Snorkeling di Pulau Petong, Mengapa Tidak? (1)

Pulau Petong ini berada di sisi selatan Batam. Lebih kurang perjalanan satu setengah jam dari titik keberangkatan kami di Kepri Mall hingga sampai di jembatan enam. Tentu saja, kita akan melewati jambatan satu Barelang yang telah menjadi ikon Batam.

Rasakan Sejuk Air Gunung Daik di Resun

Air terjun Resun, begitu nama yang dilebelkan untuk air terjun yang terletak di desa Resun itu. Airnya mengalir dari pengunungan di tanah Lingga. Air terjun Resun ialah satu di antara sekian banyak aliran air terjun dari gunung Daik.

Kampung Boyan di Dabo Singkep

Para perantau ini seringkali meninggalkan jejak berupa nama kampung, yakni Kampung Boyan. Nah, itulah yang menjadi pijakan, tradisi rantau warga Bawean memiliki jejak, baik berupa nama maupun tradisi. Di Dabo Singkep, terdapat juga sebuah kampung bernama Kampung Boyan.

Menikmati Keindahan Masjid Agung Natuna

Masjid ini memang megah. Bahkan termegah yang ada di Kepri. Sebab itu, masjid ini selalu terlihat sangat cantik dari berbagai sisinya. Anda bisa mencari berbagai foto menarik masjid ini di internet. Saya sungguh kagum.

Puasa dan Pembebasan Sosial

Puasa mempunyai konteks tanggungjawab pribadi dan juga tanggungjawab sosial. Karenanya, dalam berpuasa, disamping mewujudkan kesalehan vertikal kepada Allah, juga untuk mewujudkan kesalehan herisontal kepada sesama manusia dan mahluk Allah.

Tampilkan postingan dengan label Catatan. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Catatan. Tampilkan semua postingan

Senin, 23 Oktober 2017

Berharap Ada Voucher Internet Semurah Kartu Perdana



Selama ini banyak pemilik gawai atau smartphone atau handphone memilih gonta-ganti kartu untuk kuota internetnya. Mengapa? Alasannya, harga kartu kuota perdana lebih murah dari pada beli paket langsung. Apalagi, persaingan provider telekomunikasi selalu memberikan kuota besar dengan harga terjangkau. Mana yang lagi promo, maka kartu itulah yang akan dibeli.
Nah, sekarang pemerintah akan mengefektifkan kebijakan registrasi kartu prabayar semua operator tanpa terkecuali. Jika tidak melakukan registrasi ulang atau tidak mendaftarkan menggunakan Nomor Induk Kependudukan (NIK) yang sebanarnya, pemerintah bisa memblokir kartu itu. Informasi itu juga sudah tersebar melalui laman-laman berita daring. Bahkan pemberitahuan telah disiarkan secara berantai dan bertahap ke nomor-nomor yang aktif digunakan. Beberapa teman pun sudah memperlihatkan kegundahan dan kegelisahaannya memalui akun media sosial mereka.
Tentu saja kebijakan itu juga akan merugikan saya selaku owner Kios F21 Batam yang sudah terkenal sebagai pusat kartu perdana internet murah di Batam. Bagaimana tidak, akibat kebijakan itu, saya jadi tidak berani menyediakan stok terlalu banyak, khawatir nantinya kartu itu justru tak bisa dijual. Jangan untung, bisa-bisa malah buntung nih. Namun saya tidak bisa bersikap kerdil melihat kebijakan pemerintah ini karena tentu akan mengganggu kepentingan bisnis saya. Saya yakin upaya pemerintah membatasi pendaftaran kartu prabayar dengan maksimal tiga kartu untuk satu NIK adalah upaya tertib administasi agar tidak terjadi malpraktik terhadap sarana komunikasi itu.
Pernahkah Anda mendapatkan SMS yang bernada penipuan, penawaran judi online, ataupun SMS promosi? Pernahkah Anda mendapatkan telepon yang tidak dikenal, yang mengabarkan sanak saudara kecelakaan atau penemuan barang atau telepon yang sok kenal sok dekat namun ujung-ujungnya minta kirimin pulsa ataupun uang? Inilah sisi negatif dari kemudahan mendapatkan kartu prabayar. Apalagi, promosi yang digelar oleh provider selalu gratis atau lebih murah jika menghubungi ke nomor yang masih satu provider. Maka, jadilah penipu-penipu itu dengan lebih gampang untuk melakukan tindak kejahatan. (Sebenarnya mereka ini kelewat kreatif dengan memaksimalkan sisi negatif.... itu sih pendapat saya sajalah. Hehehehe...)

Kalau dibandingkan dengan negara tetangga, Singapura dan Malaysia, kita memang jauh lebih longgar dalam kebijakan ini. Di negara kita yang tercinta ini, bisa dengan gampang mendapatkan kartu perdana di setiap konter. Provider pun berlomba untuk mencetak kartu perdana sebanyak-banyaknya dengan harapan agar dapat menggaet pelanggan lebih banyak lagi. Nah memang benar, di Indonesia, jumlah pengguna kartu telepon ini lebih banyak [mungkin] tiga kali lipat dari jumlah penduduk. Bagaimana tidak, satu orang saja bisa memiliki dua sampai tiga nomor guna menghindari biaya internet yang lebih tinggi. Kebanyakan, skema untuk memiliki dua atau tiga nomor itu agar lebih murah dalam berkomunikasi. (Alasan lainnya mungkin agar gampang menghindar dari debt collector hehehehe...) Karena longgarnya aturan di Indonesia, kita pun mendapatkan kuntungan sisi positifnya. Artinya, ada plus dan ada minus juga.

Harapan Sebagai Penjual Kartu
Nah, sebagai penjual kartu tentu dong saya punya harapan atau usul untuk semua provider. Kita tahun, hingga saat ini, Telkomsel menduduki posisi provider telekomunikasi termahal untuk paket internet karena promo kuota besarnya hanya berlaku untuk kartu perdana saja. Bayangkan saja 30 GB yang diberikannya kepada pelanggan itu ternyata hanya 7 GB saja yang bisa digunakan normal. Sisanya untuk begadang dan nonton di apalikasi tertentu. Hadeh...... cepek deh. Berbeda dengan kartu lain, khususnya Tri (3), yang dengan harga yang sama bisa mendapatkan kuota 50 GB.
Menurut saya jika provider telekomunikasi masih bisa tetap memanjakan pelanggannya dengan menjual voucher internet. Ini adalah voucher kusus untuk isi ulang. Mengapa? Karena pemerintah sudah membatasi jumlah registrasi untuk satu kartu, maka tentu kita tidak bisa lagi bisa sembarangan memilih kartu internet yang murah dengan kuota besar. Setidaknya, dengan bermain promo melalui voucher, pelanggan setia tatap akan setia menggunakan produkmu.

Kalau dihitung-hitung biaya membuat kartu baru dengan biaya membuat voucher kayaknya sih kurang lebih saja. Bahkan, bisa lebih mudah dengan membuat voucher. Saat ini, satu-satunya provider yang menyediakan kartu isi ulang internet itu hanya Tri (3). Yang lainnya, melakukan penjualan dalam bentuk elektrik. Betul tak?
Tentu saja, saya sebagai penjual kartu internet berharap masih dapat keuntungan seperti menjual kartu perdana. Sebab, kalau hanya berharap dari pengisian pulsa, sangat tidak seberapa. Keuntungan jualan pulsa itu per transaksi, bukan per nominal. Jika pelanggan nanti isi pulsa nominal Rp 100 ribu, keuntungan saya pun sama dengan nominal yang Rp 10 ribu. Maka dari itu, saya berharap ada gebrakan dari provider untuk obral promo paket internet dengan voucher. 
Itu setidaknya usulan saya. Setuju atau tidak setuju, gak usah dibawa ke meja rapat pleno DPR lah..... Kalau setuju, silahkan share tulisan ini. Kalaupun tidak setuju, share jugalah sembil menuliskan komentar atau ide lainnya di kolom komentar. 
Oke. Selamat berbahagia dengan kebijakan baru pemerintah.




Rabu, 04 Oktober 2017

Benarkah Agama itu Sebagai Candu?


Ini adalah tulisan lama saya yang sudah pernah diterbikan oleh Ruang Baca (suplemen tabloid buku yang diterbitkan oleh Koran Tempo) sekitar 2003 silam. Saya beruntung karena masih bisa menukan tulisan ini bertebaran di berbagai blog. Sebab itu, tulisan ini saya posting kembali di blog ini sebagai dokumentasi sekaligus, walau saya punya dokumen aslinya. Nah kebetulan, term itu selalu hangat dalam setiap diskusi. Maka, silahkan simak resensi saya atas buku yang berjudul Agama Bukan Candu karya Eko Darmawan ini. Judul asli resensi ini ialah Perspektif Lain Agama Sebagai Candu. Dan berikut tulisan tersebut.


