Tampilkan postingan dengan label Catatan. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Catatan. Tampilkan semua postingan
Senin, 29 Mei 2017
Teror itu Menghantui Dunia
Teror itu Menghantui Dunia
Oleh Abd. Rahman Mawazi
Mungkin kita sudah bosan mendengar kata teror. Bukan saja karena aksi itu begitu menakutkan dengan banyaknya korban berjatuhan, melainkan juga kerugian materiil yang tak terhingga. Motif dan tujuan toror-toror itu pun beraneka ragam, mulai dari masalah individual, ras, agama, ideologi, politik, ekonomi hingga pertahanan negara. Dari beragamnya motif tersebut sampai-sampai sulit untuk mengidentifikasi siapa aktor yang berkepentingan dibalik itu.
Walter Laqueur mengupas dengan jelas tentang terorisme itu. Melalui tragedi teror dunia pada dekade terakhir yang menelan banyak nyawa manusia diulasnya tanpa batas, bahkan dimulai dari sejarah munculnya terorime hingga terorisme modern. Menurutnya, terorisme adalah kekerasan, namun tidak setiap bentuk kekerasan adalah terorisme. Dan terorime tidaklah sama maknanya dengan perang sipil, perbanditan, atau perang gerilya.
Awalnya, terorisme merupakan aksi kelompok dengan jumlah kecil yang terjadi pada wilayah kecil pula. Namun, pada perkembangan selanjutnya aksi teror dilakukan untuk kepentingan-kepentingan kolektif hingga akhirnya menjadi sebuah gerakan menakutkan. Aksi bom bunuh diri dan pembunuhan massal, adalah bukti konkrik akan kengerian terorisme.
Pembunuhan masal yang dilakukan suatu kelompok memberikan pelajaran baru bagi kelompok lain yang ingin melakukan eksekusi melalui aksi terorisme sebagai jalan terakhir. Tak ayal, seringkali aksi-aksi terorisme diboncengi oleh ideologi yang mempengaruhi gerak langkah kelompoknya atas nama mempertahankan ideologi, kepentingan politik dan stabilitas nasional. Fanatisme ideologi—bisa jadi—membentuk kelompok terorisme.
Sejarah telah mencatat betapa besar jumlah kematian ketika terjadi perang dunia pertama dan kedua. Hal ini bukan lagi bersifat dalam tritorial suatu negara, melainkan lintas negara yang berhubungan dengan kepentingan politik dan ekonomi. Maka, pengguanan senjata berat yang mampu melumpuhkan musuh menjadi pilihan untuk meraih kemenangan. Hitunganya adalah kalah atau menang. Sudah pasti keinginannya ialah menang.
Akhirnya, diciptakanlah senjata canggih yang ampuh untuk menumpas musuh hingga takluk tanpa kata. Lahirnya bom atom, sebagai perkembangan persenjataan paling ampuh menumpas ratusan ribu jiwa manusia, seperti yang terjadi di Nagasaki, Jepang ketika perang dunia kedua, menjadi rebutan para penggila darah manusia. Masing-masing negara pun bersaing untuk melengkapi persenjataannya. Program nuklir dan roket dengan hulu ledak yang sangat dahsat, selalu terus dikembangkan. Alasanya, untuk mempertahankan keamanan negara. Bagaimanapun, senjata pemusnah massal menjadi bagian dalam menghantui dunia. Jika dahulu teror merupakan aksi yang hanya membahayakan daerah tertentu, kini dengan adanya senjata pemusnah massal masyarakat dunia harus terbayangi oleh betapa ganasnya senjata itu.
Aksi teror dunia masa kini bukan sembarang aksi. Segala tindak-tanduk dari kegiatan yang akan dilakukan telah terencana matang. Kecanggihan teknologi pun tak luput dijadikan sarana. Bahkan, bukan mustahil sebuah teror bentuk maya (cyberterrorism) menjadi sarana paling ampuh. Dan teror bukan saja terjadi didunia nyata, tetapi juga di dunia imajiner. Manusia begitu dihantui oleh teror-teror yang terselubung bersamaan dengan kemajuan zaman dan teknologi.
Sedemikian ngerinya, keberadaan manusia di muka bumi telah dihantui teror-teror yang tak jelas motifnya. Akan tetapi, bagaimanpun teror telah mengelilingi kehidupan kita, kehadirannya tidak dapat ditolak. Teror yang mungkin telah menjadi ideologi—meminjam istilah Abdullah Sumrahadi—bukanlah ide utopis. Sebab, serentetan aksi teror dunia dilakukan oleh kelompok (yang bahkan rela mati) dengan perencanaan matang. Teror telah menunjukkan realitas buruk.
Buku ini mengulas hasib tentang terorisme. Jika saat ini yang kita ketahui bahwa terorisme identik dengan agama (Islam), maka dengan membaca buku ini akan menemukan suatu yang lebih luas tentang terorisme itu. Beberapa aksi gerakan islam, seperti HAMAS, al-Qaedah, PLO (Palestine Liberation Organization) dan lain sebaginya memang merupakan bukti bahwa aksi tersebut dilakuakan oleh sebagian kelompok umat Islam, namun teror bukanlah semata-mata merupakan pekerjaan ‘biadab’ Muslim.
Bukan mustahil terorisme telah juga diboncengi oleh aksi-aksi gangstar dan kelompok kejahatan terorganisir, meski bukan berarti aksi terorisme identik atau menjadi gembong kejahatan terorganisir. Memang harus diakui, acap kali gerakan-gerakan terorisme berbarengan dengan aksi-aksi ilegal kejahatan. Sebab, sarana yang digunakan untuk meloloskan suatu usaha dalam mensukseskan agenda mereka yang paling efektif adalah praktek ilegal.
Yang menarik dari buku ini adalah data dan fakta yang disajikan. Analisa yang dilakukan oleh penulisnya, Walter Laqueur terhadap tragedi terorisme dibelahan dunia memberikan suatu gambaran utuh tentang terorisme yang telah berabad-abad eksis hingga hari ini. Bahakan, teror di masa yang akan datang justru lebih berbahaya dibandinggkan teror-teror yang ada sekarang. Pengembangan senjata-senjata biologis dan kimia serta kecanggihan teknologi adalah hantu terorisme dunia akan datang. Bisa jadi aksi-aksi teror bukan lagi dilakukan secara kolektif, melainkan kelompok yang lebih besar seperti negara atau yang lebih kecil hanya segelintir person. Tanpa kita sadari dan terlepas dari fanatisme, ternyata perkembangan sains dan teknologi turut menyuburkan perkembangan teror dunia.
Meskipun demikian, kita boleh saja berbeda pandangan dengan apa yang telah dipaparkan oleh Walter Laqueur, sebab kajian terhadap terorisme belumlah tuntas sampai disini. Masih banyak yang harus digali dibalik aksi menakutkan itu. Setidaknya buku ini menjadi sarana yang efektif menuju sebuah pamahaman tentang terorisme.
Minggu, 14 Mei 2017
Kaya di Tengah Kemiskinan
Judul: Orang Kaya di Negeri Miskin
Penulis: Eko Prasetyo
Penerbit : Resist Book
Cetakan : I, Juli 2005
Tebal : i-vi + 172 Halaman
|
Di negara padat penduduk, kemiskinan selalu menjadi problem. Sama halnya di Indonesia, di mana penduduk kelas menengah ke bawah merupakan mayoritas. Telah banyak usaha yang dilakukan oleh pemerintah dalam mengentaskan kemiskinan, seperti transmigrasi dan pembukaan lowongan kerja baru. Namun, usaha tersebut belum mampu membuahkan hasil signifikan. Kemiskinan justru semakin merajalela.
Kemiskinan acap kali diidentikan dengan kebodohan dan kemalasan. Dikatakan bodoh karena sebagian besar mereka berpendidikan rendah. Begitu juga kemampuan mereka ketika menyekolahkan anak-anaknya, hanya mampu pada tingkat pendidikan (maksimal) pertama, bahkan putus sekolah pada tingkat sekolah dasar. Dan dikatakan malas karena mereka hanya mampu menjadi pekerja kasar, semisal pemulung, kuli bangunan, tukang becak, pembantu rumah tangga, dan lainnya. Sehingga, mereka tidak memiliki rumah layak pakai, konsumsi makanan pas-pasan, tidak memiliki prabotan rumah, dan lainnya.
Sedang di lain sisi, fenomena minoritas orang kaya hidup berlimpahan harta benda, mampu memenuhi kebutuhan hidup, bahkan bisa bergota-ganti mobil mewah setiap bulan. Realitas minoritas yang sangat bertolak belakang dengan mayoritas. Di negeri ini, yang kaya selalu beruntung. Gambaran tersebut menjadi bahasan penting dalam buku "Orang Kaya di Negeri Miskin". Eko Prasetyo, penulis buku ini, membongkar fenomena kehidupan orang kaya dan realitas kehidupan orang miskin.
