cukup jauh sering membuat banyak untuk menunda ke sana. Meski demikian, setiap akhir pekan, lokasi yang beada di antara hutan karet di Singkep ini kerap mendapatkan kunjunga
Senin, 07 Oktober 2013
Hangat "Air Panas Dabo" Bisa Untuk Terapi
Tidak hanya di Daik, di pulau Singkep juga terdapat wisata
alam daratan. Di pulau yang pernah menjadi sumber penghasil timah ini tedapat
pemandian air panas, pemandian batu ampar, serta air terjun Cik Latif. Ada juga
air terjun Bedegam yang jalan masuknya desa Lanjut, tetapi jarak yang telalu
jauh membuat akses menuju ke lokasi itu menjadi cukup sulit.
Yang paling khas dari wisata air di Singkep ini ialah air
panas. Lokasi ini kerap menjadi pilihan warga setelah wisata pantai dan air
terjun yang ada di Dabo. Memang, perjalanan yang
cukup jauh sering membuat banyak untuk menunda ke sana. Meski demikian, setiap akhir pekan, lokasi yang beada di antara hutan karet di Singkep ini kerap mendapatkan kunjunga
Banyak warga yang sengaja datang ke sana hanya untuk
menikmati air hangat yang berada dalam kolam pemandian itu. Mereka betah
berendam berlama-lama di dalam kolam yang sudah disediakan beberapa pilihan.
Ada kolam dengan kehangatan air yang tinggi, kemudian sedang, dan ada punya
pula yang kehangatannya nyaris tidak ada lagi.
Semua pilihan itu, kata penjaganya, Edi Melong, sengaja di
desain untuk memberikan kenyamanan bagi setiap pengunjung. Apalagi bagi
anak-anak yang tidak tahan dengan rasa panas yang keluar dalam air. Menurut
Edi, tidak sedikit yang datang pemandaian air panas ini untuk menghilangkan
penyakit.
“Ada yang sengaja datang karena untuk menghilangkan
penyakit. Katanya, air hangat belerang ini bisa membunuh berbagai penyakit
kulit, bisa juga untuk sakit kepala. Ya untuk terapilah,” katanya beberapa
waktu lalu.
Jika mandi sauna hanya mengandalkan kehangatan yang
dikeluarkan dari uap, tetapi mandi di air panas ini tidak demikian. Pengunjung
malah bisa berendam. Tidak perlu khawatir dengan kualitas air, karena pengelola
pemandian ini selalu membersihkan airnya, khususnya pada saat sepi pengunjung.
Tidak berapa lama lagi, lokasi menunju ke sana akan lebih
nyaman karena jalannya sudah dilakukan pemadatan. Begitu juga dengan beberapa
lokasi obyek wisata lainnya itu, smua obyek wisata di Singkep ini kini sedang
dalam tahap pembangunan jalan oleh pemerintah untuk memudahkan pengunjung
mencapai lokasi wisata. Dari tiga obyek wisata alam itu, yang terjauh ialah
pemandian air panas dengan jarak sekitar delapan kilo meter dari Dabo.
Menikmati Air Segar di Lingga
Pesona alam di kabupaten Lingga terhampar luas di seluruh wilayahnya. Lingga memiliki panorama bawah laut yang indah di perairan pulau Benan. Lingga juga memiliki memiliki keindahan alam pegunungan. Tak seperti daerah lainnya di Kepri, Lingga nyaris memiliki sebagian besar pesona alam di Kepri.
Gunung Daik, yang menjadi ikon kabupaten Lingga, sudah
tampak indah dengan dia cabangnya. Setiap pengunjung yang baru menapakkan
kakinya di Daik, langsung terpikat dengan keindagannya. Apalagi pada saat kabut
tipis melintas di kaki gunung, terlihat puncaknya yang begitu menawan.
Dari pegunungan Daik itu, terdapat beberapa aliran air. Dan,
di antara aliran itu, muncul pula air terjun dengan beragam kekhasannya. Ada air
terjun Resun, air terjun Jelutung, air terjung Kado, serta air terjun Tande.
