Selasa, 25 September 2012

Mengais Emas di Antara Timah di Dabo Singkep

EMAS - Seorang pendulang emas tradisional di Dabo Singkep menunjukkan butiran emas dari pendungannya.

Kesohoran Timah di Dabo Singkep sudah lama berlalu. Hingga kini, penambangan timah secara tradisional pun masih terdapat di pulau ini meskipun PT Timah telah resmi menutup operasionalnya pada 1992 lalu. Uniknya, di antara biji-biji timah itu, terdapat biji emas. 

Belasan orang berendam dalam kubangan penggalian timah atau yang akrab disebut kolong oleh masyarakat Dabo. Mereka sibuk memutar-mutar nampan di air berwarna kecoklatan. Mereka itu sedang hendak memisahkan tanah, pasir, dan kerikil untuk mencari emas. Sesekali, gumpalan tanah diremas lalu dimasukkan lagi ke nampannya.

Itulah yang dilakukan oleh Nasri bersama dengan beberapa orang lainnya di sebuah area penambangan. Dengan air setinggi setengah badan, mereka berendam untuk mengais tanah, lalu meletakkannya dalam nampan, dan kemudian memutar nampan itu. “Tak ada bang, susah jugalah dapatnya,” kata Nasri usai melihat hasil dulangannya.

Hari itu, ia mendapatkan dua butir emas mulia. Itu adalah hasil seharian sejak sekitar pukul 10 pagi menjeburkan diri dalam air. Dengan menggigil, ia pun beranjak dari kolong. Minum seteguk kopi dalam botol kecil lalu mengisap sebatang rokok. Ia sudah mempersiapkan bekal dari rumah yang siap disantap kala jeda. “Kayak inilah,” katanya sembari menunjukkan dua butir emas hasil hari itu.

Emas itu berada diantara biji timah, tanah, dan pasir di kedalaman mulai satu meter hingga 10 meter di permukaan tanah. Bisa dikatakan setiap ada timah ada juga emasnya. Namun, Nasri bersama teman-temannya hanya memungut sisa-sisa, yakni sisa pemilik tambang timah. Mereka pun baru berani mendulang apabila pemilik tambang mengizinkan.

“Kami pernah dapat segini (sambil menunjukkan jempolnya, red). Beratnya 27 gram. Itulah kalau rejeki,” ujar Jamil pula. Ia mengaku kaget ketika melihat emas murni sebesar itu. Namun, ia tidak berani bising ataupun berteriak walau pun girang. Ia harus merahasiakan penemuan itu. “Manalah tahu kita satu persatunya orang,” ucapnya pula sembari terseyum.

Ternyata, temuan itu membuatnya semangat untuk menjadi pendulang emas tradisional. Harganya yang mencapai Rp 485 ribu hingga Rp 495 ribu sangatlah menggiurkan. Menjualpun mudah. Cukup ditawarkan pada toko-toko emas yang ada di Dabo Singkep.

Bukanlah pekerjaan gampang untuk mendapatkan satu gram emas. Bisa jadi, dalam sehari tidak dapat sekali. Mereka harus berendam berjam-jam lama. Belum lagi berebutan mengambil lokasi dengan pendulang lainnya. Bagi yang tidak ingin berendam dalam air, biasanya mereka akan mebuat lubang sendiri.

Para pendulang ini ada yang mencari perseorangan dan ada juga membentuk menjadi satu kelompok, bisa terdiri dari dua hingga empat orang. Mereka yang berkelompok akan saling bahu membahu membantu. Hasilnya pun dibagi rata. Mereka mengaku pekerjaan ini lebih santai dan hasilnya pun lebih besar dari pada kerja lainnya.

Seorang bekas penambang timah, Edi, mengaku, hampir setiap daerah penambangan timah mengandung emas. Ketika ia masih aktif bekerja, bisa dipastikan setiap haru selalu mendapat emas, walau jumlahnya tidak sama. “”Emas itu lebih berat dari pada timah. Dia ada bawah, warna kuning, seperti emas biasanya,” katanya.

Mencari timah adalah bagian utama usaha tambang itu, tetapi emas adalah sebuah harapan. Harga yang terpaut jauh dengan timah, selalu menggiurkan para pekerja untuk terus jeli melihat benda berwana kuning itu. Hal ini juga yang membuat sebagian masyarakat Dabo Singkep memilih mendulag emas ataupun ikut bekerja pada penambangan timah.

Hampir seabad timah di bumi Singkep dieksplorasi besar-besaran. Ekplorasi dengan kapal keruk itu dimulai 1910 oleh perusahaan Belanda. Awalnya mereka menyisir bagian laut, namun pada perkembangan selanjutnya, setelah menjadi PT Timah, eksplorasi dilakukan di darat. Sejak itu, Dabo tersohor dengan hasil timahnya yang melimpah. Hingga kini, bekas-bekas galian atau kolong itu masih tampak. Meski tidak banyak, kandungan alam itu masih memberikan secercah harapan bagi penghuninya. (Abd Rahman Mawazi)

NB: Tulisan ini pernah terbit di harian Tribun Batam pada 11 September 2012.

1 komentar:

  1. wuuuhhhh, mantabbbbb blogmu!
    pegimane care ngemase bunggg....

    BalasHapus