Sama halnya dengan orang miskin, orang kaya di negeri ini juga bertambah jumlahnya dalam setiap tahun. Jika orang miskin harus bekerja keras, peras keringat dalam memenuhi kebutuhan hidupnya, maka orang kaya hanya cukup dengan duduk santai sambil memegang pulpen atau membuat siasat dalam meng-goal-kan suatu peraturan yang sama sekali tidak menguntungkan rakyat. Ada juga yang membangun gurita perusahaan dengan mengupah buruh dengan sangat murah.
Selain pengusaha, pejabat adalah contoh Mereka merupakan pekerja di sektor pelayan publik dan pembuat kebijakan publik untuk mensejahterakan rakyat. Setiap kebijakan yang dilegalkan sangat bergantung pada mereka. Namun, sangat disayangkan bila kekuasaan yang dipegang disalah gunakan hanya untuk kepentingan sesaat, seperti yang terjadi pada kasus-kasus penggusuran dibeberapa kota besar.
Di beberapa kota terjadi peringkusan besar-besaran teradap beberapa orang yang berprofesi sebagai pengemis, pemulung, hingga pekerja seks komersial. Jika tukang becak dengan alasaan estetika tata kota, maka para pekerja seks komersial menjadi sasaran dengan alasan pemberantasan kemaksiatan. (hlm.138)
Yang lebih menyakitkan lagi, pembelian tanah dengan sistem “ganti rugi” selalu merugikan dan menimbulkan masalah. Dan tanah tersebut—seringkali—akan digunakan untuk pendirian mall, hypermarket, hotel, apertemen,, dan pabrik-pabrik yang memakan lahan cukup luas. Bagi masyarakat pinggiran—mau tidak mau—harus rela atas penjualan tanah pada para pemilik modal. Konsekuensinya dari hal ini akan semakin menelantarkan penduduk kelas menengah yang dengan keterpaksaan harus membeli tanah dan rumah baru dengan harga lebih mahal. Atau, jika mereka tidak terkena paksaan menjual tanahnya, terpaksa terkena limbah pabrik yang berdiri menjadi tetangganya.
Sungguh sangat berkuasa orang yang memiliki kekayaan dan kekuasaan. Dengan kekayaan semua keadaan dapat disulap menjadi seperti yang diinginkan. Dan “kebohongan-kebohongan” kekuasaan dilakukan tanpa tercium bau busuknya. Hidup ini memang tak selalu adil.
Gaya hidup (life style) orang kaya pun jauh berbeda dengan orang miskin. Misalnya, untuk perawatan badan orang kaya mengeluarkan jutaan rupiah agar postur tubuh tampak ideal, orang miskin hanya mampu mengandalkan karunia alamiah dari keberadaannya, hidup tanpa polesan kosmetik berlebihan dan berdandan seadanya. Begitu juga dengan kegemaran-kegemaran orang kaya, mulai dari refreshing akhir pekan sampai club-club pemilik kendaraan mewah. Keberadaan tersebut menjadi simbol pembeda status sosial. Kekayaan seakan memang perlu dilambangkan dan disimbolkan dalam aneka prilaku maupun bermanifestasi dalam mengkonsumsi barang. (hlm. 106)
Eksklusifisme kehidupan orang kaya telah menghadirkan selera konsumsi yang tinggi. Dan parahnya, kehidupan eksklusifisme dan konsumerisme marak menjadi impian mereka yang miskin. Demi berpenampilan eksklusif, mereka rela untuk mengeluarkan uang yang melebihi dari kebutuhan hidupnya. Budaya ini kini merajalela dikalangan masyarakat. Gaya hidup orang kaya dipraktekkan dengan penuh keterpaksaan hanya untuk memberikan kesan bahwa diera globalisasi gaya hidup harus berubah. Lagi-lagi si miskin, sebagai objek, terjangkit sindrom gaya hidup mewah.
Tradisi kekayaan yang berbasis pada keinginan untuk bersenang-senang dan enggan untuk berbagi menyiratkan kembali bentuk paling buram dari paras ketidak-adilan. Ketika di ranah kebijakan politik dan ekonomi rakyat miskin selalu dirugikan, maka pada ranah pendidikan pun demikian. Akibat tidak mampu membayar biaya pendidikan, para generasi penerus bangsa banyak yang meninggalkan bangku sekolah. Jangankan mendapat pendidikan yang layak, untuk bertahan di sebuah sekolah mereka harus pontang-panting. Kemiskinan memang menyengsarakan.
Melalui buku ini, Eko Prasetyo mengajak kita untuk melihat orang miskin dari sisi apa yang dimiliki ketimbang apa yang tidak dimiliki dan melihat kemampuan sosialnya (social capabilities). Sebab, dalam melihat orang kaya yang dijadikan patokan adalah juga tentang apa yang dimiliki. Oleh karena itu, paradigma yang digunakan dalam melihat orang miskin pun harus demikian. Dia berkeyakinan bahwa salah satu penyebab kemiskinan adalah keberadaan orang kaya yang belimpahan hartanya.
Dan secara tegas ia menyatakan bahwa kita harus menuding sistem dimana yang kaya akan terus-terusan berpeluang menumpuk kekayaan sedang si miskin akan terus-menerus mengalami penidasan. (hlm.167) Mungkin benar menjadi kaya bukan sesuatu yang keliru, tetapi menjadi masalah, ketika kekayaan tidak dibagi dan tidak diratakan. Karena kaya dan miskin adalah hukum alam.
Seperti pada beberapa karya Eko Prasetyo lainya, buku ini cukup menggugah dalam memberikan perspektif tetang perlawana terhadap penindasan, baik itu atas nama kebijakan-kebijakan pemerintah mauapun “perlawanan” terhadap globalisasi dengan sistem ekonomi neo liberal-nya yang hanya akan menghasilkan budaya konsumerisme. Data yang digunakan pun masih cukup relevan dan aktual dengan kondisi yang berkembang saat ini. Sehingga kita dapat dengan mudah menarik kesimpulan dari apa yang telah ditulisnya.
catatan:
Naskah di atas adalah tulisan 2005 lalu. Ini merupakan resensi saya atas buku yang ketika cukup hangat diperbincangan di kalangan mahasiswa. Mungkin, buku tersebut sudah tidak lagi diperjualbelikan. Bagi saya, tulisan ini sebuah nostalgia atas pengembaraan intelektual semasa fase pertama di Jogja (2002-2008). Terima kasih telah berkunjung ke blog saya ini.
catatan:
Naskah di atas adalah tulisan 2005 lalu. Ini merupakan resensi saya atas buku yang ketika cukup hangat diperbincangan di kalangan mahasiswa. Mungkin, buku tersebut sudah tidak lagi diperjualbelikan. Bagi saya, tulisan ini sebuah nostalgia atas pengembaraan intelektual semasa fase pertama di Jogja (2002-2008). Terima kasih telah berkunjung ke blog saya ini.
Jumat, 25 November 2016
Seni Budaya Lokal dalam Multikulturalisme
Multikulturalisme menjadi salah satu ciri khas bangsa
Indonesia. Multikulturalisme itu bisa dilihat dari banyaknya ragam budaya lokal
yang ada. Keragaman itulah yang menjadikan suatu identitas bangsa, bahwa ia
memiliki banyak potensi seni dan budaya yang dapat dijadikan salah satu warisan
peradaban manusia di bumi nusantara. Keragaman seni budaya itu dapat ditoleril
menjadi suatu kebanggaan tersendiri. Setiap provinsi minimal membunyai seni dan
budaya masing-masing yang menunjukkan identitas provinsi tersebut.
Namun, warisan seni dan budaya akan segera hilang musnah
ditelan zaman bila tidak dilestarikan. Moderenisasi menjadi alasan untuk
meninggalkan sebuah warisan yang mampu memberikan sumbangsih besar terhadap
bumi pertiwi ini. Sebagian besar dari penduduk Indonesia hanya menjadi penikmat
sejati (user). Untung, masih ada yang menikmati, bagaimana kalau tidak?
Sebenarnya, bila ada keinginan untuk mengembangkan seni dan
budaya lokal ini, niscaya akan menjadi sesuatu yang unik dan dapat menjadi aset
bangsa. Dalam artian, masyarakat Indonesia tidak hanya sekedar menjadi
penikmati tetapi juga mempelajarinya kemudian melestarikannya.
Banyak sekali potensi seni dan budaya nasional yang mampu
meraih prestasi internasional, hanya saja fasilatas untuk mengembangkan potensi
tersebut sangat minim. Disamping itu juga minat pemuda untuk mengembangkan
warisan budaya semakin sedikit. Generasi tua selalu menjadi tumpuan untuk
mengembang-kannya, lantas siapa yang akan mewarisi budaya ini?