 

Aforisme Marx yang cukup terkenal prihal agama ialah “agama adalah candu dari masyarakat” (It [Religion] is the opium of the people). Sebenarnya, Marx tidak banyak menulis tentang agama sebagai ideologi, melainkan ia melihat dari perspektif sosio historiografis masyarakat yang menjadikan agama sebagai praktik pembenaran sepihak tanpa implementasi lebih lanjut dalam praktik kehidupan. Kumpulan tulisan Marx dalam buku Marx Tentang Agama (Teraju, 2003) menjelaskan hal demikian itu. Dan aforisme diatas tak lain adalah penggalan kalimat dari sekian kalimat yang membahas hakekat manusia ditengah kapitalisme kehidupan, dimana peran agama selalu menjadi pertanyaan.

Dikarenakan aforime Marx merupakan satu kalimat yang tidak berdiri sendiri, maka tak jarang bila kemudian terjadi interpretasi yang berbeda-beda. Marx bukanlah satu-satunya orang yang diangap anti agama dan anti tuhan (ateis), masih bayak pemikir lain, terutama yang beraliran materialisme, mendapat perlakuan sama. Misalnya Ludwig Feuerbach dan Tan Malaka. Ketiga tokoh inilah yang menjadi kajian dalam buku ini.
Eko P. Damawan mempunyai perspektif lain dari kebanyakan orang dalam memahami pemikiran tiga tokoh ini. Baginya, Kritik sekaligus pemahaman tiga tokoh tersebut terhadap agama adalah upaya membangun spritualitas keagamaan manusia yang terjewantahkan dalam laku kehidupan konkrit. Agama diturunkan agar manusia tumbuh dan berkembang menjadi Manusia-manusia Besar, bukan menjadi manusia- manisia kecil yanghanya puas dengan kesuksesan-kesuksesannya sendiri. Menjadi Manusia Besar artinya menjadi manusia yang bejiwa, dan berpikiran dan berperasaan semesta.(hlm.23) 
Relevansi kritik tersebut, seperti yang digambar Darmawan, dapat dilihat dari cara keberangamaan saat ini yang lebih dekat dengan modus yang bereksistensi borjuis–kapitalistik ketimbang dengan modus yang bereksistensi religius secara sosio-hostoris. Ketika kesuksesan dunia dan akhirat diartikan sebagai kesuksesan ekonomis dan sosial di dunia dan kesuksesan mendapatkan surga di akhirat, maka agama tak ubahnya seperti jual beli dalam merebutkan kavling surga. Lantas hubungan antara Tuhan dengan orang beragama tak ubahnya hubungan pedangan dan calon konsumen. Surga kemudian digambarkan secara pasif; sebagai tempat bersenang-senang, tempat dimana segala keinginan manusia dipuaskan.
Ironisnya lagi bila para pembasar atau elit agama, yang kebanyakan sukses secara ekonomi dan sosial, bersikap pasif terhadap kezalamin yang sering tampak dengan pernyataan, misalnya, bahwa Tuhan Maha Adil, Tuhan Maha Tahu, dan Tuhan Maha Bijaksana, dan sebagainya. Kemudian setelah itu membiarkan saja, tanpa upaya realistis. Jika demikian agama hanya menjadi milik kaum elit, dan agama tidak memihak kaum proletar. Pemahaman teosentrisme seperti diatas, menurut Darmawan jelas menunjukkan wajah egosentrisme agama. Agama hanya diartikan sebagai urusan spiritual ukhrawiah, dan urusan duniawi tidak mempunyai sangkut paut dengan agama. Yang demikian inilah yang menjadi kritik pedas, terutama oleh tiga tokoh yang dijadikan kajian dalam buku ini. 
Kritik paling pedas yang dilontarkan Feuerbach tentang agama dari hasil penelusuran Darmawan dari buku The Essence of Christianity-nya adalah ajaran teosentrisme agama. Baginya, Agama bukanlah tentang Tuhan yang sewenang-wenang menyuruh manusia untuk patuh pada-Nya, namun tentang pulihnya kesadaran dalam diri manusia tentang perjalanan hidupnya, dari mahluk yang terperangkap dari batas-batas ruang dan waktu menjadi mahluk yang mensemesta. Maka Feuerbach memaknai agama sebagai ajaran antroposentrisme. Jadi, misi agama adalah tentang bagaimana manusia turut mengisi atau membentuk eksistensinya secara konkrit di alam raya ini.
Realitas material yang ada dihadapan manusia bukanlah sesuatu yang harus dikontraskan dengan Tuhan. Kebenaran manusia bukanlah kebenaran yang bersifat abstrak, namun adalah kebenaran yang bersifat material, kebenaran yang bisa dirasakan secara bersama oleh sesama manusia. Secara tak langsung Feuerbach mengatakan bahwa untuk membumikan agama manusia harus menunjukkan dengan prilaku konkrit. Senada dengan itu, kritikan Marx, menurut Darmawan adalah kritik terhadap cara-cara empiris manusia menjalankan keberagamaannya. makna “candu” yang dimaksud Marx bukanlah sebagai surga bayangan, surga yang tidak riil, surga tidak konkrit melainkan sebagai gambaran hakikat mengenai apakah agama itu. 
Agama adalah impian dan harapan akan kehidupan surgawi, namun kehidupan surgawi itu bukanlah surgawi didunia ini melainkan di sana. Akan tetapi, bila hidup terus-menerus mencandu, maka secara tak langsung telah melupakan dunia sekitar, dunia dalam bermasyarakat. Marx mengajak manusia untuk mentransformasikan agama menjadi apa yang biasa disebut religiusitas. Agama butuh otoritas eksternal, sementara religiusitas menggali kearifan dalam diri sendiri. 
Agama membayangkan alam dan kebahagian surgawi di sana, sementara religiusitas membangun alam dan kebahagian surgawi di sini, di dunia konkrit ini.(hlm.182) Apalagi bila agama hanya diidentikkan dengan keghaiban. Tan Malaka—dengan Madilog-nya—adalah salah seorang yang mengkritik logika mistik. Ia, seperti yang disimpulkan darmawan, berpendapat bahwa inti ajaran agama bukanlah pada kegaiban, yakni pengharapan surga dan neraka. Seharusnya dengan berkembangangnya kemampuan akal budi manusia, beragama tidak lagi didasarkan pada–kenikmatan–surga dan–kesengsaraan–neraka. Kata Tan Malaka; “Jadi teranglah sudah, bahwa lemah tegunya iman itu tiadalah semata-mata bergantung pada ketakutan dan pengharapan sesudah kiamat. Jangan dilupakan, bahwa perkara vital yang menentukan lemah teguhnya iman adalah masyarakat kita sendiri”.
Seperti halnya Marx, menurut penulis, Tan Malaka juga mengkritik penjungkirbalikan agama. Yakni, ajaran keghaiban yang pada awalnya sebagai iming-iming agar manusia mengikuti ajaran Nabi, namun sekarang diletakkan sebagai yang utama, yang inti. Kritisime demikian inilah yang seringkali berakhir dengan pengecapan sebagai anti agama, kafir, murtad dan ateis (anti Tuhan). 
Menariknya buku ini adalah penyertaan data (referensi) yang dilakukan penulisnya. Hal ini menunjukkan keseriusan kajian yang dilakukan. Misalnya sistematisasi prihal keberagamaan menurut pandangan umum dan menurut Marx dan Feuerbach. Pertama, mengenai orientasi dan tujuan. Dalam pandangan umum, keberagamaan bertujuan mendapatkan surga dan berlimpahan rizki dari Tuhan, sedang dalam Marx dan Feuerbach bertujuan mengembangkan esensi manusia (akal, budi, kemauan, dan perasaan) sehingga mensemesta dalam kebersamaan. Kedua, mengenai aktivitas utama. Menurut pandangan umum aktivitas utama beragama adalah ibadah, sedangkan menurut Marx dan Feuerbach adalah bekerja sama membangun dunia yang lebih mulia. Dan ketiga, mengenai produk masyarakat yang diciptakan. Menurut pandangan umum ialah masyarakat secara pribadi taat beribadah, namun secara sosio- historis sibuk dengan cita-cita dan gaya hidup yang pasif dan konsumtif mereka (masyarkat borjuis), sedangkan menurut Marx dan Feuerbach ialah masyarakat yang terdiri manusia-manusia besar yang kemauan, pikiran, dan perasaannya berkembang mensemesta, merasa satu dengan semesta.

