Kamis, 13 Juni 2019

Runtuhnya Negara Madinah: Islam Kemasyarakatan versus Islam Kenegaraan



Judul: Runtuhnya Negara Madnah: Islam Kemasyarakatan versus Islam Kenegaraan
Penulis: Jamal Albana
Penerbit: Pilar Media, Yogyakarta
Cetakan: I, Oktober 2005
Tebal: xx + 592 halaman

Diskursus tentang negara, termasuk realisi Islam dan negara, menjadi bagian tak terpisahkan dalam kajian keagamaan. Asumsi ini berpijak pada argumen bahwa pemikiran maupun praktik yang menyangkut masalah politik, sosial, ekonomi, atau realitas apapun tidak begitu saja menafikan referensi agama.

Persoalan negara dan pemerintahan dalam wacana Islam memang menjadi perdebatan serius. Hal ini dikarenakan keinginan sebagian Muslim untuk mewujudkan suatu pemerintahan yang menjalankan syariat sebagai dasar resmi negara, karena dinilai sebagai pilihan ideal yang dapat menjawab segala konteks dan problem keumatan.

Negara Madinah yang dipraktekkan Nabi serta khilafah yang dipraktekkan oleh al-khulafa' al-Rasyidun menjadi rujukan bagi sebuah cita-cita negara Islam. Keberhasilan Nabi menentramkan umat Madinah kemudian menjadikannya sebagai pemangku kekuasaan yang diserahkan masysrakat Madinah penuh kesadaran. Keberhasilan Nabi membuatnya menduduki dualisme peran kekuasaan, sebagai Rasul dan kepala pemerintahan.


Namun menurut Jamal Albana, dalam buku Runtuhnya Negara Madinah ini, mempunyai perspektif berbeda terhadap sejarah Madinah. Menurutnya, Negara Madinah belum cukup memenuhi kriterium sebuah negara. Konsep negara ini bisa dibilang merupakan ekprimen sejarah satu-satunya yang dilakukan Nabi disaat kondisi menuntut beliau untuk menerima jabatan dalam memimpin masyarakat. Baginya, menganalogikan konsep negara Islam terhadap Negara Madinah adalah suatu kesalah besar.

Fakta sejarah dunia Muslim telah mencatat bahwa ketika doktrin agama ditawarkan untuk menjadi ideologi dalam bernegara, baik secara progresif maupaun tidak telah menimbulkan konsekuansinya masing-masing. Berdasarkan fakta sejarah itu pula Albana mulai menganalisa.

Menurutnya, kekuasaanlah yang merusak alkhilafah ar-rasyidah dan mengubah menjadi monarki otoriter. Albana menengarai hal ini terjadi sejak Muawiyah ibn Abu Sufyan memegang kekuasaan. Ini bukti paling kuat dalam kasus kejahatan kekuasaan. Dia selalu, dan harus menghancurkan sistem manapun yang bersandar padanya. Hingga akhirnya, khalifah selanjutnya mengubah sandararannya menjadi kekuasaan dalam dua simbol; pedang dan harta.


Dan selanjutmya, praktik kekhalifaan kemudian muncul berlandaskan pada konsep teokrasi Islam, yang justru dikenal sebagai pemerintahan yang despotik dan hegemonik, agama pada masa itu cendrung hanya menjadi alat legitimasi kekuasaan. Seperti yang terjadi pada pemerintahan Bani Umayyah dan Abbasiyah.

Masuknya agama dalam ideologi kekuasaan bertolak belakang dengan doktrin agama yang akhirnya membelenggu umatnya. Dengan kekuasaan interpretasi doktrin agama menjadi milik penguasa, dengan kekuasan pula praktek keberagamaan ditangan penguasa. Karena hubungan yang membedakan antara umat dan kekuasan adalah bahwa kekuasaan tidak berpihak pada umat, dan hanya cendrung menjadikannya sebagai alat pengendalian dan penindasan. Maka, menurut Albana, kekuasaan pun tidak akan mampu mengemban misi dakwah atau memperjuangkan peranan nialai-nialai agama.

Pada dasaranya usaha-usaha pendirian Negara Islam di beberapa negara, menurut Albana justru tidak memiliki unsur-unsur esensial sebagai sebuah Negara Islam, tak heran bila didalamnya terdapat penindasan, pengekangan kebebasan, krisis ekonomi, inflasi yang tinggi, kemiskinan yang menghinakan, ketiadan oposisi politik yang bebas, dan pemenjaraan orang-orang yang dinilai membangkang. Disini, cermin niali-nilai Islam justru hilang.