Wayang misalnya. Banyak para pemerhati luar (asing) menaruh
perhatian pada seni yang satu ini. Karena keunikannya dan memang sulit untuk
melakukannya, wayang tidak dapat dipelajari oleh setiap orang, jangankan orang
luar daerah, masyarakat Jawa sebagai pemilik seni budaya ini saja belum tentu
bisa, apalagi masyarakat luar Jawa yang note bene bukan pewaris budaya. Akan
tetapi, karena keunikannya itu wayang telah berhasil memikat perhatian dunia
internasional melalui dalang Ki Manteb Soedarsono. Ia di undang ke Prancis
untuk mendalang di sana yang selanjutnya menerima anugrah penghargaan sebagai
salah satu budaya yang diakui dunia Internasional.
Ini menunjukkan bahwa seni dan budaya Indonesia, telah mampu
memberikan sumbangsih besar di dunia internasional. Oleh karena itu,
peluang-peluang internasional seperti ini tidak hanya menjadi milik satu
generasi saja, tetapi juga menjadi peluang bagi masyarakat dunia. Indentitas
budaya yang menasional seharusnya terus dilestarikan dan deikembangkan oleh
generasi-generasi penerusnya. Sehingga budaya lokal yang sudah diakui oleh
kalangan internasional tidak kehilangan indentitasnya yang sudah mendunia.
Tidak hanya seni budaya lokal yang kita miliki. Secara
historis, bangsa Indonesia sebelum kedatangan bangsa-bangsa dari Eropa menjadi
tempat persinggahan dan lahan pasar bagi para pedagang dari Timur Tengan dan
daratan Asia. Dan tak terelakkan, proses transformasi kebudayaan pun terjadi di
sini. Seperti kita lihat sekarang ini, banyak budaya yang ternyat merupakan
gabungan dua budaya, misalkan masjid Kudus yang mempuyai arsitektur budaya
masyarakat Hindu kala itu dan Timur Tengah. Salah satu warisan budaya yang
mampu menarik perhatian.
Selain itu, candi Borobudur merupakan salah satu dari tujuah
keajaiban dunia dan hal ini tidk bisa kita elakkan dari warisan budaya kita.
Dismping bangunan yang super besar, ada relief yang dapat memberikan suatu
jawaban atas hipotesa para peneliti untuk mengetahui sebuah kehidupan disaat
candi di bangun. Akankah kita mengingkari bahwa kita memilik sebuah potensi
internasional yang tanpa kita sadari.
Banyak usaha yang dilakukan untuk mengangkat nama Indonesai
di dunia internasional melalui seni dan budaya. Dan sumbangsih merekapun telah
mampu memberikan nama besar bagi Indonesia. Muammar misalnya, seorang qori’
(pembaca Al-Qur’an) pernah meraih peringkat Intenasional karena kemampuannya
dalam melantunkan ayat-ayat Al-Qur`an. Untuk pentas Qari` bertaraf
internasional ini selalu dimiliki oleh bangsa Indonesia dari setiap perlombaan
internasional.
Dalam seni lukis misalnya, tercatat Raden Saleh, Affandi, Amri
Yahya dan masih banyak lagi sebagai maestro dalam bidang seni. Karya-karya
mereka selalu dilirik oleh pemerhati seni dunia. Diakui atau tidak, kualitas
seni budaya kita telah mampu meyedot perhatian dunia internasional. Dan masih
banyak contoh-contoh lain.
Sebagai generasi muda tentu kita bangga dengan apa yang
telah mereka torehkan bagi bangsa Indonesia, namun akan lebih bangga lagi bila
kita sebagai generasi mudah mampu berkarya dan diakui oleh kalangan
internasional. Oleh sebab itu, prestasi internasional ini terus kita
pertahankan untuk tetap memberikan citra positif akan kesenian dan kebudayaan
kita. Harapan kita kedepan haruis ada lembaga swadaya masyarakat yang
memberikan perhatian penuh terhadap keberagaman budaya yang dimiliki bangsa
Indonesia.
Untuk terus mengembangkan dan melestarikan nudaya lokal itu
menurut penulis ada beberapa hal yang harus segera diperhatikan. Pertama,
memberi tempat untuk pengembangan. Tanpa mendapat suatu perhatian kusus sebuah
seni dan budaya akan mendapat perhatian, karena tanpa sokongan dari seluruh
elemen tidak mungkin akan tercapai suatu pelestarian. Kedua, memupukkan
nilai-nilai budaya lokal maupun nasional. Hal ini sebagai cinta akan kebudayaan
sendiri. Dan ketiga, mengembangkannya. Agar tidak monoton dan ketingglan dari
seni dan budaya modern perlu ada pengembangan lebih lanjut, dalam artian tidak
merusak nilai-nilai seni dan budaya leluhur.
Hal tersebut tidak akan pernah terealisir tanpa kepedulian
kita bersama, bahkan hanya menjadi angan-angan yang tak kunjung tercapai. Dan
akan terjadi suatu fregmentasi historis pewarisan budaya. Karenanya,
mempertahankan budaya sandiri merupakan suatu keharusan dan menerima budaya
luar selama sesuai dengan budaya kita bukanlah suatu larangan..
Dengan demikian seni budaya lokal maupun nasional akan terus
tetap menjadi minat untuk diperhatikan dan dipelajari, sehingga nilai-nilai
astetika yang terkandung didalamnya senantiasa dapat dinikmati oleh generasi
seterusnya. Dan bukan mustahil dengan kekesenia dan kebudayaan tersebut indonesia
semakin mampu meraih peluang prestasi internasional.
Ini adalah tulisan lama, sekitar 2004 silam.
Kamis, 17 November 2016
Agama Melawan Budaya Korupsi
Indonesia dikenal sebagai
bangsa religius sekaligus bangsa terkorup. Predikat religus semestinya tidak
bergandengan dengan predikat korup, karena agama mengajarkan nilai-nilai moral
fundamental. Agama mana pun, khususnya Islam, mengutuk tindakan korupsi dalam
bentuk apapun, sebab bertentangan dengan nilai-nilai universal agama: prinsip
keadilan, akuntabilitas, dan tanggung jawab. Intinya, agama-agama bertujuan
memperbaiki moralitas manusia.
Ilustrasi kartun gerakan anti korupsi dari markuni.com |
Dalam Islam, korupsi dengan
segala dampak negatifnya yang menimbulkan berbagai distorsi terhadap kehidupan
negara dan masyarakat, dapat dikategorikan perbuatan fasad atau
merusak tata kehidupan di muka bumi, yang juga amat dikutuk oleh Tuhan. Bagaimana tidak, akibat
korupsi, Indonesia mengalami krisis ekonomi yang berdampak pada dimensi-dimensi
lain, seperti politik, sosial, dan budaya. Dimensi-dimensi itu berakibat pula
keterbelakangan, kemiskinan, kebodohan, pengangguran, dan tingginya tingkat
kriminalitas.
Memang, tidak ada kajian
empiris tentang pengaruh agama terhadap praktik korupsi. Azyumardi Azra (2004)
menyimpulkan bahwa tinggi rendahnya tingkat korupsi tidak banyak terkait dengan
agama, melainkan lebih terkait dengan tata hukum yang jelas dan tegas yang
diiringi penegakan hukum berat terhadap para koruptor. Pendapat Azyumardi Azra ini diperkuat dengan
hasil survei International Country Risk Guide Index (IRCGI). Menurut IRCGI,
sejak 1992 hingga 2000, indeks korupsi di Indonesia terus meningkat dari
sekitar tujuh menjadi hampir sembilan (pada 2000). Kecendrungan yang sama juga
terjadi di Rusia, yang mayoritas penduduknya Kristen, dengan indeks hampir
sembilan pada 2000.
Negara-negara manyoritas
berpenduduk muslim yang lain, seperti Pakistan, Banglades, dan Nigeria juga
memiliki indeks korupsi amat tinggi, rata-rata di atas tujuh. Begitu juga
dengan negara-negara berpenduduk Kristen, seperti Argentina, Meksiko, Filipina,
atau Kolombia yang indeks korupsinya juga di atas tujuh. Bahkan, Thailand yang
mayoritas penduduknya Budha, indeks korupsinya juga hampir mencapai delapan.
Sementara itu, ada negara
lain, yang meyoritas beragama Islam, seperti Iran, Arab Saudi, dan Malaysia
dengan angka korupsi yang jauh lebih rendah dibandingkan Indonesia atau
Pakistan. Juga ada negara mayoritas Kristen seperti Amerika Serikat, Kanada, atau
Inggris dengan indek korupsi dibawah dua.
Kenyataan ini menunjukkan
bahwa agama dan keberagamaan adalah dua hal yang berbeda. Kesalehan individual
belum tentu membawa kesalehan sosial dan profesional. Begitu banyak orang yang
dianggap alim dan saleh justru berbuat korupsi. Begitu juga orang yang rajin
sembahyang tidak berarti bersih dari korupsi.