Bahkan, air terjun Jelutung dinobatkan oleh beberapa petualang sebagai air
tejun tertinggi di Kepri.
Editor buku Jelajah LIngga Bunda Tanah Melayu, Edi Sutrisno,
menyebutkan ketinggian air terjun ditingkat pertama mencapai 60 meter. Dulunya,
tulis Edi, air terjun ini disebut warga dengan air terjun Ranoh. Namun, karena
di sekitar lokasi muncul banyak pohon jelutung, warga pun lebih suka menyebut
air terjun ini sebagai air terjun Jelutung.
Akan tetapi, medan perjalan menuju ke lokasi masih tidaklah
mudah. Butuh beberapa jam untuk sampai di tingkatan pertama air terjun yang
terletak di desa Mentuda ini. Air terjun ini pun pernah dilirik oleh investor
untuk pembangkit listrik tenaga air karena debit airnya yang cendung tidak
surut walau di musim kemarau.
Di antara aliran sungai yang bersumber dari mata air
pegunungan Daik itu, terdapat juga beberapa lokasi rekreasi dan piknik, seperti
pemandian Lubuk Papan dan pemandian Lubuk Pelawan. Keduanya berada pada aliran
air sungai Tande. Kedua pemandian ini juga memiliki nilai sejarah yang erat
dengan masa kerajaan Riau-Lingga saat Daik menjadi ibu kotanya.
Menurut Lazuwardi, pecinta sejarah Lingga, pemandian Lubuk
Papan merupakan lokasi untuk aktivitas keseharian kalangan yang bertugas
istana. Lubuk Papan memang berada tidak jauh dari area istana Damnah.
Pemerintah juga telah menyulap area pemandian ini menjadi
lokasi yang layak untuk dinikmati bagi setiap pengunjung. Beberapa tempat duduk
juga telah dibangun lengkap dengan toilet serta kamar ganti bagi pengunjung
yang hendak mandi. Air yang mengalir pun berasal dari mata air pegunungan Daik
sehingga rasa segar dan sejuknya tetap terasa.
Sedangkan pemandian lubuk Pelawan, dulunya merupakan lokasi
pemandian Engku Ampuan Zahara. Akan tetapi, lokasi ini kurang mendapatkan
perawatan yang baik karena beton-beton yang ada pun telah terkikis oleh
derasnya air saat musim hujan. Untuk bernostagia dengan masa lalu, tidaklah
salah bisa mendatangi lokasi ini.
Kamis, 11 April 2013
Meriam Penghancur itu Bernama Tupai Beradu (2)
Terik siang itu begitu menyengat. Namun semilir angir dari
arah laut menghilangkan gerah perjalanan begitu sampai di benteng Bukit Cening.
Ini adalah benteng pertahanan kedua setelah pulau Mepar dari kerjaan Riau saat
menjadikan Daik sebagai pusat pemerintahan. Di dalam benteng itu, deretan
meriam berjejer menghadap ke laut.
Dentuman meriam silih berganti untuk menaklukkan musuh yang berhasil lolos dari gempuran benteng di Mepar. Perlawanan sengit membuat perang berlangsung lama. Hari pun sudah mulai sore tetapi musuh masih terus memberikan perlawan. Dan akhirnya, kapal musuh tak berkutik lagi ketika meriam penghancur, Tupai Kembar, berhasil memuntahkan pelurunya di gudang mesiu kapal. Doar. Lambung kapal pun pecah dan seluruh pasukan lanun kocar kacir dan terjun ke laut di selat Kolombok.
Dentuman meriam silih berganti untuk menaklukkan musuh yang berhasil lolos dari gempuran benteng di Mepar. Perlawanan sengit membuat perang berlangsung lama. Hari pun sudah mulai sore tetapi musuh masih terus memberikan perlawan. Dan akhirnya, kapal musuh tak berkutik lagi ketika meriam penghancur, Tupai Kembar, berhasil memuntahkan pelurunya di gudang mesiu kapal. Doar. Lambung kapal pun pecah dan seluruh pasukan lanun kocar kacir dan terjun ke laut di selat Kolombok.
