Snorkeling di Pulau Petong, Mengapa Tidak? (1)

Pulau Petong ini berada di sisi selatan Batam. Lebih kurang perjalanan satu setengah jam dari titik keberangkatan kami di Kepri Mall hingga sampai di jembatan enam. Tentu saja, kita akan melewati jambatan satu Barelang yang telah menjadi ikon Batam.

Rasakan Sejuk Air Gunung Daik di Resun

Air terjun Resun, begitu nama yang dilebelkan untuk air terjun yang terletak di desa Resun itu. Airnya mengalir dari pengunungan di tanah Lingga. Air terjun Resun ialah satu di antara sekian banyak aliran air terjun dari gunung Daik.

Kampung Boyan di Dabo Singkep

Para perantau ini seringkali meninggalkan jejak berupa nama kampung, yakni Kampung Boyan. Nah, itulah yang menjadi pijakan, tradisi rantau warga Bawean memiliki jejak, baik berupa nama maupun tradisi. Di Dabo Singkep, terdapat juga sebuah kampung bernama Kampung Boyan.

Menikmati Keindahan Masjid Agung Natuna

Masjid ini memang megah. Bahkan termegah yang ada di Kepri. Sebab itu, masjid ini selalu terlihat sangat cantik dari berbagai sisinya. Anda bisa mencari berbagai foto menarik masjid ini di internet. Saya sungguh kagum.

Puasa dan Pembebasan Sosial

Puasa mempunyai konteks tanggungjawab pribadi dan juga tanggungjawab sosial. Karenanya, dalam berpuasa, disamping mewujudkan kesalehan vertikal kepada Allah, juga untuk mewujudkan kesalehan herisontal kepada sesama manusia dan mahluk Allah.

Tampilkan postingan dengan label Ceritaku. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Ceritaku. Tampilkan semua postingan

Senin, 07 Oktober 2013

Menikmati Air Segar di Lingga



Pesona alam di kabupaten Lingga terhampar luas di seluruh wilayahnya. Lingga memiliki panorama bawah laut yang indah di perairan pulau Benan. Lingga juga memiliki memiliki keindahan alam pegunungan. Tak seperti daerah lainnya di Kepri, Lingga nyaris memiliki sebagian besar pesona alam di Kepri.

Gunung Daik, yang menjadi ikon kabupaten Lingga, sudah tampak indah dengan dia cabangnya. Setiap pengunjung yang baru menapakkan kakinya di Daik, langsung terpikat dengan keindagannya. Apalagi pada saat kabut tipis melintas di kaki gunung, terlihat puncaknya yang begitu menawan.

Dari pegunungan Daik itu, terdapat beberapa aliran air. Dan, di antara aliran itu, muncul pula air terjun dengan beragam kekhasannya. Ada air terjun Resun, air terjun Jelutung, air terjung Kado, serta air terjun Tande. Bahkan, air terjun Jelutung dinobatkan oleh beberapa petualang sebagai air tejun tertinggi di Kepri.

Editor buku Jelajah LIngga Bunda Tanah Melayu, Edi Sutrisno, menyebutkan ketinggian air terjun ditingkat pertama mencapai 60 meter. Dulunya, tulis Edi, air terjun ini disebut warga dengan air terjun Ranoh. Namun, karena di sekitar lokasi muncul banyak pohon jelutung, warga pun lebih suka menyebut air terjun ini sebagai air terjun Jelutung.

Akan tetapi, medan perjalan menuju ke lokasi masih tidaklah mudah. Butuh beberapa jam untuk sampai di tingkatan pertama air terjun yang terletak di desa Mentuda ini. Air terjun ini pun pernah dilirik oleh investor untuk pembangkit listrik tenaga air karena debit airnya yang cendung tidak surut walau di musim kemarau.

Di antara aliran sungai yang bersumber dari mata air pegunungan Daik itu, terdapat juga beberapa lokasi rekreasi dan piknik, seperti pemandian Lubuk Papan dan pemandian Lubuk Pelawan. Keduanya berada pada aliran air sungai Tande. Kedua pemandian ini juga memiliki nilai sejarah yang erat dengan masa kerajaan Riau-Lingga saat Daik menjadi ibu kotanya.