Kita tidak perlu pesimis,
seolah-olah agama tidak mampu mendorong antikorupsi. Bukan agama yang gagal,
melainkan tokoh dan penganut agama itu yang belum memaknai agama secara tepat.
Sebab, agama-agama tidak membenarkan kejahatan, ketidakjujuran, dan segala
bentuk amoralitas sosial. Agama-agama mengajarkan moral mulia, budaya malu,
kukuh dalam kebaikan, gaya hidup sederhana, etos kerja tinggi, serta orientasi
pada kemajuan dan prestasi.
Namun, ajaran tersebut
belum terejawantahkan dalam kehidupan keseharian. Karena itu, pemahaman umat
atas agama harus diarahkan pula untuk mampu merumuskan apa yang dinamakan
"kemungkaran-kemungkaran sosial"—meminjam istilah Zuly Qodir—sebagai
bentuk kekafiran baru atau kekafiran modern, termasuk korupsi.
Penafsiran agama yang
harfiah, tekstual, dan kaku seperti doktrin takdir bahwa Tuhan menentukan
segalanya dan manusia cuma nrimo apa adanya, membawa
keberagamaan yang pasif dan tidak leberatif. Agama sebatas bersifat formal, padahal
pada saat yang sama pembusukan moral sedang terjadi.
Bagaimana mengobyektifkan
agama sehingga ia berperan positif terhadap upaya pemberantasan budaya korupsi?
Apabila pendekatan politik dan hukum lebih bersifat represif—meski juga
bersifat preventif—dalam pemberantasan korupsi, maka agama berlaku lebih pada
level preventif. Timbul anggapan, undang-undang anti korupsi dengan sendirinya
akan menjamin penanggulangan korupsi. Padahal hukum kurang menyentuh tataran
preventif. Siapa yang dapat menjamin gerak-gerik seseorang setiap detik
diperhatikan aparatur hukum?
Agama, dalam konteks
demikian, memosisikan dirinya sebagai bimbingan dan kontrol transendental
(Ilahi). Bahwa penganut agama seharusnya merasa dikontrol oleh Zat Yang
Mahatahu kapan pun dia berada. Selain itu, agama umumnya mengajarkan kehidupan
sesudah mati. Bahwa meski tindakan korupsi yang dilakukan di sini sempat lepas
dari pengawasan manusia, pengadilan di kemudian akhir (akhirat) tidak akan
melepaskannya. Keberagamaan yang subtantif semacam inilah yang dapat mencegah
penganut agama dari tindakan korupsi. (Muhammad Ali, 2000).
Gerakan antikorupsi yang
digalang ormas keagamaan, seperti Muhammdiyah, NU, Persis dan yang lainnya,
pada hakikatnya adalah perlawanan budaya terhadap kejahatan korupsi yang sudah
sedemikian parah. Tujuan perlawanannya ialah mengaktualkan kembali kehendak
untuk hidup halal yang diajarkan agama (Islam) sebagai habitus tandingan.
Dan bagi NU sendiri,
gerakan antikorupsi menjadi bagian dan kesinambungan dari Gerakan
Mabadi’ Khaira Ummah yang merupakan langkah awal pembentukan umat yang
terbaik yang membawa rahmat untuk semua, yaitu umat yang mampu melaksanakan
misi al-amru bi al-ma’ruf dan an-nahyu an al-munkar. wallahu'alam.
Senin, 14 November 2016
Memotret Geliat Konsumerisme Metropolitan
Setiap kali pergi ke mall, kita seringkali melihat pemandangan sekelompok anak muda dan atau sepasang anak cucu Adam dan Hawa yang sedang menikmati suasana keramaian mall, dan tidak sedikit pula sekelompok keluarga yang turut meramaikan pula. Cobalah mulai sekarang Anda tidak hanya melihat sekadar itu. Beranikan diri untuk menjadi seorang peneliti walau kelas kacangan, dan Anda akan menemukan apa yang sebenarnya terjadi.
Pesatnya perkembangan mall dan pusat perbelanjaan serupa telah menghadirkan suatu fenomena baru. Mall sekarang tidak hanya menjadi tempat transaksi jual beli (leizur feilure). Mall malah memperluas fungsi raiso de etre-nya tersebut menjadi tempat rekreasi, media ekspresi ego, dan media hegemoni. Orang – terutama anak muda – pergi ke mall bukan lagi didorong oleh keinginan untuk membeli apa yang dibutuhkan (need), tetapi apa yang diinginkan (want).
Suasa berbelanja di suatu pusat perbelanjaan. Foto tribunnews.com |
Aktifitas membeli berdasarkan kebutuhan akan berhenti jika telah terpenuhi. Namun dengan pertimbangan ingin, aktifitas membeli tidak akan ada ujungnya kecuali bila hasrat itu telah meredah, padahal hasrat manusia tidak akan ada habisnya. Setiap kali ada “yang baru”, hasrat itu akan muncul.
Semetara itu, kekuatan hegemoni kapital tidak akan pernah kehabisan akal untuk melakukan perubahan. Tidak satu menit pun dilewatkannya untuk menemukan sesuatu yang baru. “Inovasi tanpa henti” yang didukung oleh “hasrat tanpa henti” ini menjadi arena bagi keberlangsungan hegemoni tadi. Empu jargon yang pertama semakin perkasa, sedangkan yang kedua merelakan dirinya menjadi “pelayan” yang siap melayani kapan saja—untuk mengatakan konsumen setia.
Dalam rangka melangsungkan hegemoninya, kaum kapitalis ini tidak hanya melakukan pencarian inovasi baru yang siap menggempur pasar, tetapi juga diciptakannya mitos-mitos yang disandarkan pada kepentingan mereka, seperti mitos kecantikan dan kegantengan, trandy, funky, serta modis. Naomi Wolf, seorang peneliti dari Amerika dalam Mitos Kecantikan (2004), menyebutkan bahwa kehadiran kontes kecantikan, betis indah, tubuh ideal, dan sebagainya merupakan salah satu perpanjangan imprealisasi dari para kapitalis. Orang disebut cantik bila menggunakan lipstik ini dan bedak itu.
Sebutan trandy, funky, dan modis kemudian hanya diperuntukkan bagi mereka yang menggunakan pakaian bermerek tertentu—dengan mode setiap kali berubah dalam waktu yang cepat—yang trend-nya sengaja diciptakan. Orang yang mengikuti perubahan itu akan disanjung dengan sebutan modern, sedangkan bagi yang tidak ikut serta dianggap ketinggalan zaman. Kata modern kemudian beralih menjadi modernisme yang lebih berbau ideologis. Banyaknya barang hasil produksi di pasaran telah mengubah pola konstruksi kehidupan masyarakat. Masyarakat merasa cukup dan puas dengan mengkonsumsi, yang sekaligus mengeliminir potensi dirinya sendiri untuk memproduksi. Tanpaknya adigium Descartes, “aku berpikir maka aku ada”, dapat dipreteli menjadi “aku mengkonsumsi maka aku ada”. Walhasil, keberadaan masyarakat ditentukan oleh kemampuan mengkonsumsi, dan disitulah tercipta apa yang disebut dengan “masyarakat konsumtif”.
Dari sini timbul pertanyaan mengapa tingkat konsumsi begitu tinggi, sampai-sampai tercipta masyarakat konsumtif? Muhammad Syukri (2004) menyebutkan minimal ada dua kekuatan yang mempengaruhi prilaku konsumsi. Pertama, kekuatan kapitalis atau produsen. Banyaknya modal (capital) yang dimiliki oleh kapitalis memungkin untuk mendirikan perusahaan-perusahaan besar (the large corporate) di berbagai belahan dunia. Munculnya perusahaan besar ini bukan hanya untuk memenuhi kebutuhan produsen, tetapi untuk mendapatkan hasil (laba) yang sebesar-besarnya. Karena itu, sistem produk mengikuti pola over-produksi, yaitu usaha untuk memproduksi barang sebanyak-banyaknya.
Kedua, kekuatan media. Media, terutama media elektronik seperti telivisi (TV), sangat berguna untuk memasarkan semua produk kepada masyarakat luas. Kekuatan media bukan hanya kemampuannya melipat dunia menjadi sepetak gambar yang dapat dijangkau dengan sekejap waktu, tetapi pada kekuatan hegemonik yang memperngaruhinya. TV, meminjam bahasa Baudrillard, meyelenggarakan simulasi. Simulasi itu pada hakekatnya tidak mencerminkan realitas sesungguhnya, melainkan dicitrakan dengan realitas yang menditerminisi kesadaran kita. Itulah yang kemudian disebut dengan hypper-reality (realitas semu). Pecitraan yang dihadirkan oleh TV mempengaruhi kesadaran masyarakat sehingga prilakunya diatur oleh simulasi-simulasi yang ditampilkan. Akibatnya, masyarakat terjebak pada prilaku konsumerisme yang banyak diintrodusir oleh TV.
