Indonesia dikenal sebagai
bangsa religius sekaligus bangsa terkorup. Predikat religus semestinya tidak
bergandengan dengan predikat korup, karena agama mengajarkan nilai-nilai moral
fundamental. Agama mana pun, khususnya Islam, mengutuk tindakan korupsi dalam
bentuk apapun, sebab bertentangan dengan nilai-nilai universal agama: prinsip
keadilan, akuntabilitas, dan tanggung jawab. Intinya, agama-agama bertujuan
memperbaiki moralitas manusia.
Ilustrasi kartun gerakan anti korupsi dari markuni.com |
Dalam Islam, korupsi dengan
segala dampak negatifnya yang menimbulkan berbagai distorsi terhadap kehidupan
negara dan masyarakat, dapat dikategorikan perbuatan fasad atau
merusak tata kehidupan di muka bumi, yang juga amat dikutuk oleh Tuhan. Bagaimana tidak, akibat
korupsi, Indonesia mengalami krisis ekonomi yang berdampak pada dimensi-dimensi
lain, seperti politik, sosial, dan budaya. Dimensi-dimensi itu berakibat pula
keterbelakangan, kemiskinan, kebodohan, pengangguran, dan tingginya tingkat
kriminalitas.
Memang, tidak ada kajian
empiris tentang pengaruh agama terhadap praktik korupsi. Azyumardi Azra (2004)
menyimpulkan bahwa tinggi rendahnya tingkat korupsi tidak banyak terkait dengan
agama, melainkan lebih terkait dengan tata hukum yang jelas dan tegas yang
diiringi penegakan hukum berat terhadap para koruptor. Pendapat Azyumardi Azra ini diperkuat dengan
hasil survei International Country Risk Guide Index (IRCGI). Menurut IRCGI,
sejak 1992 hingga 2000, indeks korupsi di Indonesia terus meningkat dari
sekitar tujuh menjadi hampir sembilan (pada 2000). Kecendrungan yang sama juga
terjadi di Rusia, yang mayoritas penduduknya Kristen, dengan indeks hampir
sembilan pada 2000.
Negara-negara manyoritas
berpenduduk muslim yang lain, seperti Pakistan, Banglades, dan Nigeria juga
memiliki indeks korupsi amat tinggi, rata-rata di atas tujuh. Begitu juga
dengan negara-negara berpenduduk Kristen, seperti Argentina, Meksiko, Filipina,
atau Kolombia yang indeks korupsinya juga di atas tujuh. Bahkan, Thailand yang
mayoritas penduduknya Budha, indeks korupsinya juga hampir mencapai delapan.
Sementara itu, ada negara
lain, yang meyoritas beragama Islam, seperti Iran, Arab Saudi, dan Malaysia
dengan angka korupsi yang jauh lebih rendah dibandingkan Indonesia atau
Pakistan. Juga ada negara mayoritas Kristen seperti Amerika Serikat, Kanada, atau
Inggris dengan indek korupsi dibawah dua.
Kenyataan ini menunjukkan
bahwa agama dan keberagamaan adalah dua hal yang berbeda. Kesalehan individual
belum tentu membawa kesalehan sosial dan profesional. Begitu banyak orang yang
dianggap alim dan saleh justru berbuat korupsi. Begitu juga orang yang rajin
sembahyang tidak berarti bersih dari korupsi.
Kita tidak perlu pesimis,
seolah-olah agama tidak mampu mendorong antikorupsi. Bukan agama yang gagal,
melainkan tokoh dan penganut agama itu yang belum memaknai agama secara tepat.
Sebab, agama-agama tidak membenarkan kejahatan, ketidakjujuran, dan segala
bentuk amoralitas sosial. Agama-agama mengajarkan moral mulia, budaya malu,
kukuh dalam kebaikan, gaya hidup sederhana, etos kerja tinggi, serta orientasi
pada kemajuan dan prestasi.
Namun, ajaran tersebut
belum terejawantahkan dalam kehidupan keseharian. Karena itu, pemahaman umat
atas agama harus diarahkan pula untuk mampu merumuskan apa yang dinamakan
"kemungkaran-kemungkaran sosial"—meminjam istilah Zuly Qodir—sebagai
bentuk kekafiran baru atau kekafiran modern, termasuk korupsi.
Penafsiran agama yang
harfiah, tekstual, dan kaku seperti doktrin takdir bahwa Tuhan menentukan
segalanya dan manusia cuma nrimo apa adanya, membawa
keberagamaan yang pasif dan tidak leberatif. Agama sebatas bersifat formal, padahal
pada saat yang sama pembusukan moral sedang terjadi.
Bagaimana mengobyektifkan
agama sehingga ia berperan positif terhadap upaya pemberantasan budaya korupsi?
Apabila pendekatan politik dan hukum lebih bersifat represif—meski juga
bersifat preventif—dalam pemberantasan korupsi, maka agama berlaku lebih pada
level preventif. Timbul anggapan, undang-undang anti korupsi dengan sendirinya
akan menjamin penanggulangan korupsi. Padahal hukum kurang menyentuh tataran
preventif. Siapa yang dapat menjamin gerak-gerik seseorang setiap detik
diperhatikan aparatur hukum?
Agama, dalam konteks
demikian, memosisikan dirinya sebagai bimbingan dan kontrol transendental
(Ilahi). Bahwa penganut agama seharusnya merasa dikontrol oleh Zat Yang
Mahatahu kapan pun dia berada. Selain itu, agama umumnya mengajarkan kehidupan
sesudah mati. Bahwa meski tindakan korupsi yang dilakukan di sini sempat lepas
dari pengawasan manusia, pengadilan di kemudian akhir (akhirat) tidak akan
melepaskannya. Keberagamaan yang subtantif semacam inilah yang dapat mencegah
penganut agama dari tindakan korupsi. (Muhammad Ali, 2000).
Gerakan antikorupsi yang
digalang ormas keagamaan, seperti Muhammdiyah, NU, Persis dan yang lainnya,
pada hakikatnya adalah perlawanan budaya terhadap kejahatan korupsi yang sudah
sedemikian parah. Tujuan perlawanannya ialah mengaktualkan kembali kehendak
untuk hidup halal yang diajarkan agama (Islam) sebagai habitus tandingan.
Dan bagi NU sendiri,
gerakan antikorupsi menjadi bagian dan kesinambungan dari Gerakan
Mabadi’ Khaira Ummah yang merupakan langkah awal pembentukan umat yang
terbaik yang membawa rahmat untuk semua, yaitu umat yang mampu melaksanakan
misi al-amru bi al-ma’ruf dan an-nahyu an al-munkar. wallahu'alam.
0 komentar:
Posting Komentar