Kisah di atas hanyalah kilasan hayalan tentang peperangan
membasmi para lanun dan pendatang yang membahayakan kedaulatan kerajaan.
Bayangan seperti itu bisa membuat kita bernostalgia dengan masa lalu. Sejah
pemerintahan berpindah dari Riau ke Daik Lingga, belum ada catatan perihal
peperangan besar yang terjadi layaknya perang di Tanjungpinang sebagai mana
yang dipimpin oleh Raja Haji Fisabillah.
“Secara umum, baik dalam kisah-kisah orang tua ataupun sumber tertulis, belum ada peperangan besar yang terjadi di Lingga. Benteng-benteng itu dibangun untuk pertahanan karena Lingga adalah ibu kota. Cerita yang banyak terdengar tentang penaklukan para lalun dan perompak,” kata Lazuwardi, pemerhati sejarah di Lingga. Meriam ini dibangun pada masa pemerintahan Sultan Abdurrahman Syah (1812-1832).
Khayalan peperangan semacam itu muncul ketika berdiri di
meriam Tupai Beradu. Meriam ini adalah meriam terbesar dari 19 meriam yang ada
di Bukit Cening. Panjangnya 2,8 meter dengan deameter 12 centi meter. Dalam
penuturan warga, meriam ini diapit oleh meriam Mahkota Raja. Saat ini, susunan
meriam itu disesuaikan dengan kisah-kisah yang tersebar di masyarakat. Panglima
yang mengomandoi benteng itu dikenal bernama Panglima Pandak atau Panglima
Cening.
“Meriam Tupai Beradu ini diapit oleh meriam Mahkota Raja.
Kisah ini sudah turun temurun begitu. Sifatnya lebih sebagai meriam penghancur.
Mungkin karena ukuran lebih besar dari pada yang lain. Panglima Ceninglah yang
memegang komando dan yang memegang kendali meriam Tupai Beradu itu,” katanya
lagi.
Benteng Bukit Cening siap memiliki luas 32x30 centi meter.
Dari benteng ini, terlihat hamparan luas selat Kolombok. Selat ini menjadi
pintu masuk bagi setiap pedagang yang hendak berlabuh di pelabuhan Pabean
melalui sungai Daik. Di benteng itu juga ditemukan angka 1783 dan 1797 serta
tulisan VOC yang diduga sebagai tahun pembuatan meriam. Tulisan “VOC”
menandakan meriam itu dibeli dari pemerintah Hindia Belanda. Keterangan itu tertulis
pada prasasti di bagian depan benteng.
Kuala Daik
Sungai Daik adalah satu-satunya jalan untuk mencapai ke
pusat pemukiman penduduk dan area istana sultan. Di dalam aliran sungai itu
pula terdapat pelabuhan tempat bongkar muat barang. Namun, bagi musuh hendak
memasuki muara sungai, ia harus terlebih dahulu menaklukan benteng Kuala Daik dan
Kubu Pari yang tedapat puluhan meriam.
“Dulunya meriam di sana lebih banyak. Tetapi karena
lokasinya jauh dari pemukiman, perawatannya agak sulit. Sebelum diletakkan pada
beton, meriam-meriam itu berserakan,” kata seorang warga. Saat ini, ada 16
meriam yang berhasil ditemukan dari 21 meriam yang dikabarkan berada di kubu
parit ini. Ada kabar, beberapa meriam berhasil dipindahkan ke tengah pemukiman
penduduk.
