Sabtu, 02 Februari 2013
Daun Racun yang Menjadi Obat
Tulisan arab di lembaran daun itu tampak sedikit mencolok di
antara barang-barang lain di museum Linggam Cahaya. Kalimat yang tertulis pada
bagian pertama ialah bissmillahirrahmaanirrahiim. Menurut petugas penjaga
museum, itu adalah daun dari pohon Embacang atau juga dikenal juga Bacang.
Tradisi mandi Safar menjadi bagian dari ritual tradisi
melayu yang telah dipopulerkan oleh sultan Lingga Riau terakhir, Abdurrahman
Muazzamsyah, saat hendak berangkat meninggalkan Daik menuju Singapura. Sultan
yang kala itu hendak dimakzulkan oleh Belanda menyempatkan dulu untuk mengajak
warganya melakukan mendi Safar di istana Kolam.
Sejak saat itu, tradisi mandi Safar kembali menggeliat
dikalangan warga melayu di Daik. Dalam kegitan itu, air yang hendak digunakan
untuk mandi penyiram pada pertama kali membasahi tubuh adalah air yang telah dimantra-mantrai
oleh tokoh adat setempat. Mantra yang digunakan adalah sebuah isim yang
ditulisakan pada benda lalu dicelupkan ke dalam tempayan ataupun gentong.
Menurut pemerhati budaya Lingga, Lazuardi, dulunya tidak
hanya dedaunan yang digunakan. Adakalanya pelepah pohon. Zaman itu, terangnya,
kerta merupakan barang mewah dan sulit untuk didapatkan. Kertas yang ada sering
digunakan untuk kebutuhan administrasi kerajaan.
“Barulah setela itu daun yang digunakan. Menurut
cerita-cerita, daun Embacang ini dipilih karena pohon ini memiliki racun. Siapa
yang terkena tetesan getahnya akan terkena penyakit gatal-gatal dan kudis. Ada
juga penyakit lain yang ditimbulkan dari daun ini. Makanya, kemudian daunnya
dipilih,” paparnya.
Pemilihan daun tersebut, tambah dia, agar segala racun yang
terdapat didalamnya tidak membawa petaka dan marabahaya bagi warga. Dengan
dibacakan doa serta penulisan isim pada daun itu, diharapkan tidak lagi
mencelakai warga. Akan tetapi, tidak ada patokan khusus dalam penggunana media daun
tersebut.
Penulisan isim atau kalimat pada daun itu tidak sembarang.
Hanya orang-orang tertentu yang bisa boleh menuliskannya, yakni ulama ataupun
tokoh agama. Waktu penulisan juga sangat terpilih, yakni pada Jumat atau
malam-malam lain yang dianggap paling bagus. Selama proses penulisan, sang
penulis juga tidak diperkenankan berbica hingga penulisan selesai.
“Itu adalah aturan-aturannya. Sebab maksuda dan tujuan dari
tulisan itu adalah doa atau permohonan. Tulisannya, bismillahirrahmaanirrahiim
salaamun kaulam mir rabbir rahim dan seterusnya. Tentang hal ini ada
diterangkan dalam kitab Tajul Mulk,” imbuhnya lagi.
Menurut Fadli, petugas museum Linggam Cahaya, dalam Kitab
Tajul Mulk itu disebutkan bahwa tradisi itu untuk menolak balak anak cucu nabi
Adam dari godaan Dajjal (sosok pembawa bencana dalam kepercayaan umat Islam,
red). Dalam kitab tersebut juga diceritakan tentang awal mula tradisi tersebut.
“Untuk pelaksanaannya, yakni pada hari Rabu terakhir di bulan Safar. Seperti
disebutkan dalam kitab ini,” ujarnya saat membacakan keterangan dalam kitab itu
kepada Tribun beberapa waktu lalu.
Masyarakat melayu meyakini kegiatan mandi Safar
adalah bagian dari adat istiadat untuk tolak balak atau dijauhkan dari musibah
dunia. Tradisi ini tidak hanya dilakukan oleh masyarakat Melayu di Lingga, melainkan
juga di Malaka, Serawak, dan lainnya.
Long Leman, Terpanggil Menjaga Sejarah dan Budaya di Lingga
Besi tua itu sebelumnya teroggok di pinggir jalan. Sekilas,
ia terkesan hanyalah sebagai besi tua yang tidak dipergunakan lagi dengan warna
kecoklatan yang pekat. Nyaris hitam. Untungnya, ada tulisan yang menandakan
bahwa benda itu ialah cagar budaya. Benda itulah yang berada di hadapan Long
Leman. Besi itu telah dipindahkan oleh Disparbud Lingga beberapa waktu lalu
untuk menjadi bagian koleksi museum.
Kakek Long Leman (60) sedang asyik mengetuk benda bulat itu.
Ia tampak serius dengan palu di tangannya. Pelan dan perlahan, karat yang
melekat disingkirkan agar tidak menjalar ke bagian lain dari besi itu. “Ini
dulu dipakai untuk memadatkan jalan oleh Belanda waktu membuka jalan ke
pelabuhan Beton,” ujarnya saat disambagi Tribun beberapa waktu lalu.