Demi nilai sosial Masyarakat modern yang lebih dicirikan dengan masyarakat konsumsi (consumer sociaty) membeli sesuatu bukan dikarenakan kebutuhan melainkan lebih disebabkan oleh keinginan yang bersumber pada nilai prestise di masyarakat. Carl Gustave Jung mengungkapkan bahwa pada tingkat tertentu ada yang membedakan proses konsumsi dalam masyarakat, yaitu innermotivate. Menurutnya, innermotivate adalah sebuah dorongan, hasrat dan rangsangan yang bersemayam dalam diri manusia yang mengendalikan actus (tindakan) seseorang.
Dalam masyarakat pedalaman, yang taraf kehidupannya menengah kebawah, motif itu merupakan kebutuhan dasar yang sama sekali tidak terpengaruhi oleh tingkat dan jenis produksi. Mereka membeli barang untuk memenuhi fungsi utilitas bukan yang lainnya. Lain halnya dengan kebanyakan kaum “kaya” kota, mereka membeli barang demi pelampiasan keinginan dan hasrat membeli yang nyata-nyata dipengaruhi oleh tingkat dan jenis produksi. Dan pilihan terhadap jenis-jenis tertentu sangat dipengaruhi oleh nilai-nilai sosial dari pada nilai pakai. Mereka tidak lagi mengkonsumsi objek, namun makna-makna sosial yang tersembunyi di dalamnya.
Sebagai contoh, sekarang orang membeli ponsel bukan ditentukan oleh nilai guna untuk memudahkan berkomunikasi, tetapi ditentukan oleh fasilitas-fasilitas lainnya yang tidak begitu penting yang bersifat komplementer. Orang yang memegang HP dengan fasilitas lengkap—dan tentunya mahal—akan menandai status, kelas, dan simbol sosial tertentu. Contoh lain, orang yang mengendarai mobil BMW, Mercy, Roll Royce, dan Volvo berbeda dengan orang yang mengendarai Carry, Espass, dan L 300 dalam prestise nilai sosialnya.
Keberadaan demikian semakin tampak jelas dalam masyarakat kota di Indonesia, yang artinya budaya konsumerisme akan semakin merasuki pola hidup masyarakat. Lambat laun, seiring dengan era perdagangan bebas, kehadiran mall—yang selalu bergandengan hypermarket—juga akan menggilas pasar-pasar tradisional.
Jumat, 28 Oktober 2016
Menggali (lagi) Semangat Kaum Muda
Dipenghujung
Oktober 1928 silam, sejumlah pemuda dari Jong Java, Jong Sumatera Bond,
Jong Ambon, Jong Batak, Jong Celebes, Jong Islameiten Bond, dan lain
sebagainya berkumpul memikirkan keberadaan dan nasib bangsanya.
Pertemuan yang digagas oleh Perhimpunan Pelajar-pelajar Indonesia itu
merupakan pertemuan kedua kalinya. Setelah
mereka mengadakan pembahasan, mereka sampai pada satu kesimpulan, bahwa
jika bangsa Indonesia ingin merdeka, bangsa Indonesia harus bersatu.
Untuk itu mereka bersumpah yang terkenal dengan nama Sumpah Pemuda yang
diikrarkan pada akhir kongres, yaitu pada tanggal 28 Oktober 1928.
sumpah itu berbunyi:
Kami
putra dan putri Indonesia, mengaku berbangsa yang satu, bangsa
Indonesia.
Kami putra dan putri Indonesia, mengaku bertanah air yang
satu, tanah air Indonesia.
Kami putra dan putri Indonesia, menjunjung
bahasa persatuan, bahasa Indonesia.
Ilustrasi semangat kaum muda. Sumber athanjp.blogspot.co.id |
Tanggal tersebut cukup bertuah dan bersejarah bagi bangsa Indonesia, hingga kemudian ditetapkan sebagai Hari Sumpah Pemuda. Sumpah Pemuda menjadi motivasi untuk merdeka dari belenggu penjajahan Belanda. Sumpah Pemuda adalah virus bagi persatuan dan vitamin bagi spirit patriotisme yang mampu menggugah rakyat di setiap penjuru negeri. Karena itu, Sumpah Pemuda menjadi salah satu di antara berbagai landasan pilosofi bagi kebangkitan nasional kita, dan merupakan nilai yang sangat fundamental bagi persatuaan bangsa dan negara kita. Seperti halnya Hari Pahlawan 10 November, Pancasila dan Bhinneka Tunggal Ika. Dari sanalah nasionalisme Indonesia mencapai puncaknya, yakni hanya mengenal satu kata INDONESIA.
Di saat rapat akbar itu pula diperdengarkan lagu Indonesia Raya karya Wage Rudolf Supratman untuk pertama kalinya. Lagu tersebut disambut dengan sangat meriah oleh
peserta kongres. Sumpah Pemuda dan lagu Indonesia Raya semakin membakar
semangat api persatuan dan perjuangan. Sejak
itu pulalah muncul tokoh-tokoh pemuda antara lain, Mr. Moh. Yamin, Drs.
Moh. Hatta, Sutan Syahrir, Ir Soekarno, Ali Sostroamidjojo, Mr.
Sjarifuddin, Nasir Datuk Pamuntjak, Moh. Natsir, Mr. Moh. Room dll.
Sudah sekian tahun peristiwa bersejarah itu berlalu. Buah dari ikrar tersebut
menghantarkan Indonesia pada kemerdekaannya. Sumpah Pemuda telah menjadi
pilar pemersatu bangsa. Karena itu, kita wajib mengejewantahkan
cita-cita para pencetus sumpah itu. Namun, realitas perjalanan bangsa
yang melanda negeri kita dalam beberapa tahun terakhir ini rasanya
berjalan terbalik. Jika dulu orang rela dan berani berkorban demi bangsa
dan tanah air, kini justru makin banyak yang justru mengorbankan bangsa
dan tanah air.
Pada
titik ini, semangat patriotik bergeser menjadi depatriotik. Makna
sumpah itu bagai terganjal batu besar sehingga sumpah tersebut seakan
terhenti mengarusi jiwa dan semangat bangsa ini. Akibatnya, Indonesia
sebagai sebuah bangsa dan tanah air kini bukannya makin berjaya, tetapi
justru terkoyak. Gejala depatriotik dan denasionalis ini memang
seharusnya lebih dini diantisipasi agar bangsa dan tanah air kita tak
makin terkontaminasi dan terpuruk.
Lihatlah
praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN) yang telah membawa bangsa
pada keterperosokan ekonomi, politik, dan sosial. Korupsi seolah menjadi
konsensus terselubung yang terjadi pada pemerintahan di hampir semua
lebel, dari yang terendah hingga tertinggi. Para koruptor, yang
kebanyakan adalah pejabat negara, lupa bahwa negara ini dibangun oleh
kerja keras dan pengorbanan para pejuang. Mereka juga lupa bahwa setelah
mereka akan ada anak cucu yang akan menjadi generasi penerus mereka.
Pemuda dan Cita-cita Bangsa
Sejarah
telah menunjukkan kepada kita bahwa pemuda memainkan perenan penting
dalam pembangunan bangsa. Pelopor kongres yang melahirkan Sumpah Pemuda
adalah pemuda, yang mendorong Soekarno agar segera memroklamsikan
kemerdekaan Indonesia juga pemuda, bahkan yang mendalagi gerakan
reformasi juga pemuda. Betapa strategis peranan pemuda dalam pembangunan
bangsa ini. Tak heran bila pemuda selalu disebut sebagai agent.
Bila
demikian, pemuda adalah generasi yang menentukan ke arah mana bangsa
ini akan dibawa. Sehingga, sangat tepat dikatakan bahwasanya dunia
pemuda selalu dipenuhi dengan mitos-mitos panjang yang pada akhirnya
akan menjebak pemikiran idealis pemuda pada fase-fase stagnan dan bahkan
tak jarang terjerumus dalam pemikiran-pemikiran pragmatisme oportunis.
Hanya pemuda yang berjiwa papilon yang mampu bebas dari pragmatisme
maupun materialisme.
Untuk
itu, pemuda membutuhkan integritas, intelegensia, dan moralisme yang
mumpuni agar cita-cita bangsa tercapai. Dalam pengamatan penulis, pemuda
Indonesia saat ini rentan terhadap pengaruh buruk globalisasi, cendrung
bersikap pragmatis dan oportunis, serta terlena dengan romantisme masa
lalu, sehingga dikhawatirkan akan mengancam semangat persatuan dan
kesatuan bangsa. Padahal, pemuda juga merupakan pewaris bangsa. Dan, mau
tidak mau, pemuda harus mendefinisikan dirinya sebagai generasi pelanjut dan pengemban cita-cita bangsa.