Dengan jumlah sebanyak itu, meriam ini bisa menghalau musuh
dari jarak dekat, bahkan sebelum kapal musuh berhasil menyentuh bibir sungai. Apalagi,
benteng Kuala Daik yang berada tepat di bibir pantai juga selalu siap menuggu
kedatangan musuh yang berhasil lolos dari gempuran benteng Mepar dan Bukit
Cening. (Abd Rahman Mawazi)
Baca juga : Meriam Sumbing yang Melegenda
Jumat, 05 April 2013
Meriam Sumbing yang Melegenda (1)
Perang Reteh meletus ketika Belanda mengerahkan pasukannya dari Tanjungpinang pada Oktober 1858. Pasukan itu hendak menaklukan Raja Sulung di Reteh, Indragiri, Riau. 25 kapal perang penuh meriam dan pasukan besar dikirim agar Raja Sulung tunduk dan mengakui sultan Sulaiman. Namun, ada satu meriam yang tertinggal dan menagis, yaitu meriam sumbing.
Meriam sumbing yang kini berada di pulau Mepar, Lingga, konon dikabarkan menagis karena tidak diikutsertakan dalam perang itu. Tagisnya tidak lagi terdengar setelah disusulkan ke Reteh dan turut serta dalam pertempuran yang akhirnya menewaskan Raja Sulung. Dan keganasan meriam sumbing ketika itu, melebihi perkiraan banyak orang. Meriam sumbing kala itu dianggap sebagai produk yang belum sempurna dan tidak tahan lama untuk diajak bertempur.
“Setelah perang usai, ternyata terdengar kabar bahwa meriam itu tidak hanya kokoh dalam bertahan, tetapi juga kuat dalam menyerang hingga membuat moncongnya sumbing. Itu kisah yang masyahur di masyarakat,” kata Lazuwardi, warga Daik yang menjadi pemerhati sejarah Lingga. Dalam sebuah makalahnya,
Perang Reteh berkobar karena Raja Sulung tidak mau tunduk kepada Belanda dan Sultan Sulaiman Badrul Alam Syah (1857-1883). Sultan Sulaiman naik tahta setelah Belanda memakzulkan Sultan Mahmud Muzaffar Syah yang berada di Singapura. Sedangkan Raja Sulung menjadi pengikut setia Sultan Mahmud setelah ditolong usai perebutan kekuasan di Siak pada 1784 dan diangkat sebagai Panglima Besar Reteh.
Ketika perang Reteh usai pada bulan berikutnya, seluruh meriam yang berada di benteng pertanahan di pulau Mepar dikembalikan pada posisi semua, termasuk meriam sumbing yang memiliki panjang sekitar 1,5 meter itu. Meski telah sumbing, ia tetap menjadi idola dalam pertahanan. Saat ini, meriam itu berada tidak jauh dari sebuah musholla di pulau Mepar, sekitar 20 meter dari gerbang masuk pulau itu. Dulunya banyak meriam hanya berserakan saja di sekitar pemukiman wawrga dan kini meriam itu sudah disusun bagian bukit pulau Mepar.
Meriam sumbing pun dianggap sebagai meriam paling kramat diantara meriam-meriam lainnya. Dalam novel Mutiara Karam karya Tusiran Suseso, meriam sumbing dikisahkan sebagai senjata andalan Datuk Kaya Mepar saat hendak menumpas para lanun atas titah sultan Mahmud Syah. Meriam itupun selalu tetap berada di Mepar dan menjadi meriam paling keramat. Terlepas dari berbagai kisahnya, meriam Sumbing telah menjadi bagian dari mitologi masyarakat Lingga.
Akan tetapi, Repelita Wahyu Oetomo dari Balai Arkeologi Medan dalam sebuah artikelnya menyebutkan sumbing pada moncong meriam itu disebabkan oleh kualitas barang yang kurang bagus. Ia menduga meriam itu buatan dari daerah yang teknologinya belum maju sehingga pada saat terlalu sering digunakan, bagian depannya kepanasan dan pecah.
