Sabtu, 31 Desember 2016
Menikmati Kemegahan Masjid Agung Natuna
Kalaulah ke Natuna, jangan lupa menyempatkan diri melihat
keindahan arsitektur Masjid Agung Natuna. Masjid ini memang megah. Bahkan
termegah yang ada di Kepri. Sebab itu, masjid ini selalu terlihat sangat cantik dari berbagai sisinya. Anda bisa mencari berbagai foto menarik masjid
ini di internet. Saya sungguh kagum.
Dari jalan raya, masjid ini terlihat indah dengan latar
belakang gunung Ranai yang selalu mengeluarkan kabut tipi di puncaknya. Kolam
memanjang yang di apit jalan utama akses dari dan ke masjid ini selalu
diumpakan oleh para traveler sebagai di Taj Mahal di India. Wajar bila beberapa
majalah travel dan pariwisata menyebutnya sebagai Taj Mahal-nya Indonesia.
Masjid ini memang cukup megah dengan struktur kubah
bersusun. Ini merupakan model arsitekru modern yang banyak digunakan masjid-masjid
di Indonesia saat ini. Halamannya terhampar luas dengan gerbang indah di bagian
depan. Para fotografer selalu saja menemukan spot terbaru untuk foto terbaik
ketika mencoba membidik gambar di sekitarnya.
Nikmati juga ornamen interior masjid yang begitu indah di
dalamnya. Di masjid ini juga terdapat beduk terpanjang atau pun mungkin salah
satu yang juga terbesar di Indonesia. (Maaf, bila salah membendingkan dengan
beberapa bedug yang ada di kota-kota lain). Bedug ini berada di sisi timur masjid,
di bagian serambi.
Tetapi, bila dilihat dari bentuknya, panjangnya sekitar dua
depa orang dewasa. Sedangkan kayu yang digunakan, merupakan satu batang kayu utuh
yang diambil dari hutan gunung Ranai. Lobang di bagian tengahnya dipahat oleh
tenaga ahli sehingga berbentuk lobang.
Khusus untuk yang muslim, jika mengunjung masjid ini, ada
baiknya untuk menunaikan salat, baik untuk salat fardu maupun sunnah. Mungkin
Anda bisa merasakan kenikmatan salat di masjid megah ini. Siapa tahu justru di
masjid megah ini ada banyak hidayah yang bisa didapatkan. Berwisata dengan
beribadah. Itulah konsep wisata religi.
Kamis, 29 Desember 2016
Setelah Empat Tahun, Bersua Kembali dengan Natuna
Perjalan ke Natuna kali ini mengusung misi sosial, yakni memenuhi undangan dari Smile Train bersama dengan Korem 033 Wira Pratama yang sedang mengadakan bakti sosial operasi sumbing bibir dan langit-langit gratis dalam rangka memperingati Hari Juang Kartika 2016.
Inilah perjalan kedua ke pulau terluar yang berada di wilayah Kepri. Beberapa tahun belakang ini, nama Natuna sedang menjadi pembicaraan di tingkat internasional Karena persetegangan perebutan wilayah teritorial di laur yang menjadi jalur sibuk perdagangan dunia. Semua negara berkepentingan untuk mendapatkan kekuasaan di Laut China Selatan, termasuk di Indonesia.
Di tengah hiruk-pikuk politik itu, pemerintah Indonesia justru telah memperkuat posisi Natuna dengan berabagai pembangunan infrastruktur. Termasuk lapangan terbang Ranai yang saat ini sedang dalam pelebaran dan perluasan. Saya tidak hendak berkisah tentang politik internasional di Laut China Selatan. Saya hanya mau membandingkan Natuna dari kunjungan pertama pada 2012 silam dan kunjungan kedua pada 2016 ini.
Gunung Ranai masih memperlihatkan kecantikan dengan kabut tipis di puncaknya. Gunung itu masih terlihat indah dari berbagai sisi, baik dari Landasan Udara Ranai maupun dari masjid agung Natuna. Itulah gunung dulunya menjadi salah satu penanda navigasi dalam pelayanan kuno.
Begitu beranjak keluar dari bandara, secara keseluruhan memang tidak ada perubahan. Pemandangan masih tampak seperti beberap atahun lalu. Bedanya, beberapa rumah tepian jalan terlihat lebih kokoh di banding sebelumnya.
Oh, inilah Natuna sekarang. Kabar baiknya, jaringan telekomunikasi sudah lebih baik di banding dulu. Di sekitaran bandara, pengguna Telkomsel masih bisa merasakan sinyal 4G hingga kepusat keraiaman kota yang berjalan sekitar dua kilometer saja. Sedangkan provider yang lain sudah 3G. Lumyan untuk layanan data. Kita masih bisa menyapa dunia luar dengan koneksi internet. Mungkin masyarakat Natuna juga merasa tidak jauh dengan pulau-pulau pusat geliat aktivitas manusia karena teknologi telekomunikasi dan informatika ini.
Namun perjalanan ke Natuna ini adalah perjalanan yang sangat mahal. Bayangkan saja, setiap hari hanya satu pesawat dari maskapai WING Air yang bergantian dengan Sriwijaya untuk melayani transportasi Natuna-Batam. Tiketnya, sudah tentu tidak murah. Saya mendapatkan tiket dengan harga Rp 3 juta lebih dikit untuk pergi dan pulang. Lama perjalanan sekitar dua jam lah.
Nah kalau transportasi laut, alamak… bisa berhari-hari untuk sampai ke sana. Paling cepat sehari semalam menggunakan kapal pelni yang bersandar di Bintan. Transportasi ini adalah masalah yang paling pelik untuk Natuna dan diduga menjadi biang kerok atas lambannya pembangunan dan pertumbuhan perekonomian. Menurut saya, apa yang terjadi di Natuna itu sama saja dengan pulau-pualau lain yang ada di Indonesia. Nasibnya terbengkalai karena kesulitan akses transportasi.
Karena saya berangkat bersama dengan rombongan dokter yang hendak melakukan kegiatan pengabdian bagi mayarakat di Natuna, maka jadwal aktivitas pun disesuaikan dengan jadwal mereka. Pak dr. Senja, SpBP adalah ketua rombongan. Dari penilaian subyektif saya, ia adalah dokter yang energik. Mengapa tidak, setelah memantau pasien yang akan menjalani operasi sumbing bibir di RSUD Natuna, ia juga justru mengambil inisiatif untuk menikmati keindangan Natuna. Ini dia kisah serunya. Tunggu di tulisan selanjutnya ya…
Inilah perjalan kedua ke pulau terluar yang berada di wilayah Kepri. Beberapa tahun belakang ini, nama Natuna sedang menjadi pembicaraan di tingkat internasional Karena persetegangan perebutan wilayah teritorial di laur yang menjadi jalur sibuk perdagangan dunia. Semua negara berkepentingan untuk mendapatkan kekuasaan di Laut China Selatan, termasuk di Indonesia.
Di tengah hiruk-pikuk politik itu, pemerintah Indonesia justru telah memperkuat posisi Natuna dengan berabagai pembangunan infrastruktur. Termasuk lapangan terbang Ranai yang saat ini sedang dalam pelebaran dan perluasan. Saya tidak hendak berkisah tentang politik internasional di Laut China Selatan. Saya hanya mau membandingkan Natuna dari kunjungan pertama pada 2012 silam dan kunjungan kedua pada 2016 ini.
Gunung Ranai masih memperlihatkan kecantikan dengan kabut tipis di puncaknya. Gunung itu masih terlihat indah dari berbagai sisi, baik dari Landasan Udara Ranai maupun dari masjid agung Natuna. Itulah gunung dulunya menjadi salah satu penanda navigasi dalam pelayanan kuno.
Begitu beranjak keluar dari bandara, secara keseluruhan memang tidak ada perubahan. Pemandangan masih tampak seperti beberap atahun lalu. Bedanya, beberapa rumah tepian jalan terlihat lebih kokoh di banding sebelumnya.
Oh, inilah Natuna sekarang. Kabar baiknya, jaringan telekomunikasi sudah lebih baik di banding dulu. Di sekitaran bandara, pengguna Telkomsel masih bisa merasakan sinyal 4G hingga kepusat keraiaman kota yang berjalan sekitar dua kilometer saja. Sedangkan provider yang lain sudah 3G. Lumyan untuk layanan data. Kita masih bisa menyapa dunia luar dengan koneksi internet. Mungkin masyarakat Natuna juga merasa tidak jauh dengan pulau-pulau pusat geliat aktivitas manusia karena teknologi telekomunikasi dan informatika ini.
Namun perjalanan ke Natuna ini adalah perjalanan yang sangat mahal. Bayangkan saja, setiap hari hanya satu pesawat dari maskapai WING Air yang bergantian dengan Sriwijaya untuk melayani transportasi Natuna-Batam. Tiketnya, sudah tentu tidak murah. Saya mendapatkan tiket dengan harga Rp 3 juta lebih dikit untuk pergi dan pulang. Lama perjalanan sekitar dua jam lah.
