"Hai orang-orang yang beriman,
diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana telah diwajibkan kepada orang-orang
sebelum kamu agar kamu sekalian bertaqwa" (QS. 2:183)
Momentum Ramadan selalu menarik perhatian bagi umat Islam.
Bukan saja karena bulan itu diagungkan dengan kewajiban melaksankan puasa
sebulan penuh dan segala keistimewaan dan kelebihannya, tetapi juga himbauan
pemenuhan kebutuhan spiritual akan keimanan dan ketakwaan. Banyak seruan yang
mengarah pada peningkatan ketakwaan, baik seruan melaksanakan ibadah syar’iyah maupaun ibadah sosial,
yang intinya agar menahan (al-imsak) diri dari perbuatan yang tidak
sesuai dengan norma agama dan melakukan suatu kebajikan yang menambah nilai
plus dari ibadah puasa itu sendiri.
Sebagai fondasi (rukun)
Islam, puasa merupakan kewajiban mutlak (fardu ‘ain) bagi umat Islam.
Didalammnya, disamping unsur filosofis yang terkandung, yakni peningkatan
ketakwaan (hablun min Allah), ada banyak muatan dan kadungan yang
berhubungan dengan kehidupan di dunia, khususnya sesama manusia (Hablun min
an-nas), yang dapat direnungkan bagi seorang hamba dengan melaksanakan
ibadah puasa penuh ketakwaan. Puasa mempunyai konteks tanggungjawab pribadi dan
juga tanggungjawab sosial. Karenanya, dalam berpuasa, disamping mewujudkan
kesalehan vertikal kepada Allah, juga untuk mewujudkan kesalehan herisontal
kepada sesama manusia dan mahluk Allah.
Ketakwaan itu akan
tampak bila diimplementasi dalam berkehidupan sosial. Seperti dikatan Ashgar
Ali Angineer, cendikiawan dari India, kesalehan yang disebutkan dalam al-Qur’an
bukan hanya kesalehan ritual, namun juga kesalehan sosial. Bukankah
permasalahan sosial dewasa ini cukup kompleks? Dan persoalan serius yang harus
segera dijawab umat Islam saat ini adalah menunjukkan seberapa relevan konsep
Islam sebagai agama ‘rahmat’ bisa dijadikan alat sekaligus solusi atas berbagai
persoalan sisio-ekonomi kontemporer; kemiskinan, keterbelakangan, penindasan,
dan ketidakberdayaan menghadapi perubahan-perubahan global—misalnya, ekonomi
dan politik.
Persoalan kemiskinan
misalnya, dimana jumlah masyarakat miskin di negeri ini semakin bertambah dalam
tiap tahunnya dan ketika mereka tidak lagi berdaya menghadapi persaingan hidup
mendapatkan ‘kelayakan’, memerlukuan solusi konkrit yang mampu mengentaskan
problema itu. Telah sering diperlihatkan dalam berita-berita kriminal bawah
kebanyakan masyarakat kelas bawah melakukan keriminalitas dengan alasan untuk
sesuap nasi, dan atau mempertaruhkan nasib dengan bermain judi—termasuk dalam
kategori ini adalah lotere—dan bahkan melakukan hal-hal yang irasional seperti
tahayul penggandaan uang (yang ujung-ujungnya tak lain hanyalah praktik
penipuan).
Fenomena kemiskinan,
bukan saja merupakan problem sosial tapi juga problem agama. Karena, kefakiran
bisa menyebabkan kekufuran (al-Hadist). Oleh karena itu, sebagai sesama manusia
kita diwajibkan saling tolong menolong. Dan konsep al-Qur’an mengenai
distribusi harta kekayaan sangat jelas, "Dalam harta kekayaan terdapat hak
peminta-minta dan orang yang hidup berkekurangan" (51:19). Ayat ini dengan
sangat jelas menyatakan bahwa kepemilikan tidak bersifat absolut, namun harus
dibagi-bagikan pada gologan masyarakat lemah (mustadl’afin).
Begitu juga dengan
keterbelakangan, penindasan, dan ketidakberdayaan selalu saja menimpa
masyarakat kelas bawah (baca; mustadl’afin). Negeri ini adalah
negeri dengan penduduk muslim terbesar dunia, negeri ini masuk dalam deretan
negeri miskin, dan negeri ini juga masuk dalam kategori negeri terkorup di
dunia. Cukup sudah predikat yang disandangkan pada negeri ini dimana penduduk
mayoritasnya adalah muslim. Dan bentuk fenomena sosial yang paling akut juga
diderita oleh orang muslim. Padahal, Islam sebagai agama rahmat membawa misi
persaudaraan yang universal (universal brotherhood), kesejahteraan (equality),
dan keadilan sosial (social justice) (Ashgar Ali Angineer,1999).
Memahami Islam sebatas
pemenuhan kebutuhan moral spiritual tidaklah benar. Karena, selain memenuhi
kewajiban menunaikan ibadah, Islam juga memerintahkan akan kepedulian sosial.
Oleh karena itu, merepon peroblematika kontemporer dengan bersandar pada konsep
al-Qur’an, melelui reinterpretasi terhadapnya, merupakan suatu keharusan, sebab
zaman selalu berubah dan berkembang. Mempertahankan stagnasi sama-halnya dengan
membiarkan kemandulan umat. Dan, secara otomatis, Islam dengan konsep rahmatan
lil alamin tidaklah lagi menjadi rahmat, melainkan bencana yang
disebabkan oleh umat Islam sendiri.
Kondisi sosial
kontemporer; kemiskinan, keterbelakangan, penindasaan, ketidakberdayaan, dan
sebaginya memerlukan respon agar tidak berlarut-larut menimpa umat Islam.