Saat
ini, generasi muda Indonesia, yang juga terdiri dari pelajar dan
mahasiswa, berjumlah sekitar 78 juta jiwa dari seluruh jumlah penduduk
Indonesia–lebih dari 210 juta jiwa. Jumlah tersebut terhitung tidak
sedikit, terlebih jika dipandang sebagai usia produktif yang potensial
berpengaruh secara positif dan juga bisa secara negatif dalam lingkup
pergaulan masyarakat Indonesia untuk saat ini dan ke depan.
Secara
kuantitatif maupun kualitatif, pemuda menjadi strategis dan urgen untuk
dipersoalkan dalam kaitannya dengan sejumlah persoalan bangsa yang saat
ini semakin kompleks mendera masyarakat Indonesia. Secara kualitatif,
sesosok pemuda memiliki posisi strategis, karena merupakan kumpulan
potensi yang sedang dalam proses mencari dan mengukir identitas diri.
Biasanya,
sosok pemuda senantiasa dilekatkan dengan ciri karakter yang kritis,
progresif, radikal, idealis, dan anti kemapanan untuk perubahan masa
depan yang lebih baik. Hanya saja, tidak selamanya ciri ideal seperti
tersebut akan senantiasa melekat pada sosok pemuda, kapan dan dimana
saja mereka berada. Tidak jarang, pada situasi dan kurun waktu tertentu,
kita melihat kehadiran pemuda hanya sebagai pelengkap obyek penderita
dan tidak sanggup menjadi subyek pelaku utama dari sebuah situasi yang
mengharapkannya.
Harus
diakui, medan perjuangan yang serba kompleks dalam mengisi kemerdekaan
ini, menjadikan peran pemuda perlu lebih diorientasikan secara egaliter
untuk memperkuat nilai keadilan dari setiap kebijakan dan program
pembangunan negara. Loyalitas dan dedikasi posisi pemuda harus tetap
berdiri tegak di atas nilai kebenaran dan keadilan. Karena apa pun
alasannya, fenomena kepemudaan kini—untuk menyebut pemuda yang telah
memiliki sedikit pendirian—relatif “termaterialisasi” di berbagai arena
penyelenggaraan negara sehingga dangkal dan mandul tak berdaya dalam
arus politik pragmatis. Kekhawatiran ini menyeruak karena harapan puncak
kita adalah bagaimana perjuangan pemuda dapat menggilas penyelenggaraan
negara yang serba korup, misalnya, dari sekian banyak masalah
kebangsaan lainya.
Nah,
semoga momentum Hari Sumpah Pemuda tahun ini dapat dijadikan salah satu
nafas dalam rangka merapatkan dan mengkonsolidasikan kembali barisan
pemuda untuk berjuang mewujudkan cita-cita dari funding futher
bangsa, tentunya dengan mengisi hari-hari muda dengan hal-hal positif
dan progresif. Ini sesuai dengan tema pemerintah pada peringatan Sumpah
Pemuda tahun ini, "Meningkatkan Solidaritas, Integritas, dan Profesionalitas Pemuda menuju Bangsa yang Sejahtera dan Bermartabat". Semoga!
Selasa, 14 Juli 2015
Prinsip Kemashlahatan Zakat
Perintah menunaikan zakat disebut dalam Al-Qur’an sebanyak 32
kali, bahkan diulang 82 kali sebutannya dengan memakai kata-kata yang sinonim
dengannya, yakni sadekah dan infak. Pengulangan tersebut mengandung maksud
bahwa zakat mempunyai kedudukan, fungsi dan peranan yang sangat penting. Zakat
memiliki kekhususan karena pelaksanaannya merupakan implementasi rukun Islam.
Salah satu penyebab diperintahkanya zakat, selain sebagai bentuk pengabdian
kepada Allah, adalah dikarenakan sering terjadinya kesenjangan sosial pada
masyarakat Arab kala itu. Zakat merupakan rukun Islam yang kental dengan
dimensi sosial.
Dalam pemerintahan Islam, zakat merupakan salah satu pemasukan
resmi bagi kas negara, selain fa'i, kharaj, dan jizyah.
Pemerintah berkewajiban memungut, mengelola, dan mendistribuskannya (QS 9:103)
karena ia telah diamanahkan untuk mewujudkan kesejahteraan sosial (QS 4:59)
yang selalu bermuara pada prinsip keadilan, kemerdekaan dan kesetaraan di
hadapan hukum yang menunjang terjadinya harmonisasi kehidupan bermasyarakat.
Keadilan sosial dalam Islam, misalnya, tidak mengharuskan agar
setiap orang mempunyai tingkat kemampuan ekonomi yang sama dan terhapusnya
kemiskinan dalam masyarakat, tetapi menciptakan suatu kondisi masyarakat yang
harmonis dan dinamis, rendahnya jurang pemisah antara si kaya dan si miskin,
dan hilangnya faktor-faktro penyebab rendahnya produktivitas, pertumbuhan dan
pengembangan potensi sumber daya manusia dan alam.
Karena Zakat = Pajak
Dalam konteks saat ini, khususnya di Indonesia, sumber pendanaan
negara hanya meliputi zakat, kharaj, dan jizyah. Sumber-sumber tersebut dalam
istilah sekarang disebut pajak. Masdar F. Mas’udi menyebutkan, dalam istilah
teknis syari’at, pajak atas warga negara yang muslim disebut “zakat”, atas
warga negara nonmuslim disebut “jizyah”. Jadi, pendapatan negara bersumber pada
dua kelas. Pertama pendapatan religius, yakni pajak yang dibebankan kepada kaum
muslim, berupa zakat dan pajak tanah (usr), dan lainnya. Kedua,
pendapatan sekuler, yakni pajak yang dikumpulkan dari orang nonmuslim. Masuk
dalam kategori ini ialah jizyah, pajak untuk mendapatkan hak milik kharaj,
pajak atas hasil tanah, dan pajak terhadap para pedagang nonmuslim.
Maka, uang negara (bait al-mal) merupakan pajak yang
dipungut dari rakyatnya dan investasi lainnya yang tidak dimiliki secara
indiviudal. Fungsi kas negara tersebut (1) ditujukan untuk pembayaran
kebutuhan negara, seperti untuk membayar gaji pegawai dan tentara, membeli
peralatan persenjataan, dan sebagainya. Dan (2) ditujukan untuk kepentingan
umum dan fasilitas umum, seperti bantuan bagi kaum duafa', pembuatan jalan
raya, jembatan dan lain sebagainya.
Uang negara, dengan demikian, pada hakekatnya ialah uang Allah
yang diamanahkan pada negara untuk didistribusikan sebesar-besarnya bagi kesejahteraan
umat tanpa diskriminasi apapun. Satu rupiah dari uang pajak—juga setiap
titik-titik kekuasaan yang dibiayai degan uang negara—harus
dipertanggungjawabkan kepada Allah (di akhirat) dan kepada rakyatnya (di
dunia). Maka, segala praktik yang merugikan keuangan negara, seperti korupsi,
merupakan perbuatan yang melanggar syari'at dan setiap kuam muslim khususnya
dan masyarakat umumnya berkewajiban memerangi korupsi dan menganggap sebagai
musuh bagi kemanusiaan. Sedangbaitul mal atau lembaga serupa lainya
ialah untuk mengoptimalkan pengelolaan zakat.
Di negara kita, telah ada undang-undang yang mengatur tentang
pengelolaan zakat, yakni UU no. 38 Tahun 1999. Undang-undang tersebut menjadi
landasan yuridis bagi pengelolaan zakat yang secara nasional potensi
per-tahunya mencapai Rp20 triliun. Namun sayangnya, keberadaan UU tersebut
masih seperti tiada saja (wujuduhu ka adamihi). Badan Amil Zakat sebagai
lembaga resmi pemerintah dan lembaga zakat profesional lainya baru mampu
menghimpun Rp 900 miliar saja.
Padahal, keuntungan penanganan zakat oleh pemerintah atau lembaga
independen lainnya anatara ialah (1) wajib zakat dan pajak akan lebih disiplin
dalam memenuhi kewajiban, dan kaum fakir miskin lebih terjamin haknya, (2)
perasaan fakir miskin lebih dapat dijaga sebagai pemilik hak, tidak seperti
meminta-minta, (3) pembari zakat atau pajak akan lebih tertib, (4) zakat atau
pajak yang diperuntukkan bagi kepentingan umum akan lebih karena pemerintah
lebih mengetahui sasaran pemanfaatannya. (M. Daud Ali:1988)
Sasaran Distribusi
Memang, semetinya distribusi keuangan negara yang diperolah dari
pajak (zakat) diarahkan untuk kesejahteraan yang terepresentasikan dalam
delapan golongan sebagaimana disebutkan dalam QS. At-Taubah (9):60, “Innama
al-shadaqaat li al-fuqara' wa al-masaakin wa al-'amiliin alaiha wa
al-mu'allafah qulubihim wa fi al-riqab wa al-ghamiriin, wa fi sabil Allah wa
ibn sabiil faridhah min Allah”. Kedelapan gologan tersebut memang orang
yang berhak menerima zakat, namun kedelapan golongan tersebut telah
merepresentasikan kaum yang perlu mendapatkan perhatian dan bantuan dari
pemerintah, baik dari zakat maupun pajak lainnya. Selain zakat, sebagain besar
ulama mengharuskan pemerintah mengelola pajak.