Menurut Lazuwardi, pecinta sejarah Lingga, pemandian Lubuk Papan merupakan lokasi untuk aktivitas keseharian kalangan yang bertugas istana. Lubuk Papan memang berada tidak jauh dari area istana Damnah.

Pemerintah juga telah menyulap area pemandian ini menjadi lokasi yang layak untuk dinikmati bagi setiap pengunjung. Beberapa tempat duduk juga telah dibangun lengkap dengan toilet serta kamar ganti bagi pengunjung yang hendak mandi. Air yang mengalir pun berasal dari mata air pegunungan Daik sehingga rasa segar dan sejuknya tetap terasa.

Sedangkan pemandian lubuk Pelawan, dulunya merupakan lokasi pemandian Engku Ampuan Zahara. Akan tetapi, lokasi ini kurang mendapatkan perawatan yang baik karena beton-beton yang ada pun telah terkikis oleh derasnya air saat musim hujan. Untuk bernostagia dengan masa lalu, tidaklah salah bisa mendatangi lokasi ini.

Kamis, 11 April 2013

Meriam Penghancur itu Bernama Tupai Beradu (2)




Terik siang itu begitu menyengat. Namun semilir angir dari arah laut menghilangkan gerah perjalanan begitu sampai di benteng Bukit Cening. Ini adalah benteng pertahanan kedua setelah pulau Mepar dari kerjaan Riau saat menjadikan Daik sebagai pusat pemerintahan. Di dalam benteng itu, deretan meriam berjejer menghadap ke laut.

Dentuman meriam silih berganti untuk menaklukkan musuh yang berhasil lolos dari gempuran benteng di Mepar. Perlawanan sengit membuat perang berlangsung lama. Hari pun sudah mulai sore tetapi musuh masih terus memberikan perlawan. Dan akhirnya, kapal musuh tak berkutik lagi ketika meriam penghancur, Tupai Kembar, berhasil memuntahkan pelurunya di gudang mesiu kapal. Doar. Lambung kapal pun pecah dan seluruh pasukan lanun kocar kacir dan terjun ke laut di selat Kolombok.

Kisah di atas hanyalah kilasan hayalan tentang peperangan membasmi para lanun dan pendatang yang membahayakan kedaulatan kerajaan. Bayangan seperti itu bisa membuat kita bernostalgia dengan masa lalu. Sejah pemerintahan berpindah dari Riau ke Daik Lingga, belum ada catatan perihal peperangan besar yang terjadi layaknya perang di Tanjungpinang sebagai mana yang dipimpin oleh Raja Haji Fisabillah.

“Secara umum, baik dalam kisah-kisah orang tua ataupun sumber tertulis, belum ada peperangan besar yang terjadi di Lingga. Benteng-benteng itu dibangun untuk pertahanan karena Lingga adalah ibu kota. Cerita yang banyak terdengar tentang penaklukan para lalun dan perompak,” kata Lazuwardi, pemerhati sejarah di Lingga. Meriam ini dibangun pada masa pemerintahan Sultan Abdurrahman Syah (1812-1832).

Khayalan peperangan semacam itu muncul ketika berdiri di meriam Tupai Beradu. Meriam ini adalah meriam terbesar dari 19 meriam yang ada di Bukit Cening. Panjangnya 2,8 meter dengan deameter 12 centi meter. Dalam penuturan warga, meriam ini diapit oleh meriam Mahkota Raja. Saat ini, susunan meriam itu disesuaikan dengan kisah-kisah yang tersebar di masyarakat. Panglima yang mengomandoi benteng itu dikenal bernama Panglima Pandak atau Panglima Cening.

“Meriam Tupai Beradu ini diapit oleh meriam Mahkota Raja. Kisah ini sudah turun temurun begitu. Sifatnya lebih sebagai meriam penghancur. Mungkin karena ukuran lebih besar dari pada yang lain. Panglima Ceninglah yang memegang komando dan yang memegang kendali meriam Tupai Beradu itu,” katanya lagi.