Benda itu, terangnya, adalah peninggalan bersejarah yang
harus dirawat. Itu adalah bagian dari bukti sejarah atas kehadiran Belanda
dalam upaya mengusai Lingga yang ketika itu dipimpin oleh sultan terakhir
kerajaan Lingga Riau. Belanda menjadikan pelabuhan Buton sebagai lokasi untuk
memantau arus keluar masuk penduduk, termasuk juga raja yang hendak
dimakzulkannya.
Itu adalah satu diantara pekerjaan Long Leman. Ia termasuk
satu diantara para pecinta benda-benda bersejarah, seni budaya, serta adat
istiadat melayu. Bahkan, Long Leman rela menghibahkan tanahnya untuk
pembangunan museum. Ia merasa bahwa benda-benda bersejarah harus dirawat dan
dilestarikan agar anak cucu kelak bisa mengambil pelajaran.
“Dulu saya pelaut. Saya telah datang ke beberapa daerah.
Saya melihat berbagai adat-istiadat mereka. Terus saya berpikir, daerah saya
ini kaya dengan budaya. Setelah balik, saya tidak lagi mau menjadi pelaut. Saya
memilih melestarikan budaya,” kisahnya sembari mengenang masa lalunya.
Sebelum upaya penyelamatan benda-benda bersejarah, Long
Leman menekuni bidang budaya. Ia pun mempelajari beberapa peralatan musik. Tak
heran, bila kini ia bersama dengan sanggar tari yang ia bina sering mendapatkan
undangan ke berbagai daerah.
Setelah Lingga menjadi kabupaten, semangatnya terus
berkobar. Apalagi, museum itu kini berada berdampingan dengan rumahnya.
Sehari-hari ini, ia selalu bergulat dengan benda-benda bersejarah serta
kebudayaan. “Tidak bosan. Museum ini penting. Inilah pengabdian saya. Saya tak
bisa kasi apa-apa,” ujarnya.
Penggiling tanah itu, rencananya akan diletakkan di dekat
museum bersama dengan beberapa koleksi lainnya. Dengan begitu, setiap warga
yang datang bisa menikmati koleksi dan mengambil pelajaran.
Lazuardi, seorang teman Long Leman, mengatakan selalu berbagi
informasi perihal informasi-informasi budaya dan sejarah. Bahkan, ketika
berburu barang-barang untuk koleksi museum, mereka kerap bersama. Saat Long
Leman masih mampu melakukan perjalanan jauh, mereka berdua tidak segan
mendatangi pelosok-pelosok desa.
“Kita harus berusaha sekuat tenaga menjaga agar koleksi
bersejarah tidak berpindah dari Lingga. Kami selalu mencari informasi sampai ke
pelosok-pelosok desa,” ujarnya.
Semangat mencintai budaya dan sejarah dari Long Leman juga
telah turun kepada seorang anaknya, Jumiran. Anaknya itu memiliki bakat di
bidang musik dan saat ini telah bergabung dengan sanggar yang menjadi binaanya.
“Ada satu anak yang bakatnya sama. Mudah-mudah cucu nanti juga ada yang bakat
di bidang sejarah,” harapnya.
Selain menjaga dan merawat benda bersejarah, Long Leman juga
adalah orang yang selalu mencuci benda-benda bertuah. Dalam tradisi adat
melayu, benda bertuah seperti keris tidak bisa dicuci sembarang orang. “Itu
agak lain sedikit. Orang boleh percaya atau tidak,” ucapnya. Tak heran bila ia
kerap dicari beberapa orang, bahkan dari negeri seberang untuk mengambil
pelajaran darinya.
Nelayan di Bakong Penghasil Ikan Bilis
Seorang nelayan ikan bilis, A Ti, masih sibuk dengan loyang perebus ikan di hadapannya. Sesekali ia harus menghindar dari kepulan asip membuat perih mata. Dengan singap, ia mengentas rebukan ikan dalam keranjang khusus setelah beberapa menit dicelupkan.
Sore itu, cuaca tampak menudung. Para nelayan ikan bilis di
desa Bakong terpaka harus merebus ikan bilis hasil tangkapan semalam agar tidak
membusuk. Terik matahari adalah pengering ikan andalan warga. Dan bila hujan,
maka mereka pun akan sibuk merebus ikan bilis itu.
“Kalau tidak rebus, nanti busuk. Tapi kalau sudah direbus
begini, harganya jadi murah. Kualitasnya beda antara yang dikeringkan langsung
ke matahari dengan yang direbut dulu,” kata Rustam, warga Bakong menjelaskan
beberapa waktu lalu.
Apa yang dilakukan A Ti bersama dengan anggota keluarganya
ialah berupaya agar ikan hasil tangkapan semalam itu tidak membusuk dan tetap
masih bisa dijual. Itulah rezeki yang bisa kais oleh A Ti beserta ratusan warga
lainnya di Bakong. “Kalau tiga kali rebus, dah tak bisa jual lagi. Di buang
saja,” ujarnya.