Abd. Rahman Mawazi, Mahasiswa UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, alumnus
PP. Badridduja Kraksaan-Probolinggo.

Kamis, 07 September 2017

Fenomena Lowongan CPNS 2017 dan Link Formasinya

Layar monitor berita di kantor tempat saya bekerja menunjukan angka yang fantastis untuk pembaca berita penerimaan Calon Pegawai Negeri Sipil (CPNS) 2017. Berita-berita perihal CPNS ini selalu menempati urutan lima besar. Tentu saja itu berdampak pada tingginya trafik pengunjung laman web Tribun Batam di banding hari-hari biasanya.
Contoh Tampilan Laman Web Penerimaan CPNS 2017

Informasi lowongoan CPNS kali ini merupakan tahap kedua setelah sebelumnya pemerintah melalui Kementrian Pemberdayaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (Kemen PAN RB) telah melakukan pembukaan lowongan. Namun, jumlah formasi yang dibutuhkan tidak banyak karena hanya beberapa lembaga negara saja. Terbanyak ialah dari kementerian Hukum dan HAM yang memiliki direktrot banyak di bawahnya.

Pada pengumuman lowongan formasi CPNS tahap kedua ini, jumlahnya lebih banyak, baik dari jumlah kementerian, lembaga, dan institusi pemerintahan lainnya, maupun jumlah formasi yang akan dibuka. Maka, wajar saja apabila warga menanggapi informasi itu dengan cepat karena ingin tahu lebih lanjut perihal formasi-formasi yang di butuhkan. Namun, dari sekian banyak itu, hanya satu saja kuota pemerintah daerah, yakni untuk pemerintah provinsi Kalimantan Utaran (Kaltara), provinsi termuda di Indonesia.

Dari sejumlah pembaca atau pencari informasi perihal lowongan di CPNS ini justru yang terbanyak datang dari pegawai honorer itu sendiri. Kesimpulan perihal ini saya ambil dari beberapa pengalaman sebelumnya, bahwa tidak sedikit honorer yang justru paling antusias  ingin segera mendapatkan status sebagai Aparatur Sipul Negara (ASN) ataupun Pegawai Negeri Sipil (PNS). Kemudian urutan pembaca kedua, lagi-lagi ini juga hanya asumsi dari pengamatan sebelumnya, adalah kalangan mahasiswa yang baru lulus. Sangat wajar saja bila para sarjana muda ingin menjadi PNS karena sebagian besar pekerjaan itu memang diimpikan oleh warga Indonesia.

Ya, menjadi PNS itu bisa jadi sebuah cita-cita. Mengapa? Alasan ini yang agak sulit untuk dituangkan dalam tulis dan juga sulit untuk dijelaskan secara lisan karena biasanya memiliki tendensi subyektifitas yang tinggi.  Okelah. Saya akan tetap menyebutkan beberapa alasan itu sebagai opini pribadi saya.

1. Generasi millenial tua (1980-an) masih dibayang-bayangi oleh pengalaman masa lalu perihal kehidupan seorang pegawai negeri yang terlihat begitu sejahtera. Setidaknya, hal itu bisa diambil contoh dari beberapa pegawai negeri yang ada di lingkungannya. Hingga saat ini, pegawai negeri itu selalu terlihat lebih sejahtera secara ekonomi. Bahkan, untuk urusan di perbankan (lebih tepatnya soal kredit barang lah), mereka akan mendapatkan kemudahan. Alasan lainnya, pensiunan dari pegawai negeri ini pun terlihat nyaman dan sejahtera di hari tuanya. Kondisi ini tentu merangsang generasi millenial tua ini untuk mencoba peraduan nasib dengan mendaftar PNS.  Apalagi, dorongan dari orang tuanya pun kerap untuk menganjurkan mencoba mendaftar. Artinya, ada sebuah gengsi ketika menjadi seorang pegawai. hehehehe

2. Kondisi ekonomi yang sedang merosot saat ini juga menjadi faktor lain. Saat ini banyak lulusan sarjana yang justru bekerja tidak memiliki kesempatan yang lebih leluasa. Kalau pun ada, gaji seorang sarjana di perusahaan swasta bisa dibilang sama dengan pekerja lain yang lulusan Sekolah Menengah Atas (SMA) sederajat. Alasan ini yang kerap digunakan oleh pemerhati ataupun motivator dengan mengatakan, “kemampuan adalah tolok ukur dalam bekerja, bukan ijazah.”
Saya bahkan memiliki seorang teman yang lulusan magister (S2) bekerja sebagai cleaning service (CS) karena gaji seorang lebih besar daripada gaji pada pekerjaan yang dilamarnya menggunakan ijazah S2 itu. Menurut kawan saya itu, alasan dia memilih menjadi CS itu karena menurut dia, “bekerja untuk mencari penghasilan, bukan mencari pekerjaan.” Wow... kalimat itu meluluhkan saya. Kalau hanya pekerjaan, kata dia, ada banyak tetapi penghasilannya belum tentu ada atau sesuai harapannya. Sedangkan sebagai CS ia mendapatkan upah sesuai UMK.

3. Aji mumpung mungkin menjadi alasan terakhir ketika memilih untuk melamar menjadi CPNS. Mengapa? Nah, ini dia yang agak menarik. Nasib orang memang tidak dapat ditebak. Sudah beberapa tahun pemerintah tidak membuka lowongan untuk CPNS ini atau moratorium dengan alasan akan mengkaji kebutuhan riil supaya tidak membenani anggaran negara. Wajar sajalah apabila selama bertahun-tahun ini banyak tidak lagi mengharapkan untuk menjadi PNS. Namun, ketika kran itu dibuka, mereka mencoba untuk mengadukan nasibnya. Inilah aji mumpung. Siapa tahu diterima. Kalaupun tidak diterima, setidaknya sudah pernah ataupun memiliki pengalaman bekerja di sektor swasta.


Setidaknya itu sajalah catatan fenomena lowongan CPNS 2017 yang begitu mendapat sambutan hangat dari masyarakat Indonesia. Semoga saja yang mendaftar bisa diterima, wabilkhusus bagi mereka yang ngebet bercita-cita menjadi seorang pegawai negeri. Dan berikut adalah link untuk formasi CPNS yang dibuka oleh pemerintah. Silahkan saja klik link di sini.

Sabtu, 19 Agustus 2017

Cara Mengindentifikasi Lapak Online Palsu di Tokopedia, Shopee, Bukalapak, Lazada dan Lainnya


Pernahkah Anda tertipu dari transaksi jual beli online? Jika pernah. Silahkan berbagi informasi di kolom komentar. Jika Anda belum tertipu, silahkan simak tulisan ini agar jangan tertipu. Belajar dari pengalaman diri sendiri dan orang lain untuk lebih baik. Ah... Serupa itulah kiranya kalimat bijaksana yang sering kita dengar.
Pada artikel kali ini, saya ingin berbagi cerita perihal lapak-lapak yang “diduga penipu” di marketplace ternama di Indonesia; Tokopedia, Shopee, Lazada, Bukalapak dan lainnya. Situs yang saya sebutkan itu memang bersaing untuk menjadi tempat belanja online masyarakat Indonesia serta berupaya menjemput pelapak sebanyak mungkin. Kebetulan saya dan beberapa teman termasuk sering berselancar mencari barang melalui marketplace itu. Beberapa hari lalu, saya sedang mencari beberapa produk elektronik melalui marketplace juga. Namun, saya mendapati kejanggalan pada beberapa toko. Hal ini sudah sering saya jumpai setiap kali melakukan perburuan barang di marketplace. Itulah mengapa saya ingin berbagi kisah dan kiat terhindar dari pelapak palsu itu.
Sering kita dengar, marketplace tersebut merupakan tempat transaksi online yang aman. Tidak sedikit pula pembeli memilih menjadikannya sebagai tempat transaksi walaupun belanjanya dengan cara komunikasi langsung. Ops.... mungkin kamu bertanya, apa iya bisa ada penipuan di situ? Bukankah marketplace seperti Tokopedia, Shopee, Lazada, Bukalapak dan lainnya lebih aman? Oh... tunggu dulu. Yang namanya penipuan itu bisa terjadi di mana saja. Para penipupun berakal panjang untuk menjerat korbannya.
Kita percaya bahwa aturan yang diterapkan di marketplace, seperti yang telah saya sebutkan itu, sangat ketat dan aman. Seorang teman pernah bertransaksi melalui salah satunya. Ketika itu, ia membeli beberapa item barang. Namun, setalah barang diterima, ada beberapa item yang tidak ada. Setelah dikonfirmasi ke admin marketplace, memang diketahui bahwa penjual tidak menyertakan barang itu. Akhirnya uang dia dikembalikan senilai barang yang tidak terkirim dan ia pun mendapatkan voucher belanja senilainya, sebagai kompensasi. Itulah gambaran betapa ketatnya aturan di marketplace itu. Ada juga teman saya yang, untuk bayar tagihan listrik saja, menggunakannya karena bebas biaya administrasilah, lebih gampanglah, kejar poinlah, dan macam-macam alasannya.
Seketat-ketatnya aturan, tetap ada celah bagi para penipu. Dan para penipu ini adalah “orang pintar”, bahkan termasuk “orang nekat”. Para penipu yang mahir didunia cyber, mungkin bisa mengalihkan IP Address. Penipu yang mahir dalam komunikasi, mungkin akan menuliskan kata dan kalimat yang memikat. Nah, kitalah yang harus bijak menentukan.  
Untuk mengindentifasi lapak-lapak penipu di marketplace terbilang gampang-gampang susah. Di bilang gampang, karena mungkin kita telah mengetahui karakteristik lapak atau toko, maupun produk-produk yang dipajang di etalasenya. Di bilang susah, karena harga yang diberikan betul-betul menggiurkan. Bagi orang yang “kebelet” ingin punya produk premium dengan harga murah, maka akan gampang terpedaya oleh model yang begini. Ciri-ciri toko atau lapak penipu ini biasa meliputi beberapa hal.

