Dipenghujung
Oktober 1928 silam, sejumlah pemuda dari Jong Java, Jong Sumatera Bond,
Jong Ambon, Jong Batak, Jong Celebes, Jong Islameiten Bond, dan lain
sebagainya berkumpul memikirkan keberadaan dan nasib bangsanya.
Pertemuan yang digagas oleh Perhimpunan Pelajar-pelajar Indonesia itu
merupakan pertemuan kedua kalinya. Setelah
mereka mengadakan pembahasan, mereka sampai pada satu kesimpulan, bahwa
jika bangsa Indonesia ingin merdeka, bangsa Indonesia harus bersatu.
Untuk itu mereka bersumpah yang terkenal dengan nama Sumpah Pemuda yang
diikrarkan pada akhir kongres, yaitu pada tanggal 28 Oktober 1928.
sumpah itu berbunyi:
Kami
putra dan putri Indonesia, mengaku berbangsa yang satu, bangsa
Indonesia.
Kami putra dan putri Indonesia, mengaku bertanah air yang
satu, tanah air Indonesia.
Kami putra dan putri Indonesia, menjunjung
bahasa persatuan, bahasa Indonesia.
|
Ilustrasi semangat kaum muda. Sumber athanjp.blogspot.co.id |
Tanggal
tersebut cukup bertuah dan bersejarah bagi bangsa Indonesia, hingga
kemudian ditetapkan sebagai Hari Sumpah Pemuda. Sumpah Pemuda menjadi
motivasi untuk merdeka dari belenggu penjajahan Belanda. Sumpah Pemuda
adalah virus bagi persatuan dan vitamin bagi spirit patriotisme yang
mampu menggugah rakyat di setiap penjuru negeri. Karena itu, Sumpah
Pemuda menjadi salah satu di antara berbagai landasan pilosofi bagi
kebangkitan nasional kita, dan merupakan nilai yang sangat fundamental
bagi persatuaan bangsa dan negara kita. Seperti halnya Hari Pahlawan 10
November, Pancasila dan Bhinneka Tunggal Ika. Dari sanalah nasionalisme Indonesia mencapai puncaknya, yakni hanya mengenal satu kata INDONESIA.
Di saat rapat akbar itu pula diperdengarkan lagu Indonesia Raya karya Wage Rudolf Supratman untuk pertama kalinya. Lagu tersebut disambut dengan sangat meriah oleh
peserta kongres. Sumpah Pemuda dan lagu Indonesia Raya semakin membakar
semangat api persatuan dan perjuangan. Sejak
itu pulalah muncul tokoh-tokoh pemuda antara lain, Mr. Moh. Yamin, Drs.
Moh. Hatta, Sutan Syahrir, Ir Soekarno, Ali Sostroamidjojo, Mr.
Sjarifuddin, Nasir Datuk Pamuntjak, Moh. Natsir, Mr. Moh. Room dll.
Sudah sekian tahun peristiwa bersejarah itu berlalu. Buah dari ikrar tersebut
menghantarkan Indonesia pada kemerdekaannya. Sumpah Pemuda telah menjadi
pilar pemersatu bangsa. Karena itu, kita wajib mengejewantahkan
cita-cita para pencetus sumpah itu. Namun, realitas perjalanan bangsa
yang melanda negeri kita dalam beberapa tahun terakhir ini rasanya
berjalan terbalik. Jika dulu orang rela dan berani berkorban demi bangsa
dan tanah air, kini justru makin banyak yang justru mengorbankan bangsa
dan tanah air.
Pada
titik ini, semangat patriotik bergeser menjadi depatriotik. Makna
sumpah itu bagai terganjal batu besar sehingga sumpah tersebut seakan
terhenti mengarusi jiwa dan semangat bangsa ini. Akibatnya, Indonesia
sebagai sebuah bangsa dan tanah air kini bukannya makin berjaya, tetapi
justru terkoyak. Gejala depatriotik dan denasionalis ini memang
seharusnya lebih dini diantisipasi agar bangsa dan tanah air kita tak
makin terkontaminasi dan terpuruk.
Lihatlah
praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN) yang telah membawa bangsa
pada keterperosokan ekonomi, politik, dan sosial. Korupsi seolah menjadi
konsensus terselubung yang terjadi pada pemerintahan di hampir semua
lebel, dari yang terendah hingga tertinggi. Para koruptor, yang
kebanyakan adalah pejabat negara, lupa bahwa negara ini dibangun oleh
kerja keras dan pengorbanan para pejuang. Mereka juga lupa bahwa setelah
mereka akan ada anak cucu yang akan menjadi generasi penerus mereka.
