![]() |
Pedagang ayam daging di pasar Tos3000 Jodoh. Pasar ini menjadi pasar induk bagi masyarakat Batam saat ini. |
Rabu, 09 November 2016
Geliat Perekonomian di Pasar Tos3000 Jodoh
Telah beberapa tahun
Pasar Tos3000 di Jodoh menjelma menjadi pasar pagi yang penuh sesak dengan
pengunjung. Inilah pasar tersibuk di Batam dan menjadi "pasar induk"
mendadak, menggantikan pamor pasar Tanjungpantun Jodoh yang sudah dikenal masyarakat
Batam sejak 1980-an dan setelah kegagalan pasar induk yang dibangun
pemerintah.
Geliatnya pasar ini
sudah dimulai sejak dini hari, ketika pada pedagang sayur mayur mulai
berdatangan membawa sayuran segar dari berbagai daerah di Batam. Sebagian besar
sayuran itu di datangkan dari Tembesi, Rempang ataupun Galang. Sedangkan
umbi-umbian seperti kentang lebih banyak didatangkan dari Medan ataupun Jambi.
Memang, kebutuhan makanan di Batam masih membutuhkan pasokan dari luar daerah.
Kemarin (23/10) pagi,
para penjual sudah menggalar dagangan di rentang jalan antara Tos3000 hingga
Top100 Jodoh. Dua ruas jalan itu dimanfaatkan oleh pedagang sayuran dan rempah
untuk menggelar dagangan. Tak pelak, jalan itu pun tidak bisa dilalui oleh
pengendara roda empat. Sedangkan untuk roda hanya bisa sebatas melewati sisi
selatan jalur itu tatapi harus mendesakan dan bebagi dengan pedagang juga.
Kios dan lapak di dalam
pasar Tos3000 menjadi pasar basah. Sedangkan di sisi kanaan, kiri, dan depannya
menjadi tempat para penjual sayuran, rempah, dan buah-buahan. Ada juga yang
menjajakan jajanan pasar di sela-sela pedagang sayuran. Di pasar ini, tidak
sedikit orang yang menaruh harapan mengais rezeki.
"Awas ada copet.
Ibu-ibu hati-hati barangnya. Sekarang ini ibu-ibu pun sudah ada yang jadi copet,"
bunyi pengeras suara yang dibawa seorang pria itu menambah riuh suasana pasar.
Di tengah desak-desakan antara pembeli, di saat itu pula pencopet
beraksi.
Selain suara mikrofon
itu mengitari beberapa wilayah sepanjang jalan. Peringatan itu memang wajar
karena beberapa hari sebelumnya dua orang perempuan ditangkap sebab ketahuan
mencuri dompet pengunjung pasar. Dan keduanya pun harus berurusan dengan polisi
Lubuk Baja.
"Jagungnya delapan
ribu, delapan ribu," teriak seorang penjual memanggil pembeli. Teriakan
itu sudah khas di sebuah pasar. Teriakan demikian itu baru berhenti ketika
penjualnya sedang melayani pembeli.
Tentang saja, tidak
semua pedagang di Tos3000 ini berteriak-teriak karena sebagian besar barang
dagangan juga ada yang diberi papan harga. Pengunjung yang tertarik bisa membli
langsung atau tawar menawar. Tawar menawar adalah kekhasan pasar tradisional
berbeda dengan hipermarket modern yang semua telah terpasang harga.
"Kadang-kadang
saja. Sekali seminggu kalau sempat. Mumpung sekarang hari minggu," kata
seorang ibu saat berbincang dengan Tribun. Ia sengaja memilih menepi di dekat
pasar karena tak kuat untuk memasuki pasar basah Tos3000. "Kalau ke dalam
saya tak kuat. Biar mamak saja," lanjutnya.
Seorang pria yang
menggendong anak juga tengah menunggu istrinya yang berbelanja ikan segar. Ia
tidak tiga harus membawa anaknya berdesakan di tengah pegapnya ruangan pasar
basah dengan berbagai aroma menyeruak ke hidung. Pria yang mengaku bernama
Irwan ini dua pekan sekali atau ketika ada acara besar di rumah.
"Kalau di sini kan
lebih murah. Selisihnya lumayan juga. Di sini sawi satu ikat dua ribu. Kalau
beli tiga lima ribu. Ikatannya pun agak besar," ujarnya. Sedangkan di
warung-warung dekat rumahnya Baloi, walau dengan harga yang sama, tetapi ikatannya
lebih kecil. Ia bisa memaklumi karena pemilik warung juga mungkin kulakan di
pasar Tos3000 ini.
Kebutuhan masyarakat
yang tersedia di pasar Tos3000 ini cukup lengkap. Walaupun hanya bulanan, tidak
sedikit warga yang mencoba untuk berbelanja ke pasar pagi ini sacara langsung.
Kebanyakan mereka yang berleanja datang dari Batuampar, Jodoh, Nagoya, Baloi,
Pelita, dan juga Bengkong.
Hingga pukul 06.30 pagi,
masih ada sejumlah pedagang yang hendak membuka lapak. kebanyakan ialah
pedagang umbi-umbian, seperti ubi, kentang, talas, dan gubis. Sedangkan pembeli
datang silih berganti. Puncak geliatnya pada sekitar pukul 07.00. Tetapi sayang
kemarin mendung mengelayut di atas lagit Jodoh.
"Hujan, hujan,
hujan," teriak para pedagang sembari menyiapkan payung besar. Beberapa
pengunjung yang lain pun melakukan hal yang sama. Mereka harus menyelamatkan
dagangan agar tidak terkontaminasi oleh air hujan yang memiliki zat kimia yang
tajam, apalagi untuk sayur dedaunan. Biasanya, payung besar atau pun terpal itu
baru digunakan ketika sengatan mentari mulai menghangatkan tubuh. Tetapi
pagi kemarin, daun payung dibuka lebih awal sebab gerimis mengundang.
"Mudah-mudahan saja
tidak hujan. Kalau hujan pagi, kami repot mas," terang perempuan yang
minta di sapa Bu Dhe saja. Sebagai pedagang, tentu yang diharapkan ialah
pembeli. Apabila hujan di pagi hari, pembeli akan sepi sedang barang dagangan
akan layu dan tidak layak jual lagi.
Ia agak cemas sembari
berharap hujan tidak turun. Tetapi jika hanya gerimis, maka bisa jadi itu
justru petanda baik di hari Minggu ini. Sebab, ujarnya dia, hari terpanjang
untuk berjualan dalam sepekan ialah Minggu. Jika pada hari-hari biasanya hanya
sampai pukul 09.00 atau maksimal pukul 10.00, tetapi pada hari Minggu ia bisa
membuka lapak sampai pukul 11.00. Semua itu tergantung dari jumlah pembeli. Ini
sudah menjadi hukum ekonomi, semakin banyak yang membeli maka pedagang pun akan
semakin lama penggelar lapaknya.
Tetapi, mereka sudah
harus mulai mengemas barang dagangan secepatnya agar tidak mengganggu pemilik
ruko dan para pengunjung ke toko-toko di Samarinda, Avava, dan Ramayana.