Benteng Bukit Cening siap memiliki luas 32x30 centi meter. Dari benteng ini, terlihat hamparan luas selat Kolombok. Selat ini menjadi pintu masuk bagi setiap pedagang yang hendak berlabuh di pelabuhan Pabean melalui sungai Daik. Di benteng itu juga ditemukan angka 1783 dan 1797 serta tulisan VOC yang diduga sebagai tahun pembuatan meriam. Tulisan “VOC” menandakan meriam itu dibeli dari pemerintah Hindia Belanda. Keterangan itu tertulis pada prasasti di bagian depan benteng.

Kuala Daik
Sungai Daik adalah satu-satunya jalan untuk mencapai ke pusat pemukiman penduduk dan area istana sultan. Di dalam aliran sungai itu pula terdapat pelabuhan tempat bongkar muat barang. Namun, bagi musuh hendak memasuki muara sungai, ia harus terlebih dahulu menaklukan benteng Kuala Daik dan Kubu Pari yang tedapat puluhan meriam.

“Dulunya meriam di sana lebih banyak. Tetapi karena lokasinya jauh dari pemukiman, perawatannya agak sulit. Sebelum diletakkan pada beton, meriam-meriam itu berserakan,” kata seorang warga. Saat ini, ada 16 meriam yang berhasil ditemukan dari 21 meriam yang dikabarkan berada di kubu parit ini. Ada kabar, beberapa meriam berhasil dipindahkan ke tengah pemukiman penduduk.

Dengan jumlah sebanyak itu, meriam ini bisa menghalau musuh dari jarak dekat, bahkan sebelum kapal musuh berhasil menyentuh bibir sungai. Apalagi, benteng Kuala Daik yang berada tepat di bibir pantai juga selalu siap menuggu kedatangan musuh yang berhasil lolos dari gempuran benteng Mepar dan Bukit Cening. (Abd Rahman Mawazi)



Jumat, 05 April 2013

Meriam Sumbing yang Melegenda (1)



Perang Reteh meletus ketika Belanda mengerahkan pasukannya dari Tanjungpinang pada Oktober 1858. Pasukan itu hendak menaklukan Raja Sulung di Reteh, Indragiri, Riau. 25 kapal perang penuh meriam dan pasukan besar dikirim agar Raja Sulung tunduk dan mengakui sultan Sulaiman. Namun, ada satu meriam yang tertinggal dan menagis, yaitu meriam sumbing.

Meriam sumbing yang kini berada di pulau Mepar, Lingga, konon dikabarkan menagis karena tidak diikutsertakan dalam perang itu. Tagisnya tidak lagi terdengar setelah disusulkan ke Reteh dan turut serta dalam pertempuran yang akhirnya menewaskan Raja Sulung. Dan keganasan meriam sumbing ketika itu, melebihi perkiraan banyak orang. Meriam sumbing kala itu dianggap sebagai produk yang belum sempurna dan tidak tahan lama untuk diajak bertempur.

“Setelah perang usai, ternyata terdengar kabar bahwa meriam itu tidak hanya kokoh dalam bertahan, tetapi juga kuat dalam menyerang hingga membuat moncongnya sumbing. Itu kisah yang masyahur di masyarakat,” kata Lazuwardi, warga Daik yang menjadi pemerhati sejarah Lingga. Dalam sebuah makalahnya,

Perang Reteh berkobar karena Raja Sulung tidak mau tunduk kepada Belanda dan Sultan Sulaiman Badrul Alam Syah (1857-1883). Sultan Sulaiman naik tahta setelah Belanda memakzulkan Sultan Mahmud Muzaffar Syah yang berada di Singapura. Sedangkan Raja Sulung menjadi pengikut setia Sultan Mahmud setelah ditolong usai perebutan kekuasan di Siak pada 1784 dan diangkat sebagai Panglima Besar Reteh.

