Kamis, 17 November 2016

Agama Melawan Budaya Korupsi


Indonesia dikenal sebagai bangsa religius sekaligus bangsa terkorup. Predikat religus semestinya tidak bergandengan dengan predikat korup, karena agama mengajarkan nilai-nilai moral fundamental. Agama mana pun, khususnya Islam, mengutuk tindakan korupsi dalam bentuk apapun, sebab bertentangan dengan nilai-nilai universal agama: prinsip keadilan, akuntabilitas, dan tanggung jawab. Intinya, agama-agama bertujuan memperbaiki moralitas manusia.
Ilustrasi kartun gerakan anti korupsi dari markuni.com
Dalam Islam, korupsi dengan segala dampak negatifnya yang menimbulkan berbagai distorsi terhadap kehidupan negara dan masyarakat, dapat dikategorikan perbuatan fasad atau merusak tata kehidupan di muka bumi, yang juga amat dikutuk oleh Tuhan. Bagaimana tidak, akibat korupsi, Indonesia mengalami krisis ekonomi yang berdampak pada dimensi-dimensi lain, seperti politik, sosial, dan budaya. Dimensi-dimensi itu berakibat pula keterbelakangan, kemiskinan, kebodohan, pengangguran, dan tingginya tingkat kriminalitas.
Memang, tidak ada kajian empiris tentang pengaruh agama terhadap praktik korupsi. Azyumardi Azra (2004) menyimpulkan bahwa tinggi rendahnya tingkat korupsi tidak banyak terkait dengan agama, melainkan lebih terkait dengan tata hukum yang jelas dan tegas yang diiringi penegakan hukum berat terhadap para koruptor. Pendapat Azyumardi Azra ini diperkuat dengan hasil survei International Country Risk Guide Index (IRCGI). Menurut IRCGI, sejak 1992 hingga 2000, indeks korupsi di Indonesia terus meningkat dari sekitar tujuh menjadi hampir sembilan (pada 2000). Kecendrungan yang sama juga terjadi di Rusia, yang mayoritas penduduknya Kristen, dengan indeks hampir sembilan pada 2000.
Negara-negara manyoritas berpenduduk muslim yang lain, seperti Pakistan, Banglades, dan Nigeria juga memiliki indeks korupsi amat tinggi, rata-rata di atas tujuh. Begitu juga dengan negara-negara berpenduduk Kristen, seperti Argentina, Meksiko, Filipina, atau Kolombia yang indeks korupsinya juga di atas tujuh. Bahkan, Thailand yang mayoritas penduduknya Budha, indeks korupsinya juga hampir mencapai delapan.
Sementara itu, ada negara lain, yang meyoritas beragama Islam, seperti Iran, Arab Saudi, dan Malaysia dengan angka korupsi yang jauh lebih rendah dibandingkan Indonesia atau Pakistan. Juga ada negara mayoritas Kristen seperti Amerika Serikat, Kanada, atau Inggris dengan indek korupsi dibawah dua.
Kenyataan ini menunjukkan bahwa agama dan keberagamaan adalah dua hal yang berbeda. Kesalehan individual belum tentu membawa kesalehan sosial dan profesional. Begitu banyak orang yang dianggap alim dan saleh justru berbuat korupsi. Begitu juga orang yang rajin sembahyang tidak berarti bersih dari korupsi.
Kita tidak perlu pesimis, seolah-olah agama tidak mampu mendorong antikorupsi. Bukan agama yang gagal, melainkan tokoh dan penganut agama itu yang belum memaknai agama secara tepat. Sebab, agama-agama tidak membenarkan kejahatan, ketidakjujuran, dan segala bentuk amoralitas sosial. Agama-agama mengajarkan moral mulia, budaya malu, kukuh dalam kebaikan, gaya hidup sederhana, etos kerja tinggi, serta orientasi pada kemajuan dan prestasi.
Namun, ajaran tersebut belum terejawantahkan dalam kehidupan keseharian. Karena itu, pemahaman umat atas agama harus diarahkan pula untuk mampu merumuskan apa yang dinamakan "kemungkaran-kemungkaran sosial"—meminjam istilah Zuly Qodir—sebagai bentuk kekafiran baru atau kekafiran modern, termasuk korupsi.
Penafsiran agama yang harfiah, tekstual, dan kaku seperti doktrin takdir bahwa Tuhan menentukan segalanya dan manusia cuma nrimo apa adanya, membawa keberagamaan yang pasif dan tidak leberatif. Agama sebatas bersifat formal, padahal pada saat yang sama pembusukan moral sedang terjadi.
Bagaimana mengobyektifkan agama sehingga ia berperan positif terhadap upaya pemberantasan budaya korupsi? Apabila pendekatan politik dan hukum lebih bersifat represif—meski juga bersifat preventif—dalam pemberantasan korupsi, maka agama berlaku lebih pada level preventif. Timbul anggapan, undang-undang anti korupsi dengan sendirinya akan menjamin penanggulangan korupsi. Padahal hukum kurang menyentuh tataran preventif. Siapa yang dapat menjamin gerak-gerik seseorang setiap detik diperhatikan aparatur hukum?
Agama, dalam konteks demikian, memosisikan dirinya sebagai bimbingan dan kontrol transendental (Ilahi). Bahwa penganut agama seharusnya merasa dikontrol oleh Zat Yang Mahatahu kapan pun dia berada. Selain itu, agama umumnya mengajarkan kehidupan sesudah mati. Bahwa meski tindakan korupsi yang dilakukan di sini sempat lepas dari pengawasan manusia, pengadilan di kemudian akhir (akhirat) tidak akan melepaskannya. Keberagamaan yang subtantif semacam inilah yang dapat mencegah penganut agama dari tindakan korupsi. (Muhammad Ali, 2000).
Gerakan antikorupsi yang digalang ormas keagamaan, seperti Muhammdiyah, NU, Persis dan yang lainnya, pada hakikatnya adalah perlawanan budaya terhadap kejahatan korupsi yang sudah sedemikian parah. Tujuan perlawanannya ialah mengaktualkan kembali kehendak untuk hidup halal yang diajarkan agama (Islam) sebagai habitus tandingan.
Dan bagi NU sendiri, gerakan antikorupsi menjadi bagian dan kesinambungan dari Gerakan Mabadi’ Khaira Ummah yang merupakan langkah awal pembentukan umat yang terbaik yang membawa rahmat untuk semua, yaitu umat yang mampu melaksanakan misi al-amru bi al-ma’ruf dan an-nahyu an al-munkar. wallahu'alam.


0 komentar:

http://www.resepkuekeringku.com/2014/11/resep-donat-empuk-ala-dunkin-donut.html http://www.resepkuekeringku.com/2015/03/resep-kue-cubit-coklat-enak-dan-sederhana.html http://www.resepkuekeringku.com/2014/10/resep-donat-kentang-empuk-lembut-dan-enak.html http://www.resepkuekeringku.com/2014/07/resep-es-krim-goreng-coklat-kriuk-mudah-dan-sederhana-dengan-saus-strawberry.html http://www.resepkuekeringku.com/2014/06/resep-kue-es-krim-goreng-enak-dan-mudah.html http://www.resepkuekeringku.com/2014/09/resep-bolu-karamel-panggang-sarang-semut-lembut.html

Posting Komentar