Beruntung, kemarin itu hanya gerimis beberapa menit saja dan pengunjung pun
masih cukup banyak hingga pedagang berjualan sampai siang.
Ketika azan Dhuhur
berkumandang, pedagang sudah bersih. Yang tersisa hanyalah pedagang yang
membuka lapak di samping kanan Samarinda saja. Sedangkan di pasar Basah pun
sudah mulai dikemasi. Sampah-sampah mulai di kumpulkan pada satu titik agar
mudah diangkut para petugas. Geliat kehidupan pasar ini telah menyertai
kehidupan masyarakat Batam. (abd. rahman mawazi)
Jumat, 28 Oktober 2016
Menggali (lagi) Semangat Kaum Muda
Dipenghujung
Oktober 1928 silam, sejumlah pemuda dari Jong Java, Jong Sumatera Bond,
Jong Ambon, Jong Batak, Jong Celebes, Jong Islameiten Bond, dan lain
sebagainya berkumpul memikirkan keberadaan dan nasib bangsanya.
Pertemuan yang digagas oleh Perhimpunan Pelajar-pelajar Indonesia itu
merupakan pertemuan kedua kalinya. Setelah
mereka mengadakan pembahasan, mereka sampai pada satu kesimpulan, bahwa
jika bangsa Indonesia ingin merdeka, bangsa Indonesia harus bersatu.
Untuk itu mereka bersumpah yang terkenal dengan nama Sumpah Pemuda yang
diikrarkan pada akhir kongres, yaitu pada tanggal 28 Oktober 1928.
sumpah itu berbunyi:
Kami
putra dan putri Indonesia, mengaku berbangsa yang satu, bangsa
Indonesia.
Kami putra dan putri Indonesia, mengaku bertanah air yang
satu, tanah air Indonesia.
Kami putra dan putri Indonesia, menjunjung
bahasa persatuan, bahasa Indonesia.
![]() |
Ilustrasi semangat kaum muda. Sumber athanjp.blogspot.co.id |
Tanggal tersebut cukup bertuah dan bersejarah bagi bangsa Indonesia, hingga kemudian ditetapkan sebagai Hari Sumpah Pemuda. Sumpah Pemuda menjadi motivasi untuk merdeka dari belenggu penjajahan Belanda. Sumpah Pemuda adalah virus bagi persatuan dan vitamin bagi spirit patriotisme yang mampu menggugah rakyat di setiap penjuru negeri. Karena itu, Sumpah Pemuda menjadi salah satu di antara berbagai landasan pilosofi bagi kebangkitan nasional kita, dan merupakan nilai yang sangat fundamental bagi persatuaan bangsa dan negara kita. Seperti halnya Hari Pahlawan 10 November, Pancasila dan Bhinneka Tunggal Ika. Dari sanalah nasionalisme Indonesia mencapai puncaknya, yakni hanya mengenal satu kata INDONESIA.
Di saat rapat akbar itu pula diperdengarkan lagu Indonesia Raya karya Wage Rudolf Supratman untuk pertama kalinya. Lagu tersebut disambut dengan sangat meriah oleh
peserta kongres. Sumpah Pemuda dan lagu Indonesia Raya semakin membakar
semangat api persatuan dan perjuangan. Sejak
itu pulalah muncul tokoh-tokoh pemuda antara lain, Mr. Moh. Yamin, Drs.
Moh. Hatta, Sutan Syahrir, Ir Soekarno, Ali Sostroamidjojo, Mr.
Sjarifuddin, Nasir Datuk Pamuntjak, Moh. Natsir, Mr. Moh. Room dll.
Sudah sekian tahun peristiwa bersejarah itu berlalu. Buah dari ikrar tersebut
menghantarkan Indonesia pada kemerdekaannya. Sumpah Pemuda telah menjadi
pilar pemersatu bangsa. Karena itu, kita wajib mengejewantahkan
cita-cita para pencetus sumpah itu. Namun, realitas perjalanan bangsa
yang melanda negeri kita dalam beberapa tahun terakhir ini rasanya
berjalan terbalik. Jika dulu orang rela dan berani berkorban demi bangsa
dan tanah air, kini justru makin banyak yang justru mengorbankan bangsa
dan tanah air.
Pada
titik ini, semangat patriotik bergeser menjadi depatriotik. Makna
sumpah itu bagai terganjal batu besar sehingga sumpah tersebut seakan
terhenti mengarusi jiwa dan semangat bangsa ini. Akibatnya, Indonesia
sebagai sebuah bangsa dan tanah air kini bukannya makin berjaya, tetapi
justru terkoyak. Gejala depatriotik dan denasionalis ini memang
seharusnya lebih dini diantisipasi agar bangsa dan tanah air kita tak
makin terkontaminasi dan terpuruk.
Lihatlah
praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN) yang telah membawa bangsa
pada keterperosokan ekonomi, politik, dan sosial. Korupsi seolah menjadi
konsensus terselubung yang terjadi pada pemerintahan di hampir semua
lebel, dari yang terendah hingga tertinggi. Para koruptor, yang
kebanyakan adalah pejabat negara, lupa bahwa negara ini dibangun oleh
kerja keras dan pengorbanan para pejuang. Mereka juga lupa bahwa setelah
mereka akan ada anak cucu yang akan menjadi generasi penerus mereka.
Pemuda dan Cita-cita Bangsa
Sejarah
telah menunjukkan kepada kita bahwa pemuda memainkan perenan penting
dalam pembangunan bangsa. Pelopor kongres yang melahirkan Sumpah Pemuda
adalah pemuda, yang mendorong Soekarno agar segera memroklamsikan
kemerdekaan Indonesia juga pemuda, bahkan yang mendalagi gerakan
reformasi juga pemuda. Betapa strategis peranan pemuda dalam pembangunan
bangsa ini. Tak heran bila pemuda selalu disebut sebagai agent.
Bila
demikian, pemuda adalah generasi yang menentukan ke arah mana bangsa
ini akan dibawa. Sehingga, sangat tepat dikatakan bahwasanya dunia
pemuda selalu dipenuhi dengan mitos-mitos panjang yang pada akhirnya
akan menjebak pemikiran idealis pemuda pada fase-fase stagnan dan bahkan
tak jarang terjerumus dalam pemikiran-pemikiran pragmatisme oportunis.
Hanya pemuda yang berjiwa papilon yang mampu bebas dari pragmatisme
maupun materialisme.
Untuk
itu, pemuda membutuhkan integritas, intelegensia, dan moralisme yang
mumpuni agar cita-cita bangsa tercapai. Dalam pengamatan penulis, pemuda
Indonesia saat ini rentan terhadap pengaruh buruk globalisasi, cendrung
bersikap pragmatis dan oportunis, serta terlena dengan romantisme masa
lalu, sehingga dikhawatirkan akan mengancam semangat persatuan dan
kesatuan bangsa. Padahal, pemuda juga merupakan pewaris bangsa. Dan, mau
tidak mau, pemuda harus mendefinisikan dirinya sebagai generasi pelanjut dan pengemban cita-cita bangsa.