Jika sedang berselancar di salah satu marketpalce melalui kolom pencarian, kita akan digiring pada produk yang paling dekat dengan kata kunci. Misalnya, kita memasukkan S7 Edge. Maka produk yang terkait akan keluar. Nah, di sanalah kita akan mendapati perbedaan harga dari setiap penawaran toko. Harga murah dan termurah dari yang tampil, biasanya akan menjadi pilihan pertama untuk kita klik. Nah... Penipu biasanya memanfaatkan kondisi ini untuk memikat calon korbannya.
Lapak atau toko di marketplace akan selalu mencantumkan spesifikasi produk sebaik mungkin. Kateranga itu pun dibuat detail namun tidak panjang. Informasi yang cukup, biasanya akan menarik minat pembeli. Namun di lapak gadungan, biasanya informasi itu dimulai dengan klaim. Klaim terhadap pelayanan terbaik dan harga termurah. Di sepanjang keterangannya itu, nanti akan ada model atau tipe produk-produk lain yang juga disebutkan bersamaan dengan daftar panjang.
Mengapa dibuat keterangan begitu? Karena biasanya, kita cendrung abai dengan bahasa keterangan yang atas sehingga akan memperhatikan daftar harga produk lain yang dibuat. Padahal, kalau dicermati, dari pengalaman saya, tidak sedikit keterangan itu yang dikopi paste dari keterangan orang lain. Bahkan, ada yang diterjemahkan melalui perangkat.
Sedangkan pada keterangan yang pendek, biasanya akan dipasang keterangan barang seadanya. Lalu ia akan mengarahkan untuk berkomunikasi langsung via chat ataupun aplikasi sosial media, entah itu whatsapp, BBM, Messenger, BeTalk, WeChat, dan lainnya.  Intiny, pelapak gadungan itu akan mengarahkan ke sana.

Periksalah penilaian ataupun komentar di bagian kolom-kolom yang telah tersedia pada setiap produk. Setelah dua indikasi terpenuhi, dan jika tidak ada penilaian, sudah sepatutnya untuk curiga. Jika tidak ada komentar atau ada komentar yang jawabannya agak kurang memuaskan, patut juga dicurigai. Biasanya, ketika chat di kolom yang tersedia, pelapak akan mengarahkan untuk menghubunginya melalui chat di luar yang disediakan oleh marketplace itu.
Aduh... saya bawa-bawa pula kata “bayi”. Maafkanlah saya. Itu hanya perumpamaan saja. Saya ingin mengatakan, bahwa toko atau lapak gadungan yang bertebaran di marketplace itu kebanyakan umurnya baru berbilang minggu. Jarang sekali saya menemukan yang berumur sampai dua bulan. Saya menduga ada beberapa sebab. Pertama, toko-toko yang diindikasi penipu dihapus oleh admin marketplace setelah ada laporan dari calon pembeli. Kedua, mungkin sengaja dihapus oleh si pembuka lapak itu sendiri ketika sudah berhasil mendapatkan korban. Bayangkan saja, kalau dari toko yang dia bina itu dapat transaksi senilai Rp 2 juta, kan lumayan.

Setelah kita lihat profil dari toko atau lapak itu, maka akan terlihat juga daftar produk dan item jualannya. Yang saya temukan, toko-toko yang diduga penipu ini biasanya telah memiliki puluhan bahkan ratusan produk dalam toko online itu. Sepintas, hal itu akan memberikan kesan bahwa toko ini memiliki banyak barang, toko itu toko yang “profesional”, toko itu sudah berpengalaman, dan lainnya. Namun anehnya, produk yang terlihat di kolom gambar itu cendrung sama. Paling ada sekitar lima atau tidak sampai 10 item. Baik foto, judul, dan keterangannya pun sama. Itulah trik mereka untuk mengelabui.

Setidaknya itulah ciri-ciri untuk mengidentifikasi toko atau lapak penipu yang tersebar di marketplace. Dari ribuan hingga puluhan ribu pelapak online di marketplace, mungkin tidak banyak penipunya. Namun, jangan sampai kita pula yang menjadi korbannya. Mudah-mudah kita semua semakin cermat dalam berbelanja online di era digital ini. Semoga saja tulisan singkat ini bermanfaat.

Catatan: Tolong jangan diviralkan. Nanti para pelapak penipu tersinggung. hehehehehe

Tunggu tulisan lanjutan perihal kiat berbelanja online, termasuk memilih lapak-lapak terpercaya. 

Jumat, 11 Agustus 2017

Aku di antara Bawean dan Batam

Aku saat berusia sembilan tahun ketika di kampung 

Saya tersentak ketika seorang teman mengaku sudah jenuh dengan aktivitasnya di kota berkategori metropolis ataupun metropolitan. Ia mengaku ingin hidup di kota kecil di kampung, yang bukan termasuk metropolitan. Alasannya, selama berada di kota metropolis itu, ia merasakan kekurangan dalam hal spiritualitas. Sebab, selama ini ia hidup di lingkungan perkampungan yang kental dengan tradisi bersarung, berkegiatan sosial dan kekeluargaan, serta bercengkrama santai di sudut-sudut kampung.
Saya pun tersentak mendengarnya. Kota metropolis seperti Batam dan Jakarta, kata dia, memang talah membuatnya hanya disibukkan dengan pekerjaan dan pencarian materi. Memang, ada waktu untuk berkumpul bersosialisasi dengan tetangga ataupun masyarakat dan  ada waktu untuk beribadah. Namun, itu semua masih dirasa kurang dalam hal spiritualitas dan pengabdian sosial. Di kota, kata dia lagi, pengabdian sosial pun masih dalam perhitungan materi. “Ujung-ujungnya, kita sibuk dengan materi,” kata dia menegaskan. “Aku ingin balik kampung saja,” kata dia lagi.
Pernyataan itu sempat mengganggu pikiranku. Sekilas terbanyang perihal kehidupan masyarakat di kampung halaman orang tua, di Pulau Bawean, dengan rutinitas masyarakat kebanyakan sebagai petani, nelayan, buruh, dan sebagian karyawan atau pegawai. Terbayang pula dengan kehidupan yang lepas dari hingar bingar kendaraan dan kemacetan pada saat jam sibuk. Ah... sudahlah. Itu hanya sebuah banyangan karena sayapun hanya numpang lahir saja di sana.
Yang sedikit mengusik pikiran saya. Apa yang diutarakan oleh teman itu, bersamaan pula dengan fenomena pulang kampung di Batam. Yang ini alasannya berbeda. Bukan karena alasan spiritualitas dan pengabdian sosial, tetapi karena kelesuan ekonomi.  Mereka menilai Batam tidak lagi seperti dulu: cari kerja susah dan kebutuhan masih tetap tinggi. Nah, kalau ini alasannya ialah alasan materialis.
Di Batam ini, dulunya, penduduknya terbilang nyaman. Keluar masuk atau berpindah-pindah tempat kerja gampang saja karena tingkat kebutuhan tenaga kerja begitu tinggi. Bosan menjadi operator di sebuah perusahaan elektronik, bisa berhenti dan menjadi pramuniaga di toko-toko dalam mal. Bahkan, ketika bosan bekerja pada orang atau perusahaan lain, bisa menjadi tukang ojek, yang penghasilannya pun lumayan. Itu dulu, sekitar 1990-an hingga 2000-an awal.  Kala itu, orang berbondong datang ke Batam untuk mengadukan nasib bidang perekonomiannya.  Sebab itu, mungkin bisa disebutkan kini 80 persen penduduk di Batam saat ini adalah pendatang dari berbagai penjuru daerah. Saya punya kawan dari suku Batak, Jawa, Padang, dan ada juga yang campuran.
zaman dulu belum musim selfie