Pertahanan Pertama
Pulau Mepar memiliki fungsi strategis dalam pertahanan kerajaan Riau-Lingga. Pulau yang ketika mengitarinya tidak sampai setengah ini di kepalai oleh seorang temanggung. Namun, kekuasan temanggung ini berbeda dengan Temanggung Abdul Jamal yang megusasi ke bulan Bulang dan sekitarnya. Temanggung di Mepar hanya berkuasa di Mepar saja sebagai hadiah dari Sultah Mahmud Syah III saat memindahkan ibu kota kerajaan dari Riau-Bintan ke Daik-Lingga.
Sebagai benteng pertahanan, seluruh sisi pulau itu pun dipenuhi oleh benteng atau kubu. Jangan bayangkan benteng yang dimaksud ini adalah tembok beton tebal dengan ketinggiannya, benteng ini hanya berupa gundukan tanah atau susunan bebatuan untuk tempat berlindung. Meriam-meriam, diletakkan di atas gundukaan tanah adan ada juga yang muncungkan berada di antara tumpukan batu. Ada sekitar lima benteng di pulau itu, sebagian sudah tergerus oleh laut.
“Yang paling atas itu benteng Lekok. Benteng ini bisa memantau seluruh penjuru di laut. Benteng pulau Mepar ini adalah benteng pertahanan pertama. Di bukit Cengkeh juga ada benteng, tapi lebih tepatnya semacam pos pantauan. Dari sana kemudian dikirim sinyal ke Mepar,” terang Lazuardi.
Benteng yang dilengkapi meriam di Mepar selalu siap siaga bila ada musuh. Apalagi, selat Lima yang memisahkan pulau Lingga dan Selayar sering menjadi jalur pelayaran. Setiap kapal yang datang selalu terpantau dari pos di Bukit Cengkeh dan benteng–benteng di Mepar pun bersiaga ketika kapal itu dicurigai sebagai ancaman.
Posisi Mepar ini kurang lebih dengan posisi Penyegat dan Tajungpinang yang menjadi benteng pertahanan paling depan. Mepar ini berada di seberang dari pelabuhan Buton, Daik. Pelabuhan inilah yang pada masa-masa akhir kerajaan digunakan Belanda sebagai tempat untuk mengontrol gerak gerik sultan beserta seluruh rakyat yang keluar masuk Daik.
Jika di Penyengat memiliki banyak peninggalan infrastruktur, termasuk masjidnya yang sudah terkenal ke sentaro negeri. Sedangkan peninggalan masa kerajaan di Mepar hanya benteng-benteng itu serta makam dari temanggung dan keturunannya. Kini, pemkab Lingga melalui Disbudpar telah menjadikan Mepar sebagai satu destinasi wisata di Lingga. (abd rahman mawazi/bersambung klik di sini)
Baca juga : Meriam Penghancur itu Bernama Tupai Beradu
Sabtu, 16 Maret 2013
Kampung Boyan di Dabo Singkep
Kemasyhuran timah di Dabo, pulau Singkep, kabupaten Lingga,
menarik perhatian dunia. Dimulai pada zaman kesultanan, era penjajahan Belanda,
hingga masa kemerdekaan sampai pada tutupnya PT Timah pada 1992-an.
Pendatangpun berbondong ke pulau yang berada di utara pulau Bangka, termasuk
juga pendatang dari pulau Bawean.
Masyarakat Bawean memang sudah terkenal sebagai perantau. Jejak mereka lebih banyak ke arah barat dari pulau yang berada di laut Jawa itu. Bangka, Belitung, Kijang (Bintan), Singapura, dan Malaysia menjadi tempat tujuan merantau yang paling banyak diminati setelah Jawa.
Para perantau ini seringkali meninggalkan jejak berupa nama kampung, yakni Kampung Boyan. Nah, itulah yang menjadi pijakan, tradisi rantau warga Bawean memiliki jejak, baik berupa nama maupun tradisi. Di Dabo Singkep, terdapat juga sebuah kampung bernama Kampung Boyan. Di situ, dahulu, pada masa kejayaan PT Timah, terdapat sekelompok perantau dari Bawean. Mereka mencoba menggantungkan asa dari tambang yang telah terkenal ke sentaro dunia. Ada juga yang datang sebagai pedagang.