Ketika perang Reteh usai pada bulan berikutnya, seluruh meriam yang berada di benteng pertanahan di pulau Mepar dikembalikan pada posisi semua, termasuk meriam sumbing yang memiliki panjang sekitar 1,5 meter itu. Meski telah sumbing, ia tetap menjadi idola dalam pertahanan. Saat ini, meriam itu berada tidak jauh dari sebuah musholla di pulau Mepar, sekitar 20 meter dari gerbang masuk pulau itu. Dulunya banyak meriam hanya berserakan saja di sekitar pemukiman wawrga dan kini meriam itu sudah disusun bagian bukit pulau Mepar.

Meriam sumbing pun dianggap sebagai meriam paling kramat diantara meriam-meriam lainnya. Dalam novel Mutiara Karam karya Tusiran Suseso, meriam sumbing dikisahkan sebagai senjata andalan Datuk Kaya Mepar saat hendak menumpas para lanun atas titah sultan Mahmud Syah. Meriam itupun selalu tetap berada di Mepar dan menjadi meriam paling keramat. Terlepas dari berbagai kisahnya, meriam Sumbing telah menjadi bagian dari mitologi masyarakat Lingga.


Akan tetapi, Repelita Wahyu Oetomo dari Balai Arkeologi Medan dalam sebuah artikelnya menyebutkan sumbing pada moncong meriam itu disebabkan oleh kualitas barang yang kurang bagus. Ia menduga meriam itu buatan dari daerah yang teknologinya belum maju sehingga pada saat terlalu sering digunakan, bagian depannya kepanasan dan pecah.

Pertahanan Pertama
Pulau Mepar memiliki fungsi strategis dalam pertahanan kerajaan Riau-Lingga. Pulau yang ketika mengitarinya tidak sampai setengah ini di kepalai oleh seorang temanggung. Namun, kekuasan temanggung ini berbeda dengan Temanggung Abdul Jamal yang megusasi ke bulan Bulang dan sekitarnya. Temanggung di Mepar hanya berkuasa di Mepar saja sebagai hadiah dari Sultah Mahmud Syah III saat memindahkan ibu kota kerajaan dari Riau-Bintan ke Daik-Lingga.

Sebagai benteng pertahanan, seluruh sisi pulau itu pun dipenuhi oleh benteng atau kubu. Jangan bayangkan benteng yang dimaksud ini adalah tembok beton tebal dengan ketinggiannya, benteng ini hanya berupa gundukan tanah atau susunan bebatuan untuk tempat berlindung. Meriam-meriam, diletakkan di atas gundukaan tanah adan ada juga yang muncungkan berada di antara tumpukan batu. Ada sekitar lima benteng di pulau itu, sebagian sudah tergerus oleh laut.

“Yang paling atas itu benteng Lekok. Benteng ini bisa memantau seluruh penjuru di laut. Benteng pulau Mepar ini adalah benteng pertahanan pertama. Di bukit Cengkeh juga ada benteng, tapi lebih tepatnya semacam pos pantauan. Dari sana kemudian dikirim sinyal ke Mepar,” terang Lazuardi.

Benteng yang dilengkapi meriam di Mepar selalu siap siaga bila ada musuh. Apalagi, selat Lima yang memisahkan pulau Lingga dan Selayar sering menjadi jalur pelayaran. Setiap kapal yang datang selalu terpantau dari pos di Bukit Cengkeh dan benteng–benteng di Mepar pun bersiaga ketika kapal itu dicurigai sebagai ancaman.

Posisi Mepar ini kurang lebih dengan posisi Penyegat dan Tajungpinang yang menjadi benteng pertahanan paling depan. Mepar ini berada di seberang dari pelabuhan Buton, Daik. Pelabuhan inilah yang pada masa-masa akhir kerajaan digunakan Belanda sebagai tempat untuk mengontrol gerak gerik sultan beserta seluruh rakyat yang keluar masuk Daik.