Pemuda dan Cita-cita Bangsa
Sejarah
telah menunjukkan kepada kita bahwa pemuda memainkan perenan penting
dalam pembangunan bangsa. Pelopor kongres yang melahirkan Sumpah Pemuda
adalah pemuda, yang mendorong Soekarno agar segera memroklamsikan
kemerdekaan Indonesia juga pemuda, bahkan yang mendalagi gerakan
reformasi juga pemuda. Betapa strategis peranan pemuda dalam pembangunan
bangsa ini. Tak heran bila pemuda selalu disebut sebagai agent.
Bila
demikian, pemuda adalah generasi yang menentukan ke arah mana bangsa
ini akan dibawa. Sehingga, sangat tepat dikatakan bahwasanya dunia
pemuda selalu dipenuhi dengan mitos-mitos panjang yang pada akhirnya
akan menjebak pemikiran idealis pemuda pada fase-fase stagnan dan bahkan
tak jarang terjerumus dalam pemikiran-pemikiran pragmatisme oportunis.
Hanya pemuda yang berjiwa papilon yang mampu bebas dari pragmatisme
maupun materialisme.
Untuk
itu, pemuda membutuhkan integritas, intelegensia, dan moralisme yang
mumpuni agar cita-cita bangsa tercapai. Dalam pengamatan penulis, pemuda
Indonesia saat ini rentan terhadap pengaruh buruk globalisasi, cendrung
bersikap pragmatis dan oportunis, serta terlena dengan romantisme masa
lalu, sehingga dikhawatirkan akan mengancam semangat persatuan dan
kesatuan bangsa. Padahal, pemuda juga merupakan pewaris bangsa. Dan, mau
tidak mau, pemuda harus mendefinisikan dirinya sebagai generasi pelanjut dan pengemban cita-cita bangsa.
Saat
ini, generasi muda Indonesia, yang juga terdiri dari pelajar dan
mahasiswa, berjumlah sekitar 78 juta jiwa dari seluruh jumlah penduduk
Indonesia–lebih dari 210 juta jiwa. Jumlah tersebut terhitung tidak
sedikit, terlebih jika dipandang sebagai usia produktif yang potensial
berpengaruh secara positif dan juga bisa secara negatif dalam lingkup
pergaulan masyarakat Indonesia untuk saat ini dan ke depan.
Secara
kuantitatif maupun kualitatif, pemuda menjadi strategis dan urgen untuk
dipersoalkan dalam kaitannya dengan sejumlah persoalan bangsa yang saat
ini semakin kompleks mendera masyarakat Indonesia. Secara kualitatif,
sesosok pemuda memiliki posisi strategis, karena merupakan kumpulan
potensi yang sedang dalam proses mencari dan mengukir identitas diri.
Biasanya,
sosok pemuda senantiasa dilekatkan dengan ciri karakter yang kritis,
progresif, radikal, idealis, dan anti kemapanan untuk perubahan masa
depan yang lebih baik. Hanya saja, tidak selamanya ciri ideal seperti
tersebut akan senantiasa melekat pada sosok pemuda, kapan dan dimana
saja mereka berada. Tidak jarang, pada situasi dan kurun waktu tertentu,
kita melihat kehadiran pemuda hanya sebagai pelengkap obyek penderita
dan tidak sanggup menjadi subyek pelaku utama dari sebuah situasi yang
mengharapkannya.
Harus
diakui, medan perjuangan yang serba kompleks dalam mengisi kemerdekaan
ini, menjadikan peran pemuda perlu lebih diorientasikan secara egaliter
untuk memperkuat nilai keadilan dari setiap kebijakan dan program
pembangunan negara. Loyalitas dan dedikasi posisi pemuda harus tetap
berdiri tegak di atas nilai kebenaran dan keadilan. Karena apa pun
alasannya, fenomena kepemudaan kini—untuk menyebut pemuda yang telah
memiliki sedikit pendirian—relatif “termaterialisasi” di berbagai arena
penyelenggaraan negara sehingga dangkal dan mandul tak berdaya dalam
arus politik pragmatis. Kekhawatiran ini menyeruak karena harapan puncak
kita adalah bagaimana perjuangan pemuda dapat menggilas penyelenggaraan
negara yang serba korup, misalnya, dari sekian banyak masalah
kebangsaan lainya.
Nah,
semoga momentum Hari Sumpah Pemuda tahun ini dapat dijadikan salah satu
nafas dalam rangka merapatkan dan mengkonsolidasikan kembali barisan
pemuda untuk berjuang mewujudkan cita-cita dari funding futher
bangsa, tentunya dengan mengisi hari-hari muda dengan hal-hal positif
dan progresif. Ini sesuai dengan tema pemerintah pada peringatan Sumpah
Pemuda tahun ini, "Meningkatkan Solidaritas, Integritas, dan Profesionalitas Pemuda menuju Bangsa yang Sejahtera dan Bermartabat". Semoga!