Saat
ini, generasi muda Indonesia, yang juga terdiri dari pelajar dan
mahasiswa, berjumlah sekitar 78 juta jiwa dari seluruh jumlah penduduk
Indonesia–lebih dari 210 juta jiwa. Jumlah tersebut terhitung tidak
sedikit, terlebih jika dipandang sebagai usia produktif yang potensial
berpengaruh secara positif dan juga bisa secara negatif dalam lingkup
pergaulan masyarakat Indonesia untuk saat ini dan ke depan.
Secara
kuantitatif maupun kualitatif, pemuda menjadi strategis dan urgen untuk
dipersoalkan dalam kaitannya dengan sejumlah persoalan bangsa yang saat
ini semakin kompleks mendera masyarakat Indonesia. Secara kualitatif,
sesosok pemuda memiliki posisi strategis, karena merupakan kumpulan
potensi yang sedang dalam proses mencari dan mengukir identitas diri.
Biasanya,
sosok pemuda senantiasa dilekatkan dengan ciri karakter yang kritis,
progresif, radikal, idealis, dan anti kemapanan untuk perubahan masa
depan yang lebih baik. Hanya saja, tidak selamanya ciri ideal seperti
tersebut akan senantiasa melekat pada sosok pemuda, kapan dan dimana
saja mereka berada. Tidak jarang, pada situasi dan kurun waktu tertentu,
kita melihat kehadiran pemuda hanya sebagai pelengkap obyek penderita
dan tidak sanggup menjadi subyek pelaku utama dari sebuah situasi yang
mengharapkannya.
Harus
diakui, medan perjuangan yang serba kompleks dalam mengisi kemerdekaan
ini, menjadikan peran pemuda perlu lebih diorientasikan secara egaliter
untuk memperkuat nilai keadilan dari setiap kebijakan dan program
pembangunan negara. Loyalitas dan dedikasi posisi pemuda harus tetap
berdiri tegak di atas nilai kebenaran dan keadilan. Karena apa pun
alasannya, fenomena kepemudaan kini—untuk menyebut pemuda yang telah
memiliki sedikit pendirian—relatif “termaterialisasi” di berbagai arena
penyelenggaraan negara sehingga dangkal dan mandul tak berdaya dalam
arus politik pragmatis. Kekhawatiran ini menyeruak karena harapan puncak
kita adalah bagaimana perjuangan pemuda dapat menggilas penyelenggaraan
negara yang serba korup, misalnya, dari sekian banyak masalah
kebangsaan lainya.
Nah,
semoga momentum Hari Sumpah Pemuda tahun ini dapat dijadikan salah satu
nafas dalam rangka merapatkan dan mengkonsolidasikan kembali barisan
pemuda untuk berjuang mewujudkan cita-cita dari funding futher
bangsa, tentunya dengan mengisi hari-hari muda dengan hal-hal positif
dan progresif. Ini sesuai dengan tema pemerintah pada peringatan Sumpah
Pemuda tahun ini, "Meningkatkan Solidaritas, Integritas, dan Profesionalitas Pemuda menuju Bangsa yang Sejahtera dan Bermartabat". Semoga!
Selasa, 14 Juli 2015
Prinsip Kemashlahatan Zakat
Perintah menunaikan zakat disebut dalam Al-Qur’an sebanyak 32
kali, bahkan diulang 82 kali sebutannya dengan memakai kata-kata yang sinonim
dengannya, yakni sadekah dan infak. Pengulangan tersebut mengandung maksud
bahwa zakat mempunyai kedudukan, fungsi dan peranan yang sangat penting. Zakat
memiliki kekhususan karena pelaksanaannya merupakan implementasi rukun Islam.
Salah satu penyebab diperintahkanya zakat, selain sebagai bentuk pengabdian
kepada Allah, adalah dikarenakan sering terjadinya kesenjangan sosial pada
masyarakat Arab kala itu. Zakat merupakan rukun Islam yang kental dengan
dimensi sosial.
Dalam pemerintahan Islam, zakat merupakan salah satu pemasukan
resmi bagi kas negara, selain fa'i, kharaj, dan jizyah.
Pemerintah berkewajiban memungut, mengelola, dan mendistribuskannya (QS 9:103)
karena ia telah diamanahkan untuk mewujudkan kesejahteraan sosial (QS 4:59)
yang selalu bermuara pada prinsip keadilan, kemerdekaan dan kesetaraan di
hadapan hukum yang menunjang terjadinya harmonisasi kehidupan bermasyarakat.
Keadilan sosial dalam Islam, misalnya, tidak mengharuskan agar
setiap orang mempunyai tingkat kemampuan ekonomi yang sama dan terhapusnya
kemiskinan dalam masyarakat, tetapi menciptakan suatu kondisi masyarakat yang
harmonis dan dinamis, rendahnya jurang pemisah antara si kaya dan si miskin,
dan hilangnya faktor-faktro penyebab rendahnya produktivitas, pertumbuhan dan
pengembangan potensi sumber daya manusia dan alam.
Karena Zakat = Pajak
Dalam konteks saat ini, khususnya di Indonesia, sumber pendanaan
negara hanya meliputi zakat, kharaj, dan jizyah. Sumber-sumber tersebut dalam
istilah sekarang disebut pajak. Masdar F. Mas’udi menyebutkan, dalam istilah
teknis syari’at, pajak atas warga negara yang muslim disebut “zakat”, atas
warga negara nonmuslim disebut “jizyah”. Jadi, pendapatan negara bersumber pada
dua kelas. Pertama pendapatan religius, yakni pajak yang dibebankan kepada kaum
muslim, berupa zakat dan pajak tanah (usr), dan lainnya. Kedua,
pendapatan sekuler, yakni pajak yang dikumpulkan dari orang nonmuslim. Masuk
dalam kategori ini ialah jizyah, pajak untuk mendapatkan hak milik kharaj,
pajak atas hasil tanah, dan pajak terhadap para pedagang nonmuslim.
Maka, uang negara (bait al-mal) merupakan pajak yang
dipungut dari rakyatnya dan investasi lainnya yang tidak dimiliki secara
indiviudal. Fungsi kas negara tersebut (1) ditujukan untuk pembayaran
kebutuhan negara, seperti untuk membayar gaji pegawai dan tentara, membeli
peralatan persenjataan, dan sebagainya. Dan (2) ditujukan untuk kepentingan
umum dan fasilitas umum, seperti bantuan bagi kaum duafa', pembuatan jalan
raya, jembatan dan lain sebagainya.
Uang negara, dengan demikian, pada hakekatnya ialah uang Allah
yang diamanahkan pada negara untuk didistribusikan sebesar-besarnya bagi kesejahteraan
umat tanpa diskriminasi apapun. Satu rupiah dari uang pajak—juga setiap
titik-titik kekuasaan yang dibiayai degan uang negara—harus
dipertanggungjawabkan kepada Allah (di akhirat) dan kepada rakyatnya (di
dunia). Maka, segala praktik yang merugikan keuangan negara, seperti korupsi,
merupakan perbuatan yang melanggar syari'at dan setiap kuam muslim khususnya
dan masyarakat umumnya berkewajiban memerangi korupsi dan menganggap sebagai
musuh bagi kemanusiaan. Sedangbaitul mal atau lembaga serupa lainya
ialah untuk mengoptimalkan pengelolaan zakat.