Disinilah dibutuhkan ijtihadiyah baru dalam merespon
problematika tersebut. Jamal Albana, cendikia dari Mesir, mengatakan bahwa
jihad—berasa dari kata jahada yang berarti
bersungguh-sungguh—masa kini bukanlah bagaimana mati di jalan Allah, meliankan
bagaimana kita hidup dijalan Allah. Pembebasan umat dari keterbelengguaan,
kemiskinan, penindasan dan segala macam bentuk ketidakberdayaan masyarakat,
terutama mustadl’afin, merupakan kesalehan sosial. Menurut Abdul
Munir Mulkhan, guru besar Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta,
iman dan kesalehan seseorang tidak hanya dilihat dari pemenuhan rukun iman dan
rukun Islam, melainkan juga pemihakan pada kepentingan kaum mustadl’afin(kaum
tertindas). Membela dan membebaskan kaum mustadl’afin merupakan
kewajiban dan tanggung jawab bersama. Karena itu, Hassan Hanafi, pemikir kiri
Islam, menganggap bahwa tantangan terbesar bagi umat Islam adalah kemiskinan,
keterbalakangan, dan ketertindasan. Bila demikian, agenda muslim yang harus
direalisasikan secepatnya adalah "jihad sosial". Sudah saatnya
revolusi sosial dilakukan.
Islam dan Pembebasan
Sejarah telah
membuktikan bahwa kehadiran Islam di tengah masyarakat Arab jahiliyah membawa
misi revolusi besar-besaran, yakni pembebasan umat manusia dari kejahiliyahan
menuju peradaban humanis-dinamis, baik bidang ketuhanan (tauhid), ahklak,
sosial-budaya, politik dan perekonomian. Sang pembebas, Muhammad Saw. membawa
masyarakat jahiliyah menuju keterbebasan dari belenggu yang menimpa mereka.
Awalnya, sebelum Islam
datang, praktik perbudakan begitu marak, kaum perempuan (seakan) tidak
mempunyai harga—mereka dengan teganya menguburkan hidup-hidup bayi perempuan
karena dianggap hanya akan membawa kerugian dan petaka bagi keluarga dan
kebilahnya. Perempuan dijadikan pelampiasan nafsu libido para lelaki dengan
menikahi mereka tanpa batas. Begitu juga dengan pola pikir masyarakat jahiliyah
yang irasional dan mengedepankan adat-istiadat yang sarat dengan mitos. Oleh
karenaya mereka dikenal dengan masyarakat jahiliyah. Namun sejak
kedatangan Sang Pembebas, kebiasaan dekimian sedikit demi sedikit mulai
dirubah. Praktik perbudakan mulai dikurangi dengan adanya
kewajiban—sebagai kafarat (tebusan)—memerdekakan budak bagi
seseorang yang melanggar suatu perintah syariat, poligami dibatasi maksimal
empat orang istri bagi mereka yang mampu berbuat adil terhadap istri-istrinya,
dan kepercayaan mitos dirubah dengan penanaman aqidah yang kokoh.
Termasuk juga pembebasan
sosial yang telah dilakukan oleh Nabi adalah menghapus primordialisme dan
fanatisme kesukuan. Islam datang dengan konsep tidak membeda-bedakan suku, ras,
dan golongan dihadapan Allah menjadi pintu menuju kehidupan harmonis umat
manusia. al-Qur’an menyebutkan, "Hai manusia! Kami telah manciptakan
kalian dari laki-laki dan perempuan, dan membuat kalian menjadi
berbangsa-bangsa dan bersuku-suku, supaya kamu sekalian saling mengenal satu
sama lain. Sesungguhnya, yang paling mulia diantara kamu sekalian disi Allah
adalah yang paling bertakwa.". Ini merupakan konsep yang paling
revolusioner, dimana tidak ada lagi kesenjangan umat manusia yang disebabkan
perbedaan ras, suku bangsa, dan golongan.
Diranah sosio-ekonomi
misalnya, Islam juga menawarkan konsep revolusioner, yakni keadilan distributif
dan melarang praktik culas dalam mengumpulkan harta kekayaan, seperti
penimbunan kebutuhan perekonomian (QS.6:34), praktir rentenir dan riba (mengambil
keuntungan dengan sistem bunga)(2:275-278). Hal ini bermakna bahwa agar
penikmatan kebutuhan tidak hanya berputar dikalangan orang-orang kaya,
melainkan merata pada seluruh lapisan masyarakat. Dan agar kesenjangan sosial
-pembedaan si kaya dan si miskin- tidak lagi menjadi kemelut, melainkan suatu
kebutuhan imbal balik, yakni saling membutuhkan.
Sekelimut histori
peradaban umat Islam masa awal diatas perlu jadikan contoh untuk
didialektikakan dengan keberadaan umat masa kini yang begitu banyak mengalami
problematika sosial dan menuntut respon dari sekian konsep Islam. Apalagi,
tantangan hidup di era global ini telah menjadikan wajah buram bagi umat Islam
yang terbukti dengan begitu banyaknya masyarakat muslim di dunia yang mengalami
kelaparan, kemiskinan, penindasan dan keterbelakangan.
Oleh karena itu, melalui
momen puasa kali ini, kita tingkatkan moral spritual dan moral sosial. Sebab,
bangunan moral spiritual bukan hanya sebagai pembebasan personal, melainkan
kesalehan untuk pembebasan sosial—yang juga merupakan moral sosial. Solidaritas
kemanusian menjadi nilai plus dalam upaya meningkatkan ketaqwaan. Dan
mudah-mudahan puasa yang kita jalani telah memuat sisi batiniah (esoterik)
sekaligus sisi lahiriyah (eksoteris). Wallahu a’lam.
*Tulisan semasa masih di Jogja antara 2002-2008