Dalam konteks kemasyarakatan dan kenegaraan modern saat ini,
menurut Masdar F. Mas'udi, yang termasuk fuqara' atau kaum
fakir ialah rakyat papa dengan pengasilan jauh dari kebutuhan. Kemudian yang
termasuk masakin atau kaum miskin adalah orang-orang yang
pengasilannya sedikit lebih baik daripada kaum fakir tapi masih di bawah
ketentuan wajar. Sedangkan amilin berarti kebutuhan rutin
(gaji oprasional) depertemen keuangan dan parat depertemen teknis sebagai
pemasok barang-barang publik (publik goods). Dan mu’allaf qulubuhum,
dalam kontek negara-kebangsaan, diarahkan pada program rehabilitasi sosial
terhadap para narapidana, pengguna obat terlarang (narkoba), atau masyarakat
terasing yang masih hidup di hutan-hutan.
Adapun yang masuk dalam pengertian riqab (budak)
ialah kaum buruh yang teraniaya, atau masyarkat terasing yang tengah berjuang
memerdekakan dirinya. Sementara gamirin atau orang yang
terbelit hutang antaranya meliputi pembebasan utang para petani yang terkena
puso dan atau pedagang yang bangkrut karena faktor-faktor yang benar-benar
berada diluar kemampuan mereka. Fi sabilillah diartikan
sebagai kemaslahatan umum yang bersifat fisik seperti jalan, bangunan-bangunan
publik, dan semua sara umum yang diperuntukkan bagi kepentingan orang banyak,
maupun yang bersifat nonfisik seperti biaya pertahanan-keamanan negara/rakyat,
ketertiban masyarkat, penegakan hukum, pengembangan ilmu
pengetahuan-seni-kebubudayaan, dan semua sektor yang kemashlahatannya kembali
pada kepentingan umat manusia. Sedangkan ibn sabil dalam kontek sekarang berarti
para pengungsi, baik karena bencana alam maupu bencana politik.
Dengan demikian, pengelolaan zakat tidak hanya bersifat jangka
pendek sebagaimana yang telah menjadi kebiasaan selama ini—menyalurkannya pada
malam Idul Fitri. Oleh sebab itu, adanya Lembaga seperti Badan Amil Zakat
Nasional (Baznas), Lembaga Amil Zakat, Rumah Zakat Indonesia, dan lainnya cukup
membantu dalam pelelolaan yang bersifat jangka panjang, misalnya bantuan bea
siswa. Penulis berharap, pontensi zakat yang mencapai Rp 20 triliun pertahun
tersebut dapat dimaksimalkan dan pengelolaan serta penyalurannya lebih tepat
guna, yakni mampu menghilangkan faktor-faktor penyebab rendahnya produktivitas
ekonomi dan keterbelakangan pendidikan. Semoga saja potensi zakat yang berhasil
dihimpun tidak bernasib sama dengan kas negara lainnya—untuk mengatakan selalu
banyak yang dikorupsi dan tidak tepat guna. wa Allah a'lam.
Minggu, 23 November 2014
Profesional Tersandung Prosedural
Sepekan sudah Kabinet Kerja Joko Widodo-Jusuf Kalla dilantik. Dari nama serta simbol yang ditunjukan pada saat pengumuman kabinet itu—berbaju putih dengan lengan disingsingkan—setidaknya sudah mencerminkan semangat kerja. Apalagi komposisi menterinya diklaim berimbang antara kalangan politisi [profesional] dan profesional [murni]. Namun, akankah kabinet ini bisa bekerja hebat?
Dari sekian banyak menteri dari kalangan professional itu, misalnya,
Rahmat Gobel dan Susi Pudjiastuni. Kehadiran Susi termasuk fenomenal. Ia dianggap
hadir dari kalangan profesional yang memiliki pengalaman di bidang perikanan
dan kelautan. Bahkan, beberapa kali Susi menyatakan akan menjadikan sektor kelautan
memiliki nilai bisnis yang mampu memberikan keuntungan (devisa) sehingga
bertahan berkesinambungan bagi penyejahteraan rakyat.
Karakter kepemimpinan kalangan profesional itu biasanya ditunjukan
dengan sikap cepat dan tepat dalam pengambilan keputusan karena semangatnya
adalah semangat kerja. Hal ini sangat lumrah dipraktikan para manager di
perusahaan, sebab bila menunda-nunda keputusan justru akan semakin menimbulkan
kerugian yang lebih besar lagi. Tegas selalu diperlihatkan dalam setiap
kebijakannya.
Semangat kerja seperti itu akan sulit dilakukan pada sistem tata negara.
Sebelum melakukan tindakan, harus ada prosedur terlebih dahulu yang dilalui,
khususnya pendanaan. Dalam pemerintahan, program kerja tidak akan pernah
dilaksanakan jika tidak termasuk dalam anggaran dan atau bila anggaran itu belum
tersedia.
Setiap tahunnya, diakui atau tidak, anggaran belanja negara/daerah
selalu telat turun rata-rata tiga bulan sejak tahun anggaran berjalan.
Pemerintah daerah sudah cukup merasakan kondisi itu, yang ditandai dengan
seringnya penundaan pembayaran gaji para pegawai honorer dan bahkan juga gaji
anggota DPRD. Kondisi demikian, tentu menjadi batu sandungan yang tidak mudah
bagi para menteri di Kabinet Kerja. Dalam sistem anggaran negara, hampir bisa
dikatakan program selalu tidak bisa dilakukan tepat waktu karena, lagi-lagi,
alasan dana.
Hal ini akan diperparah lagi bila sumber daya manusia di lembaga yang
dipimpin belum seirama. Tidaklah mudah mengubah pola pikir dan etos kerja
birokrat yang kerap kali kurang inisiasi, apalagi bila berbenturan dengan
anggaran. Mau tidak mau, pemerintahan saat ini pun harus mensosialisasikan visi
dan misi pada pejabat birokrasi dari level tertinggi hingga terandah demi
membangun etos kerja yang seirama.
KIH v KMP
Fenomena kekinian dari konstalasi politik di gedung Dewan Perwakilan
Rakyat (DPR) telah menimbulkan dua kubu sebagai imbas secara langsung dari
dukungan saat pemilihan presiden dan wakil presiden lalu. Yang lebih ekstrim
lagi ialah Koalisi Indonesia Hebat (KIH) membentuk struktur baru DPR dengan
alasan tidak percaya dengan pemimpian DPR yang dikuasai Koalisi Merah Putih
(KMP).
Realitas politik di Senayan itu tentu akan berimbas pada kinerja pemerintahan
Joko Widodo-Jusuf Kalla. Pemerintah (eksekutif) akan kebingungan dalam
koordinasi dengan legislatif yang terpecah belah. Yang jelas, sikap apapun yang
menunjukan keberpihakan pada salah satu dari dua DPR itu akan menimbulkan
konsekuensi tersendiri. Padahal, DPR memiliki peran budgeting yang juga penting untuk merealisasikan program
pemerintahannya dan peran legislasi yang akan menentukan nasib perjalanan
negara; bukan nasib untuk sekelompok belaka.
Sistem demokrasi memang memungkinkan kekuasaan tidak hanya diisi oleh
seorang atau sekelompok saja. Kekuasaan bisa terbagi pada orang atau kelompok
lain untuk saling menjaga nilai etika politik demi mewujudkan cita-cita
bernegara. Kenyataan saat ini, ketika KIH berkeinginan agar alat kekuasaan
negara, dalam hal ini eksekutif dan legislatif, hanya milik KIH, maka hal itu
tidak sejalan dengan semangat demokrasi itu sendiri. Yang diperlukan adalah
komunikasi politik dari para elit partai untuk mencari solusi terbaik dari
persoalan tersebut.
Apabila konflik Senayang tidak kunjung usai, maka akan semakin
menyulitkan pemerintahan Joko Widodo-Jusuf Kalla dalam menjalan visi dan
misinya. Bahkan, ketika tidak ada konflik pun, masih tetap sulit juga karena
kuasa DPR dipimpin oleh kelompok lain (baca; KMP). Seprofesional apapun kabinet
yang dibangun, masih akan tersandung oleh prosedur itu sebagai konsekuensi dari
sistem tata negara yang berlaku di negara kita. Semangat kerja dari Kabinet
Kerja pun akan sulit terealisasi dalam tahun pertama pemerintahan Joko
Widodo-Jusuf Kalla.