Di negara kita, telah ada undang-undang yang mengatur tentang
pengelolaan zakat, yakni UU no. 38 Tahun 1999. Undang-undang tersebut menjadi
landasan yuridis bagi pengelolaan zakat yang secara nasional potensi
per-tahunya mencapai Rp20 triliun. Namun sayangnya, keberadaan UU tersebut
masih seperti tiada saja (wujuduhu ka adamihi). Badan Amil Zakat sebagai
lembaga resmi pemerintah dan lembaga zakat profesional lainya baru mampu
menghimpun Rp 900 miliar saja.
Padahal, keuntungan penanganan zakat oleh pemerintah atau lembaga
independen lainnya anatara ialah (1) wajib zakat dan pajak akan lebih disiplin
dalam memenuhi kewajiban, dan kaum fakir miskin lebih terjamin haknya, (2)
perasaan fakir miskin lebih dapat dijaga sebagai pemilik hak, tidak seperti
meminta-minta, (3) pembari zakat atau pajak akan lebih tertib, (4) zakat atau
pajak yang diperuntukkan bagi kepentingan umum akan lebih karena pemerintah
lebih mengetahui sasaran pemanfaatannya. (M. Daud Ali:1988)
Sasaran Distribusi
Memang, semetinya distribusi keuangan negara yang diperolah dari
pajak (zakat) diarahkan untuk kesejahteraan yang terepresentasikan dalam
delapan golongan sebagaimana disebutkan dalam QS. At-Taubah (9):60, “Innama
al-shadaqaat li al-fuqara' wa al-masaakin wa al-'amiliin alaiha wa
al-mu'allafah qulubihim wa fi al-riqab wa al-ghamiriin, wa fi sabil Allah wa
ibn sabiil faridhah min Allah”. Kedelapan gologan tersebut memang orang
yang berhak menerima zakat, namun kedelapan golongan tersebut telah
merepresentasikan kaum yang perlu mendapatkan perhatian dan bantuan dari
pemerintah, baik dari zakat maupun pajak lainnya. Selain zakat, sebagain besar
ulama mengharuskan pemerintah mengelola pajak.
Dalam konteks kemasyarakatan dan kenegaraan modern saat ini,
menurut Masdar F. Mas'udi, yang termasuk fuqara' atau kaum
fakir ialah rakyat papa dengan pengasilan jauh dari kebutuhan. Kemudian yang
termasuk masakin atau kaum miskin adalah orang-orang yang
pengasilannya sedikit lebih baik daripada kaum fakir tapi masih di bawah
ketentuan wajar. Sedangkan amilin berarti kebutuhan rutin
(gaji oprasional) depertemen keuangan dan parat depertemen teknis sebagai
pemasok barang-barang publik (publik goods). Dan mu’allaf qulubuhum,
dalam kontek negara-kebangsaan, diarahkan pada program rehabilitasi sosial
terhadap para narapidana, pengguna obat terlarang (narkoba), atau masyarakat
terasing yang masih hidup di hutan-hutan.
Adapun yang masuk dalam pengertian riqab (budak)
ialah kaum buruh yang teraniaya, atau masyarkat terasing yang tengah berjuang
memerdekakan dirinya. Sementara gamirin atau orang yang
terbelit hutang antaranya meliputi pembebasan utang para petani yang terkena
puso dan atau pedagang yang bangkrut karena faktor-faktor yang benar-benar
berada diluar kemampuan mereka. Fi sabilillah diartikan
sebagai kemaslahatan umum yang bersifat fisik seperti jalan, bangunan-bangunan
publik, dan semua sara umum yang diperuntukkan bagi kepentingan orang banyak,
maupun yang bersifat nonfisik seperti biaya pertahanan-keamanan negara/rakyat,
ketertiban masyarkat, penegakan hukum, pengembangan ilmu
pengetahuan-seni-kebubudayaan, dan semua sektor yang kemashlahatannya kembali
pada kepentingan umat manusia. Sedangkan ibn sabil dalam kontek sekarang berarti
para pengungsi, baik karena bencana alam maupu bencana politik.
Dengan demikian, pengelolaan zakat tidak hanya bersifat jangka
pendek sebagaimana yang telah menjadi kebiasaan selama ini—menyalurkannya pada
malam Idul Fitri. Oleh sebab itu, adanya Lembaga seperti Badan Amil Zakat
Nasional (Baznas), Lembaga Amil Zakat, Rumah Zakat Indonesia, dan lainnya cukup
membantu dalam pelelolaan yang bersifat jangka panjang, misalnya bantuan bea
siswa. Penulis berharap, pontensi zakat yang mencapai Rp 20 triliun pertahun
tersebut dapat dimaksimalkan dan pengelolaan serta penyalurannya lebih tepat
guna, yakni mampu menghilangkan faktor-faktor penyebab rendahnya produktivitas
ekonomi dan keterbelakangan pendidikan. Semoga saja potensi zakat yang berhasil
dihimpun tidak bernasib sama dengan kas negara lainnya—untuk mengatakan selalu
banyak yang dikorupsi dan tidak tepat guna. wa Allah a'lam.
Minggu, 23 November 2014
Profesional Tersandung Prosedural
Sepekan sudah Kabinet Kerja Joko Widodo-Jusuf Kalla dilantik. Dari nama serta simbol yang ditunjukan pada saat pengumuman kabinet itu—berbaju putih dengan lengan disingsingkan—setidaknya sudah mencerminkan semangat kerja. Apalagi komposisi menterinya diklaim berimbang antara kalangan politisi [profesional] dan profesional [murni]. Namun, akankah kabinet ini bisa bekerja hebat?
Dari sekian banyak menteri dari kalangan professional itu, misalnya,
Rahmat Gobel dan Susi Pudjiastuni. Kehadiran Susi termasuk fenomenal. Ia dianggap
hadir dari kalangan profesional yang memiliki pengalaman di bidang perikanan
dan kelautan. Bahkan, beberapa kali Susi menyatakan akan menjadikan sektor kelautan
memiliki nilai bisnis yang mampu memberikan keuntungan (devisa) sehingga
bertahan berkesinambungan bagi penyejahteraan rakyat.
Karakter kepemimpinan kalangan profesional itu biasanya ditunjukan
dengan sikap cepat dan tepat dalam pengambilan keputusan karena semangatnya
adalah semangat kerja. Hal ini sangat lumrah dipraktikan para manager di
perusahaan, sebab bila menunda-nunda keputusan justru akan semakin menimbulkan
kerugian yang lebih besar lagi. Tegas selalu diperlihatkan dalam setiap
kebijakannya.
Semangat kerja seperti itu akan sulit dilakukan pada sistem tata negara.