Nah kalau transportasi laut, alamak… bisa berhari-hari untuk sampai ke sana. Paling cepat sehari semalam menggunakan kapal pelni yang bersandar di Bintan. Transportasi ini adalah masalah yang paling pelik untuk Natuna dan diduga menjadi biang kerok atas lambannya pembangunan dan pertumbuhan perekonomian. Menurut saya, apa yang terjadi di Natuna itu sama saja dengan pulau-pualau lain yang ada di Indonesia. Nasibnya terbengkalai karena kesulitan akses transportasi.
Karena saya berangkat bersama dengan rombongan dokter yang hendak melakukan kegiatan pengabdian bagi mayarakat di Natuna, maka jadwal aktivitas pun disesuaikan dengan jadwal mereka. Pak dr. Senja, SpBP adalah ketua rombongan. Dari penilaian subyektif saya, ia adalah dokter yang energik. Mengapa tidak, setelah memantau pasien yang akan menjalani operasi sumbing bibir di RSUD Natuna, ia juga justru mengambil inisiatif untuk menikmati keindangan Natuna. Ini dia kisah serunya. Tunggu di tulisan selanjutnya ya…
Jumat, 25 November 2016
Seni Budaya Lokal dalam Multikulturalisme
Multikulturalisme menjadi salah satu ciri khas bangsa
Indonesia. Multikulturalisme itu bisa dilihat dari banyaknya ragam budaya lokal
yang ada. Keragaman itulah yang menjadikan suatu identitas bangsa, bahwa ia
memiliki banyak potensi seni dan budaya yang dapat dijadikan salah satu warisan
peradaban manusia di bumi nusantara. Keragaman seni budaya itu dapat ditoleril
menjadi suatu kebanggaan tersendiri. Setiap provinsi minimal membunyai seni dan
budaya masing-masing yang menunjukkan identitas provinsi tersebut.
Namun, warisan seni dan budaya akan segera hilang musnah
ditelan zaman bila tidak dilestarikan. Moderenisasi menjadi alasan untuk
meninggalkan sebuah warisan yang mampu memberikan sumbangsih besar terhadap
bumi pertiwi ini. Sebagian besar dari penduduk Indonesia hanya menjadi penikmat
sejati (user). Untung, masih ada yang menikmati, bagaimana kalau tidak?
Sebenarnya, bila ada keinginan untuk mengembangkan seni dan
budaya lokal ini, niscaya akan menjadi sesuatu yang unik dan dapat menjadi aset
bangsa. Dalam artian, masyarakat Indonesia tidak hanya sekedar menjadi
penikmati tetapi juga mempelajarinya kemudian melestarikannya.
Banyak sekali potensi seni dan budaya nasional yang mampu
meraih prestasi internasional, hanya saja fasilatas untuk mengembangkan potensi
tersebut sangat minim. Disamping itu juga minat pemuda untuk mengembangkan
warisan budaya semakin sedikit. Generasi tua selalu menjadi tumpuan untuk
mengembang-kannya, lantas siapa yang akan mewarisi budaya ini?
Wayang misalnya. Banyak para pemerhati luar (asing) menaruh
perhatian pada seni yang satu ini. Karena keunikannya dan memang sulit untuk
melakukannya, wayang tidak dapat dipelajari oleh setiap orang, jangankan orang
luar daerah, masyarakat Jawa sebagai pemilik seni budaya ini saja belum tentu
bisa, apalagi masyarakat luar Jawa yang note bene bukan pewaris budaya. Akan
tetapi, karena keunikannya itu wayang telah berhasil memikat perhatian dunia
internasional melalui dalang Ki Manteb Soedarsono. Ia di undang ke Prancis
untuk mendalang di sana yang selanjutnya menerima anugrah penghargaan sebagai
salah satu budaya yang diakui dunia Internasional.
Ini menunjukkan bahwa seni dan budaya Indonesia, telah mampu
memberikan sumbangsih besar di dunia internasional. Oleh karena itu,
peluang-peluang internasional seperti ini tidak hanya menjadi milik satu
generasi saja, tetapi juga menjadi peluang bagi masyarakat dunia. Indentitas
budaya yang menasional seharusnya terus dilestarikan dan deikembangkan oleh
generasi-generasi penerusnya. Sehingga budaya lokal yang sudah diakui oleh
kalangan internasional tidak kehilangan indentitasnya yang sudah mendunia.
Tidak hanya seni budaya lokal yang kita miliki. Secara
historis, bangsa Indonesia sebelum kedatangan bangsa-bangsa dari Eropa menjadi
tempat persinggahan dan lahan pasar bagi para pedagang dari Timur Tengan dan
daratan Asia. Dan tak terelakkan, proses transformasi kebudayaan pun terjadi di
sini. Seperti kita lihat sekarang ini, banyak budaya yang ternyat merupakan
gabungan dua budaya, misalkan masjid Kudus yang mempuyai arsitektur budaya
masyarakat Hindu kala itu dan Timur Tengah. Salah satu warisan budaya yang
mampu menarik perhatian.
Selain itu, candi Borobudur merupakan salah satu dari tujuah
keajaiban dunia dan hal ini tidk bisa kita elakkan dari warisan budaya kita.
Dismping bangunan yang super besar, ada relief yang dapat memberikan suatu
jawaban atas hipotesa para peneliti untuk mengetahui sebuah kehidupan disaat
candi di bangun. Akankah kita mengingkari bahwa kita memilik sebuah potensi
internasional yang tanpa kita sadari.
Banyak usaha yang dilakukan untuk mengangkat nama Indonesai
di dunia internasional melalui seni dan budaya. Dan sumbangsih merekapun telah
mampu memberikan nama besar bagi Indonesia. Muammar misalnya, seorang qori’
(pembaca Al-Qur’an) pernah meraih peringkat Intenasional karena kemampuannya
dalam melantunkan ayat-ayat Al-Qur`an. Untuk pentas Qari` bertaraf
internasional ini selalu dimiliki oleh bangsa Indonesia dari setiap perlombaan
internasional.
Dalam seni lukis misalnya, tercatat Raden Saleh, Affandi, Amri
Yahya dan masih banyak lagi sebagai maestro dalam bidang seni. Karya-karya
mereka selalu dilirik oleh pemerhati seni dunia. Diakui atau tidak, kualitas
seni budaya kita telah mampu meyedot perhatian dunia internasional. Dan masih
banyak contoh-contoh lain.
Sebagai generasi muda tentu kita bangga dengan apa yang
telah mereka torehkan bagi bangsa Indonesia, namun akan lebih bangga lagi bila
kita sebagai generasi mudah mampu berkarya dan diakui oleh kalangan
internasional. Oleh sebab itu, prestasi internasional ini terus kita
pertahankan untuk tetap memberikan citra positif akan kesenian dan kebudayaan
kita. Harapan kita kedepan haruis ada lembaga swadaya masyarakat yang
memberikan perhatian penuh terhadap keberagaman budaya yang dimiliki bangsa
Indonesia.
Untuk terus mengembangkan dan melestarikan nudaya lokal itu
menurut penulis ada beberapa hal yang harus segera diperhatikan. Pertama,
memberi tempat untuk pengembangan. Tanpa mendapat suatu perhatian kusus sebuah
seni dan budaya akan mendapat perhatian, karena tanpa sokongan dari seluruh
elemen tidak mungkin akan tercapai suatu pelestarian. Kedua, memupukkan
nilai-nilai budaya lokal maupun nasional. Hal ini sebagai cinta akan kebudayaan
sendiri. Dan ketiga, mengembangkannya. Agar tidak monoton dan ketingglan dari
seni dan budaya modern perlu ada pengembangan lebih lanjut, dalam artian tidak
merusak nilai-nilai seni dan budaya leluhur.
Hal tersebut tidak akan pernah terealisir tanpa kepedulian
kita bersama, bahkan hanya menjadi angan-angan yang tak kunjung tercapai. Dan
akan terjadi suatu fregmentasi historis pewarisan budaya. Karenanya,
mempertahankan budaya sandiri merupakan suatu keharusan dan menerima budaya
luar selama sesuai dengan budaya kita bukanlah suatu larangan..
Dengan demikian seni budaya lokal maupun nasional akan terus
tetap menjadi minat untuk diperhatikan dan dipelajari, sehingga nilai-nilai
astetika yang terkandung didalamnya senantiasa dapat dinikmati oleh generasi
seterusnya. Dan bukan mustahil dengan kekesenia dan kebudayaan tersebut indonesia
semakin mampu meraih peluang prestasi internasional.
Ini adalah tulisan lama, sekitar 2004 silam.
Kamis, 17 November 2016
Agama Melawan Budaya Korupsi
Indonesia dikenal sebagai
bangsa religius sekaligus bangsa terkorup. Predikat religus semestinya tidak
bergandengan dengan predikat korup, karena agama mengajarkan nilai-nilai moral
fundamental. Agama mana pun, khususnya Islam, mengutuk tindakan korupsi dalam
bentuk apapun, sebab bertentangan dengan nilai-nilai universal agama: prinsip
keadilan, akuntabilitas, dan tanggung jawab. Intinya, agama-agama bertujuan
memperbaiki moralitas manusia.
