawih berjaah dan buka bersama untuk daerah yang dengan kategori zona merah. Pun demikian, tradisi bazar Ramadan ataupun gabuburit juga ikut di larang. Alasannya jelas, untuk menghindari penyebarluasaran penularan virus yang belum memiliki vaksin ini.
Apa boleh buat, kita yang berada di Kepri, khususnya di pulau Batam dan Bintan, termasuk daerah dengan jumlah orang yang masuk dalam pengasawasan serta positif yang cukup tinggi. Sesuai dengan protokol kesehatan, kita dianjurkan untuk menjaga jarak fisik dan agar tetap di rumah saja. Sesuai dengan imbauan Majelis Ulama Indonesia (MUI) Provinsi Kepulauan Riau sebelumnya telah diimbau untuk tidak salat jemaah di masjid. Masyarakat dianjurkan salat di rumah.
Sungguh terasa sekali perbedaan Ramadan tahun ini dengan tahun-tahun sebelumnya. Saat artikel ini ditulis, azan Isya sudah berkumandang seperti biasa. Namun, warga sekitar perumahan tidak ada yang beranjak ke masjid. Padahal, saya yakin, sebagain besar dari kita sangat ingin sekali memenuhi shaf-shaf di masjid atau musalah di dekat rumah. Ingin rasanya menikmati malam-malam awal di bulan suci ini untuk menggugah kembali semangat beribadah kita. Namun apa daya, wabah ini telah memberikan suatu pelajaran berarti bagi kita agar tetap menjalankan ritual penyerta ibadah puasa, sepeti tarawih ini, di rumah saja.
Selalu ada hikmah di balik sebuah peristiwa. Begitu mauidhah hasanah yang selalu disampaikan para alim ulama agar kita tidak menyibukan diri dengan hal-hal yang mubazir dalam beribadah. Hikmah itu mungkin belum tampak bagi kita, namun sebagian yang lain sudah merasakannya. Jikalau selama ini pernah-penik ibadah puasa seakan menjadi bagian tak terpisah dari ibadah pokok puasa itu sendiri, mungkin kita mulai perlu menyadari bahwa yang pokok dari ibadah puasa, ya puasa itu sendiri.
Ritual tambahan yang
memberikan nilai (pahala) tambahan juga banyak jalannya. Jika kita berharap
Ramadan memberikan dampak omzet lebih besar, jika kita berharap puasa bisa
bersilaturahmi politik, atau hal serupa, mungkin kita perlu mempertimbangkan
ulang makna puasa kita. Maka, perbaiki puasa kita, maka nilai tambahnya juga
akan semakin baik. Mari kita berdoa, semoga kita bisa melaksanakan puasa penuh
selama Ramadan dan wabah ini bisa segera berlalu dengan berkah Ramadah. Wallahu
a’lam. []
Senin, 13 April 2020
Yang Mau Skripsi dan Tesis Wajib Tahu Syarat Penelitian Ilmiah Ini
Membicarakan tentang penelitian itu bisa dibilang gampang-gampang sudah. Terkesan gampang kalau hanya melihat hasil penelitian orang dan susah bahkan susah banget ketika hendak membuat penelitian sendidi. Tulisan ini sebagai panduan dasar bagi mahasiswa saya yang mengambil mata kuliah Metodologi Penelitian dan mudah-mudahan bisa menjadi bacaan semasa kuliah daring.
Baca juga: Menulis Skripsi atau Tesis Jadi Gampang dengan Google Cendekia
Sebelum melakukan penelitian, maka ada prasyarat yang harus dipenuhi. Bagian ini sangat penting sekali untuk diketahui setiap calon peneliti. Menurut saya, prasyarat sebuah penelitian itu setidaknya ada tiga hal. Ketiga hal ini lebih identik sebagai bahan renungan sebelum mengajukan judul dan sinopsis kepada dosen pembimbing akademik ataupun ke ketua jurusan.
Pertama, belum pernah diteliti. Kemudian muncul pertanyaannya, penelitian seperti apakah yang belum pernah diteliti? Meneliti sesuatu yang betul-betul baru itu bukanlah agak mustahil. Penelitian yang baru itu sebenarnya melanjutkan hasil penelitian yang terlebih dahulu. Oleh sebab itu, diperlukan telah pustaka yang baik untuk mengetahui cela yang belum belum diteliti oleh lain. Jikalau tidak baru, maka penelitian itu akan disebut sebagai plagiat dan tidak memiliki kontribusi terhadap ilmu pengetahuan.
Baca juga: Menyelesaikan Skripsi itu Gampang. Ini Obatnya
Kedua, data tersedia. Terkadang kita terbayang sebuah penelitian yang belum pernah diteliti oleh peneliti sebalumnya. Tentu kita sangat bahagia dan merasa judul yang dipilih dari “bayangan” itu akan diterima oleh pembimbing akademik dan ataupun oleh ketua jurusan/prodi. Namun, ketika ditanya, “apakah datanya ada?” Nah, di sinilah sering kali tak mampu dijawab denga baik. Karena itu, sebelum mengajukan judul, ada baiknya mempertimbangkan soal data. Sebuah penelitian tidak akan disebut penelitian apabila tidak ada datanya. Lho... apa yang mau diteliti jika datanya saja tidak ada. Apa yang mau dianalisa jika datanya saja tidak ada.