Sebelum melakukan tindakan, harus ada prosedur terlebih dahulu yang dilalui,
khususnya pendanaan. Dalam pemerintahan, program kerja tidak akan pernah
dilaksanakan jika tidak termasuk dalam anggaran dan atau bila anggaran itu belum
tersedia.
Setiap tahunnya, diakui atau tidak, anggaran belanja negara/daerah
selalu telat turun rata-rata tiga bulan sejak tahun anggaran berjalan.
Pemerintah daerah sudah cukup merasakan kondisi itu, yang ditandai dengan
seringnya penundaan pembayaran gaji para pegawai honorer dan bahkan juga gaji
anggota DPRD. Kondisi demikian, tentu menjadi batu sandungan yang tidak mudah
bagi para menteri di Kabinet Kerja. Dalam sistem anggaran negara, hampir bisa
dikatakan program selalu tidak bisa dilakukan tepat waktu karena, lagi-lagi,
alasan dana.
Hal ini akan diperparah lagi bila sumber daya manusia di lembaga yang
dipimpin belum seirama. Tidaklah mudah mengubah pola pikir dan etos kerja
birokrat yang kerap kali kurang inisiasi, apalagi bila berbenturan dengan
anggaran. Mau tidak mau, pemerintahan saat ini pun harus mensosialisasikan visi
dan misi pada pejabat birokrasi dari level tertinggi hingga terandah demi
membangun etos kerja yang seirama.
KIH v KMP
Fenomena kekinian dari konstalasi politik di gedung Dewan Perwakilan
Rakyat (DPR) telah menimbulkan dua kubu sebagai imbas secara langsung dari
dukungan saat pemilihan presiden dan wakil presiden lalu. Yang lebih ekstrim
lagi ialah Koalisi Indonesia Hebat (KIH) membentuk struktur baru DPR dengan
alasan tidak percaya dengan pemimpian DPR yang dikuasai Koalisi Merah Putih
(KMP).
Realitas politik di Senayan itu tentu akan berimbas pada kinerja pemerintahan
Joko Widodo-Jusuf Kalla. Pemerintah (eksekutif) akan kebingungan dalam
koordinasi dengan legislatif yang terpecah belah. Yang jelas, sikap apapun yang
menunjukan keberpihakan pada salah satu dari dua DPR itu akan menimbulkan
konsekuensi tersendiri. Padahal, DPR memiliki peran budgeting yang juga penting untuk merealisasikan program
pemerintahannya dan peran legislasi yang akan menentukan nasib perjalanan
negara; bukan nasib untuk sekelompok belaka.
Sistem demokrasi memang memungkinkan kekuasaan tidak hanya diisi oleh
seorang atau sekelompok saja. Kekuasaan bisa terbagi pada orang atau kelompok
lain untuk saling menjaga nilai etika politik demi mewujudkan cita-cita
bernegara. Kenyataan saat ini, ketika KIH berkeinginan agar alat kekuasaan
negara, dalam hal ini eksekutif dan legislatif, hanya milik KIH, maka hal itu
tidak sejalan dengan semangat demokrasi itu sendiri. Yang diperlukan adalah
komunikasi politik dari para elit partai untuk mencari solusi terbaik dari
persoalan tersebut.
Apabila konflik Senayang tidak kunjung usai, maka akan semakin
menyulitkan pemerintahan Joko Widodo-Jusuf Kalla dalam menjalan visi dan
misinya. Bahkan, ketika tidak ada konflik pun, masih tetap sulit juga karena
kuasa DPR dipimpin oleh kelompok lain (baca; KMP). Seprofesional apapun kabinet
yang dibangun, masih akan tersandung oleh prosedur itu sebagai konsekuensi dari
sistem tata negara yang berlaku di negara kita. Semangat kerja dari Kabinet
Kerja pun akan sulit terealisasi dalam tahun pertama pemerintahan Joko
Widodo-Jusuf Kalla.
NB: Tulisan ini dibuat sepekan usai pelantikan kabinet.
Senin, 07 Oktober 2013
Rasakan Sejuk Air Gunung Daik Di Resun
Gemercik air terdengar begitu jelas usai memarkirkan sepeda
motor di dekat musola. Air itu jatuh begitu deras mengalir tanpa kenal musim.
Air terjun Resun, begitu nama yang dilebelkan untuk air terjun yang terletak di
desa Resun itu. Airnya mengalir dari pengunungan di tanah Lingga. Air terjun
Resun ialah satu di antara sekian banyak aliran air terjun dari gunung Daik.
Semakin dekat melangkah, semakin keras pula desiran airnya
terdengar. Dari tempat parkir itu, sudah terlihat tingkatan demi tingkatan dari
air tejun nan indah menawan ini. Tidak cukup rasanya jika hanya melihat
keindahan air yang mengalir di antara bebatuan besar itu tanpa merasakan dingin
air pegunungan Daik.
Setiap kali wisatawan yang datang ke Daik, hampir semua
menyempatkan datang ke air terjun ini. Lokasinya yang mudah dijangkau memungkin
siapa saja bisa datang. Apalagi, pemerintah telah membangun jalan beraspal
menuju lokasi itu. Wajar, bila setiap
akhir pekan atau masa libur sekolah, air terjun Resun selalu menjadi lokasi
rekreasi dan piknik.
“Kalau musim hujan, bunyinya lebih keras lagi,” kata seorang
warga Daik yang sedang berkunjung ke sana beberapa waktu lalu. Musim liburan sekolah
lalu pun dimanfaatkan beberapa warga untuk membawa keluarga ke air terjun ini.
Mereka tampak begitu menikmati airnya yang dingin walau sekedar mencuci muka
saja.
“Seger. Kalau saya mandi, saya selalu ke tempat air jatuh.
Jatuhnya enak dibadan. Kayak diterapi. Tapi kalau pas musim hujan, airnya
terlalu deras, jadi agak sakit,” tuturnya yang sudah beberapa kali mengunjungi
air terjun ini.
Untuk memanjakan setiap pengunjung, pemerintah telah
membangun beberapa gazebo. Di gazebo, biasanya warga menempatkan barang-barang
bawaan. Lalu, mereka pun akan menikmati air terjun atau sekedar berfoto. Tidak
ada bunyi-bunyian selain dari desiran air, celotehan burung, dan nyanyian
serangga hutan.
Hangat "Air Panas Dabo" Bisa Untuk Terapi
Tidak hanya di Daik, di pulau Singkep juga terdapat wisata
alam daratan. Di pulau yang pernah menjadi sumber penghasil timah ini tedapat
pemandian air panas, pemandian batu ampar, serta air terjun Cik Latif. Ada juga
air terjun Bedegam yang jalan masuknya desa Lanjut, tetapi jarak yang telalu
jauh membuat akses menuju ke lokasi itu menjadi cukup sulit.