Ilustrasi kartun gerakan anti korupsi dari markuni.com |
Dalam Islam, korupsi dengan
segala dampak negatifnya yang menimbulkan berbagai distorsi terhadap kehidupan
negara dan masyarakat, dapat dikategorikan perbuatan fasad atau
merusak tata kehidupan di muka bumi, yang juga amat dikutuk oleh Tuhan. Bagaimana tidak, akibat
korupsi, Indonesia mengalami krisis ekonomi yang berdampak pada dimensi-dimensi
lain, seperti politik, sosial, dan budaya. Dimensi-dimensi itu berakibat pula
keterbelakangan, kemiskinan, kebodohan, pengangguran, dan tingginya tingkat
kriminalitas.
Memang, tidak ada kajian
empiris tentang pengaruh agama terhadap praktik korupsi. Azyumardi Azra (2004)
menyimpulkan bahwa tinggi rendahnya tingkat korupsi tidak banyak terkait dengan
agama, melainkan lebih terkait dengan tata hukum yang jelas dan tegas yang
diiringi penegakan hukum berat terhadap para koruptor. Pendapat Azyumardi Azra ini diperkuat dengan
hasil survei International Country Risk Guide Index (IRCGI). Menurut IRCGI,
sejak 1992 hingga 2000, indeks korupsi di Indonesia terus meningkat dari
sekitar tujuh menjadi hampir sembilan (pada 2000). Kecendrungan yang sama juga
terjadi di Rusia, yang mayoritas penduduknya Kristen, dengan indeks hampir
sembilan pada 2000.
Negara-negara manyoritas
berpenduduk muslim yang lain, seperti Pakistan, Banglades, dan Nigeria juga
memiliki indeks korupsi amat tinggi, rata-rata di atas tujuh. Begitu juga
dengan negara-negara berpenduduk Kristen, seperti Argentina, Meksiko, Filipina,
atau Kolombia yang indeks korupsinya juga di atas tujuh. Bahkan, Thailand yang
mayoritas penduduknya Budha, indeks korupsinya juga hampir mencapai delapan.
Sementara itu, ada negara
lain, yang meyoritas beragama Islam, seperti Iran, Arab Saudi, dan Malaysia
dengan angka korupsi yang jauh lebih rendah dibandingkan Indonesia atau
Pakistan. Juga ada negara mayoritas Kristen seperti Amerika Serikat, Kanada, atau
Inggris dengan indek korupsi dibawah dua.
Kenyataan ini menunjukkan
bahwa agama dan keberagamaan adalah dua hal yang berbeda. Kesalehan individual
belum tentu membawa kesalehan sosial dan profesional. Begitu banyak orang yang
dianggap alim dan saleh justru berbuat korupsi. Begitu juga orang yang rajin
sembahyang tidak berarti bersih dari korupsi.
Kita tidak perlu pesimis,
seolah-olah agama tidak mampu mendorong antikorupsi. Bukan agama yang gagal,
melainkan tokoh dan penganut agama itu yang belum memaknai agama secara tepat.
Sebab, agama-agama tidak membenarkan kejahatan, ketidakjujuran, dan segala
bentuk amoralitas sosial. Agama-agama mengajarkan moral mulia, budaya malu,
kukuh dalam kebaikan, gaya hidup sederhana, etos kerja tinggi, serta orientasi
pada kemajuan dan prestasi.
Namun, ajaran tersebut
belum terejawantahkan dalam kehidupan keseharian. Karena itu, pemahaman umat
atas agama harus diarahkan pula untuk mampu merumuskan apa yang dinamakan
"kemungkaran-kemungkaran sosial"—meminjam istilah Zuly Qodir—sebagai
bentuk kekafiran baru atau kekafiran modern, termasuk korupsi.
Penafsiran agama yang
harfiah, tekstual, dan kaku seperti doktrin takdir bahwa Tuhan menentukan
segalanya dan manusia cuma nrimo apa adanya, membawa
keberagamaan yang pasif dan tidak leberatif. Agama sebatas bersifat formal, padahal
pada saat yang sama pembusukan moral sedang terjadi.
Bagaimana mengobyektifkan
agama sehingga ia berperan positif terhadap upaya pemberantasan budaya korupsi?
Apabila pendekatan politik dan hukum lebih bersifat represif—meski juga
bersifat preventif—dalam pemberantasan korupsi, maka agama berlaku lebih pada
level preventif. Timbul anggapan, undang-undang anti korupsi dengan sendirinya
akan menjamin penanggulangan korupsi. Padahal hukum kurang menyentuh tataran
preventif. Siapa yang dapat menjamin gerak-gerik seseorang setiap detik
diperhatikan aparatur hukum?
Agama, dalam konteks
demikian, memosisikan dirinya sebagai bimbingan dan kontrol transendental
(Ilahi). Bahwa penganut agama seharusnya merasa dikontrol oleh Zat Yang
Mahatahu kapan pun dia berada. Selain itu, agama umumnya mengajarkan kehidupan
sesudah mati. Bahwa meski tindakan korupsi yang dilakukan di sini sempat lepas
dari pengawasan manusia, pengadilan di kemudian akhir (akhirat) tidak akan
melepaskannya. Keberagamaan yang subtantif semacam inilah yang dapat mencegah
penganut agama dari tindakan korupsi. (Muhammad Ali, 2000).
Gerakan antikorupsi yang
digalang ormas keagamaan, seperti Muhammdiyah, NU, Persis dan yang lainnya,
pada hakikatnya adalah perlawanan budaya terhadap kejahatan korupsi yang sudah
sedemikian parah. Tujuan perlawanannya ialah mengaktualkan kembali kehendak
untuk hidup halal yang diajarkan agama (Islam) sebagai habitus tandingan.
Dan bagi NU sendiri,
gerakan antikorupsi menjadi bagian dan kesinambungan dari Gerakan
Mabadi’ Khaira Ummah yang merupakan langkah awal pembentukan umat yang
terbaik yang membawa rahmat untuk semua, yaitu umat yang mampu melaksanakan
misi al-amru bi al-ma’ruf dan an-nahyu an al-munkar. wallahu'alam.
Senin, 14 November 2016
Memotret Geliat Konsumerisme Metropolitan
Setiap kali pergi ke mall, kita seringkali melihat pemandangan sekelompok anak muda dan atau sepasang anak cucu Adam dan Hawa yang sedang menikmati suasana keramaian mall, dan tidak sedikit pula sekelompok keluarga yang turut meramaikan pula. Cobalah mulai sekarang Anda tidak hanya melihat sekadar itu. Beranikan diri untuk menjadi seorang peneliti walau kelas kacangan, dan Anda akan menemukan apa yang sebenarnya terjadi.
Pesatnya perkembangan mall dan pusat perbelanjaan serupa telah menghadirkan suatu fenomena baru. Mall sekarang tidak hanya menjadi tempat transaksi jual beli (leizur feilure). Mall malah memperluas fungsi raiso de etre-nya tersebut menjadi tempat rekreasi, media ekspresi ego, dan media hegemoni. Orang – terutama anak muda – pergi ke mall bukan lagi didorong oleh keinginan untuk membeli apa yang dibutuhkan (need), tetapi apa yang diinginkan (want).
Suasa berbelanja di suatu pusat perbelanjaan. Foto tribunnews.com |
Aktifitas membeli berdasarkan kebutuhan akan berhenti jika telah terpenuhi. Namun dengan pertimbangan ingin, aktifitas membeli tidak akan ada ujungnya kecuali bila hasrat itu telah meredah, padahal hasrat manusia tidak akan ada habisnya. Setiap kali ada “yang baru”, hasrat itu akan muncul.
Semetara itu, kekuatan hegemoni kapital tidak akan pernah kehabisan akal untuk melakukan perubahan. Tidak satu menit pun dilewatkannya untuk menemukan sesuatu yang baru. “Inovasi tanpa henti” yang didukung oleh “hasrat tanpa henti” ini menjadi arena bagi keberlangsungan hegemoni tadi. Empu jargon yang pertama semakin perkasa, sedangkan yang kedua merelakan dirinya menjadi “pelayan” yang siap melayani kapan saja—untuk mengatakan konsumen setia.
Dalam rangka melangsungkan hegemoninya, kaum kapitalis ini tidak hanya melakukan pencarian inovasi baru yang siap menggempur pasar, tetapi juga diciptakannya mitos-mitos yang disandarkan pada kepentingan mereka, seperti mitos kecantikan dan kegantengan, trandy, funky, serta modis. Naomi Wolf, seorang peneliti dari Amerika dalam Mitos Kecantikan (2004), menyebutkan bahwa kehadiran kontes kecantikan, betis indah, tubuh ideal, dan sebagainya merupakan salah satu perpanjangan imprealisasi dari para kapitalis. Orang disebut cantik bila menggunakan lipstik ini dan bedak itu.