Jika di Penyengat memiliki banyak peninggalan infrastruktur, termasuk masjidnya yang sudah terkenal ke sentaro negeri. Sedangkan peninggalan masa kerajaan di Mepar hanya benteng-benteng itu serta makam dari temanggung dan keturunannya. Kini, pemkab Lingga melalui Disbudpar telah menjadikan Mepar sebagai satu destinasi wisata di Lingga. (abd rahman mawazi/bersambung klik di sini

Baca juga : Meriam Penghancur itu Bernama Tupai Beradu

Sabtu, 16 Maret 2013

Kampung Boyan di Dabo Singkep


Kemasyhuran timah di Dabo, pulau Singkep, kabupaten Lingga, menarik perhatian dunia. Dimulai pada zaman kesultanan, era penjajahan Belanda, hingga masa kemerdekaan sampai pada tutupnya PT Timah pada 1992-an. Pendatangpun berbondong ke pulau yang berada di utara pulau Bangka, termasuk juga pendatang dari pulau Bawean.


Masyarakat Bawean memang sudah terkenal sebagai perantau. Jejak mereka lebih banyak ke arah barat dari pulau yang berada di laut Jawa itu. Bangka, Belitung, Kijang (Bintan), Singapura, dan Malaysia menjadi tempat tujuan merantau yang paling banyak diminati setelah Jawa.

Para perantau ini seringkali meninggalkan jejak berupa nama kampung, yakni Kampung Boyan. Nah, itulah yang menjadi pijakan, tradisi rantau warga Bawean memiliki jejak, baik berupa nama maupun tradisi. Di Dabo Singkep, terdapat juga sebuah kampung bernama Kampung Boyan. Di situ, dahulu, pada masa kejayaan PT Timah, terdapat sekelompok perantau dari Bawean. Mereka mencoba menggantungkan asa dari tambang yang telah terkenal ke sentaro dunia. Ada juga yang datang sebagai pedagang.

Dari beberapa penuturan orang Boyan di Dabo Singkep, mereka ada yang datang langsung dari Bawean dan ada pula yang datang dari Bangka dan Belitung. Tidak perlu diceritakan lagi bagaimana masyarakat Bawean bisa merantau sebab semuanya, ketika itu, menggunakan jalur laut dan bertujuan untuk meningkatkan pendapatan ekonomisnya.
Kampung Boyan di Singkep ini terletak di pesisir pantai.

Di kampung itu lebih banyak di tumbuhi pohon kelapa. Akan tetapi, Kampung Boyan di desa Batu Berdaun Kecamatan Singkep kabupaten Lingga ini tidak lagi ada orang-orang Boyan itu. Entah sejak kapan mereka meninggal kampung dan hanya menyisakan nama saja. “Dulu banyak, sekarang tak ada lagi (orang Boyan yang menetap di kampung itu),” kata Iwan, ketua RT di kampung itu.

Meski tidak lagi ditemukan keturunan Bawean di kampung itu, sebenarnya, mereka masih ada yang menetap di pulau Singkep. Mereka telah tersebar ke beberapa kampung-kampung lainnya. Saat ini, lokasi yang paling terkenal dengan banyak warga ataupun keturunan Bawean itu sebuah kampung bernama Tansirasif, yang berada di kecamatan Singkep Barat.



Di sana, warga Bawean banyak yang memilih menjadi petani. Hasil pertanian mereka untuk memenuhi kebutuhan warga Singkep. Yang tidak kalah terkenal ialah durian hasil dari pohon-pohon tanaman orang Boyan. Tidak sedikit orang Singkep yang menaruh rasa takjub dengan etos kerja orang Boyan, apalagi hasil tanaman mereka dikenal selalu bagus.

Ada juga sebagian keluarga lainnya yang menetap di Dabo Singkep. Di antara mereka ada yang menjadi buruh dan ada pula karyawan biasa.

Sependek pengetahuan penulis, belum ada keturunan Bawean yang memiliki kedudukan strategis di pemerintah maupun politik di kabupaten Lingga. Kelak, jika ada kisah lain perihal orang Boyan ini, tentu akan penulis bagikan lagi kepada pembaca. (Abd Rahman Mawazi)


Sabtu, 02 Februari 2013

Daun Racun yang Menjadi Obat



Tulisan arab di lembaran daun itu tampak sedikit mencolok di antara barang-barang lain di museum Linggam Cahaya. Kalimat yang tertulis pada bagian pertama ialah bissmillahirrahmaanirrahiim. Menurut petugas penjaga museum, itu adalah daun dari pohon Embacang atau juga dikenal juga Bacang.