Yang paling khas dari wisata air di Singkep ini ialah air
panas. Lokasi ini kerap menjadi pilihan warga setelah wisata pantai dan air
terjun yang ada di Dabo. Memang, perjalanan yang
cukup jauh sering membuat banyak untuk menunda ke sana. Meski demikian, setiap akhir pekan, lokasi yang beada di antara hutan karet di Singkep ini kerap mendapatkan kunjunga
Banyak warga yang sengaja datang ke sana hanya untuk
menikmati air hangat yang berada dalam kolam pemandian itu. Mereka betah
berendam berlama-lama di dalam kolam yang sudah disediakan beberapa pilihan.
Ada kolam dengan kehangatan air yang tinggi, kemudian sedang, dan ada punya
pula yang kehangatannya nyaris tidak ada lagi.
Semua pilihan itu, kata penjaganya, Edi Melong, sengaja di
desain untuk memberikan kenyamanan bagi setiap pengunjung. Apalagi bagi
anak-anak yang tidak tahan dengan rasa panas yang keluar dalam air. Menurut
Edi, tidak sedikit yang datang pemandaian air panas ini untuk menghilangkan
penyakit.
“Ada yang sengaja datang karena untuk menghilangkan
penyakit. Katanya, air hangat belerang ini bisa membunuh berbagai penyakit
kulit, bisa juga untuk sakit kepala. Ya untuk terapilah,” katanya beberapa
waktu lalu.
Jika mandi sauna hanya mengandalkan kehangatan yang
dikeluarkan dari uap, tetapi mandi di air panas ini tidak demikian. Pengunjung
malah bisa berendam. Tidak perlu khawatir dengan kualitas air, karena pengelola
pemandian ini selalu membersihkan airnya, khususnya pada saat sepi pengunjung.
Tidak berapa lama lagi, lokasi menunju ke sana akan lebih
nyaman karena jalannya sudah dilakukan pemadatan. Begitu juga dengan beberapa
lokasi obyek wisata lainnya itu, smua obyek wisata di Singkep ini kini sedang
dalam tahap pembangunan jalan oleh pemerintah untuk memudahkan pengunjung
mencapai lokasi wisata. Dari tiga obyek wisata alam itu, yang terjauh ialah
pemandian air panas dengan jarak sekitar delapan kilo meter dari Dabo.
Menikmati Air Segar di Lingga
Pesona alam di kabupaten Lingga terhampar luas di seluruh wilayahnya. Lingga memiliki panorama bawah laut yang indah di perairan pulau Benan. Lingga juga memiliki memiliki keindahan alam pegunungan. Tak seperti daerah lainnya di Kepri, Lingga nyaris memiliki sebagian besar pesona alam di Kepri.
Gunung Daik, yang menjadi ikon kabupaten Lingga, sudah
tampak indah dengan dia cabangnya. Setiap pengunjung yang baru menapakkan
kakinya di Daik, langsung terpikat dengan keindagannya. Apalagi pada saat kabut
tipis melintas di kaki gunung, terlihat puncaknya yang begitu menawan.
Dari pegunungan Daik itu, terdapat beberapa aliran air. Dan,
di antara aliran itu, muncul pula air terjun dengan beragam kekhasannya. Ada air
terjun Resun, air terjun Jelutung, air terjung Kado, serta air terjun Tande.
Bahkan, air terjun Jelutung dinobatkan oleh beberapa petualang sebagai air
tejun tertinggi di Kepri.
Editor buku Jelajah LIngga Bunda Tanah Melayu, Edi Sutrisno,
menyebutkan ketinggian air terjun ditingkat pertama mencapai 60 meter. Dulunya,
tulis Edi, air terjun ini disebut warga dengan air terjun Ranoh. Namun, karena
di sekitar lokasi muncul banyak pohon jelutung, warga pun lebih suka menyebut
air terjun ini sebagai air terjun Jelutung.
Akan tetapi, medan perjalan menuju ke lokasi masih tidaklah
mudah. Butuh beberapa jam untuk sampai di tingkatan pertama air terjun yang
terletak di desa Mentuda ini. Air terjun ini pun pernah dilirik oleh investor
untuk pembangkit listrik tenaga air karena debit airnya yang cendung tidak
surut walau di musim kemarau.

Menurut Lazuwardi, pecinta sejarah Lingga, pemandian Lubuk
Papan merupakan lokasi untuk aktivitas keseharian kalangan yang bertugas
istana. Lubuk Papan memang berada tidak jauh dari area istana Damnah.
Pemerintah juga telah menyulap area pemandian ini menjadi
lokasi yang layak untuk dinikmati bagi setiap pengunjung. Beberapa tempat duduk
juga telah dibangun lengkap dengan toilet serta kamar ganti bagi pengunjung
yang hendak mandi. Air yang mengalir pun berasal dari mata air pegunungan Daik
sehingga rasa segar dan sejuknya tetap terasa.
Sedangkan pemandian lubuk Pelawan, dulunya merupakan lokasi
pemandian Engku Ampuan Zahara. Akan tetapi, lokasi ini kurang mendapatkan
perawatan yang baik karena beton-beton yang ada pun telah terkikis oleh
derasnya air saat musim hujan. Untuk bernostagia dengan masa lalu, tidaklah
salah bisa mendatangi lokasi ini.
Kamis, 11 April 2013
Meriam Penghancur itu Bernama Tupai Beradu (2)
Terik siang itu begitu menyengat. Namun semilir angir dari
arah laut menghilangkan gerah perjalanan begitu sampai di benteng Bukit Cening.
Ini adalah benteng pertahanan kedua setelah pulau Mepar dari kerjaan Riau saat
menjadikan Daik sebagai pusat pemerintahan. Di dalam benteng itu, deretan
meriam berjejer menghadap ke laut.
Dentuman meriam silih berganti untuk menaklukkan musuh yang berhasil lolos dari gempuran benteng di Mepar. Perlawanan sengit membuat perang berlangsung lama. Hari pun sudah mulai sore tetapi musuh masih terus memberikan perlawan. Dan akhirnya, kapal musuh tak berkutik lagi ketika meriam penghancur, Tupai Kembar, berhasil memuntahkan pelurunya di gudang mesiu kapal. Doar. Lambung kapal pun pecah dan seluruh pasukan lanun kocar kacir dan terjun ke laut di selat Kolombok.
Dentuman meriam silih berganti untuk menaklukkan musuh yang berhasil lolos dari gempuran benteng di Mepar. Perlawanan sengit membuat perang berlangsung lama. Hari pun sudah mulai sore tetapi musuh masih terus memberikan perlawan. Dan akhirnya, kapal musuh tak berkutik lagi ketika meriam penghancur, Tupai Kembar, berhasil memuntahkan pelurunya di gudang mesiu kapal. Doar. Lambung kapal pun pecah dan seluruh pasukan lanun kocar kacir dan terjun ke laut di selat Kolombok.
“Secara umum, baik dalam kisah-kisah orang tua ataupun sumber tertulis, belum ada peperangan besar yang terjadi di Lingga. Benteng-benteng itu dibangun untuk pertahanan karena Lingga adalah ibu kota. Cerita yang banyak terdengar tentang penaklukan para lalun dan perompak,” kata Lazuwardi, pemerhati sejarah di Lingga. Meriam ini dibangun pada masa pemerintahan Sultan Abdurrahman Syah (1812-1832).