Hujan dan musim angin utara adalah aral yang sangat
menyulitkan bagi para nelayan. Jika memasuki musim utaran, warga tidak melaut
lagi selama hampir empat bulan. Sedangkan 80 persen masyarakat di sana
menggantungkan pada tangkapan ikan bilis. Setiap satu kilo ikan bilis kering
dihargai oleh pengepul Rp 40 ribuan untuk kualitas dengan pengeringan matahari
langsung, sedangkan yang terlebih direbus harga sudah jatuh dan bahkan tidak
sampai Rp 30 ribu.
Ikan-ikan itu ditampung oleh seorang dari Tembilahan Riau.
Nelayan lebih memilih pengusaha dari luar daerah itu karena penampung dari
Tanjungpinang justru menawar dengan harga lebih murah. Para nelayan berharap
ada investor yang memiliki penampungan di Bakong sehingga warga pun mudah untuk
menjual hasil tangkapannya.
Putera kelahiran Bakong, Irjen Pol (purn) Andi Masmiyat,
yang datang melayat ke makan orang tua beberapa waktu lalu mengakui mata
pencarian masyarakat adalah nelayan. Hal itu sudah berlangsung sejak dulu,
sejak ia masih kecil dan sering berlari diantara jemuran ikan bilik milik
warga. “Kalau ada teknologi pengeringan yang sederhana saja, mungkin tidak akan
sampai busuk,” ujarnya.
Saat pertemuan, warga mengaku butuh pelatihan untuk
meningkatkan nilai jual dari ikan bilis mereka. Dan kini, mereka sedang
berembuk untuk membentuk kelompok nelayan agar bisa segera mendapatkan
pelatihan ataupun membentuk swada untuk keperluan diantara mereka juga.
Berebut Berkah dari Ritual Xia Khang di Lingga
Senja mulai menghilang kala orang-orang di kelenteng itu
sedang sibuk mempersiap perabotan. Malam itu, adalah malam rangkaian dari
upacara sembahyang kesalamatan bumi di kelenteng Berigin, Penuba, Lingga.
Segala kebutuhan untuk konsumsi pun sedang dipersiapkan bagi para tetamu yang
akan datang.
Sembang keselamatan bumi, atau yang dikenal juga dengan Xia
Kang itu, adalah ritual syukuran sekaligus perhononan berkah yang dalam tradisi
masyarakat Thionghoa. Ritual ini telah berjalan lama hingga menjadi tradisi
sampai saat ini, khususnya masyarakat untuk kelenteng atau pun vihara yang
berada di pinggiran sungai.
Ketua pengurus kelenteng, Susanto, mengatakan, tradisi itu
sudah berlangsung lama dan dilakukan setiap setahun sekali. Kegiatan itu
sebagai bentuk syukur atas sezeki yang telah mereka terima dan sebagai bentuk
permohonan untuk tahun depan. Kelenteng Beringin menjadi kelenteng tertua di
Penuba dan kini sudah berusia 112 tahun.
“Ini semacam upacara syukuran atas sungai yang telah
memberikan rezeki. Tradisi ini sudah turun temurun,” kata Ayun, sesepuh warga
Thionghoa di Singkep kepada Tribun, Jumat (14/12) lalu. Tradisi ini juga
berlangsung pada kelenteng di Daik dan juga Pancur.
Sebagai ritual sacral, warga Thionghoa dari Penuba yang
telah merantau pun turut hadir. Mereka berdatangan dari Batam, Bintan,
Tanjungpinang, Jakarta, Singapura, dan juga derah lainnya. Mereka rela
meninggalkan kesibukan keseharian demi mengharap berkat dari upacara tersebut.
Mereka bersembahyang, lalu duduk bersama untuk menikmati jamuan serta hiburan
dan juga lelang barang.
Pelelangan dari barang-barang yang telah disembahyangkan
menjadi rebutan. Patung-patung dengan berbagai bentuk dilelang untuk derma bagi
kelenteng. Sebagaimana layaknya lelang, tawar menawar harga pun membuat suasana
semakin ramai. Mereka tidak hanya merebutkan barang, melainkan makna dari
barang-barang itu.
“Ada makna-makna tertentu. Kayak naga tadi. Itu ada
artinya,” kata Ayun yang enggan menjelaskan lebih jauh makna-makna dari setiap
barang. Pada malam itu, patung naga dan kuda menjadi incaran para peserta
lelang. Penawaran sempat sengit hingga akhirnya mengerucut pada dua orang.
Harganya pun melejit jauh, bahkan ada barang yang dilepas dengan harga Rp 33
juta.
Harga memang tidaklah menjadi persoalan, tetapi kepuasan
dari memiliki barang yang telah disembahyangkan adalah sesuatu yang berbeda.