Tradisi mandi Safar menjadi bagian dari ritual tradisi melayu yang telah dipopulerkan oleh sultan Lingga Riau terakhir, Abdurrahman Muazzamsyah, saat hendak berangkat meninggalkan Daik menuju Singapura. Sultan yang kala itu hendak dimakzulkan oleh Belanda menyempatkan dulu untuk mengajak warganya melakukan mendi Safar di istana Kolam.

Sejak saat itu, tradisi mandi Safar kembali menggeliat dikalangan warga melayu di Daik. Dalam kegitan itu, air yang hendak digunakan untuk mandi penyiram pada pertama kali membasahi tubuh adalah air yang telah dimantra-mantrai oleh tokoh adat setempat. Mantra yang digunakan adalah sebuah isim yang ditulisakan pada benda lalu dicelupkan ke dalam tempayan ataupun gentong.

Menurut pemerhati budaya Lingga, Lazuardi, dulunya tidak hanya dedaunan yang digunakan. Adakalanya pelepah pohon. Zaman itu, terangnya, kerta merupakan barang mewah dan sulit untuk didapatkan. Kertas yang ada sering digunakan untuk kebutuhan administrasi kerajaan.

“Barulah setela itu daun yang digunakan. Menurut cerita-cerita, daun Embacang ini dipilih karena pohon ini memiliki racun. Siapa yang terkena tetesan getahnya akan terkena penyakit gatal-gatal dan kudis. Ada juga penyakit lain yang ditimbulkan dari daun ini. Makanya, kemudian daunnya dipilih,” paparnya.

Pemilihan daun tersebut, tambah dia, agar segala racun yang terdapat didalamnya tidak membawa petaka dan marabahaya bagi warga. Dengan dibacakan doa serta penulisan isim pada daun itu, diharapkan tidak lagi mencelakai warga. Akan tetapi, tidak ada patokan khusus dalam penggunana media daun tersebut.

Penulisan isim atau kalimat pada daun itu tidak sembarang. Hanya orang-orang tertentu yang bisa boleh menuliskannya, yakni ulama ataupun tokoh agama. Waktu penulisan juga sangat terpilih, yakni pada Jumat atau malam-malam lain yang dianggap paling bagus. Selama proses penulisan, sang penulis juga tidak diperkenankan berbica hingga penulisan selesai.

“Itu adalah aturan-aturannya. Sebab maksuda dan tujuan dari tulisan itu adalah doa atau permohonan. Tulisannya, bismillahirrahmaanirrahiim salaamun kaulam mir rabbir rahim dan seterusnya. Tentang hal ini ada diterangkan dalam kitab Tajul Mulk,” imbuhnya lagi.

Menurut Fadli, petugas museum Linggam Cahaya, dalam Kitab Tajul Mulk itu disebutkan bahwa tradisi itu untuk menolak balak anak cucu nabi Adam dari godaan Dajjal (sosok pembawa bencana dalam kepercayaan umat Islam, red). Dalam kitab tersebut juga diceritakan tentang awal mula tradisi tersebut. “Untuk pelaksanaannya, yakni pada hari Rabu terakhir di bulan Safar. Seperti disebutkan dalam kitab ini,” ujarnya saat membacakan keterangan dalam kitab itu kepada Tribun beberapa waktu lalu.


Masyarakat melayu meyakini kegiatan mandi Safar adalah bagian dari adat istiadat untuk tolak balak atau dijauhkan dari musibah dunia. Tradisi ini tidak hanya dilakukan oleh masyarakat Melayu di Lingga, melainkan juga di Malaka, Serawak, dan lainnya. 

Long Leman, Terpanggil Menjaga Sejarah dan Budaya di Lingga



Besi tua itu sebelumnya teroggok di pinggir jalan. Sekilas, ia terkesan hanyalah sebagai besi tua yang tidak dipergunakan lagi dengan warna kecoklatan yang pekat. Nyaris hitam. Untungnya, ada tulisan yang menandakan bahwa benda itu ialah cagar budaya. Benda itulah yang berada di hadapan Long Leman. Besi itu telah dipindahkan oleh Disparbud Lingga beberapa waktu lalu untuk menjadi bagian koleksi museum.