Khayalan peperangan semacam itu muncul ketika berdiri di
meriam Tupai Beradu. Meriam ini adalah meriam terbesar dari 19 meriam yang ada
di Bukit Cening. Panjangnya 2,8 meter dengan deameter 12 centi meter. Dalam
penuturan warga, meriam ini diapit oleh meriam Mahkota Raja. Saat ini, susunan
meriam itu disesuaikan dengan kisah-kisah yang tersebar di masyarakat. Panglima
yang mengomandoi benteng itu dikenal bernama Panglima Pandak atau Panglima
Cening.
“Meriam Tupai Beradu ini diapit oleh meriam Mahkota Raja.
Kisah ini sudah turun temurun begitu. Sifatnya lebih sebagai meriam penghancur.
Mungkin karena ukuran lebih besar dari pada yang lain. Panglima Ceninglah yang
memegang komando dan yang memegang kendali meriam Tupai Beradu itu,” katanya
lagi.
Kuala Daik
Sungai Daik adalah satu-satunya jalan untuk mencapai ke
pusat pemukiman penduduk dan area istana sultan. Di dalam aliran sungai itu
pula terdapat pelabuhan tempat bongkar muat barang. Namun, bagi musuh hendak
memasuki muara sungai, ia harus terlebih dahulu menaklukan benteng Kuala Daik dan
Kubu Pari yang tedapat puluhan meriam.
“Dulunya meriam di sana lebih banyak. Tetapi karena
lokasinya jauh dari pemukiman, perawatannya agak sulit. Sebelum diletakkan pada
beton, meriam-meriam itu berserakan,” kata seorang warga. Saat ini, ada 16
meriam yang berhasil ditemukan dari 21 meriam yang dikabarkan berada di kubu
parit ini. Ada kabar, beberapa meriam berhasil dipindahkan ke tengah pemukiman
penduduk.
Dengan jumlah sebanyak itu, meriam ini bisa menghalau musuh
dari jarak dekat, bahkan sebelum kapal musuh berhasil menyentuh bibir sungai. Apalagi,
benteng Kuala Daik yang berada tepat di bibir pantai juga selalu siap menuggu
kedatangan musuh yang berhasil lolos dari gempuran benteng Mepar dan Bukit
Cening. (Abd Rahman Mawazi)
Baca juga : Meriam Sumbing yang Melegenda
Jumat, 05 April 2013
Meriam Sumbing yang Melegenda (1)
Perang Reteh meletus ketika Belanda mengerahkan pasukannya dari Tanjungpinang pada Oktober 1858. Pasukan itu hendak menaklukan Raja Sulung di Reteh, Indragiri, Riau. 25 kapal perang penuh meriam dan pasukan besar dikirim agar Raja Sulung tunduk dan mengakui sultan Sulaiman. Namun, ada satu meriam yang tertinggal dan menagis, yaitu meriam sumbing.
Meriam sumbing yang kini berada di pulau Mepar, Lingga, konon dikabarkan menagis karena tidak diikutsertakan dalam perang itu. Tagisnya tidak lagi terdengar setelah disusulkan ke Reteh dan turut serta dalam pertempuran yang akhirnya menewaskan Raja Sulung. Dan keganasan meriam sumbing ketika itu, melebihi perkiraan banyak orang. Meriam sumbing kala itu dianggap sebagai produk yang belum sempurna dan tidak tahan lama untuk diajak bertempur.
“Setelah perang usai, ternyata terdengar kabar bahwa meriam itu tidak hanya kokoh dalam bertahan, tetapi juga kuat dalam menyerang hingga membuat moncongnya sumbing. Itu kisah yang masyahur di masyarakat,” kata Lazuwardi, warga Daik yang menjadi pemerhati sejarah Lingga. Dalam sebuah makalahnya,
Perang Reteh berkobar karena Raja Sulung tidak mau tunduk kepada Belanda dan Sultan Sulaiman Badrul Alam Syah (1857-1883). Sultan Sulaiman naik tahta setelah Belanda memakzulkan Sultan Mahmud Muzaffar Syah yang berada di Singapura. Sedangkan Raja Sulung menjadi pengikut setia Sultan Mahmud setelah ditolong usai perebutan kekuasan di Siak pada 1784 dan diangkat sebagai Panglima Besar Reteh.
Ketika perang Reteh usai pada bulan berikutnya, seluruh meriam yang berada di benteng pertanahan di pulau Mepar dikembalikan pada posisi semua, termasuk meriam sumbing yang memiliki panjang sekitar 1,5 meter itu. Meski telah sumbing, ia tetap menjadi idola dalam pertahanan. Saat ini, meriam itu berada tidak jauh dari sebuah musholla di pulau Mepar, sekitar 20 meter dari gerbang masuk pulau itu. Dulunya banyak meriam hanya berserakan saja di sekitar pemukiman wawrga dan kini meriam itu sudah disusun bagian bukit pulau Mepar.
Meriam sumbing pun dianggap sebagai meriam paling kramat diantara meriam-meriam lainnya. Dalam novel Mutiara Karam karya Tusiran Suseso, meriam sumbing dikisahkan sebagai senjata andalan Datuk Kaya Mepar saat hendak menumpas para lanun atas titah sultan Mahmud Syah. Meriam itupun selalu tetap berada di Mepar dan menjadi meriam paling keramat. Terlepas dari berbagai kisahnya, meriam Sumbing telah menjadi bagian dari mitologi masyarakat Lingga.
Akan tetapi, Repelita Wahyu Oetomo dari Balai Arkeologi Medan dalam sebuah artikelnya menyebutkan sumbing pada moncong meriam itu disebabkan oleh kualitas barang yang kurang bagus. Ia menduga meriam itu buatan dari daerah yang teknologinya belum maju sehingga pada saat terlalu sering digunakan, bagian depannya kepanasan dan pecah.
Pertahanan Pertama
Pulau Mepar memiliki fungsi strategis dalam pertahanan kerajaan Riau-Lingga. Pulau yang ketika mengitarinya tidak sampai setengah ini di kepalai oleh seorang temanggung. Namun, kekuasan temanggung ini berbeda dengan Temanggung Abdul Jamal yang megusasi ke bulan Bulang dan sekitarnya. Temanggung di Mepar hanya berkuasa di Mepar saja sebagai hadiah dari Sultah Mahmud Syah III saat memindahkan ibu kota kerajaan dari Riau-Bintan ke Daik-Lingga.
Sebagai benteng pertahanan, seluruh sisi pulau itu pun dipenuhi oleh benteng atau kubu. Jangan bayangkan benteng yang dimaksud ini adalah tembok beton tebal dengan ketinggiannya, benteng ini hanya berupa gundukan tanah atau susunan bebatuan untuk tempat berlindung. Meriam-meriam, diletakkan di atas gundukaan tanah adan ada juga yang muncungkan berada di antara tumpukan batu. Ada sekitar lima benteng di pulau itu, sebagian sudah tergerus oleh laut.