Itulah, kata Ayun, yang membuat banyak orang berebut untuk memiliki
barang-barang yang dilelang. (arm)
Selasa, 25 September 2012
Mengais Emas di Antara Timah di Dabo Singkep
EMAS - Seorang pendulang emas tradisional di Dabo Singkep menunjukkan butiran emas dari pendungannya. |
Kesohoran Timah di Dabo Singkep sudah lama berlalu. Hingga
kini, penambangan timah secara tradisional pun masih terdapat di pulau ini
meskipun PT Timah telah resmi menutup operasionalnya pada 1992 lalu. Uniknya,
di antara biji-biji timah itu, terdapat biji emas.
Belasan orang berendam dalam kubangan penggalian timah atau
yang akrab disebut kolong oleh masyarakat Dabo. Mereka sibuk memutar-mutar
nampan di air berwarna kecoklatan. Mereka itu sedang hendak memisahkan tanah,
pasir, dan kerikil untuk mencari emas. Sesekali, gumpalan tanah diremas lalu
dimasukkan lagi ke nampannya.
Itulah yang dilakukan oleh Nasri bersama dengan beberapa
orang lainnya di sebuah area penambangan. Dengan air setinggi setengah badan,
mereka berendam untuk mengais tanah, lalu meletakkannya dalam nampan, dan
kemudian memutar nampan itu. “Tak ada bang, susah jugalah dapatnya,” kata Nasri
usai melihat hasil dulangannya.
Hari itu, ia mendapatkan dua butir emas mulia. Itu adalah
hasil seharian sejak sekitar pukul 10 pagi menjeburkan diri dalam air. Dengan
menggigil, ia pun beranjak dari kolong. Minum seteguk kopi dalam botol kecil lalu
mengisap sebatang rokok. Ia sudah mempersiapkan bekal dari rumah yang siap
disantap kala jeda. “Kayak inilah,” katanya sembari menunjukkan dua butir emas
hasil hari itu.
Emas itu berada diantara biji timah, tanah, dan pasir di
kedalaman mulai satu meter hingga 10 meter di permukaan tanah. Bisa dikatakan
setiap ada timah ada juga emasnya. Namun, Nasri bersama teman-temannya hanya
memungut sisa-sisa, yakni sisa pemilik tambang timah. Mereka pun baru berani
mendulang apabila pemilik tambang mengizinkan.
“Kami pernah dapat segini (sambil menunjukkan jempolnya, red).
Beratnya 27 gram. Itulah kalau rejeki,” ujar Jamil pula. Ia mengaku kaget
ketika melihat emas murni sebesar itu. Namun, ia tidak berani bising ataupun
berteriak walau pun girang. Ia harus merahasiakan penemuan itu. “Manalah tahu
kita satu persatunya orang,” ucapnya pula sembari terseyum.
Ternyata, temuan itu membuatnya semangat untuk menjadi pendulang
emas tradisional. Harganya yang mencapai Rp 485 ribu hingga Rp 495 ribu
sangatlah menggiurkan. Menjualpun mudah. Cukup ditawarkan pada toko-toko emas
yang ada di Dabo Singkep.
Bukanlah pekerjaan gampang untuk mendapatkan satu gram emas.
Bisa jadi, dalam sehari tidak dapat sekali. Mereka harus berendam berjam-jam
lama. Belum lagi berebutan mengambil lokasi dengan pendulang lainnya. Bagi yang
tidak ingin berendam dalam air, biasanya mereka akan mebuat lubang sendiri.
Para pendulang ini ada yang mencari perseorangan dan ada
juga membentuk menjadi satu kelompok, bisa terdiri dari dua hingga empat orang.
Mereka yang berkelompok akan saling bahu membahu membantu. Hasilnya pun dibagi
rata. Mereka mengaku pekerjaan ini lebih santai dan hasilnya pun lebih besar
dari pada kerja lainnya.
Seorang bekas penambang timah, Edi, mengaku, hampir setiap
daerah penambangan timah mengandung emas. Ketika ia masih aktif bekerja, bisa
dipastikan setiap haru selalu mendapat emas, walau jumlahnya tidak sama. “”Emas
itu lebih berat dari pada timah. Dia ada bawah, warna kuning, seperti emas
biasanya,” katanya.
Mencari timah adalah bagian utama usaha tambang itu, tetapi
emas adalah sebuah harapan. Harga yang terpaut jauh dengan timah, selalu
menggiurkan para pekerja untuk terus jeli melihat benda berwana kuning itu. Hal
ini juga yang membuat sebagian masyarakat Dabo Singkep memilih mendulag emas
ataupun ikut bekerja pada penambangan timah.
Hampir seabad timah di bumi Singkep dieksplorasi
besar-besaran. Ekplorasi dengan kapal keruk itu dimulai 1910 oleh perusahaan
Belanda. Awalnya mereka menyisir bagian laut, namun pada perkembangan
selanjutnya, setelah menjadi PT Timah, eksplorasi dilakukan di darat. Sejak
itu, Dabo tersohor dengan hasil timahnya yang melimpah. Hingga kini, bekas-bekas
galian atau kolong itu masih tampak. Meski tidak banyak, kandungan alam itu
masih memberikan secercah harapan bagi penghuninya. (Abd Rahman Mawazi)
NB: Tulisan ini pernah terbit di harian Tribun Batam pada 11 September 2012.