Anak perantau
Merantau ke kota, apalagi kota dengan kategori metropolitan, sering kali menjadi impian banyak orang dengan harapan bisa menambah pundi-pundi kekayaan.  Sukses di perantauan memang kerap diukur dengan seberapa nilai kekayaan yang dimiliki ataupun sebarapa banyak mampu mengirim ke kampung halaman. Daya pikat kota dengan angan-angan atau impian bisa “memperbaiki nasib” itu telah berhasil menciptakan urbanisasi besar-besarn era modern ini. Perihal filosofi dari tradisi perantauan ini memang berbeda. Silahkan saja baca buku-buku sejarah perantauan atau diaspora suku bangsa di Indonesia dan buku antropologi.
Proses kehidupan di metropolitan telah melahirkan persilangan: silang budaya, silang ketuturan, dan lainnya. Nah, ketika memasuki generasi pertama, maka lahirlah identitas kebudayaan dan ketuturan yang baru. Gampangnya, misalnya, orang tua saya kelahiran Jawa Timur, saya kelahiran Batam. Kemudian ketika ditanya, “kamu orang mana?” saat menjawab Batam. Kecendrungan akan ditanyakan lagi, “asli Batam?” disitulah kegalauan akan muncul. Orang tua yang Jawa masih mewariskan kejawaannya dalam keluarga. Tetapi kelahiran telah memperjelas identitas awalnya. Sama saja bingungnya, ketika si peranakan rantau ditanyaka, “kampungnya di mana?” Nak jawab apa, coba? (Sekarang, bagaimana perasaan kalian bila itu terjadi? Silahkan tuliskan di kolom komentar saja ya..?)
Atau bisa saja, lahirnya di kampung halaman, tetapi justru tidak pernah hidup lama di kampungnya. Teman pun tak punya di sana. Nah, bagaimana mengidentifikasi diri? Entahlah.... biasanya hal seperti itu diselesaikan secara “adat” alias disesuaikan konteks saja. (kalau pembaca punya pendapat, silahkan tuliskan di kolom komentar saja)
Kembali pada cerita teman yang ingin balik ke kampung halamannya. Kehidupan kota yang membuatnya terlalu sibuk dengan pertimbangan materi itu, memang sudah banyak dibahas oleh teoritikus. Dan gejala kehausan spiritualisme sudah banyak terjadi di kota-kota metropolitas seluruh dunia. Bahkan, masyarakat negara maju pun sudah berupaya memilih kembali ke kehidupan natural, kembali pada pengisian spirititualisme dalam diri. Tidak sedikit pula yang memilih liburan ke daerah pelosok sekadar me-refreshing diri. Jika temanku itu memilih untuk pulang kampung, maka kuucapkan untuk selamat beradaptasi kembali di kampungmu. Terima kasih.



Senin, 07 Agustus 2017

Sepandangan murid SD O24 Sei Panas dari Bilik Kios (Reuni SD-habis)


Beberapa hari ini kuperhatikan anak-anak sekolah dasar (SD) pulang lewat depan di depan Kios F21 Mobile. Pada hari tertentu, kulihat seragam mereka berbeda-beda. Itu artinya, mereka tidak satu sekolah. Ada kemungkinan mereka tinggal berdekatan, tetapi sekolah di SD yang berbeda. Setiap siang, selalu saja terlihat silih berganti rombongan anak SD itu lewat. Padahal di pagi hari, jarang saya lihat mereka berangkat bersama.
Dulu, yang kualami seperti itu juga ketika masih duduk di bangku SD 024 Seipanas. Berangkat seorang diri, tetapi pulangnya bersama-sama dengan teman yang lain. Tampaknya, di antara mereka itu ada juga yang merupakan siswa dari SD 024. Setidaknya itu yang kutengarai dari warna seragam olah raganya, putih dan kemerahan. Sedangkan baju batiknya, warna jingga.
Perjalanan itu masih serupa. Dulu, kios tak bernama dan berjualan camilan saja. Tidak sedikit juga teman-teman yang masih memiliki sisa uang jajan berbelanja di kois ini. Kini, kios itu kuberi nama Kios F21 Mobile sebagai tempat jualan paket internet murah.  Dan dari balik kios itu pulalah terbayang olehku masa-masa SD dulu. Yang tak kalah penting lagi yakni seorang guru kami, wali kelas ketika di kelas enam.
Saya yakin, setiap orang memiliki memori tersendiri dengan masa kanak-kanaknya. Mungkin kita sudah sukses menjadi seorang penulis, pengusaha, pejabat, karyawan di perusahaan top ataupun profesi lainnya. Tepi memori masa lalu itu akan tetap terkenang pada momentum tertentu.

Pesan Ketika Dewasa
Ketika reuni itu digelar, guru kami itu memang sungguh membangkitkan memori masa lalu. Setidaknya itu untukku. Entahlah bagi teman-teman yang lain. Sebagian dari pada itu telah kutiliskan pada tulisan pertama reuni dengan judul ......... Silahkan baca lagi yaa
Kali ini saya tidak hendak bernostalgia terlalu dengan masa di masa SD itu. Di bagian akhir tulisan ini, saya hendak menuliskan beberapa pesan dari guru kami. Itu adalah petuah yang, menurut saya, wajib “diabadikan” dengan tulisan. Niatan ini dilandasi dari petuah yang berbunyi, “ikatlah ilmu dengan tulisan.”
Ibu Henny memberikan tiga poin petuah. (Siapa di antara teman-teman yang masih ingat dengan petuah beliau itu?) Setidaknya itu yang masih terekam dalam memoriku hingga tulisan ini dibuat.
Pertama, berbakati pada orang tua. Kami sudah menjadi orang tua. Tetapi Bu Henny tetap berbepesan agar kami tetap berbakti pada orang tau. Ia berpesan demikian justru karena kami telah menjadi orang tua. Menurut beliau, orang tua itu sangat membutuhkan kasih perhatian dari anak-anaknya. Justru kami yang sudah menjadi orang tua, bisa merasakan bagaimana mengasuh anak-anak; saat rewel, saat meminta sesuatu, saat tidak mempedulikan nasihat dan teguran kita, serta lain sebagainya. Begitulah yang dirasakan oleh orang tua ketika sudah renta. Dan saat itulah berbakti kepadanya menjadi nilai lebih menyejukan hati orangtua.
Kedua, jangan tinggalkan salat. Bagi Bu Henny, perintah salat dalam agama itu penting. Ia tidak peduli dengan aliran atau mazhab apa yang dianut. Namun, salat merupakan tiang agama yang harus terus ditegakan. Kita, kata beliau, tidak bisa hanya mengejar materi sebab tidak bisa dibawa mati. Pada saat reuni digelar, Bu Henny sendiri sedang melaksanakan puasa sunnah di bulan Syawal.
Dan yang ketiga, pererat silaturahmi. Bu Henny memuji kami yang masih menyempatkan diri untuk bisa bersilaturahmi. Bahkan, beliau mengaku selalu berupaya hadir dalam setiap undangan silaturahmi yang digelar murid-muridnya, dari semua angkatan, dari berbagai sekolah tempat ia pernah mengajar. Karena dalam silaturahmi, kata beliau, akan mengenal mempererat hubungan satu sama lainnya. Bisa saling membantu, saling meringankan, saling berbagi informasi, dan sebagainya.
Itulah petuah penting Bu Henny yang masih terekam dalam memoriku. Pesan yang disampaikan kepada kami ketika kami telah dewasa secara umur. Sedangkan petuah dan pesannya ketika kami masih dibangku SD, telah tertindih memori baru. Itulah keterbatasan sebagai manusia. Namun bisa jadi, satu di antara petuahnyalah yang telah memberikan motivasi lebih pada kita hingga hari ini. Mungkin tanpa kita sadari.
Sebagai catatan tambaha, beliau juga berpesan agar mendidik anak dengan baik. Sebab, zaman sekarang ini tantangannnya lebih beragam, khususnya di era digital. Lingkungan, kata beliau, sangat mempengaruhi pertumbuhan anak. Dan tidak sedikit anak-anak menjadi korban kekerasakan ataupun tidak kriminal. Tidak sedikit pula anak-anak yang terlibat menjadi pelakunya.