Sebutan trandy, funky, dan modis kemudian hanya diperuntukkan bagi mereka yang menggunakan pakaian bermerek tertentu—dengan mode setiap kali berubah dalam waktu yang cepat—yang trend-nya sengaja diciptakan. Orang yang mengikuti perubahan itu akan disanjung dengan sebutan modern, sedangkan bagi yang tidak ikut serta dianggap ketinggalan zaman. Kata modern kemudian beralih menjadi modernisme yang lebih berbau ideologis. Banyaknya barang hasil produksi di pasaran telah mengubah pola konstruksi kehidupan masyarakat. Masyarakat merasa cukup dan puas dengan mengkonsumsi, yang sekaligus mengeliminir potensi dirinya sendiri untuk memproduksi. Tanpaknya adigium Descartes, “aku berpikir maka aku ada”, dapat dipreteli menjadi “aku mengkonsumsi maka aku ada”. Walhasil, keberadaan masyarakat ditentukan oleh kemampuan mengkonsumsi, dan disitulah tercipta apa yang disebut dengan “masyarakat konsumtif”.
Dari sini timbul pertanyaan mengapa tingkat konsumsi begitu tinggi, sampai-sampai tercipta masyarakat konsumtif? Muhammad Syukri (2004) menyebutkan minimal ada dua kekuatan yang mempengaruhi prilaku konsumsi. Pertama, kekuatan kapitalis atau produsen. Banyaknya modal (capital) yang dimiliki oleh kapitalis memungkin untuk mendirikan perusahaan-perusahaan besar (the large corporate) di berbagai belahan dunia. Munculnya perusahaan besar ini bukan hanya untuk memenuhi kebutuhan produsen, tetapi untuk mendapatkan hasil (laba) yang sebesar-besarnya. Karena itu, sistem produk mengikuti pola over-produksi, yaitu usaha untuk memproduksi barang sebanyak-banyaknya.
Kedua, kekuatan media. Media, terutama media elektronik seperti telivisi (TV), sangat berguna untuk memasarkan semua produk kepada masyarakat luas. Kekuatan media bukan hanya kemampuannya melipat dunia menjadi sepetak gambar yang dapat dijangkau dengan sekejap waktu, tetapi pada kekuatan hegemonik yang memperngaruhinya. TV, meminjam bahasa Baudrillard, meyelenggarakan simulasi. Simulasi itu pada hakekatnya tidak mencerminkan realitas sesungguhnya, melainkan dicitrakan dengan realitas yang menditerminisi kesadaran kita. Itulah yang kemudian disebut dengan hypper-reality (realitas semu). Pecitraan yang dihadirkan oleh TV mempengaruhi kesadaran masyarakat sehingga prilakunya diatur oleh simulasi-simulasi yang ditampilkan. Akibatnya, masyarakat terjebak pada prilaku konsumerisme yang banyak diintrodusir oleh TV.
Demi nilai sosial Masyarakat modern yang lebih dicirikan dengan masyarakat konsumsi (consumer sociaty) membeli sesuatu bukan dikarenakan kebutuhan melainkan lebih disebabkan oleh keinginan yang bersumber pada nilai prestise di masyarakat. Carl Gustave Jung mengungkapkan bahwa pada tingkat tertentu ada yang membedakan proses konsumsi dalam masyarakat, yaitu innermotivate. Menurutnya, innermotivate adalah sebuah dorongan, hasrat dan rangsangan yang bersemayam dalam diri manusia yang mengendalikan actus (tindakan) seseorang.
Dalam masyarakat pedalaman, yang taraf kehidupannya menengah kebawah, motif itu merupakan kebutuhan dasar yang sama sekali tidak terpengaruhi oleh tingkat dan jenis produksi. Mereka membeli barang untuk memenuhi fungsi utilitas bukan yang lainnya. Lain halnya dengan kebanyakan kaum “kaya” kota, mereka membeli barang demi pelampiasan keinginan dan hasrat membeli yang nyata-nyata dipengaruhi oleh tingkat dan jenis produksi. Dan pilihan terhadap jenis-jenis tertentu sangat dipengaruhi oleh nilai-nilai sosial dari pada nilai pakai. Mereka tidak lagi mengkonsumsi objek, namun makna-makna sosial yang tersembunyi di dalamnya.
Sebagai contoh, sekarang orang membeli ponsel bukan ditentukan oleh nilai guna untuk memudahkan berkomunikasi, tetapi ditentukan oleh fasilitas-fasilitas lainnya yang tidak begitu penting yang bersifat komplementer. Orang yang memegang HP dengan fasilitas lengkap—dan tentunya mahal—akan menandai status, kelas, dan simbol sosial tertentu. Contoh lain, orang yang mengendarai mobil BMW, Mercy, Roll Royce, dan Volvo berbeda dengan orang yang mengendarai Carry, Espass, dan L 300 dalam prestise nilai sosialnya.
Keberadaan demikian semakin tampak jelas dalam masyarakat kota di Indonesia, yang artinya budaya konsumerisme akan semakin merasuki pola hidup masyarakat. Lambat laun, seiring dengan era perdagangan bebas, kehadiran mall—yang selalu bergandengan hypermarket—juga akan menggilas pasar-pasar tradisional.
Jumat, 11 November 2016
Sepenggal Kisah Bersama SimPATI Saat Kuliah S2
Baru
dua pekan terakhir ini saya memiliki smartphone Android berlayar sentuh. Bukan
tanpa alasan menggunakannya, melainkan karena jaringan telekomunikasi di
#indonesiamakindigital. Sedangkan selama enam tahun lebih, saya adalah pengguna
BlackBerry Curve 8520 atau yang sering disebut BB Ge
mini. Ya, BB ini adalah
ponsel terlama yang pernah saya miliki. Seingat saya, sudah tiga kali dia
berganti kulit, dari hitam ke putih lalu menjadi ungu seperti sekarang.
Kondisinya pun sudah memprihatinkan setelah dipreteli oleh si adik yang kini
berusia dua tahun.
SimPATI dengan paket BB Unlimited Murah hanya Rp 10 ribu perbulan |
Dan
sepanjang waktu itu pula, BB Gemini ini telah merasakan kartu SimPATI dari
Telkomsel. Keduanya telah menyatu hingga kini. Entah sampai kapan, saya pun
belum tahu sebab saya masih merasa nyaman mengawinkan keduanya.
Walau usinya yang sudah memasuki uzur, BB Gemini dan
kartu SimPATI itu telah menemani ke berbagai daerah; dari Batam ke Dabo dan
Daik di Kabupaen Lingga, Ranai di Natuna, Pontianak dan Singkawang di
Kalimantan Barat, ketika bergelut dengan pekerjaan; di kota Gudeg Jogjakara dan
kota Kraksaan Kabupaten Probolinggo di Jawa Timur ketika mengenyam bangku
pascasarjana; dan saat berkunjung ke Singapura dan juga Malaysia. Alasan historis inilah yang membuat keduanya belum
terpisahkan.
Tulisan ini bukan
hendak menceritakan BB Gemini yang sudah diikat dengan karet, tetapi cerita
tentang kartu SimPATI-ku yang unik ini. Ya, saya sebut unik karena ada paket
istimewa yang ditawarkan untuk pelanggan setianya. Inilah kisah itu.
Jangan Abaikan SMS Promosi
Kebetulan saya dan istri sama-sama menggunakan kartu SimPATI dari Telkomsel. Saat itu,
saya sedang menikmati liburan Idul Fitri pada 2015 lalu, kala datang sebuah SMS
promosi dari Telkomsel yang mengabarkan promo terbaru untuk paket BB unlimited
bulanan. Kabar yang termaktub di dalamnya ialah info paket seharga Rp 10ribu saja.
Karena
saat itu paket yang saya gunakan mendekati masa akhir aktivasi, maka saya
berniat mencobanya. Toh, kalau sukses, saya beruntung. Kalau pun tidak, saya
akan tetap memakai paket BB unlimited seharga Rp 99ribu perbulannya. Sebab,
banyak aktivitas yang saya lakukan membutuhkan koneksi internet, dan semua terasa lebih gampang bila dilakukan dari ponsel.
Singkat
cerita, istri saya menyarankan agar hanya mengisi pulsa Rp 10 ribu saja supaya
paket yang sudah ada tidak otomatis diperpanjang. Sarannya itu saya terima. Dan
akhirnya, paket BB Unlimited habis. Segera saya daftarkan paket baru sesuai
petunjuk pada SMS promisi. Tapi sayang, saya lupa teknis daftarnya ketika itu.
Alhamdulillah, aktivasi berhasil, yakni paket BB unlimited bulanan dengan harga
Rp 10 ribu. Ini adalah paket BB unlimited termurah yang saya tahu dan saya
nikmati.
Tetapi,
saya belum puas. Saya khawatir paket baru ini membatasi aktivitas saya dari
ponsel. Maklumlah, ini era digital, di mana banyak aktivitas bila dilakukan
melalui perangkat yang hanya segenggaman saja. Maka saya coba membuka browser
lalu mengakses portal berita online atau media daring. "Yes, bisa"
ucapku dalam hati.
Hati
masih gundah, apakah push email juga masih aktif? Ada dua email yang saya
aktifkan di ponsel. Keduanya sama-sama penting karena terkait pekerjaan. Maka
untuk mengujinya, saya mengrim email dari yang satu ke yang lain. Isinya tak
ada yang penting karena hanya mengetes saja. Beberapa jenak tidak ada
tanda-tanda ikon email masuk. Aduh!!! Bahaya ini. Dengan sedikit cemas, saya
sering perhatikan lampu ikon di sudut atas layar sembari menjawab beberapa
komentar di Facebook. Akhirnya masuk juga barang itu. Hati pun lega. Dan promo
harga paket BB unlimited murah Rp 10ribu per bulan itu tak mengurangi satupun
manfaatnya.