Senin, 24 September 2012
Penuba, Tertindih Memori Perjalanan Hidup ( 2-Habis )
BARAK - Gedung ini dulu digunakan sebagai kantor dan barak bagi pasukan Belanda. Di gedung ini juga terdapat sebuah penjara. |
Penuba tidaklah setenar Dabo-Singkep ataupun Daik Lingga. Sejarahnya
tidak semudah dua tempat yang terakhir ketika kita menjelajahi mesin pencarian
internet. Di dunia maya, Penuba terkenal dengan pelabuhannya, namun sebatas
nama saja, tidak ada keterangan lebih lengkap. Penuba seperti tertindih oleh
memori baru perjalanan hidup.
Kakek tua itu duduk santai pada ruang tamu di rumahnya
dengan sebatang rokok. Ia seperti tidak menghirau panas yang menyengat di luar
sana. Santai, tenang, dengan tatapan sayu. Dialah Kamis (87), bekas tentara
bentukan Jepang atau heiho. Tiga
tahun lamanya, ia pun sempat menjadi komandan regu.
“Diambil saja, bukan sengaja nak ikut. Semua yang muda-muda
waktu itu disuruh ikut,” tuturnya mengisahkan peristiwa lalu kala ia masih
berusia sekitar 17 tahun. Saat itu, tidak ada pilihan bagi pemuda. Jepang
memaksa, melebihi paksaan orang-orang Belanda. Kala itu, 1942, Jepang sedang
terlibat perang Pasifik dan berambisi menjadi imperial di Asia tenggara. Tak
pelak, Kamis pun menjadi tentara dan harus meninggalkan Penuba. Jepang tidak
menjadikan penuba sebagai pusat aktivitas, mereka lebih memilih di daerah yang
kini disebut desa Selayar.
Ia bersama dengan puluhan pemuda lainnya di kirim ke kamp
konsentrasi Jepang di Singapura. Di sana, mereka dilatih baris berbaris dan
latihan perang. Setiap hari, latihan dan latihan saja yang dilakukan. Pagi
hari, mereka memulai latihan dengan senam (taiso) sebelum sarapan. Waktu pun
berlalu, hingga akhirnya mereka diantar kembali ke Penuba seiring kekalahan
Jepang karena jatuhnya bom nuklir di Hirosima oleh tentara sekutu. “Pangkat
saya ada satu,” katanya mengenang pangkat terakhir yang diterimanya.
Namun jauh sebelum Jepang memasuki Tanah Air, Belanda sudah
menjadikan Penuba sebagai markas polisi dan tentara. Mereka adalah orang-orang
Indonesia yang direkrut untuk menjadi polisi atau tentara oleh pemerintah
Hindia Belanda. Meraka adalah penduduk dari luar Penuba yang disengaja
didatangkan. Sedangkan warga Penuba dijadikan pembantu bagi tentara maupun
polisi, termasuk juga kakek Jang (86).
PENJARA - Cela kecil pada pintu dibalik tumpukan tiplek itu adalah sel tahanan atau penjara yang digunakan oleh pemerintah Hindia Belanda saat berkantor di Penuba |
Tiga Pahlawan
Menurut Jang, tidak semua tentara Penuba itu mengikuti
begitu saja kebijakan-kebijakan Belanda. Hal itu terbukti dengan tewasnya
Sersan Kilak. Kabar yang beredar di Penuba, Serma Kilak yang berasal dari
Indonesia bagian timur di ditembak oleh polisi Belanda. Ia dilumpuhkan karena
hendak berebut senjata.
“Ditembak di depan kantor bea cukai dekat pelabuhan,” ujar
Jang. Ia tidak begitu mengingat apa penyebab penembakan itu. Namun, dari kabar
yang beradar, ia berebut senjata dan hendak meninggalkan Penuba sehingga
dianggap sebagai pembangkang.
Kilak adalah satu di antara tiga orang yang disebut sebagai
pahlawan kemerdekaan. Masyarakat Penuba juga menyebut nama dr Sumitr dan
Arbain. Tidak ada kabar yang jelas perihal dua orang yang terakhir ini. Namun,
ketika jasadnya sudah dipindahkan ke makam pahlawan di Dabo Singkep. Ada kabar,
kerangka dr. Sumitro sudah dibawa keluarga ke Jawa.
“Tidak ada yang tahu. Tapi masyarakat menyebut mereka
pahlawan,” kata Rais, tokoh masyarakat setempat yang menunjukan bekas makam
ketiganya. Cerita heroic ketika pun terputus, tidak ada tetua di kampung itu
yang meingat bagaimana peranan ketiga. Tetapi mereka ditengarai hidup semasa
perjuangan kemerdekaan.