“Yang paling atas itu benteng Lekok. Benteng ini bisa memantau seluruh penjuru di laut. Benteng pulau Mepar ini adalah benteng pertahanan pertama. Di bukit Cengkeh juga ada benteng, tapi lebih tepatnya semacam pos pantauan. Dari sana kemudian dikirim sinyal ke Mepar,” terang Lazuardi.
Benteng yang dilengkapi meriam di Mepar selalu siap siaga bila ada musuh. Apalagi, selat Lima yang memisahkan pulau Lingga dan Selayar sering menjadi jalur pelayaran. Setiap kapal yang datang selalu terpantau dari pos di Bukit Cengkeh dan benteng–benteng di Mepar pun bersiaga ketika kapal itu dicurigai sebagai ancaman.
Posisi Mepar ini kurang lebih dengan posisi Penyegat dan Tajungpinang yang menjadi benteng pertahanan paling depan. Mepar ini berada di seberang dari pelabuhan Buton, Daik. Pelabuhan inilah yang pada masa-masa akhir kerajaan digunakan Belanda sebagai tempat untuk mengontrol gerak gerik sultan beserta seluruh rakyat yang keluar masuk Daik.
Jika di Penyengat memiliki banyak peninggalan infrastruktur, termasuk masjidnya yang sudah terkenal ke sentaro negeri. Sedangkan peninggalan masa kerajaan di Mepar hanya benteng-benteng itu serta makam dari temanggung dan keturunannya. Kini, pemkab Lingga melalui Disbudpar telah menjadikan Mepar sebagai satu destinasi wisata di Lingga. (abd rahman mawazi/bersambung klik di sini)
Baca juga : Meriam Penghancur itu Bernama Tupai Beradu
Sabtu, 16 Maret 2013
Kampung Boyan di Dabo Singkep
Kemasyhuran timah di Dabo, pulau Singkep, kabupaten Lingga,
menarik perhatian dunia. Dimulai pada zaman kesultanan, era penjajahan Belanda,
hingga masa kemerdekaan sampai pada tutupnya PT Timah pada 1992-an.
Pendatangpun berbondong ke pulau yang berada di utara pulau Bangka, termasuk
juga pendatang dari pulau Bawean.
Masyarakat Bawean memang sudah terkenal sebagai perantau. Jejak mereka lebih banyak ke arah barat dari pulau yang berada di laut Jawa itu. Bangka, Belitung, Kijang (Bintan), Singapura, dan Malaysia menjadi tempat tujuan merantau yang paling banyak diminati setelah Jawa.
Para perantau ini seringkali meninggalkan jejak berupa nama kampung, yakni Kampung Boyan. Nah, itulah yang menjadi pijakan, tradisi rantau warga Bawean memiliki jejak, baik berupa nama maupun tradisi. Di Dabo Singkep, terdapat juga sebuah kampung bernama Kampung Boyan. Di situ, dahulu, pada masa kejayaan PT Timah, terdapat sekelompok perantau dari Bawean. Mereka mencoba menggantungkan asa dari tambang yang telah terkenal ke sentaro dunia. Ada juga yang datang sebagai pedagang.
Dari beberapa penuturan orang Boyan di Dabo Singkep, mereka ada yang datang
langsung dari Bawean dan ada pula yang datang dari Bangka dan Belitung. Tidak
perlu diceritakan lagi bagaimana masyarakat Bawean bisa merantau sebab
semuanya, ketika itu, menggunakan jalur laut dan bertujuan untuk meningkatkan
pendapatan ekonomisnya.
Masyarakat Bawean memang sudah terkenal sebagai perantau. Jejak mereka lebih banyak ke arah barat dari pulau yang berada di laut Jawa itu. Bangka, Belitung, Kijang (Bintan), Singapura, dan Malaysia menjadi tempat tujuan merantau yang paling banyak diminati setelah Jawa.
Para perantau ini seringkali meninggalkan jejak berupa nama kampung, yakni Kampung Boyan. Nah, itulah yang menjadi pijakan, tradisi rantau warga Bawean memiliki jejak, baik berupa nama maupun tradisi. Di Dabo Singkep, terdapat juga sebuah kampung bernama Kampung Boyan. Di situ, dahulu, pada masa kejayaan PT Timah, terdapat sekelompok perantau dari Bawean. Mereka mencoba menggantungkan asa dari tambang yang telah terkenal ke sentaro dunia. Ada juga yang datang sebagai pedagang.
Kampung Boyan di Singkep ini terletak di pesisir pantai.
Di kampung itu lebih banyak di tumbuhi pohon kelapa. Akan tetapi, Kampung Boyan di desa Batu Berdaun Kecamatan Singkep kabupaten Lingga ini tidak lagi ada orang-orang Boyan itu. Entah sejak kapan mereka meninggal kampung dan hanya menyisakan nama saja. “Dulu banyak, sekarang tak ada lagi (orang Boyan yang menetap di kampung itu),” kata Iwan, ketua RT di kampung itu.
Di kampung itu lebih banyak di tumbuhi pohon kelapa. Akan tetapi, Kampung Boyan di desa Batu Berdaun Kecamatan Singkep kabupaten Lingga ini tidak lagi ada orang-orang Boyan itu. Entah sejak kapan mereka meninggal kampung dan hanya menyisakan nama saja. “Dulu banyak, sekarang tak ada lagi (orang Boyan yang menetap di kampung itu),” kata Iwan, ketua RT di kampung itu.
Meski tidak lagi ditemukan keturunan Bawean di kampung itu, sebenarnya,
mereka masih ada yang menetap di pulau Singkep. Mereka telah tersebar ke
beberapa kampung-kampung lainnya. Saat ini, lokasi yang paling terkenal dengan
banyak warga ataupun keturunan Bawean itu sebuah kampung bernama Tansirasif,
yang berada di kecamatan Singkep Barat.
Di sana, warga Bawean banyak yang memilih menjadi petani. Hasil pertanian mereka untuk memenuhi kebutuhan warga Singkep. Yang tidak kalah terkenal ialah durian hasil dari pohon-pohon tanaman orang Boyan. Tidak sedikit orang Singkep yang menaruh rasa takjub dengan etos kerja orang Boyan, apalagi hasil tanaman mereka dikenal selalu bagus.
Ada juga sebagian keluarga lainnya yang menetap di Dabo Singkep.
Di antara mereka ada yang menjadi buruh dan ada pula karyawan biasa.
Sependek pengetahuan penulis, belum ada keturunan Bawean yang memiliki kedudukan strategis di pemerintah maupun politik di kabupaten Lingga. Kelak, jika ada kisah lain perihal orang Boyan ini, tentu akan penulis bagikan lagi kepada pembaca. (Abd Rahman Mawazi)
Sependek pengetahuan penulis, belum ada keturunan Bawean yang memiliki kedudukan strategis di pemerintah maupun politik di kabupaten Lingga. Kelak, jika ada kisah lain perihal orang Boyan ini, tentu akan penulis bagikan lagi kepada pembaca. (Abd Rahman Mawazi)