Maka, tanpa pikir panjang, ketika paket BB istri pun
habis, langsung saja memilih paket baru sebagaimana yang telah saya lakukan di
BB saya sendiri. Betapa girangnya istri
saya karena kami bisa menghemat puluhan ribu rupiah untuk pulsa bulanan.
Apalagi saya tidak memiliki pekerjaan tetap dan harus membiayai kebutuhan
selama kuliah S2 di UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta.
Kalang Kabut Paket Habis
Di usia
kepala tiga dengan dua anak, kembali ke bangku kuliah ada pilihan yang
kenekatan. Saya nekat karena saya harus meninggalkan pekerjaan dan membiayai
kuliah secara mandiri. Belum lagi urusan dapur. Sebab itu, sedari awal saya
bertekad untuk bisa selesai kuliah secepat mungkin.
Di
tengah kesibukan penghujung smester tiga, saya sudah harus menyelesaikan
proposal tesis. Perputakaan, buku, laptop, dan internet adalah bagian penting.
Ketika di kampus, saya bisa menikmati fasilitas internet gratis. Ketika di kos,
saya harus menggunakan modem. Terkadang, kartu SimPATI itu harus berpisah
dengan BB untuk "selingkuh" dengan modem Telkomsel Flash. Ini hanya
tingga modem saja karena kartunya telah dipakai istri untuk BB dia tadi.
Biasanya saya memilih cari bacaan awal dari BB saya itu, bila ada yang cocok,
baru saya unduh di kampus. Biasalah, penghematan, dari pada harus beli paket
Telkomsel Flash.
Saat
sedang asyik mengerjakan proposal, paket BB lupa saya isi. Maka saya pun kalang
kabut sebab sumber bacaan melalui browser di BB otomatis terhenti. Padahal,
bacaan dari sumber-sumber di internet mempermudah dalam memahami setiap
pembahasan. Yang tidak kalah penting, beberapa tugas akhir kuliah disetor melalui
email, yang biasanya saya kiri melalui BB. Ketika berada di kampus saya coba
cari info pendaftaran paket BB unlimited murah itu. Perjuangan itu baru
berhasil di hari ketiga. Yes, saya masih beruntung menjadi pelanggan istimewa
Telkomsel.
Peristiwa serupa pun pernah terjadi beberapa kali hingga
akhirnya saya menyimpan kode akses rahasia untuk aktivasi paket murah itu,
yakni *550*1#. Silahkan saja Anda coba kode aksea itu, siapa
tahu Anda sedang beruntung, tepi saya tidak menjamin semuanya bisa. Setidaknya,
hingga saat ini, November 2016, paket BB saya masih menggunakan paket BB
unlimited murah dari Telkomsel. Banyak teman sekantor di Batam dan teman-teman
semasa kuliah yang iri dengan keistimewaan kartu SimPATI saya ini.
Memaksimalkan Digital
Walaupun
saya telah mengakui kualitas Telkomsel, tetapi saya hendak mencoba menggunakan
kartu lain dalam menikmati layanan digital di era #IndonesiaMakinDigital ini.
Uji coba ini saya terapkan pada smartphone Android baru saya yang sudah 4G.
Semua provider telekomunikasi sedang berlomba menggaet pelanggan dengan tawaran
bonus kuota 4G yang supet besar.
Maka
pada dua slot kartu, saya isi dua kartu berbeda sekaligus. Saya hendak menguji
kekuatan sinyal dan jaringan keduanya. Dalam dua pekan ini, penggunaan dua
kartu itu selalu saya gonta ganti apabila support sinyalnya jelek. Nah
celakanya, ketika saya bertugas di pinggiran Batam, sinyal yang tertangkap
menjadi 3G dan sesekali ganti EDGE, bahkan yang satu lagi konsisten di EDGE.
Hingga
saat ini, saya masih menguji secara obyektif, yang mana satu sinyal 4 G-nya
paling stabil di Batam ini. Ini sudah zaman digital dan #indonesiamakindigital
juga. Sehingga jangan hanya terpikat promo belaka. Jadi, menurut pembaca yang
budiman, kartu perdana apa yang cocok untuk mendukung digital style? Silahkan
usulkan pada saya, karena kartu itu akan menjadi pendamping untuk kartu
SimPATI-ku yang telah banyak menemani saya. Namun bila gagal, bukan mustahil
semua kartu yang saya gunakan merupakan produk Telkomsel yang telah teruji. Toh
masih ada kartu lain yang harga paketnya lebih sesuai kebutuhan seperti Kartu
AS ataupun Loop.
Tulisan ini untuk diikut sertakan dalam lomba #IndonesiaMakinDigital yang diselenggarakan oleh Telkom
Rabu, 09 November 2016
Geliat Perekonomian di Pasar Tos3000 Jodoh
Pedagang ayam daging di pasar Tos3000 Jodoh. Pasar ini menjadi pasar induk bagi masyarakat Batam saat ini. |
Telah beberapa tahun
Pasar Tos3000 di Jodoh menjelma menjadi pasar pagi yang penuh sesak dengan
pengunjung. Inilah pasar tersibuk di Batam dan menjadi "pasar induk"
mendadak, menggantikan pamor pasar Tanjungpantun Jodoh yang sudah dikenal masyarakat
Batam sejak 1980-an dan setelah kegagalan pasar induk yang dibangun
pemerintah.
Geliatnya pasar ini
sudah dimulai sejak dini hari, ketika pada pedagang sayur mayur mulai
berdatangan membawa sayuran segar dari berbagai daerah di Batam. Sebagian besar
sayuran itu di datangkan dari Tembesi, Rempang ataupun Galang. Sedangkan
umbi-umbian seperti kentang lebih banyak didatangkan dari Medan ataupun Jambi.
Memang, kebutuhan makanan di Batam masih membutuhkan pasokan dari luar daerah.
Kemarin (23/10) pagi,
para penjual sudah menggalar dagangan di rentang jalan antara Tos3000 hingga
Top100 Jodoh. Dua ruas jalan itu dimanfaatkan oleh pedagang sayuran dan rempah
untuk menggelar dagangan. Tak pelak, jalan itu pun tidak bisa dilalui oleh
pengendara roda empat. Sedangkan untuk roda hanya bisa sebatas melewati sisi
selatan jalur itu tatapi harus mendesakan dan bebagi dengan pedagang juga.
Kios dan lapak di dalam
pasar Tos3000 menjadi pasar basah. Sedangkan di sisi kanaan, kiri, dan depannya
menjadi tempat para penjual sayuran, rempah, dan buah-buahan. Ada juga yang
menjajakan jajanan pasar di sela-sela pedagang sayuran. Di pasar ini, tidak
sedikit orang yang menaruh harapan mengais rezeki.
"Awas ada copet.
Ibu-ibu hati-hati barangnya. Sekarang ini ibu-ibu pun sudah ada yang jadi copet,"
bunyi pengeras suara yang dibawa seorang pria itu menambah riuh suasana pasar.
Di tengah desak-desakan antara pembeli, di saat itu pula pencopet
beraksi.
Selain suara mikrofon
itu mengitari beberapa wilayah sepanjang jalan. Peringatan itu memang wajar
karena beberapa hari sebelumnya dua orang perempuan ditangkap sebab ketahuan
mencuri dompet pengunjung pasar. Dan keduanya pun harus berurusan dengan polisi
Lubuk Baja.
"Jagungnya delapan
ribu, delapan ribu," teriak seorang penjual memanggil pembeli. Teriakan
itu sudah khas di sebuah pasar. Teriakan demikian itu baru berhenti ketika
penjualnya sedang melayani pembeli.
Tentang saja, tidak
semua pedagang di Tos3000 ini berteriak-teriak karena sebagian besar barang
dagangan juga ada yang diberi papan harga. Pengunjung yang tertarik bisa membli
langsung atau tawar menawar. Tawar menawar adalah kekhasan pasar tradisional
berbeda dengan hipermarket modern yang semua telah terpasang harga.
"Kadang-kadang
saja. Sekali seminggu kalau sempat. Mumpung sekarang hari minggu," kata
seorang ibu saat berbincang dengan Tribun. Ia sengaja memilih menepi di dekat
pasar karena tak kuat untuk memasuki pasar basah Tos3000. "Kalau ke dalam
saya tak kuat. Biar mamak saja," lanjutnya.
Seorang pria yang
menggendong anak juga tengah menunggu istrinya yang berbelanja ikan segar. Ia
tidak tiga harus membawa anaknya berdesakan di tengah pegapnya ruangan pasar
basah dengan berbagai aroma menyeruak ke hidung. Pria yang mengaku bernama
Irwan ini dua pekan sekali atau ketika ada acara besar di rumah.
"Kalau di sini kan
lebih murah. Selisihnya lumayan juga. Di sini sawi satu ikat dua ribu. Kalau
beli tiga lima ribu. Ikatannya pun agak besar," ujarnya. Sedangkan di
warung-warung dekat rumahnya Baloi, walau dengan harga yang sama, tetapi ikatannya
lebih kecil. Ia bisa memaklumi karena pemilik warung juga mungkin kulakan di
pasar Tos3000 ini.