RUMAH TUA - Bangunan ini adalah peninggalan pemerintah Hindia Belanda. Kini, terdapat dua bangunan yang masih tersisa namun tidak lagi terawat. |
Sejauh Memandang
Seram. Itulah kesan dari bangunan tua itu. Masyarakat tidak
banyak menyambangi benteng pemantauan itu sejak kejadian bunuh diri beberapa
tahun silam. Mereka takut. Dari bukit itu, aktivitas pelayaran laut bisa
dipantau. Termasuk juga kepal-kapal yang hendak berlabuh di pelabuhan Tanjung
Buton di Daik Lingga.
Ketika masa konfrontasi (1962-1966), Penuba menjadi bagian
konsentrasi pertahanan. Di sanalah pasukan askar bela negara juga berkumpul.
Mereka bukanlah tentara TNI. Mereka militer tidak resmi, yakni warga sipil yang
sedang semangat membara hendak melawan Malaysia. Mereka inilah yang ditakui
oleh Malaysia hingga membakar lambang dan simbol-simbol Indonesia di KBRI Kuala
Lumpur sebagai aksi protes.
Di penuba inilah pasukan TNI AL memainkan peranannya.
Kapal-kapal mereka silih berganti bersandar di pelabuhan yang teduh itu.
Bahkan, benteng pemantauan yang tidak jauh dari barak tentara Belanda itu
sengaja dibangun oleh TNI AL. “Itu peninggalan TNI AL masa konfrontasi.
Sekarang terbengkalai. Orang tak berani,” tutur Rais lagi.
Ketika menajaki bukit itu, maka akan tampak seisi pulau
Selayar. Gunung Daik yang terkenal itu tampak begitu jelas, apalagi kala cuaca
cerah. Di gedung bekas itu, kata Rais, kita boleh melihat sejauh memandang.
Sayang, ia terbengkalai. Tak terurus. “Besi masih bagus-bagus. Ini butuh perhatian dari
pemerintah,” ucap kepala desa Penuba, Dwi Abdi. (Abd Rahman Mawazi)
NB: Tulisan ini pernah terbit bersambung di harian Tribun Batam pada 15-19 September 2012.
Penuba, Ibu Kota Yang Terlupakan (1)
MESS - Bangunan yang kini bernama Mess itu, pada masa Belanda adalah rumah candu. |
“Penuba; Terpencil namun tidak tercecer”. Tulisan itu tampak
jelas di antara ilalang yang mulai tinggi di depan sebuah bangunan peninggalan
Belanda yang berada lebih tinggi dari jalan raya di desa Penuba, pulau Selayar.
Tulisan itu seakan memiliki makna tersirat; tentang sejarah dan harapan
masyarakatnya.
Beberapa orang tampak duduk santai di bawah pohon asam
setelah keluar dari area pelabuhan Penuba. Mereka tampak bercengkrama ringan
menikmati semilir angin di siang itu. Sekilas, pohon asam yang bejejer di
pinggiran jalan itu mengingatkan pada jalan raya di pulau Jawa yang dibangun
oleh Jendral Herman Willem Daendels pada
1800-an, kini dikenal dengan jalur pantura.
“Inilah Penuba,” kata Rais, tokoh masyarakat setempat ketika
bertemu dengan Tribun beberapa waktu lalu di warung kopi sebuah ruko. Rumah
toko (ruko) dari kayu berjejer rapi di sepanjang jalan di depan lapangan
merdeka. Kondisinya jauh berbeda dengan ruko-ruko yang ada di Batam atapun di
Tanjungpinang.
Di harapan ruko itu, rumah papan berarsitektur kuno itu
menarik pemandangan siapapun yang datang ke sana. Ia disebut “mess”, yang kini
berfungsi sebagai penginapan sederhana bagi wisatawan. Tepat di bawah pagar itu
pula tulisan di atas tersusun rapi berwarna hitam putih. Mess dan kantor desa
di sebelahnya adalah bagian dari peninggalan Belanda. Itulah peninggalan
Belanda yang pertama bisa dijumpai ketika tiba di sana.
“Mess itu dulunya rumah candu,” kata kepala desa Penuba, Dwi
Abdi. Sedangkan kantor desa dulunya adalah kantor bea cukai. Menyusuri jalan di
bagian barat, tedapat dua rumah dinas pejabat Belanda. Rumah itu menghadap ke
pulau Singkep. Di belakangnya terdapat bangunan memanjang yang di tengahnya
juga tedapat sebuah penjara, tepatnya di lokasi SMPN 4 Lingga. Masyarakat di
sana mengenal area sekolah itu sebagai barak dan basis pertahanan.
Penuba, yang dulunya hanya sebuah kampung kecil (kini
dikenal Penuba Lama) berkembang pesat ketika Belanda menjadikannya sebagai
pusat perkantoran dan administrasi. Belanda mulai memasuki Penuba pada awal
abad ke-19 seiring ekspansi pencarian biji timah di laut Singkep. Dalam
Lembaran Negara Pemerintah Hindia Belanda Nomor 66 Tahun 1922, yang juga pernah
diubah pada lembaran Nomor 201 Tahun 1924 disebutkan, Penuba adalah pusat
pemerintahan setingkat kecamatan atau dikenal dengan Onder Afdeling dipimpin
oleh seorang controleur yang mencakup
wilayah Lingga, Singkep, dan pulau-pulau lain di sekitarnya.