Inilah catatan dari bilik kiosku, kios tempat menuliskan naskah ini. Kios ini pula menjadi tempat aktifitas harian dalam menjalan beberapa usaha yang kulakukan selain bekerja sebagai jurnalis. 

Senin, 12 Juni 2017

Mengenal Sufisme Waliyah Zainab dan Bawean

Mengenal Sufisme Waliyah Zainab dan Bawean
Abd. Rahman Mawazi*

Sosok Syeikh Siti Jenar memang fenomenal. Ia adalah seorang wali yang dipinggirkan akibat ajaran-ajarannya. Konsep manunggaling kawula gusti, merupakan ajaran sufisme Siti Jenar yang ditolak para wali (walisongo) karena dinilai bertentangan dengan norma Islam dan menyesatkan. Ia kemudian dipinggirkan dan akhirnya dihukum mati.
Satu dasawarsa terakhir ini telah banyak litelatur yang mengupas sejarah hidup dan ajaran wali yang bernama asli Abdul Jalil. Tidak sedikit dari litelatur tersebut kemudian menjadi best seller. Hal ini dikarenakan keingintahuan masyarakat terhadap sosok dan konsep ajaran sufismenya yang kontreversial. Dan, buku Waliyah Zainab, Putri Pewaris Syeikh Siti Jenar ini juga berusaha menjelaskan konsep ajaran Syeikh Siti Jenar sebagaimana juga dipraktik oleh generasi penerus, Waliyah Zainab.
M. Dhiyauddin Quswandhi, penulis buku, mengupas ajaran Siti Jenar dari sebuah naskah kuno tidak berjudul yang menjelaskan tentang Sastro Cettho Wadiningrat atau ilmu tentang rahasia kehidupan, yang sering juga disebut sebagai ilmu kebegjan, ilmu mencapai kehidupan sejati. Naskah yang ditulis oleh generasi ketiga Siti Jenar, Sunan Sendang, berbahasa Jawa Kuno, dan tampaknya cukup bisa dipahami oleh penulis, yang tak lain adalah keturunan dari Sunan Sendang sendiri.
Judul : Waliyah Zainab, Putri Pewaris Syeikh Siti Jenar: 
Sejarah Pradaban Agama di Pulau Bawean
Penulis : M. Dhiyauddin Qushwandhi
Penerbit : Yayasan Waliyah Zainab Diponggo, Gresik
Cetakan: Pertama, Maret 2008
Tebal : xxxiii+315 halaman
Dalam ajaran sufisme terdapat empat tahapan akidah, yakni syariat, thariqat, hakikat, ma’rifat. Kempat tahapan tersebut dalam ajaran sufisme Wali Songo dikenal dengan takon, tekkun, tekken, tekan. Sedang Siti Jenar mengistilahkannya sebagai catur wiworo werit (empat perjalanan yang sulit) karena dalam menapaki setiap tahapnya penuh aral yang tidak gampang dilalui.
Pengistilah Siti Jenar tersebut cukup mempunyai alasan sebab, menurutnya, empat perjalanan itu merupakan pengejawantahan dari kalimat Laa ilaaha illa Allah. tahapan syariah mengandung makna ila-ilah (menuju Allah), thariqah berarti li-lah (untuk Allah), haqiqah sebagai fi-ilah (di dalam Allah), dan ma’rifah memuat bi-ilah (bersama Allah). Selain itu, keemapat tahapan juga memilki makna lain, yaitu syari’ah sebagai tataran ’ilmuthariqah sebagai tataran ’amalhaqiqah sebagai tataran hal, dan ma’rifah sebagai tataran sirr. (h.240) Tataran ilmu atau syar’iah, misalnya, bermakna bahwa syariat merupakan jenjang dan pengenalan aqliyah terhadap syariat, thariqat, hakikat, ma’rifat, berikut semua kandungannya.
Yang menjadi simbol keweritan dalam tahapan perjalanan akidah seseorang ialah penerapan empat tahapan dalam setiap tahapannya. Level syari’ah memiliki tahapan syariat, thariqat, hakikat, ma’rifat. Begitu juga di level-level selanjutnya. Melewati empat hahapan dalam setiap levelnya adalah perjalanan yang amat sulit karena aral, cobaan, serta tantangan dalam setiap tahapannya tidak mudah dilalui.
Oleh karena itu, penghayatan seorang hamba atas empat hal di atas mutlak diperlukan guna menuju suatu kesempunaan dalam berakidah. Bila sukses, ia akan merasakan puncak kesempurnaan keimanan, di mana keimanan tidak lagi sekedar bermakna percaya an sich kepada Allah, melainkan berbarengan dengan kecintaan (hub) dan selanjutnya penyatuan diri. Bila demikian, maka seorang hamba akan merasa bersatu dengan Khaliqnya—yang dalam konsep Ibn Arabi disebut wihdatul wujud.
Pulau Bawean
Ajaran Sufisme tersebut kemudian dipraktikkan oleh generasi keempat Syeikh Siti Jenar, Sayyidah Waliyah Zainab, di Bawean. Konstalasi politik di Jawa yang tidak memungkinkan bagi keturunan dan pengikut ajaran Siti Jenar memaksa Waliyah Zainab beserta rombongannya hijrah ke pulau Bawean. Kehadiran Waliyah Zainab di sana, selain sebagai bentuk pengasingan diri, juga menyiarkan agama Islam, yang kelak mencapai kesuksesan di masa adipati Sumenep, Umar Mas’ud.
Menurut M. Dhiyauddin Qushwandi, penyiar pertama agama Islam di Bawean ialah rombongan pengungsi dari kerajaan Campa. Hal ini sangat dimungkinkan karena letak Bawean yang steragis sebagai pulau transit pelayaran. Termasuk di dalamnya ialah Sunan Ampel dan ibundanya, Putri Condrowulan, yang kini makamnya terletak di desa Komalasa. Penemuan makam Putri Condrowulan ini merupakan suatu jawaban dari teta-teki sejarah.
Penemuan lain yang tak kalah pentingnya ialah prihal keberadaan makam laksamana muslim Cina Cheng Ho. Menurut Dhiyauddin, melihat posisi Bawean yang terletak di Laut Jawa, sangat mungkin Cheng Ho memilih Bawean sebagai tempat berdomisili hingga akhir hanyatnya. Hal ini berdasarkan informasi sejarah yang menyatakan bahwa konstalasi politik dinasti Ming saat itu sedang goncang, dan tidak adanya kabar atau informasi sejarah yang menyebutkan ke mana Cheng Ho berlayar sejak meninggalkan Jawa. Adapaun bukti yang menguatkan ialah, bahwa makam yang dikenal oleh masyarakat setempat sebagai Jujuk Tampo ialah dari kata ”tampo”. Ditengarai kata ”tampo” berasal dari bahasa Cina ”dempo”, yang berarti nahkoda. Selain penemuan tersebut, Dhiyauddin juga memastikan bahwa huruf Honocoroko tercipta di Bawean.
Kehadiran buku ini, dengan demikian, selain mengungkap ajarah sufisme Siti Jenar yang kontroversial itu, juga mengungkap suatu peristiwa masa lalu yang masih menjadi misteri masa kini. Survei lapangan yang dilakukan penulis serta telaah litelatur yang ketat menjadikan buku ini layak untuk dijadikan rujukan bagi mereka yang berdedikasi di bidang sejarah sekaligus sebagai pintu bagi penelitian lebih lanjut. Sebab, jika berbicara sejarah, hal itu adalah bukti-bukti yang tertinggal dan masih ada, baik  berupa tulisan, naskah, ataupun artefak yang bisa dibuktikan kebenarannya secara ilmiah. Tampa itu semua, ia hanya menjadi dongeng atau mitos belaka.
*Abd. Rahman Mawazi,
pustakawan, alumnus UIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta.