Ketiga, memiliki signifikanksi. Ini bagian penting jika dua hal di atas tadi ternyata tersedia. Maka perlu dicarikan signifikansi penelitian ini secara baik. Jika ada sesuai yang baru, tentu ada kontribusinya untuk perkembangan ilmu pengetahuan. Jika ada data, tentang akan melahirkan buah pemikiran dari perspektif yang berbeda. Dan bagian yang paling penting dari signifikansi ialah apakah penelitian ini sesuai dengan bidang keilmuan? Jika berkesesuian, maka akan memiliki signifikansi.
Baca juga: Asyiknya Menulis Resensi Buku
Tiga hal ini nantinya juga akan dituangkan dalam proposal penelitian sehingga kita perlu memperhatikan seksama jika hendak melakukan penelitian. Jangan asal bikin judul dan asal jadi saja, sebab yang akan melakukan penelitian adalah kita sendiri.
Nah, tips untuk mencari tema atau judul penelitian yang utama ialah kita menyukai dan memahami tema yang kita ambil. Kemudian, tema haruslah mikro dalam pembahasan, tidak boleh ambil tema terlalu makro karena nanti akan menimbulkan banyak persoalan.
Inilah sebagian yang perlu diperhatikan sebagai prasyarat untuk menentukan judul penelitian. []
Jumat, 31 Januari 2020
Bisakah Orang Asia (Indonesia) Berpikir?
Penulis: Kishore Mahbubani
Penerbit: Teraju, 2005
Tebal: 362 halaman
Peradaban modern yang tak terbendung dengan globalisasi sebagai ikon utamanya telah menghadirkan suatu paradigma baru. Pradaban modern tak lain adalah pradaban Barat yang diakui sendiri oleh mereka sebagai pradaban universal dan patut dicontoh oleh selainnya. Dan memang diakui bahwa sampai saat ini Barat unggul dalam segala bidang, mulai dari teknologi, perekonomian, keilmuan dan kesejahteraan rakyat, dibandingkan dengan negara di luarnya, terutama Asia.
Asia tidak saja ketinggalan dalam bidang-bidang itu, melainkan juga hanya menjadi konsumen atas "produk-produk" Barat, seperti kebebasan individu dan demokrasi. Keculi Jepang, China, dan Macan Asia (Hongkong, Taiwan, Korea Selatan, dan Singapura), pola pikir masyarakat selain negara-negara tersebut masih dinilai stagnan. Fregmentasi histori peradaban yang beberapa abab lalu berjaya di bumi Asia hanya mampu menunjukkan romatisme sejarah.
Maka tak heran bila Kishore Mahbubani mempertanyakan kemampuan berpikir orang Asia dengan "Bisakah Orang Asia Berpikir?". Pertayaan ini bukanlah melecehkan masyarakat Asia, melainkan sebuah kesadaran yang datang terlambat ketika perkembangan peradaban Asia mulai memasuki ranah yang lebih maju. Diakui atau tidak, menjelang abad 21 perkembangan Asia, khususnya Asia Pasifik, begitu pesat terutama bidang perekonomian.
Menurut Mahbubani, Timur (baca; Asia) dan Barat memiliki ciri khas perpikir. Pola pikir orang Asia besifat 'holistik', yakni perhatian yang lebih menekankan pada konteks, toleran pada kontradiksi, dan sedikit bergantung pada logika. Sedangkan orang Barat cendrung berpola pikiran 'analitis', menghindari kontradiksi, berfokus pada obyek-obyek yang berbeda dari konteksnya, dan lebih mengedepankan logika (hlm.xxxi). Atau dalam bahasa Dawam Raharjo, dalam pengantarnya, orang Barat lebih rasional, sedangkan orang Asia lebih emosional. Inilah perbedaan mendasar dari tipelogi dua masyarakat, Timur dan Barat.
Sejarah mencatat bahwa beberapa pradaban seribu tahun yang lalu begitu sukses dan tumbuh subur di bumi Asia. Saat itu, orang China, Arab dan India memimpi perkebangan paradaban. Dan diantaranya pula terjadi pertukaran kebudayaan yang saling mendukung kemajuan dari masing-masing. Sedangkan Eropa masih dalam masa "kegelapan" yang dimulai ketika runtuhnya Kekaisaran Romawi. Namun, apa yang terjadi kemudian sungguh diluar dugaan, ketiga peradaban besar Asia itu runtuh dan terpuruk dalam keterpencilan sejarah.