Satu nama seorang controleur
yang masih diingat oleh Jang (86) yakni Kapten Sunday. “Kalau marah bilangnya,
“godverdomme”. Bisalah sikit-sikit bahasa Indonesia,” ujarnya mengenang ketika
ditemui di serambi rumahnya. Itu adalah basaha umpatan dalam bahasa Belanda.
Saat itu, Jang muda adalah bagian dari bagian tentara rekrutan Belanda yang
selalu mengikuti perintah si Kapten. Suatu waktu, ia pun pernah di perintahkan
untuk ke Kijang, Singapura, dan kembali lagi ke Penuba.
PELABUHAN - Inilah pelabuhan Penuba yang dulunya melayani perdagangan international |
Selat yang Teduh
Selat Penuba adalah selat yang teduh. Ia berharapan dengan pulau
Lipan yang menghambat derasnya gelombang dan arus dari selatan. Sedangkan di
bagian barat selat itu adalah pulau Singkep yang berjarak hanya sekitar 15
menit dari pelabuhan Jagoh, Singkep. Sebab itulah, air di selat penuba ini
tenang dan menjadi tempatan tambatan kapal yang paling bagus.
Dahulu, pelayaran menuju Tanjungpinang maupun ke dunia
internasional dilayani dari pelabuhan Penuba. Sebab itulah Penuba masuk dalam
catatan pelayaran dan pelabuhan international, sama halnya dengan pulau Sambu
di kota Batam. Hasil rempah-rempah maupun tambang diekspor ke Singapura melalui
pelabuhan ini.
Namun, riauh perkotaan itu mulai meredup seiring dengan
perpindaan beberapa staf Belanda ke Dabo Singkep. Kala itu, pemerintahan
Belanda sedang mengejar timah yang terkandung dalam bumi Singkep. “Patung (singa)
yang di Dabo itu dari sini. Dipindah tahun 1939,” kata Jang. Patung itu adalah
bukti yang kini masih bisa lihat di depan kantor Dinas Kependudukan dan Catatan
Sipil (Disdukcapil).
Kandungan timah di Singkep, lambat laun meredupkan Penuba.
Orang berbondong-bondong diangkut untuk dipekerjakan di Dabo. Mereka dipaska
membangun kota baru. Beberapa kali, Penuba menjadi markas militer, termasuk
markas komando diera konfrontasi Indonesia dan Malaysia. Namun, nama penuba
redup begitu saja, bagaikan ibu kota yang dilupakan. Ia menjadi teduh, seteduh
selat Penuba
“Sayangnya, bangunan peninggalan Belanda di sini kurang
mendapat perhatian dari pemkab. Ini adalah cagar budaya yang bisa memiliki
nilai jual untuk pariwisata juga,” keluh kepala Desa Penuba, Dwi Abdi.
Pada Mei 2012 lalu, Pemkab dan DPRD Lingga telah menetapkan
pulau Selayar menjadi satu kecamatan. Kelak, mungkin saja, Penuba akan kembali
lebih hidup, melebihi masa onder afdeling, setelah aktif menjadi ibu kota
kecamatan baru seperti pada sebuah tulisan di dinding pagar Mess itu. (abd
rahman mawazi)
NB: Tulisan ini pernah terbit bersambung di harian Tribun Batam pada !5-19 September 2012.
Baca juga Penuba, Tertindih Memori Perjalanan Hidup ( 2-Habis )
NB: Tulisan ini pernah terbit bersambung di harian Tribun Batam pada !5-19 September 2012.
Baca juga Penuba, Tertindih Memori Perjalanan Hidup ( 2-Habis )
Minggu, 23 September 2012
Warga Senempek Lingga Ambil Air Sejauh 3 KM
Kemarau sejak dua bulan terakhir melanda Kabupaten Lingga hingga sebagian warga kesulitan mencari air bersih. Warga pun antre guna mendapatkan air untuk keperluan MCK walau sudah harus menempuh jarak 3 kilometer menuju sumber air. Sudah begitu, airnya pun warna kekuning-kuningan.
"Sudah dari dulu lah kami begini. Airnya pun bukan bagus, warnanya kuning macam inilah,” kata Nur, ibu rumah tangga yang berjalan kaki menuju sebuah perigi, Rabu (19/9). Sumur dengan kedalaman 4 meter itu tidak banyak airnya. Ia bersama dengan Aina pergi untuk mencuci.
Jauh dari lokasi Nur, sebuah kubangan air yang berjarak tiga kilometer pun menjadi tempat favorit warga. Itu adalah lokasi terdekat dengan debit air yang lebih banyak. Di sana, mereka mandi, mencuci dan mengambil air untuk keperluan di rumah.
Menurut ketua RW 04, Razikin, mereka yang memiliki kendaraan sajalah yang datang ke lokasi itu. Sedangkan yang tidak punya kendaraan, terpaksa harus membeli.