Minggu, 11 Juni 2017

Perjalanan Panjang Pencarian Tuhan

Perjalanan Panjang Pencarian Tuhan
Oleh Abd. Rahman Mawazi*
 
 
Judul Buku : Tuhan Di Mata Para Filosof
Penulis : Etienne Gilson
Penerjemah : Silvester Goridus Sukur
Penerbit : Mizan, Bandung
Cetakan : I, November 2004
Tebal : 237 Halaman
Filsafat selalu mendapat perhatian dikalangan pemikir, hampir disetiap ranah ilmu pengetahuan mempunyai landasan filosofis kecuali ilmu eksak. Tak luput juga dari landasan filosofis itu yakni teologi metafisika. Teologi metafisika adalah ilmu yang murni membutuhkan suatu rasionalisasi, tanpa rasionalisasi niscaya tidak akan dapat mengungkap misteri dari metafisika itu sendiri.
Perjalanan panjang para filosof dalam mencari Tuhannya telah melahirkan suatu aliran filsafat yang sangat berguna bagi manusia dalam memaknai “nilai-nilai” keberadaan Tuhan. Teologi adalah suatu pendekatan menuju pemahaman ketuhanan. Hal ini dimulai dari munculnya pertanyaan tentang siapa yang mengatur dunia ini? Tales, Aristotales, Plato dan kebanyakan filosof Yunani lainnya selalu mencari jawabannya. Suatu kesimpulanm yang sangat bertentangan dengan keyakinan masyarakat Yunani pada umumnya kala itu, filosof – periode akhir – awal Yunani membuat suatu kesimpulan bahwa ada yang lebih berkuasa dibandingkan para dewa yang diyakini oleh masyarakat Yunani.
Etienne Gilson, penulis buku ini, menelaah perjalanan dan pandangan para filosof tentang Tuhan. Hal ini ia lakukan karena kekawatirannya terhadap perkembangan para pemikir dalam mencari Tuhan-nya yang mulai lepas dari rel pengetahuan filosofis. Premis yang dibangun oleh filosof masa awal (baca Yunani) mulai mengalami pergeseran paradigma filosofis dikalangan pemikir abad modern dan kontemporer.
Pembacaan terhadap bukti keberadaan Tuhan melalaui telaah atas bukti nyata yang ada di jagad ini telah menghasilkan teologi natural. Melalui metode itu filosof Yunani kemudian membuat suatu kesimpulan. Namun, ketika agama mulai mendapat keyakinan dihati manusia justru Tuhan dapat diterima dengan lapang dada oleh umatnya. Mulailah berkembang kemudian teologi agama untuk menjawab keberadaan dan eksistensi Tuhan. St. Augustinus seorang folosof kristen, misalnya, mampu memberikan pemahaman yang dapat diterima dengan akal dan penuh landasan filosofis dari sebuah ajaran Kristen.
Berbeda dengan para filosofis, agamawan dan umat beragama dapat menemukan Tuhan-nya dengan prakter ibadah spiritual sedang para filosof memulainya dengan nalar kritis serta sitematis kemudian mampu menjangkau Tuhan. Keduanya, filosof dan agamawan, sama-sama telah menemukan Tuhan-nya dengan jalan masing-masing. Kemudian datanglah perdebatan baru pada era filsafat modern sejak mulainya memasuki perkembangan filsafat. Hal inilah yang dialami sendiri oleh Etienne ketika para pemikir semasanya mulai merekontruksi paradigma filosofis teologi metafisika. Menurut Jaroslav Pelikan, dalam prakatanya di buku ini, hal ini disebabkan oleh dominasi pemikiran Emmanuel Kant sehingga penerusnya Karl Marx, Charles Darwin, Sigmund Frued dan Friedrich Nietzsche melakukan aksi “penghujatan Tuhan”.
Berbeda dengan Descartes dan Spinoza, keduanya secara eksplisit mengakui keberadaan Tuhan. Seperti dikutip oleh Etienne, Descartes secara ekplisit mengatakan “Karena kita tidak mungkin memisahkan eksistensi dari ide tentang Tuhan, maka Tuhan niscaya ada atau ber-ada (eksis)”, begitu pula dengan Spinoza yang memandang Tuhan adalah Ada yang maha tidak terbatas, atau subtansi yang merupakan “penyebab bagi dirinya sendiri” karena “esensinya meliputi eksistensi”. Komentar Etienne lebih lanjut tentang keduanya bahwa bisa jadi mereka keliru secara filosofis atau benar secara religius, atau sebaliknya benar secara filosofis, keliru secara religius.(hlm.159) Akan tetapi secara jelas Descartes juga mengungkapkan bahwa Tuhan, agama atau bahkan teologi bukan merupakan obyek yang tepat bagi spekulasi filosofis, biarkanlah agama tetap sebagaimana adanya yakni perkara iman semata-mata, bukan pengetahuan intlektual atau pembuktian rasional.
Lain halnya dengan apa yang kemudian berkembang dikalangan pemikir kontemporer dimana perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi begitu pesat, sehingga Tuhan pun menjadi obyek ‘perdebatan’. Disinilah pengaruh filsafat Kant dan Aguste Comte mendominasi. Kritisisme Kant dan Positivisme Comte memiliki kesamaan tentang gagasan pengetahuan yang direduksi menjadi pengatahuan ilmiah dan gagasan pengetahuan ilmiah menjadi intelijibilitas yang disiapkan oleh fisika Newton. (hlm.168)
Ilmuan kontemporer, Sir James Jeans memadukan masalah-masalah filsafat dalam perspektif sains kontemporer dengan kesimpulan bahwa alam semesta sains merupakan sesuatu yang misterius. Nah, selayaknya fungsi sains menyingkap misteri alam semesta ini agar kemisteriusannya dapa terpecahkan atau menjadi tidak misterius lagi. Namun penolakan ilmuan dengan tidak menerima hal-hal metafisika karena dinilai tidak empiris, irasional dan tidak ilmiah akibat pemisahan antara urusan ilmu pengetahuan dengan agama atau Tuhan.
Kehadiran buku ini memberikan gambaran singkat tapi jelas tentang pandangan para filosof dan pemikir tentang Tuhan. Teka-teki metafisika di tulis dengan begitu jelasnya sehingga pembaca dapat memahami landasan-landasan filosofis tentang keberadaan dan eksistensi Tuhan serta perjalanan para filosof dalam mencari Tuhannya. Jangan sampai orang modern tersihir oleh sains, karena masalah tuhan tidak akan pernah bisa dirumuskan dalam satu rumusan ilmiah.

Naskah lama yang saya tulis 2004 silam.

Selasa, 30 Mei 2017

Puasa dan Pembebasan Sosial

Puasa dan Pembebasan Sosial
Oleh Abd. Rahman Mawazi*

"Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana telah diwajibkan kepada orang-orang sebelum kamu agar kamu sekalian bertaqwa" (QS. 2:183)