Kekuasaan yang merupakan ciri khas sebuah negara, pasti akan merusak ideologi. Perusakan ini adalah salah satu tabiat dari kekuasaan. Sistem manapun yang dibarengi dengan ide reformasi pasti akan dihancurkan, sistem manapun yang berusaha menundukkannya pasti akan ditundukkannya. Oleh sebab itu, kekuasaan akan cendrung merusak, korup, hegemonik, dan despotik bagi sebuah ideologi, termasuk agama. Hal ini yang dijadikan dasar bagi Albana bahwa Islam adalah sebagai agama dan umat, bukan agama dan negara.

Karena negara, yang selalu berporos pada kekekuasaan profan, tidak akan pernah sejajar dengan nilai-nilai agama yang sakral. Ketika kekuasan merupakan karakteristik teristimewa, ketika kekuasaan sebagai penyebab kerusakan, maka artinya juga adalah bahwa kekuasaan tersebut akan merusak norma-norma Islam, bila norma tersebut dibangun melalui negara dan muncul dari kekuasaan.

Jadi, ketika ideologi dan kekuasaan dipercampuradukkan, maka sudah suatu kepastian dan tidak dapat dihindari lagi bahwa kekuasaan akan merusak ideologi. Hal ini terbukti dari beberapa eksperimen pendirian Negara Islam yang ternyata selalu mengalami kegagalan, sebab sejatinya memang tidak ada konsep Negara (untuk menagatakan kekuasaan) Islam dalam syariah.


Yang menarik dari buku ini adalah kutipan pemikiran dan ulasan dari beberapa tokoh yang menjadi rujukan konsep negara Islam dan organisasi yang gencar memperjuangkannya. Mulai dari wacana kekuasaan dalam Islam yang diplopori Jamaluddin al-Afghani sampai Hasan al-Banna, mulai dari penggagasan ide "Negara Islam"-nya al-Maududi, Sayyid Quthb, hingga al-Khomaini, dan mulia dari aksi gerakan kelompok Tafkir, Hizbu at-Tahrir, hingga Jama'ah Islamiyah.

Namun dalam memperkuat argumennya, Albana tidak hanya merujuk pada historisitas peradaban politik Islam. Ia juga mengambil contoh apa yang terjadi diluar umat Islam, misalnya kekuasaan yang merusak Yahudi menjadi Zionis. Menurutnya apa yangterjadi pada umat Yahudi dikarenakan perebutah kekuasan yang berdasarkan pada akidah dari hasil interpretasi Taurat. Padahal akidah itu selalu berhubungan pada golongan. Perseteruan inilah yang menjadikannya Zionis, yang menurut Albana pula sebagai rahasia kejahatan yangdiperbuat para zionisme.

Setidanya, kehadiran buku ini mampu memberikan pemahaman baru bagi wacana politik Islam dan mempertajam diskursus relasi islam dan negara. Dan lebih-lebih, buku ini dapat menjadi kritik terhadap sejarah yang dijadikan landasar konsep negara Islam.


Catatan:
Tulisan ini merupakan tulisan semasa masih menempuh pendidikan strata satu di Yogyakarta. Tulisan ini dibuat pada 2005 ketika masih dalam proses belajar menulis. Jika pun ada kurang pas, mohon maaf karena tidak ada pembaruan atau update terhadap tulisan di dalamnya.[]

0 komentar:

http://www.resepkuekeringku.com/2014/11/resep-donat-empuk-ala-dunkin-donut.html http://www.resepkuekeringku.com/2015/03/resep-kue-cubit-coklat-enak-dan-sederhana.html http://www.resepkuekeringku.com/2014/10/resep-donat-kentang-empuk-lembut-dan-enak.html http://www.resepkuekeringku.com/2014/07/resep-es-krim-goreng-coklat-kriuk-mudah-dan-sederhana-dengan-saus-strawberry.html http://www.resepkuekeringku.com/2014/06/resep-kue-es-krim-goreng-enak-dan-mudah.html http://www.resepkuekeringku.com/2014/09/resep-bolu-karamel-panggang-sarang-semut-lembut.html

Posting Komentar