NB: Tulisan ini dibuat sepekan usai pelantikan kabinet.
Sabtu, 02 Februari 2013
Daun Racun yang Menjadi Obat
Tulisan arab di lembaran daun itu tampak sedikit mencolok di
antara barang-barang lain di museum Linggam Cahaya. Kalimat yang tertulis pada
bagian pertama ialah bissmillahirrahmaanirrahiim. Menurut petugas penjaga
museum, itu adalah daun dari pohon Embacang atau juga dikenal juga Bacang.
Tradisi mandi Safar menjadi bagian dari ritual tradisi
melayu yang telah dipopulerkan oleh sultan Lingga Riau terakhir, Abdurrahman
Muazzamsyah, saat hendak berangkat meninggalkan Daik menuju Singapura. Sultan
yang kala itu hendak dimakzulkan oleh Belanda menyempatkan dulu untuk mengajak
warganya melakukan mendi Safar di istana Kolam.
Sejak saat itu, tradisi mandi Safar kembali menggeliat
dikalangan warga melayu di Daik. Dalam kegitan itu, air yang hendak digunakan
untuk mandi penyiram pada pertama kali membasahi tubuh adalah air yang telah dimantra-mantrai
oleh tokoh adat setempat. Mantra yang digunakan adalah sebuah isim yang
ditulisakan pada benda lalu dicelupkan ke dalam tempayan ataupun gentong.
Menurut pemerhati budaya Lingga, Lazuardi, dulunya tidak
hanya dedaunan yang digunakan. Adakalanya pelepah pohon. Zaman itu, terangnya,
kerta merupakan barang mewah dan sulit untuk didapatkan. Kertas yang ada sering
digunakan untuk kebutuhan administrasi kerajaan.
“Barulah setela itu daun yang digunakan. Menurut
cerita-cerita, daun Embacang ini dipilih karena pohon ini memiliki racun. Siapa
yang terkena tetesan getahnya akan terkena penyakit gatal-gatal dan kudis. Ada
juga penyakit lain yang ditimbulkan dari daun ini. Makanya, kemudian daunnya
dipilih,” paparnya.
Pemilihan daun tersebut, tambah dia, agar segala racun yang
terdapat didalamnya tidak membawa petaka dan marabahaya bagi warga. Dengan
dibacakan doa serta penulisan isim pada daun itu, diharapkan tidak lagi
mencelakai warga. Akan tetapi, tidak ada patokan khusus dalam penggunana media daun
tersebut.
Penulisan isim atau kalimat pada daun itu tidak sembarang.
Hanya orang-orang tertentu yang bisa boleh menuliskannya, yakni ulama ataupun
tokoh agama. Waktu penulisan juga sangat terpilih, yakni pada Jumat atau
malam-malam lain yang dianggap paling bagus. Selama proses penulisan, sang
penulis juga tidak diperkenankan berbica hingga penulisan selesai.
“Itu adalah aturan-aturannya. Sebab maksuda dan tujuan dari
tulisan itu adalah doa atau permohonan. Tulisannya, bismillahirrahmaanirrahiim
salaamun kaulam mir rabbir rahim dan seterusnya. Tentang hal ini ada
diterangkan dalam kitab Tajul Mulk,” imbuhnya lagi.
Menurut Fadli, petugas museum Linggam Cahaya, dalam Kitab
Tajul Mulk itu disebutkan bahwa tradisi itu untuk menolak balak anak cucu nabi
Adam dari godaan Dajjal (sosok pembawa bencana dalam kepercayaan umat Islam,
red). Dalam kitab tersebut juga diceritakan tentang awal mula tradisi tersebut.
“Untuk pelaksanaannya, yakni pada hari Rabu terakhir di bulan Safar. Seperti
disebutkan dalam kitab ini,” ujarnya saat membacakan keterangan dalam kitab itu
kepada Tribun beberapa waktu lalu.
Masyarakat melayu meyakini kegiatan mandi Safar
adalah bagian dari adat istiadat untuk tolak balak atau dijauhkan dari musibah
dunia. Tradisi ini tidak hanya dilakukan oleh masyarakat Melayu di Lingga, melainkan
juga di Malaka, Serawak, dan lainnya.
Long Leman, Terpanggil Menjaga Sejarah dan Budaya di Lingga
Besi tua itu sebelumnya teroggok di pinggir jalan. Sekilas,
ia terkesan hanyalah sebagai besi tua yang tidak dipergunakan lagi dengan warna
kecoklatan yang pekat. Nyaris hitam. Untungnya, ada tulisan yang menandakan
bahwa benda itu ialah cagar budaya. Benda itulah yang berada di hadapan Long
Leman. Besi itu telah dipindahkan oleh Disparbud Lingga beberapa waktu lalu
untuk menjadi bagian koleksi museum.
Kakek Long Leman (60) sedang asyik mengetuk benda bulat itu.
Ia tampak serius dengan palu di tangannya. Pelan dan perlahan, karat yang
melekat disingkirkan agar tidak menjalar ke bagian lain dari besi itu. “Ini
dulu dipakai untuk memadatkan jalan oleh Belanda waktu membuka jalan ke
pelabuhan Beton,” ujarnya saat disambagi Tribun beberapa waktu lalu.
Benda itu, terangnya, adalah peninggalan bersejarah yang
harus dirawat. Itu adalah bagian dari bukti sejarah atas kehadiran Belanda
dalam upaya mengusai Lingga yang ketika itu dipimpin oleh sultan terakhir
kerajaan Lingga Riau. Belanda menjadikan pelabuhan Buton sebagai lokasi untuk
memantau arus keluar masuk penduduk, termasuk juga raja yang hendak
dimakzulkannya.
Itu adalah satu diantara pekerjaan Long Leman. Ia termasuk
satu diantara para pecinta benda-benda bersejarah, seni budaya, serta adat
istiadat melayu. Bahkan, Long Leman rela menghibahkan tanahnya untuk
pembangunan museum. Ia merasa bahwa benda-benda bersejarah harus dirawat dan
dilestarikan agar anak cucu kelak bisa mengambil pelajaran.
“Dulu saya pelaut. Saya telah datang ke beberapa daerah.
Saya melihat berbagai adat-istiadat mereka. Terus saya berpikir, daerah saya
ini kaya dengan budaya. Setelah balik, saya tidak lagi mau menjadi pelaut. Saya
memilih melestarikan budaya,” kisahnya sembari mengenang masa lalunya.
Sebelum upaya penyelamatan benda-benda bersejarah, Long
Leman menekuni bidang budaya. Ia pun mempelajari beberapa peralatan musik. Tak
heran, bila kini ia bersama dengan sanggar tari yang ia bina sering mendapatkan
undangan ke berbagai daerah.
Setelah Lingga menjadi kabupaten, semangatnya terus
berkobar. Apalagi, museum itu kini berada berdampingan dengan rumahnya.
Sehari-hari ini, ia selalu bergulat dengan benda-benda bersejarah serta
kebudayaan. “Tidak bosan. Museum ini penting. Inilah pengabdian saya. Saya tak
bisa kasi apa-apa,” ujarnya.
Penggiling tanah itu, rencananya akan diletakkan di dekat
museum bersama dengan beberapa koleksi lainnya. Dengan begitu, setiap warga
yang datang bisa menikmati koleksi dan mengambil pelajaran.
Lazuardi, seorang teman Long Leman, mengatakan selalu berbagi
informasi perihal informasi-informasi budaya dan sejarah. Bahkan, ketika
berburu barang-barang untuk koleksi museum, mereka kerap bersama. Saat Long
Leman masih mampu melakukan perjalanan jauh, mereka berdua tidak segan
mendatangi pelosok-pelosok desa.
“Kita harus berusaha sekuat tenaga menjaga agar koleksi
bersejarah tidak berpindah dari Lingga. Kami selalu mencari informasi sampai ke
pelosok-pelosok desa,” ujarnya.
Semangat mencintai budaya dan sejarah dari Long Leman juga
telah turun kepada seorang anaknya, Jumiran. Anaknya itu memiliki bakat di
bidang musik dan saat ini telah bergabung dengan sanggar yang menjadi binaanya.
“Ada satu anak yang bakatnya sama. Mudah-mudah cucu nanti juga ada yang bakat
di bidang sejarah,” harapnya.
Selain menjaga dan merawat benda bersejarah, Long Leman juga
adalah orang yang selalu mencuci benda-benda bertuah. Dalam tradisi adat
melayu, benda bertuah seperti keris tidak bisa dicuci sembarang orang. “Itu
agak lain sedikit. Orang boleh percaya atau tidak,” ucapnya. Tak heran bila ia
kerap dicari beberapa orang, bahkan dari negeri seberang untuk mengambil
pelajaran darinya.