Senja mulai menghilang kala orang-orang di kelenteng itu
sedang sibuk mempersiap perabotan. Malam itu, adalah malam rangkaian dari
upacara sembahyang kesalamatan bumi di kelenteng Berigin, Penuba, Lingga.
Segala kebutuhan untuk konsumsi pun sedang dipersiapkan bagi para tetamu yang
akan datang.
Sembang keselamatan bumi, atau yang dikenal juga dengan Xia
Kang itu, adalah ritual syukuran sekaligus perhononan berkah yang dalam tradisi
masyarakat Thionghoa. Ritual ini telah berjalan lama hingga menjadi tradisi
sampai saat ini, khususnya masyarakat untuk kelenteng atau pun vihara yang
berada di pinggiran sungai.
Ketua pengurus kelenteng, Susanto, mengatakan, tradisi itu
sudah berlangsung lama dan dilakukan setiap setahun sekali. Kegiatan itu
sebagai bentuk syukur atas sezeki yang telah mereka terima dan sebagai bentuk
permohonan untuk tahun depan. Kelenteng Beringin menjadi kelenteng tertua di
Penuba dan kini sudah berusia 112 tahun.
“Ini semacam upacara syukuran atas sungai yang telah
memberikan rezeki. Tradisi ini sudah turun temurun,” kata Ayun, sesepuh warga
Thionghoa di Singkep kepada Tribun, Jumat (14/12) lalu. Tradisi ini juga
berlangsung pada kelenteng di Daik dan juga Pancur.
Sebagai ritual sacral, warga Thionghoa dari Penuba yang
telah merantau pun turut hadir. Mereka berdatangan dari Batam, Bintan,
Tanjungpinang, Jakarta, Singapura, dan juga derah lainnya. Mereka rela
meninggalkan kesibukan keseharian demi mengharap berkat dari upacara tersebut.
Mereka bersembahyang, lalu duduk bersama untuk menikmati jamuan serta hiburan
dan juga lelang barang.
Pelelangan dari barang-barang yang telah disembahyangkan
menjadi rebutan. Patung-patung dengan berbagai bentuk dilelang untuk derma bagi
kelenteng. Sebagaimana layaknya lelang, tawar menawar harga pun membuat suasana
semakin ramai. Mereka tidak hanya merebutkan barang, melainkan makna dari
barang-barang itu.
“Ada makna-makna tertentu. Kayak naga tadi. Itu ada
artinya,” kata Ayun yang enggan menjelaskan lebih jauh makna-makna dari setiap
barang. Pada malam itu, patung naga dan kuda menjadi incaran para peserta
lelang. Penawaran sempat sengit hingga akhirnya mengerucut pada dua orang.
Harganya pun melejit jauh, bahkan ada barang yang dilepas dengan harga Rp 33
juta.
Harga memang tidaklah menjadi persoalan, tetapi kepuasan
dari memiliki barang yang telah disembahyangkan adalah sesuatu yang berbeda.
Itulah, kata Ayun, yang membuat banyak orang berebut untuk memiliki
barang-barang yang dilelang. (arm)
0 komentar:
Posting Komentar