Momentum Ramadan  selalu menarik perhatian bagi umat Islam. Bukan saja karena bulan itu diagungkan dengan kewajiban melaksankan puasa sebulan penuh dan segala keistimewaan dan kelebihannya, tetapi juga himbauan pemenuhan kebutuhan spiritual akan keimanan dan ketakwaan. Banyak seruan yang mengarah pada peningkatan ketakwaan, baik seruan melaksanakan ibadah syar’iyah maupaun ibadah sosial, yang intinya agar menahan (al-imsak) diri dari perbuatan yang tidak sesuai dengan norma agama dan melakukan suatu kebajikan yang menambah nilai plus dari ibadah puasa itu sendiri.
Sebagai fondasi (rukun) Islam, puasa merupakan kewajiban mutlak (fardu ‘ain) bagi umat Islam. Didalammnya, disamping unsur filosofis yang terkandung, yakni peningkatan ketakwaan (hablun min Allah), ada banyak muatan dan kadungan yang berhubungan dengan kehidupan di dunia, khususnya sesama manusia (Hablun min an-nas), yang dapat direnungkan bagi seorang hamba dengan melaksanakan ibadah puasa penuh ketakwaan. Puasa mempunyai konteks tanggungjawab pribadi dan juga tanggungjawab sosial. Karenanya, dalam berpuasa, disamping mewujudkan kesalehan vertikal kepada Allah, juga untuk mewujudkan kesalehan herisontal kepada sesama manusia dan mahluk Allah.
Ketakwaan itu akan tampak bila diimplementasi dalam berkehidupan sosial. Seperti dikatan Ashgar Ali Angineer, cendikiawan dari India, kesalehan yang disebutkan dalam al-Qur’an bukan hanya kesalehan ritual, namun juga kesalehan sosial. Bukankah permasalahan sosial dewasa ini cukup kompleks? Dan persoalan serius yang harus segera dijawab umat Islam saat ini adalah menunjukkan seberapa relevan konsep Islam sebagai agama ‘rahmat’ bisa dijadikan alat sekaligus solusi atas berbagai persoalan sisio-ekonomi kontemporer; kemiskinan, keterbelakangan, penindasan, dan ketidakberdayaan menghadapi perubahan-perubahan global—misalnya, ekonomi dan politik.
Persoalan kemiskinan misalnya, dimana jumlah masyarakat miskin di negeri ini semakin bertambah dalam tiap tahunnya dan ketika mereka tidak lagi berdaya menghadapi persaingan hidup mendapatkan ‘kelayakan’, memerlukuan solusi konkrit yang mampu mengentaskan problema itu. Telah sering diperlihatkan dalam berita-berita kriminal bawah kebanyakan masyarakat kelas bawah melakukan keriminalitas dengan alasan untuk sesuap nasi, dan atau mempertaruhkan nasib dengan bermain judi—termasuk dalam kategori ini adalah lotere—dan bahkan melakukan hal-hal yang irasional seperti tahayul penggandaan uang (yang ujung-ujungnya tak lain hanyalah praktik penipuan).
Fenomena kemiskinan, bukan saja merupakan problem sosial tapi juga problem agama. Karena, kefakiran bisa menyebabkan kekufuran (al-Hadist). Oleh karena itu, sebagai sesama manusia kita diwajibkan saling tolong menolong. Dan konsep al-Qur’an mengenai distribusi harta kekayaan sangat jelas, "Dalam harta kekayaan terdapat hak peminta-minta dan orang yang hidup berkekurangan" (51:19). Ayat ini dengan sangat jelas menyatakan bahwa kepemilikan tidak bersifat absolut, namun harus dibagi-bagikan pada gologan masyarakat lemah (mustadl’afin).
Begitu juga dengan keterbelakangan, penindasan, dan ketidakberdayaan selalu saja menimpa masyarakat kelas bawah (baca; mustadl’afin). Negeri ini adalah negeri dengan penduduk muslim terbesar dunia, negeri ini masuk dalam deretan negeri miskin, dan negeri ini juga masuk dalam kategori negeri terkorup di dunia. Cukup sudah predikat yang disandangkan pada negeri ini dimana penduduk mayoritasnya adalah muslim. Dan bentuk fenomena sosial yang paling akut juga diderita oleh orang muslim. Padahal, Islam sebagai agama rahmat membawa misi persaudaraan yang universal (universal brotherhood), kesejahteraan (equality), dan keadilan sosial (social justice) (Ashgar Ali Angineer,1999).
Memahami Islam sebatas pemenuhan kebutuhan moral spiritual tidaklah benar. Karena, selain memenuhi kewajiban menunaikan ibadah, Islam juga memerintahkan akan kepedulian sosial. Oleh karena itu, merepon peroblematika kontemporer dengan bersandar pada konsep al-Qur’an, melelui reinterpretasi terhadapnya, merupakan suatu keharusan, sebab zaman selalu berubah dan berkembang. Mempertahankan stagnasi sama-halnya dengan membiarkan kemandulan umat. Dan, secara otomatis, Islam dengan konsep rahmatan lil alamin tidaklah lagi menjadi rahmat, melainkan bencana yang disebabkan oleh umat Islam sendiri.
Kondisi sosial kontemporer; kemiskinan, keterbelakangan, penindasaan, ketidakberdayaan, dan sebaginya memerlukan respon agar tidak berlarut-larut menimpa umat Islam. Disinilah dibutuhkan ijtihadiyah baru dalam merespon problematika tersebut. Jamal Albana, cendikia dari Mesir, mengatakan bahwa jihad—berasa dari kata jahada yang berarti bersungguh-sungguh—masa kini bukanlah bagaimana mati di jalan Allah, meliankan bagaimana kita hidup dijalan Allah. Pembebasan umat dari keterbelengguaan, kemiskinan, penindasan dan segala macam bentuk ketidakberdayaan masyarakat, terutama mustadl’afin, merupakan kesalehan sosial. Menurut Abdul Munir Mulkhan, guru besar Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta, iman dan kesalehan seseorang tidak hanya dilihat dari pemenuhan rukun iman dan rukun Islam, melainkan juga pemihakan pada kepentingan kaum mustadl’afin(kaum tertindas). Membela dan membebaskan kaum mustadl’afin merupakan kewajiban dan tanggung jawab bersama. Karena itu, Hassan Hanafi, pemikir kiri Islam, menganggap bahwa tantangan terbesar bagi umat Islam adalah kemiskinan, keterbalakangan, dan ketertindasan. Bila demikian, agenda muslim yang harus direalisasikan secepatnya adalah "jihad sosial". Sudah saatnya revolusi sosial dilakukan.

Islam dan Pembebasan
Sejarah telah membuktikan bahwa kehadiran Islam di tengah masyarakat Arab jahiliyah membawa misi revolusi besar-besaran, yakni pembebasan umat manusia dari kejahiliyahan menuju peradaban humanis-dinamis, baik bidang ketuhanan (tauhid), ahklak, sosial-budaya, politik dan perekonomian. Sang pembebas, Muhammad Saw. membawa masyarakat jahiliyah menuju keterbebasan dari belenggu yang menimpa mereka.
Awalnya, sebelum Islam datang, praktik perbudakan begitu marak, kaum perempuan (seakan) tidak mempunyai harga—mereka dengan teganya menguburkan hidup-hidup bayi perempuan karena dianggap hanya akan membawa kerugian dan petaka bagi keluarga dan kebilahnya. Perempuan dijadikan pelampiasan nafsu libido para lelaki dengan menikahi mereka tanpa batas. Begitu juga dengan pola pikir masyarakat jahiliyah yang irasional dan mengedepankan adat-istiadat yang sarat dengan mitos. Oleh karenaya mereka dikenal dengan masyarakat jahiliyah. Namun sejak kedatangan Sang Pembebas, kebiasaan dekimian sedikit demi sedikit mulai dirubah. Praktik perbudakan mulai dikurangi dengan adanya kewajiban—sebagai kafarat (tebusan)—memerdekakan budak bagi seseorang yang melanggar suatu perintah syariat, poligami dibatasi maksimal empat orang istri bagi mereka yang mampu berbuat adil terhadap istri-istrinya, dan kepercayaan mitos dirubah dengan penanaman aqidah yang kokoh.
Termasuk juga pembebasan sosial yang telah dilakukan oleh Nabi adalah menghapus primordialisme dan fanatisme kesukuan. Islam datang dengan konsep tidak membeda-bedakan suku, ras, dan golongan dihadapan Allah menjadi pintu menuju kehidupan harmonis umat manusia. al-Qur’an menyebutkan, "Hai manusia! Kami telah manciptakan kalian dari laki-laki dan perempuan, dan membuat kalian menjadi berbangsa-bangsa dan bersuku-suku, supaya kamu sekalian saling mengenal satu sama lain. Sesungguhnya, yang paling mulia diantara kamu sekalian disi Allah adalah yang paling bertakwa.". Ini merupakan konsep yang paling revolusioner, dimana tidak ada lagi kesenjangan umat manusia yang disebabkan perbedaan ras, suku bangsa, dan golongan.
Diranah sosio-ekonomi misalnya, Islam juga menawarkan konsep revolusioner, yakni keadilan distributif dan melarang praktik culas dalam mengumpulkan harta kekayaan, seperti penimbunan kebutuhan perekonomian (QS.6:34), praktir rentenir dan riba (mengambil keuntungan dengan sistem bunga)(2:275-278). Hal ini bermakna bahwa agar penikmatan kebutuhan tidak hanya berputar dikalangan orang-orang kaya, melainkan merata pada seluruh lapisan masyarakat. Dan agar kesenjangan sosial -pembedaan si kaya dan si miskin- tidak lagi menjadi kemelut, melainkan suatu kebutuhan imbal balik, yakni saling membutuhkan.
Sekelimut histori peradaban umat Islam masa awal diatas perlu jadikan contoh untuk didialektikakan dengan keberadaan umat masa kini yang begitu banyak mengalami problematika sosial dan menuntut respon dari sekian konsep Islam. Apalagi, tantangan hidup di era global ini telah menjadikan wajah buram bagi umat Islam yang terbukti dengan begitu banyaknya masyarakat muslim di dunia yang mengalami kelaparan, kemiskinan, penindasan dan keterbelakangan.
Oleh karena itu, melalui momen puasa kali ini, kita tingkatkan moral spritual dan moral sosial. Sebab, bangunan moral spiritual bukan hanya sebagai pembebasan personal, melainkan kesalehan untuk pembebasan sosial—yang juga merupakan moral sosial. Solidaritas kemanusian menjadi nilai plus dalam upaya meningkatkan ketaqwaan. Dan mudah-mudahan puasa yang kita jalani telah memuat sisi batiniah (esoterik) sekaligus sisi lahiriyah (eksoteris). Wallahu a’lam.


*Tulisan semasa masih di Jogja antara 2002-2008