Sebaliknya, bangsa Eropa-lah yang maju ke depan, muncul sebagai peradaban pertama yang mendominasi dunia. Keajaiban seakan menyeruak dalam pikiran orang Eropa. Perubahan terjadi diseluruh sektor kehidupan. Perubahan yang diikuti kemajuan dan peningkatan peradaban, dari renaisan hingga pencerahan, dari revolusi saintifik hingga revolusi industri, yang akhirnya menjadikan dunia diluanya sebagai negeri koloninya. Yang paling menyakitkan pada Asia bukanlah kolonisasi fisik, tetap kolonisasi mental yang menyebabkan orang Asia menyakini superior Barat.
Bila berkaca pada sejarah di atas, maka, menurut Mahbubani, jawaban dari pertayaan yang dijadikan judul bukunya adalah "tidak bisa", orang Asia tidak bisa berpikir. Alasannya, bagaimana mungkin peradaban Asia yang begitu maju luluh lantak. Namun ia juga memberikan alasan untuk jawaban "bisa" dari pertayaannya.
Prestasi ekonomi masyarakata Asia Timur adalah salah satunya. Kedua, adanya perubahan penting yang tengah terjadi dalam pikiran-pikiran orang Asia. Mereka tak lagi percaya jika satu-satunya cara berkembang adalah dengan jalan menjiplak atau membebek. Sekarang mereka yakin bisa membuat solusinya sendiri. Peruabahan pikiran orang Asia terjadi pelan-pelan. Memang mereka tidak sempurna, tapi jelas-jelas tampak superior. Hal ini disebabkan oleh adanya kesadaran bahwa, seperti masyarakat Barat, mereka memiliki filsafat, budaya, dan sosial yang kaya yang bisa dijadikan sandaran dan digunakan untuk mengembangkan masyarakat modern dan berkembang. Ini sebagai alasan ketiga.
Namun, tantangan-tantangan yang dihadapi masyarakat Asia jauh lebih kompleks sebelum bisa meraih tingkat prestasi yang komprehenif. Misalnya Tantangan serius dalam bidang sosial dan keamanan, yang sampai saat ini masih sering terjadi perang sipil dan pemberontakan dalam negeri, masih memperlihatkan wajah kesuramannya. Hal ini, menurut Mahbubani memungkinkan untuk menjawab mungkin dari pertayaannya. Selain itu, yang "mungkin" adalah pemeliharaan kekuatan tradisi nilai-nilai Asia, seperti kasih sayang pada keluarga sebagai institusi, rasa hormat pada kepentingan sosial, sifat berhemat, konservatisme dalam adat istiadat sosial, dan rasa hormat pada pemimpin, menumbuhkan mind Asia yang khas.
Jika tolok ukurnya adalah pradaban Barat yang bisa diserap untuk seluruh segemen kehidupan di Asia, maka tantangan selanjutnya adalah bagaimana orang Asia menyerap apa yang dimilikinya seperti ia menyerap apa yang telah diprakarsai oleh Barat. Akan tetapi yang sangat memungkin atas pilihan jawaban "mungkin" adalah optimisme orang Asia, sama halnya ketika bangsa Eropa memiliki optimisme saat memasuki renaisan. Dan kepercayaan akan perubahan ini harus dipupuk sedemikian agar tetap bersemi dan membuahkan keberhasilan.
Dalam bahasa Mahbubani, perubahan itu hanyalah masalah waktu (ketika, bukan jika), peradaban Asia mencapai perkembangan yang sama dengan peradaban Barat (hlm.xli). Artinya keniscayaan peruabahan Asia bukan ide utopis, melainkan suatu kenyataan riil. Hegemoni dan dominasi Barat atas Timur akan runtuh secara bertahap.
Bila dikaitkan dalam konteks Indonesia, pertanyaan seperti yang dilontarkan Mahbubani ini tentunya akan memberikan dampak positif untuk perkembangan Indonesia di masa depan. Sebab, munculnya pertayaan seperti tanyakan Mahbubani dari judul buku ini, tak lain hanyalah upaya merangsang masyarakat Asia untuk memulai perubahan yang sebenarnya mampu mereka lakukan. Karena merupakan kesalahan besar ketika manusia Asia hanya bisa menjiplak 'produk' Barat tanpa bisa mengembangkannya menjadi sebuah kritik akan stnagnasi yang telah mengkronis.
Abd. Rahman Mawazi, Pecinta Buku.
Minggu, 16 Juni 2019
Ringkasan Materi Modul Etika Publik bagi Latsar CPNS Golongan III
Baca juga: Ringkasan Materi Modul Akuntabilitas bagi Latsar CPNS
Baca juga: Resep Terong Bakar Sederhana ala Santri yang Enak dan Lezat
Demikian saja ringkasan dari modul tentang Etika Publik yang dikeluarkan oleh Lembaga Administrasi Negara (LAN). Semoga teman-teman yang sedang mengikuti latsar bisa lulus dengan nilai terbaik. []