Tulisan arab di lembaran daun itu tampak sedikit mencolok di
antara barang-barang lain di museum Linggam Cahaya. Kalimat yang tertulis pada
bagian pertama ialah bissmillahirrahmaanirrahiim. Menurut petugas penjaga
museum, itu adalah daun dari pohon Embacang atau juga dikenal juga Bacang.
Tradisi mandi Safar menjadi bagian dari ritual tradisi
melayu yang telah dipopulerkan oleh sultan Lingga Riau terakhir, Abdurrahman
Muazzamsyah, saat hendak berangkat meninggalkan Daik menuju Singapura. Sultan
yang kala itu hendak dimakzulkan oleh Belanda menyempatkan dulu untuk mengajak
warganya melakukan mendi Safar di istana Kolam.
Sejak saat itu, tradisi mandi Safar kembali menggeliat
dikalangan warga melayu di Daik. Dalam kegitan itu, air yang hendak digunakan
untuk mandi penyiram pada pertama kali membasahi tubuh adalah air yang telah dimantra-mantrai
oleh tokoh adat setempat. Mantra yang digunakan adalah sebuah isim yang
ditulisakan pada benda lalu dicelupkan ke dalam tempayan ataupun gentong.
Menurut pemerhati budaya Lingga, Lazuardi, dulunya tidak
hanya dedaunan yang digunakan. Adakalanya pelepah pohon. Zaman itu, terangnya,
kerta merupakan barang mewah dan sulit untuk didapatkan. Kertas yang ada sering
digunakan untuk kebutuhan administrasi kerajaan.
“Barulah setela itu daun yang digunakan. Menurut
cerita-cerita, daun Embacang ini dipilih karena pohon ini memiliki racun. Siapa
yang terkena tetesan getahnya akan terkena penyakit gatal-gatal dan kudis. Ada
juga penyakit lain yang ditimbulkan dari daun ini. Makanya, kemudian daunnya
dipilih,” paparnya.
Pemilihan daun tersebut, tambah dia, agar segala racun yang
terdapat didalamnya tidak membawa petaka dan marabahaya bagi warga. Dengan
dibacakan doa serta penulisan isim pada daun itu, diharapkan tidak lagi
mencelakai warga. Akan tetapi, tidak ada patokan khusus dalam penggunana media daun
tersebut.
Penulisan isim atau kalimat pada daun itu tidak sembarang.
Hanya orang-orang tertentu yang bisa boleh menuliskannya, yakni ulama ataupun
tokoh agama. Waktu penulisan juga sangat terpilih, yakni pada Jumat atau
malam-malam lain yang dianggap paling bagus. Selama proses penulisan, sang
penulis juga tidak diperkenankan berbica hingga penulisan selesai.
“Itu adalah aturan-aturannya. Sebab maksuda dan tujuan dari
tulisan itu adalah doa atau permohonan. Tulisannya, bismillahirrahmaanirrahiim
salaamun kaulam mir rabbir rahim dan seterusnya. Tentang hal ini ada
diterangkan dalam kitab Tajul Mulk,” imbuhnya lagi.
Menurut Fadli, petugas museum Linggam Cahaya, dalam Kitab
Tajul Mulk itu disebutkan bahwa tradisi itu untuk menolak balak anak cucu nabi
Adam dari godaan Dajjal (sosok pembawa bencana dalam kepercayaan umat Islam,
red). Dalam kitab tersebut juga diceritakan tentang awal mula tradisi tersebut.
“Untuk pelaksanaannya, yakni pada hari Rabu terakhir di bulan Safar. Seperti
disebutkan dalam kitab ini,” ujarnya saat membacakan keterangan dalam kitab itu
kepada Tribun beberapa waktu lalu.
Masyarakat melayu meyakini kegiatan mandi Safar
adalah bagian dari adat istiadat untuk tolak balak atau dijauhkan dari musibah
dunia. Tradisi ini tidak hanya dilakukan oleh masyarakat Melayu di Lingga, melainkan
juga di Malaka, Serawak, dan lainnya.
0 komentar:
Posting Komentar