Besi tua itu sebelumnya teroggok di pinggir jalan. Sekilas,
ia terkesan hanyalah sebagai besi tua yang tidak dipergunakan lagi dengan warna
kecoklatan yang pekat. Nyaris hitam. Untungnya, ada tulisan yang menandakan
bahwa benda itu ialah cagar budaya. Benda itulah yang berada di hadapan Long
Leman. Besi itu telah dipindahkan oleh Disparbud Lingga beberapa waktu lalu
untuk menjadi bagian koleksi museum.
Kakek Long Leman (60) sedang asyik mengetuk benda bulat itu.
Ia tampak serius dengan palu di tangannya. Pelan dan perlahan, karat yang
melekat disingkirkan agar tidak menjalar ke bagian lain dari besi itu. “Ini
dulu dipakai untuk memadatkan jalan oleh Belanda waktu membuka jalan ke
pelabuhan Beton,” ujarnya saat disambagi Tribun beberapa waktu lalu.
Benda itu, terangnya, adalah peninggalan bersejarah yang
harus dirawat. Itu adalah bagian dari bukti sejarah atas kehadiran Belanda
dalam upaya mengusai Lingga yang ketika itu dipimpin oleh sultan terakhir
kerajaan Lingga Riau. Belanda menjadikan pelabuhan Buton sebagai lokasi untuk
memantau arus keluar masuk penduduk, termasuk juga raja yang hendak
dimakzulkannya.
Itu adalah satu diantara pekerjaan Long Leman. Ia termasuk
satu diantara para pecinta benda-benda bersejarah, seni budaya, serta adat
istiadat melayu. Bahkan, Long Leman rela menghibahkan tanahnya untuk
pembangunan museum. Ia merasa bahwa benda-benda bersejarah harus dirawat dan
dilestarikan agar anak cucu kelak bisa mengambil pelajaran.
“Dulu saya pelaut. Saya telah datang ke beberapa daerah.
Saya melihat berbagai adat-istiadat mereka. Terus saya berpikir, daerah saya
ini kaya dengan budaya. Setelah balik, saya tidak lagi mau menjadi pelaut. Saya
memilih melestarikan budaya,” kisahnya sembari mengenang masa lalunya.
Sebelum upaya penyelamatan benda-benda bersejarah, Long
Leman menekuni bidang budaya. Ia pun mempelajari beberapa peralatan musik. Tak
heran, bila kini ia bersama dengan sanggar tari yang ia bina sering mendapatkan
undangan ke berbagai daerah.
Setelah Lingga menjadi kabupaten, semangatnya terus
berkobar. Apalagi, museum itu kini berada berdampingan dengan rumahnya.
Sehari-hari ini, ia selalu bergulat dengan benda-benda bersejarah serta
kebudayaan. “Tidak bosan. Museum ini penting. Inilah pengabdian saya. Saya tak
bisa kasi apa-apa,” ujarnya.
Penggiling tanah itu, rencananya akan diletakkan di dekat
museum bersama dengan beberapa koleksi lainnya. Dengan begitu, setiap warga
yang datang bisa menikmati koleksi dan mengambil pelajaran.
Lazuardi, seorang teman Long Leman, mengatakan selalu berbagi
informasi perihal informasi-informasi budaya dan sejarah. Bahkan, ketika
berburu barang-barang untuk koleksi museum, mereka kerap bersama. Saat Long
Leman masih mampu melakukan perjalanan jauh, mereka berdua tidak segan
mendatangi pelosok-pelosok desa.
“Kita harus berusaha sekuat tenaga menjaga agar koleksi
bersejarah tidak berpindah dari Lingga. Kami selalu mencari informasi sampai ke
pelosok-pelosok desa,” ujarnya.
Semangat mencintai budaya dan sejarah dari Long Leman juga
telah turun kepada seorang anaknya, Jumiran. Anaknya itu memiliki bakat di
bidang musik dan saat ini telah bergabung dengan sanggar yang menjadi binaanya.
“Ada satu anak yang bakatnya sama. Mudah-mudah cucu nanti juga ada yang bakat
di bidang sejarah,” harapnya.
Selain menjaga dan merawat benda bersejarah, Long Leman juga
adalah orang yang selalu mencuci benda-benda bertuah. Dalam tradisi adat
melayu, benda bertuah seperti keris tidak bisa dicuci sembarang orang. “Itu
agak lain sedikit. Orang boleh percaya atau tidak,” ucapnya. Tak heran bila ia
kerap dicari beberapa orang, bahkan dari negeri seberang untuk mengambil
pelajaran darinya.
0 komentar:
Posting Komentar