Kebutuhan masyarakat
yang tersedia di pasar Tos3000 ini cukup lengkap. Walaupun hanya bulanan, tidak
sedikit warga yang mencoba untuk berbelanja ke pasar pagi ini sacara langsung.
Kebanyakan mereka yang berleanja datang dari Batuampar, Jodoh, Nagoya, Baloi,
Pelita, dan juga Bengkong.
Hingga pukul 06.30 pagi,
masih ada sejumlah pedagang yang hendak membuka lapak. kebanyakan ialah
pedagang umbi-umbian, seperti ubi, kentang, talas, dan gubis. Sedangkan pembeli
datang silih berganti. Puncak geliatnya pada sekitar pukul 07.00. Tetapi sayang
kemarin mendung mengelayut di atas lagit Jodoh.
"Hujan, hujan,
hujan," teriak para pedagang sembari menyiapkan payung besar. Beberapa
pengunjung yang lain pun melakukan hal yang sama. Mereka harus menyelamatkan
dagangan agar tidak terkontaminasi oleh air hujan yang memiliki zat kimia yang
tajam, apalagi untuk sayur dedaunan. Biasanya, payung besar atau pun terpal itu
baru digunakan ketika sengatan mentari mulai menghangatkan tubuh. Tetapi
pagi kemarin, daun payung dibuka lebih awal sebab gerimis mengundang.
"Mudah-mudahan saja
tidak hujan. Kalau hujan pagi, kami repot mas," terang perempuan yang
minta di sapa Bu Dhe saja. Sebagai pedagang, tentu yang diharapkan ialah
pembeli. Apabila hujan di pagi hari, pembeli akan sepi sedang barang dagangan
akan layu dan tidak layak jual lagi.
Ia agak cemas sembari
berharap hujan tidak turun. Tetapi jika hanya gerimis, maka bisa jadi itu
justru petanda baik di hari Minggu ini. Sebab, ujarnya dia, hari terpanjang
untuk berjualan dalam sepekan ialah Minggu. Jika pada hari-hari biasanya hanya
sampai pukul 09.00 atau maksimal pukul 10.00, tetapi pada hari Minggu ia bisa
membuka lapak sampai pukul 11.00. Semua itu tergantung dari jumlah pembeli. Ini
sudah menjadi hukum ekonomi, semakin banyak yang membeli maka pedagang pun akan
semakin lama penggelar lapaknya.
Tetapi, mereka sudah
harus mulai mengemas barang dagangan secepatnya agar tidak mengganggu pemilik
ruko dan para pengunjung ke toko-toko di Samarinda, Avava, dan Ramayana.
Beruntung, kemarin itu hanya gerimis beberapa menit saja dan pengunjung pun
masih cukup banyak hingga pedagang berjualan sampai siang.
Ketika azan Dhuhur
berkumandang, pedagang sudah bersih. Yang tersisa hanyalah pedagang yang
membuka lapak di samping kanan Samarinda saja. Sedangkan di pasar Basah pun
sudah mulai dikemasi. Sampah-sampah mulai di kumpulkan pada satu titik agar
mudah diangkut para petugas. Geliat kehidupan pasar ini telah menyertai
kehidupan masyarakat Batam. (abd. rahman mawazi)
Jumat, 28 Oktober 2016
Menggali (lagi) Semangat Kaum Muda
Dipenghujung
Oktober 1928 silam, sejumlah pemuda dari Jong Java, Jong Sumatera Bond,
Jong Ambon, Jong Batak, Jong Celebes, Jong Islameiten Bond, dan lain
sebagainya berkumpul memikirkan keberadaan dan nasib bangsanya.
Pertemuan yang digagas oleh Perhimpunan Pelajar-pelajar Indonesia itu
merupakan pertemuan kedua kalinya. Setelah
mereka mengadakan pembahasan, mereka sampai pada satu kesimpulan, bahwa
jika bangsa Indonesia ingin merdeka, bangsa Indonesia harus bersatu.
Untuk itu mereka bersumpah yang terkenal dengan nama Sumpah Pemuda yang
diikrarkan pada akhir kongres, yaitu pada tanggal 28 Oktober 1928.
sumpah itu berbunyi:
Kami
putra dan putri Indonesia, mengaku berbangsa yang satu, bangsa
Indonesia.
Kami putra dan putri Indonesia, mengaku bertanah air yang
satu, tanah air Indonesia.
Kami putra dan putri Indonesia, menjunjung
bahasa persatuan, bahasa Indonesia.
Ilustrasi semangat kaum muda. Sumber athanjp.blogspot.co.id |
Tanggal tersebut cukup bertuah dan bersejarah bagi bangsa Indonesia, hingga kemudian ditetapkan sebagai Hari Sumpah Pemuda. Sumpah Pemuda menjadi motivasi untuk merdeka dari belenggu penjajahan Belanda. Sumpah Pemuda adalah virus bagi persatuan dan vitamin bagi spirit patriotisme yang mampu menggugah rakyat di setiap penjuru negeri. Karena itu, Sumpah Pemuda menjadi salah satu di antara berbagai landasan pilosofi bagi kebangkitan nasional kita, dan merupakan nilai yang sangat fundamental bagi persatuaan bangsa dan negara kita. Seperti halnya Hari Pahlawan 10 November, Pancasila dan Bhinneka Tunggal Ika. Dari sanalah nasionalisme Indonesia mencapai puncaknya, yakni hanya mengenal satu kata INDONESIA.
Di saat rapat akbar itu pula diperdengarkan lagu Indonesia Raya karya Wage Rudolf Supratman untuk pertama kalinya. Lagu tersebut disambut dengan sangat meriah oleh
peserta kongres. Sumpah Pemuda dan lagu Indonesia Raya semakin membakar
semangat api persatuan dan perjuangan. Sejak
itu pulalah muncul tokoh-tokoh pemuda antara lain, Mr. Moh. Yamin, Drs.
Moh. Hatta, Sutan Syahrir, Ir Soekarno, Ali Sostroamidjojo, Mr.
Sjarifuddin, Nasir Datuk Pamuntjak, Moh. Natsir, Mr. Moh. Room dll.
Sudah sekian tahun peristiwa bersejarah itu berlalu. Buah dari ikrar tersebut
menghantarkan Indonesia pada kemerdekaannya. Sumpah Pemuda telah menjadi
pilar pemersatu bangsa. Karena itu, kita wajib mengejewantahkan
cita-cita para pencetus sumpah itu. Namun, realitas perjalanan bangsa
yang melanda negeri kita dalam beberapa tahun terakhir ini rasanya
berjalan terbalik. Jika dulu orang rela dan berani berkorban demi bangsa
dan tanah air, kini justru makin banyak yang justru mengorbankan bangsa
dan tanah air.
Pada
titik ini, semangat patriotik bergeser menjadi depatriotik. Makna
sumpah itu bagai terganjal batu besar sehingga sumpah tersebut seakan
terhenti mengarusi jiwa dan semangat bangsa ini. Akibatnya, Indonesia
sebagai sebuah bangsa dan tanah air kini bukannya makin berjaya, tetapi
justru terkoyak. Gejala depatriotik dan denasionalis ini memang
seharusnya lebih dini diantisipasi agar bangsa dan tanah air kita tak
makin terkontaminasi dan terpuruk.
Lihatlah
praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN) yang telah membawa bangsa
pada keterperosokan ekonomi, politik, dan sosial. Korupsi seolah menjadi
konsensus terselubung yang terjadi pada pemerintahan di hampir semua
lebel, dari yang terendah hingga tertinggi. Para koruptor, yang
kebanyakan adalah pejabat negara, lupa bahwa negara ini dibangun oleh
kerja keras dan pengorbanan para pejuang. Mereka juga lupa bahwa setelah
mereka akan ada anak cucu yang akan menjadi generasi penerus mereka.
Pemuda dan Cita-cita Bangsa
Sejarah
telah menunjukkan kepada kita bahwa pemuda memainkan perenan penting
dalam pembangunan bangsa. Pelopor kongres yang melahirkan Sumpah Pemuda
adalah pemuda, yang mendorong Soekarno agar segera memroklamsikan
kemerdekaan Indonesia juga pemuda, bahkan yang mendalagi gerakan
reformasi juga pemuda. Betapa strategis peranan pemuda dalam pembangunan
bangsa ini. Tak heran bila pemuda selalu disebut sebagai agent.
Bila
demikian, pemuda adalah generasi yang menentukan ke arah mana bangsa
ini akan dibawa. Sehingga, sangat tepat dikatakan bahwasanya dunia
pemuda selalu dipenuhi dengan mitos-mitos panjang yang pada akhirnya
akan menjebak pemikiran idealis pemuda pada fase-fase stagnan dan bahkan
tak jarang terjerumus dalam pemikiran-pemikiran pragmatisme oportunis.
Hanya pemuda yang berjiwa papilon yang mampu bebas dari pragmatisme
maupun materialisme.