“Ada yang tukang angkut. Satu jeriken 25 liter seharga Rp 5 ribu. Itu airnya tidak bisa untuk minum. Kalau air minum ambilnya dekat sana lagi. Ada yang juga ambil dekat sekolah (SMP 3 Satu Atap Lingga Utara),” terang Razikin. Dari pantauan Tribun, air untuk minum itu pun masih berwarna kekuningan.
Kepala Desa Limbung, Andi Muliya, mengatakan pada 2008 ada pembangunan penampungan air untuk minum, tetapi saat ini tidak lagi berfungsi karena debit air maupun sumber air kurang bagus. Tahun ini, ada kabar gembira untuk rencana pembangunan parigi, tetapi rencana itu gagal seiring defisit anggaran di pemerintahan kabupaten Lingga.
“Saya dapat kabar pembanguan itu gagal. Kami kecewa, kami butuh air bersih. Karena defisit dipangkas,” katanya Andy. Ia pun berharap pemerintah perhatian dengan daerahnya itu.
Di Senempek terdapat 180 kepala keluarga (KK) dengan sekitar 400 jiwa. Mereka selama ini harus berjuang untuk mendapatkan air. Tidak jarang juga mereka harus mengambil ke daerah lain menggunakan sampan. Warga kecewa dengan janji-janji politik yang tidak kunjung terealisasi.
Sabtu, 22 September 2012
Asyiknya Menulis Resensi Buku
Berbagi cerita, bukan bermaksud ingin menyeniorkan diri, melainkan mempercepat transformasi pengetahuan. Ya… itulah maksud dari tulisan yang saya buat di Sahabatmuda.net ini, yakni perihal asyiknya menulis sebuah resensi buku.
Resensi buku tak ubahnya menulis rangkuman mata pelajaran layaknya zaman saya sekolah dulu. Kalau sekarang, banyak siswa hanya bermodal mengisi lembar kerja siswa (LKS) atau sejenisnya karena yang tersaji dalam LKS merupakan sebuah rangkuman dari buku ajar yang tebal.
Menulis resensi buku ialah tulisan yang menyajian pesan dalam sebuah buku menjadi sebuah ringkasan yang mampu menggugah pembaca untuk mengetahui isi buku. Resensi buku bertujuan untuk memudahkan pecinta buku dalam menentukan pilihan referensi bacaan yang sesuai dengan seleranya.
Apa keuntungan meresensi buku?
- Penulis bisa mendapatkan pengetahuan yang terkandung dalam buku tersebut, baik secara teoritis, sajian data, maupun lainnya karena peresensi dituntut memahami secara utuh isi buku tersebut. Artinya, perensensi harus membaca buku itu.
- Mempercepat transformasi pengetahuan kepada orang lain (pembaca). Pembaca resensi akan mendapatkan infomasi penting yang disajikan buku. Hal ini biasanya akan menjadi referensi pembaca untuk membeli atau tidak buku yang diresensi.
- Jika tulisan tersebut dimuat di media massa, tulisan akan dibaca orang lebih banyak. Tidak sedikit pula media yang memberikan honor kepada peresensi. Artinya, peresensi bisa mendapatkan uang juga.
- Biasanya, untuk setiap resensi buku yang dimuat di surat kabar, penerbit akan memberikan dua buku secara gratis. Dengan begitu, koleksi buku kita akan bertambah banyak dan tentunya juga bisa kita gunakan sendiri untuk menambah pengetahuan dan juga bisa kita pinjamkan kepada orang lain.
- Jika buku yang diresensi adalah novel, maka akan menambah perbendaharaan bahasa. Biasanya, dengan membaca novel kita akan menemukan banyak padanan kata yang bisa membuat tulisan menjadi berirama. Dengnan sendirinya, dalam komunikasi verbal pun, kita tidak akan kesulitan dalam memilih kosa kata.
Bagi pembaca buku dan ingin memulai menulis, maka meresensi buku merupakan cara mudah yang paling tepat. Setidaknya itu menurut saya. Maka, buatlah catatan kecil, atau tandai setiap halaman buku yang dianggap menarik lalu, jadikan setiap yang kita tandai itu sebagai bahan untuk menuangkannya dalam sebuah resensi.
Apabila telah menjadi satu tulisan utuh, jangan segan untuk menampilkannya pada blog pribadi ataupun mengirimkan ke media lain (termasuk ke Sahabatmuda.net). Yang perlu diingat ialah jangan menulis terlalu panjang (sekitar 3500 karakter) dan jangan terlalu menyibukan diri dalam memilih diksi (pilihan kata yang digunakan), pilih saja kata yang dianggap sesuai.
Meresensi buku bukanlah harus memuji, melainkan juga bisa mengkritik, membandingkan dengan buku lainnya. Tidak pula penilaian terhadap buku, tetapi penilaian kepada penulisnya melalui buku tersbut. Misalnya, “Buku ini tidaklah jauh berbeda dengan gagasan para pakar sebelumnya. Hal baru dari buku ini hanya sebatas obyek penulisannya saja”.