Kakek Long Leman (60) sedang asyik mengetuk benda bulat itu. Ia tampak serius dengan palu di tangannya. Pelan dan perlahan, karat yang melekat disingkirkan agar tidak menjalar ke bagian lain dari besi itu. “Ini dulu dipakai untuk memadatkan jalan oleh Belanda waktu membuka jalan ke pelabuhan Beton,” ujarnya saat disambagi Tribun beberapa waktu lalu.

Benda itu, terangnya, adalah peninggalan bersejarah yang harus dirawat. Itu adalah bagian dari bukti sejarah atas kehadiran Belanda dalam upaya mengusai Lingga yang ketika itu dipimpin oleh sultan terakhir kerajaan Lingga Riau. Belanda menjadikan pelabuhan Buton sebagai lokasi untuk memantau arus keluar masuk penduduk, termasuk juga raja yang hendak dimakzulkannya.

Itu adalah satu diantara pekerjaan Long Leman. Ia termasuk satu diantara para pecinta benda-benda bersejarah, seni budaya, serta adat istiadat melayu. Bahkan, Long Leman rela menghibahkan tanahnya untuk pembangunan museum. Ia merasa bahwa benda-benda bersejarah harus dirawat dan dilestarikan agar anak cucu kelak bisa mengambil pelajaran.

“Dulu saya pelaut. Saya telah datang ke beberapa daerah. Saya melihat berbagai adat-istiadat mereka. Terus saya berpikir, daerah saya ini kaya dengan budaya. Setelah balik, saya tidak lagi mau menjadi pelaut. Saya memilih melestarikan budaya,” kisahnya sembari mengenang masa lalunya.

Sebelum upaya penyelamatan benda-benda bersejarah, Long Leman menekuni bidang budaya. Ia pun mempelajari beberapa peralatan musik. Tak heran, bila kini ia bersama dengan sanggar tari yang ia bina sering mendapatkan undangan ke berbagai daerah.

Setelah Lingga menjadi kabupaten, semangatnya terus berkobar. Apalagi, museum itu kini berada berdampingan dengan rumahnya. Sehari-hari ini, ia selalu bergulat dengan benda-benda bersejarah serta kebudayaan. “Tidak bosan. Museum ini penting. Inilah pengabdian saya. Saya tak bisa kasi apa-apa,” ujarnya.

Penggiling tanah itu, rencananya akan diletakkan di dekat museum bersama dengan beberapa koleksi lainnya. Dengan begitu, setiap warga yang datang bisa menikmati koleksi dan mengambil pelajaran.

Lazuardi, seorang teman Long Leman, mengatakan selalu berbagi informasi perihal informasi-informasi budaya dan sejarah. Bahkan, ketika berburu barang-barang untuk koleksi museum, mereka kerap bersama. Saat Long Leman masih mampu melakukan perjalanan jauh, mereka berdua tidak segan mendatangi pelosok-pelosok desa.

“Kita harus berusaha sekuat tenaga menjaga agar koleksi bersejarah tidak berpindah dari Lingga. Kami selalu mencari informasi sampai ke pelosok-pelosok desa,” ujarnya.

Semangat mencintai budaya dan sejarah dari Long Leman juga telah turun kepada seorang anaknya, Jumiran. Anaknya itu memiliki bakat di bidang musik dan saat ini telah bergabung dengan sanggar yang menjadi binaanya. “Ada satu anak yang bakatnya sama. Mudah-mudah cucu nanti juga ada yang bakat di bidang sejarah,” harapnya.

Selain menjaga dan merawat benda bersejarah, Long Leman juga adalah orang yang selalu mencuci benda-benda bertuah. Dalam tradisi adat melayu, benda bertuah seperti keris tidak bisa dicuci sembarang orang. “Itu agak lain sedikit. Orang boleh percaya atau tidak,” ucapnya. Tak heran bila ia kerap dicari beberapa orang, bahkan dari negeri seberang untuk mengambil pelajaran darinya.