Untuk
itu, pemuda membutuhkan integritas, intelegensia, dan moralisme yang
mumpuni agar cita-cita bangsa tercapai. Dalam pengamatan penulis, pemuda
Indonesia saat ini rentan terhadap pengaruh buruk globalisasi, cendrung
bersikap pragmatis dan oportunis, serta terlena dengan romantisme masa
lalu, sehingga dikhawatirkan akan mengancam semangat persatuan dan
kesatuan bangsa. Padahal, pemuda juga merupakan pewaris bangsa. Dan, mau
tidak mau, pemuda harus mendefinisikan dirinya sebagai generasi pelanjut dan pengemban cita-cita bangsa.
Saat
ini, generasi muda Indonesia, yang juga terdiri dari pelajar dan
mahasiswa, berjumlah sekitar 78 juta jiwa dari seluruh jumlah penduduk
Indonesia–lebih dari 210 juta jiwa. Jumlah tersebut terhitung tidak
sedikit, terlebih jika dipandang sebagai usia produktif yang potensial
berpengaruh secara positif dan juga bisa secara negatif dalam lingkup
pergaulan masyarakat Indonesia untuk saat ini dan ke depan.
Secara
kuantitatif maupun kualitatif, pemuda menjadi strategis dan urgen untuk
dipersoalkan dalam kaitannya dengan sejumlah persoalan bangsa yang saat
ini semakin kompleks mendera masyarakat Indonesia. Secara kualitatif,
sesosok pemuda memiliki posisi strategis, karena merupakan kumpulan
potensi yang sedang dalam proses mencari dan mengukir identitas diri.
Biasanya,
sosok pemuda senantiasa dilekatkan dengan ciri karakter yang kritis,
progresif, radikal, idealis, dan anti kemapanan untuk perubahan masa
depan yang lebih baik. Hanya saja, tidak selamanya ciri ideal seperti
tersebut akan senantiasa melekat pada sosok pemuda, kapan dan dimana
saja mereka berada. Tidak jarang, pada situasi dan kurun waktu tertentu,
kita melihat kehadiran pemuda hanya sebagai pelengkap obyek penderita
dan tidak sanggup menjadi subyek pelaku utama dari sebuah situasi yang
mengharapkannya.
Harus
diakui, medan perjuangan yang serba kompleks dalam mengisi kemerdekaan
ini, menjadikan peran pemuda perlu lebih diorientasikan secara egaliter
untuk memperkuat nilai keadilan dari setiap kebijakan dan program
pembangunan negara. Loyalitas dan dedikasi posisi pemuda harus tetap
berdiri tegak di atas nilai kebenaran dan keadilan. Karena apa pun
alasannya, fenomena kepemudaan kini—untuk menyebut pemuda yang telah
memiliki sedikit pendirian—relatif “termaterialisasi” di berbagai arena
penyelenggaraan negara sehingga dangkal dan mandul tak berdaya dalam
arus politik pragmatis. Kekhawatiran ini menyeruak karena harapan puncak
kita adalah bagaimana perjuangan pemuda dapat menggilas penyelenggaraan
negara yang serba korup, misalnya, dari sekian banyak masalah
kebangsaan lainya.
Nah,
semoga momentum Hari Sumpah Pemuda tahun ini dapat dijadikan salah satu
nafas dalam rangka merapatkan dan mengkonsolidasikan kembali barisan
pemuda untuk berjuang mewujudkan cita-cita dari funding futher
bangsa, tentunya dengan mengisi hari-hari muda dengan hal-hal positif
dan progresif. Ini sesuai dengan tema pemerintah pada peringatan Sumpah
Pemuda tahun ini, "Meningkatkan Solidaritas, Integritas, dan Profesionalitas Pemuda menuju Bangsa yang Sejahtera dan Bermartabat". Semoga!
Selasa, 14 Juli 2015
Prinsip Kemashlahatan Zakat
Perintah menunaikan zakat disebut dalam Al-Qur’an sebanyak 32
kali, bahkan diulang 82 kali sebutannya dengan memakai kata-kata yang sinonim
dengannya, yakni sadekah dan infak. Pengulangan tersebut mengandung maksud
bahwa zakat mempunyai kedudukan, fungsi dan peranan yang sangat penting. Zakat
memiliki kekhususan karena pelaksanaannya merupakan implementasi rukun Islam.
Salah satu penyebab diperintahkanya zakat, selain sebagai bentuk pengabdian
kepada Allah, adalah dikarenakan sering terjadinya kesenjangan sosial pada
masyarakat Arab kala itu. Zakat merupakan rukun Islam yang kental dengan
dimensi sosial.
Dalam pemerintahan Islam, zakat merupakan salah satu pemasukan
resmi bagi kas negara, selain fa'i, kharaj, dan jizyah.
Pemerintah berkewajiban memungut, mengelola, dan mendistribuskannya (QS 9:103)
karena ia telah diamanahkan untuk mewujudkan kesejahteraan sosial (QS 4:59)
yang selalu bermuara pada prinsip keadilan, kemerdekaan dan kesetaraan di
hadapan hukum yang menunjang terjadinya harmonisasi kehidupan bermasyarakat.
Keadilan sosial dalam Islam, misalnya, tidak mengharuskan agar
setiap orang mempunyai tingkat kemampuan ekonomi yang sama dan terhapusnya
kemiskinan dalam masyarakat, tetapi menciptakan suatu kondisi masyarakat yang
harmonis dan dinamis, rendahnya jurang pemisah antara si kaya dan si miskin,
dan hilangnya faktor-faktro penyebab rendahnya produktivitas, pertumbuhan dan
pengembangan potensi sumber daya manusia dan alam.
Karena Zakat = Pajak
Dalam konteks saat ini, khususnya di Indonesia, sumber pendanaan
negara hanya meliputi zakat, kharaj, dan jizyah. Sumber-sumber tersebut dalam
istilah sekarang disebut pajak. Masdar F. Mas’udi menyebutkan, dalam istilah
teknis syari’at, pajak atas warga negara yang muslim disebut “zakat”, atas
warga negara nonmuslim disebut “jizyah”. Jadi, pendapatan negara bersumber pada
dua kelas. Pertama pendapatan religius, yakni pajak yang dibebankan kepada kaum
muslim, berupa zakat dan pajak tanah (usr), dan lainnya. Kedua,
pendapatan sekuler, yakni pajak yang dikumpulkan dari orang nonmuslim. Masuk
dalam kategori ini ialah jizyah, pajak untuk mendapatkan hak milik kharaj,
pajak atas hasil tanah, dan pajak terhadap para pedagang nonmuslim.
Maka, uang negara (bait al-mal) merupakan pajak yang
dipungut dari rakyatnya dan investasi lainnya yang tidak dimiliki secara
indiviudal. Fungsi kas negara tersebut (1) ditujukan untuk pembayaran
kebutuhan negara, seperti untuk membayar gaji pegawai dan tentara, membeli
peralatan persenjataan, dan sebagainya. Dan (2) ditujukan untuk kepentingan
umum dan fasilitas umum, seperti bantuan bagi kaum duafa', pembuatan jalan
raya, jembatan dan lain sebagainya.
Uang negara, dengan demikian, pada hakekatnya ialah uang Allah
yang diamanahkan pada negara untuk didistribusikan sebesar-besarnya bagi kesejahteraan
umat tanpa diskriminasi apapun. Satu rupiah dari uang pajak—juga setiap
titik-titik kekuasaan yang dibiayai degan uang negara—harus
dipertanggungjawabkan kepada Allah (di akhirat) dan kepada rakyatnya (di
dunia). Maka, segala praktik yang merugikan keuangan negara, seperti korupsi,
merupakan perbuatan yang melanggar syari'at dan setiap kuam muslim khususnya
dan masyarakat umumnya berkewajiban memerangi korupsi dan menganggap sebagai
musuh bagi kemanusiaan. Sedangbaitul mal atau lembaga serupa lainya
ialah untuk mengoptimalkan pengelolaan zakat.
Di negara kita, telah ada undang-undang yang mengatur tentang
pengelolaan zakat, yakni UU no. 38 Tahun 1999. Undang-undang tersebut menjadi
landasan yuridis bagi pengelolaan zakat yang secara nasional potensi
per-tahunya mencapai Rp20 triliun. Namun sayangnya, keberadaan UU tersebut
masih seperti tiada saja (wujuduhu ka adamihi). Badan Amil Zakat sebagai
lembaga resmi pemerintah dan lembaga zakat profesional lainya baru mampu
menghimpun Rp 900 miliar saja.
Padahal, keuntungan penanganan zakat oleh pemerintah atau lembaga
independen lainnya anatara ialah (1) wajib zakat dan pajak akan lebih disiplin
dalam memenuhi kewajiban, dan kaum fakir miskin lebih terjamin haknya, (2)
perasaan fakir miskin lebih dapat dijaga sebagai pemilik hak, tidak seperti
meminta-minta, (3) pembari zakat atau pajak akan lebih tertib, (4) zakat atau
pajak yang diperuntukkan bagi kepentingan umum akan lebih karena pemerintah
lebih mengetahui sasaran pemanfaatannya. (M. Daud Ali:1988)
Sasaran Distribusi
Memang, semetinya distribusi keuangan negara yang diperolah dari
pajak (zakat) diarahkan untuk kesejahteraan yang terepresentasikan dalam
delapan golongan sebagaimana disebutkan dalam QS. At-Taubah (9):60, “Innama
al-shadaqaat li al-fuqara' wa al-masaakin wa al-'amiliin alaiha wa
al-mu'allafah qulubihim wa fi al-riqab wa al-ghamiriin, wa fi sabil Allah wa
ibn sabiil faridhah min Allah”. Kedelapan gologan tersebut memang orang
yang berhak menerima zakat, namun kedelapan golongan tersebut telah
merepresentasikan kaum yang perlu mendapatkan perhatian dan bantuan dari
pemerintah, baik dari zakat maupun pajak lainnya. Selain zakat, sebagain besar
ulama mengharuskan pemerintah mengelola pajak.
Dalam konteks kemasyarakatan dan kenegaraan modern saat ini,
menurut Masdar F. Mas'udi, yang termasuk fuqara' atau kaum
fakir ialah rakyat papa dengan pengasilan jauh dari kebutuhan. Kemudian yang
termasuk masakin atau kaum miskin adalah orang-orang yang
pengasilannya sedikit lebih baik daripada kaum fakir tapi masih di bawah
ketentuan wajar. Sedangkan amilin berarti kebutuhan rutin
(gaji oprasional) depertemen keuangan dan parat depertemen teknis sebagai
pemasok barang-barang publik (publik goods). Dan mu’allaf qulubuhum,
dalam kontek negara-kebangsaan, diarahkan pada program rehabilitasi sosial
terhadap para narapidana, pengguna obat terlarang (narkoba), atau masyarakat
terasing yang masih hidup di hutan-hutan.
Adapun yang masuk dalam pengertian riqab (budak)
ialah kaum buruh yang teraniaya, atau masyarkat terasing yang tengah berjuang
memerdekakan dirinya. Sementara gamirin atau orang yang
terbelit hutang antaranya meliputi pembebasan utang para petani yang terkena
puso dan atau pedagang yang bangkrut karena faktor-faktor yang benar-benar
berada diluar kemampuan mereka. Fi sabilillah diartikan
sebagai kemaslahatan umum yang bersifat fisik seperti jalan, bangunan-bangunan
publik, dan semua sara umum yang diperuntukkan bagi kepentingan orang banyak,
maupun yang bersifat nonfisik seperti biaya pertahanan-keamanan negara/rakyat,
ketertiban masyarkat, penegakan hukum, pengembangan ilmu
pengetahuan-seni-kebubudayaan, dan semua sektor yang kemashlahatannya kembali
pada kepentingan umat manusia. Sedangkan ibn sabil dalam kontek sekarang berarti
para pengungsi, baik karena bencana alam maupu bencana politik.
Dengan demikian, pengelolaan zakat tidak hanya bersifat jangka
pendek sebagaimana yang telah menjadi kebiasaan selama ini—menyalurkannya pada
malam Idul Fitri. Oleh sebab itu, adanya Lembaga seperti Badan Amil Zakat
Nasional (Baznas), Lembaga Amil Zakat, Rumah Zakat Indonesia, dan lainnya cukup
membantu dalam pelelolaan yang bersifat jangka panjang, misalnya bantuan bea
siswa. Penulis berharap, pontensi zakat yang mencapai Rp 20 triliun pertahun
tersebut dapat dimaksimalkan dan pengelolaan serta penyalurannya lebih tepat
guna, yakni mampu menghilangkan faktor-faktor penyebab rendahnya produktivitas
ekonomi dan keterbelakangan pendidikan. Semoga saja potensi zakat yang berhasil
dihimpun tidak bernasib sama dengan kas negara lainnya—untuk mengatakan selalu
banyak yang dikorupsi dan tidak tepat guna. wa Allah a'lam.
Minggu, 23 November 2014
Profesional Tersandung Prosedural
Sepekan sudah Kabinet Kerja Joko Widodo-Jusuf Kalla dilantik. Dari nama serta simbol yang ditunjukan pada saat pengumuman kabinet itu—berbaju putih dengan lengan disingsingkan—setidaknya sudah mencerminkan semangat kerja. Apalagi komposisi menterinya diklaim berimbang antara kalangan politisi [profesional] dan profesional [murni]. Namun, akankah kabinet ini bisa bekerja hebat?
Dari sekian banyak menteri dari kalangan professional itu, misalnya,
Rahmat Gobel dan Susi Pudjiastuni. Kehadiran Susi termasuk fenomenal. Ia dianggap
hadir dari kalangan profesional yang memiliki pengalaman di bidang perikanan
dan kelautan. Bahkan, beberapa kali Susi menyatakan akan menjadikan sektor kelautan
memiliki nilai bisnis yang mampu memberikan keuntungan (devisa) sehingga
bertahan berkesinambungan bagi penyejahteraan rakyat.
Karakter kepemimpinan kalangan profesional itu biasanya ditunjukan
dengan sikap cepat dan tepat dalam pengambilan keputusan karena semangatnya
adalah semangat kerja. Hal ini sangat lumrah dipraktikan para manager di
perusahaan, sebab bila menunda-nunda keputusan justru akan semakin menimbulkan
kerugian yang lebih besar lagi. Tegas selalu diperlihatkan dalam setiap
kebijakannya.
Semangat kerja seperti itu akan sulit dilakukan pada sistem tata negara.
Sebelum melakukan tindakan, harus ada prosedur terlebih dahulu yang dilalui,
khususnya pendanaan. Dalam pemerintahan, program kerja tidak akan pernah
dilaksanakan jika tidak termasuk dalam anggaran dan atau bila anggaran itu belum
tersedia.
Setiap tahunnya, diakui atau tidak, anggaran belanja negara/daerah
selalu telat turun rata-rata tiga bulan sejak tahun anggaran berjalan.
Pemerintah daerah sudah cukup merasakan kondisi itu, yang ditandai dengan
seringnya penundaan pembayaran gaji para pegawai honorer dan bahkan juga gaji
anggota DPRD. Kondisi demikian, tentu menjadi batu sandungan yang tidak mudah
bagi para menteri di Kabinet Kerja. Dalam sistem anggaran negara, hampir bisa
dikatakan program selalu tidak bisa dilakukan tepat waktu karena, lagi-lagi,
alasan dana.
Hal ini akan diperparah lagi bila sumber daya manusia di lembaga yang
dipimpin belum seirama. Tidaklah mudah mengubah pola pikir dan etos kerja
birokrat yang kerap kali kurang inisiasi, apalagi bila berbenturan dengan
anggaran. Mau tidak mau, pemerintahan saat ini pun harus mensosialisasikan visi
dan misi pada pejabat birokrasi dari level tertinggi hingga terandah demi
membangun etos kerja yang seirama.
KIH v KMP
Fenomena kekinian dari konstalasi politik di gedung Dewan Perwakilan
Rakyat (DPR) telah menimbulkan dua kubu sebagai imbas secara langsung dari
dukungan saat pemilihan presiden dan wakil presiden lalu. Yang lebih ekstrim
lagi ialah Koalisi Indonesia Hebat (KIH) membentuk struktur baru DPR dengan
alasan tidak percaya dengan pemimpian DPR yang dikuasai Koalisi Merah Putih
(KMP).
Realitas politik di Senayan itu tentu akan berimbas pada kinerja pemerintahan
Joko Widodo-Jusuf Kalla. Pemerintah (eksekutif) akan kebingungan dalam
koordinasi dengan legislatif yang terpecah belah. Yang jelas, sikap apapun yang
menunjukan keberpihakan pada salah satu dari dua DPR itu akan menimbulkan
konsekuensi tersendiri. Padahal, DPR memiliki peran budgeting yang juga penting untuk merealisasikan program
pemerintahannya dan peran legislasi yang akan menentukan nasib perjalanan
negara; bukan nasib untuk sekelompok belaka.
Sistem demokrasi memang memungkinkan kekuasaan tidak hanya diisi oleh
seorang atau sekelompok saja. Kekuasaan bisa terbagi pada orang atau kelompok
lain untuk saling menjaga nilai etika politik demi mewujudkan cita-cita
bernegara. Kenyataan saat ini, ketika KIH berkeinginan agar alat kekuasaan
negara, dalam hal ini eksekutif dan legislatif, hanya milik KIH, maka hal itu
tidak sejalan dengan semangat demokrasi itu sendiri. Yang diperlukan adalah
komunikasi politik dari para elit partai untuk mencari solusi terbaik dari
persoalan tersebut.
Apabila konflik Senayang tidak kunjung usai, maka akan semakin
menyulitkan pemerintahan Joko Widodo-Jusuf Kalla dalam menjalan visi dan
misinya. Bahkan, ketika tidak ada konflik pun, masih tetap sulit juga karena
kuasa DPR dipimpin oleh kelompok lain (baca; KMP). Seprofesional apapun kabinet
yang dibangun, masih akan tersandung oleh prosedur itu sebagai konsekuensi dari
sistem tata negara yang berlaku di negara kita. Semangat kerja dari Kabinet
Kerja pun akan sulit terealisasi dalam tahun pertama pemerintahan Joko
Widodo-Jusuf Kalla.
NB: Tulisan ini dibuat sepekan usai pelantikan kabinet.