Dari beberapa penuturan orang Boyan di Dabo Singkep, mereka ada yang datang langsung dari Bawean dan ada pula yang datang dari Bangka dan Belitung. Tidak perlu diceritakan lagi bagaimana masyarakat Bawean bisa merantau sebab semuanya, ketika itu, menggunakan jalur laut dan bertujuan untuk meningkatkan pendapatan ekonomisnya.
Masyarakat Bawean memang sudah terkenal sebagai perantau. Jejak mereka lebih banyak ke arah barat dari pulau yang berada di laut Jawa itu. Bangka, Belitung, Kijang (Bintan), Singapura, dan Malaysia menjadi tempat tujuan merantau yang paling banyak diminati setelah Jawa.
Para perantau ini seringkali meninggalkan jejak berupa nama kampung, yakni Kampung Boyan. Nah, itulah yang menjadi pijakan, tradisi rantau warga Bawean memiliki jejak, baik berupa nama maupun tradisi. Di Dabo Singkep, terdapat juga sebuah kampung bernama Kampung Boyan. Di situ, dahulu, pada masa kejayaan PT Timah, terdapat sekelompok perantau dari Bawean. Mereka mencoba menggantungkan asa dari tambang yang telah terkenal ke sentaro dunia. Ada juga yang datang sebagai pedagang.
Dari beberapa penuturan orang Boyan di Dabo Singkep, mereka ada yang datang langsung dari Bawean dan ada pula yang datang dari Bangka dan Belitung. Tidak perlu diceritakan lagi bagaimana masyarakat Bawean bisa merantau sebab semuanya, ketika itu, menggunakan jalur laut dan bertujuan untuk meningkatkan pendapatan ekonomisnya.
Kampung Boyan di Singkep ini terletak di pesisir pantai.
Di kampung itu lebih banyak di tumbuhi pohon kelapa. Akan tetapi, Kampung Boyan di desa Batu Berdaun Kecamatan Singkep kabupaten Lingga ini tidak lagi ada orang-orang Boyan itu. Entah sejak kapan mereka meninggal kampung dan hanya menyisakan nama saja. “Dulu banyak, sekarang tak ada lagi (orang Boyan yang menetap di kampung itu),” kata Iwan, ketua RT di kampung itu.
Di kampung itu lebih banyak di tumbuhi pohon kelapa. Akan tetapi, Kampung Boyan di desa Batu Berdaun Kecamatan Singkep kabupaten Lingga ini tidak lagi ada orang-orang Boyan itu. Entah sejak kapan mereka meninggal kampung dan hanya menyisakan nama saja. “Dulu banyak, sekarang tak ada lagi (orang Boyan yang menetap di kampung itu),” kata Iwan, ketua RT di kampung itu.
Meski tidak lagi ditemukan keturunan Bawean di kampung itu, sebenarnya,
mereka masih ada yang menetap di pulau Singkep. Mereka telah tersebar ke
beberapa kampung-kampung lainnya. Saat ini, lokasi yang paling terkenal dengan
banyak warga ataupun keturunan Bawean itu sebuah kampung bernama Tansirasif,
yang berada di kecamatan Singkep Barat.
Di sana, warga Bawean banyak yang memilih menjadi petani. Hasil pertanian mereka untuk memenuhi kebutuhan warga Singkep. Yang tidak kalah terkenal ialah durian hasil dari pohon-pohon tanaman orang Boyan. Tidak sedikit orang Singkep yang menaruh rasa takjub dengan etos kerja orang Boyan, apalagi hasil tanaman mereka dikenal selalu bagus.
Ada juga sebagian keluarga lainnya yang menetap di Dabo Singkep.
Di antara mereka ada yang menjadi buruh dan ada pula karyawan biasa.
Sependek pengetahuan penulis, belum ada keturunan Bawean yang memiliki kedudukan strategis di pemerintah maupun politik di kabupaten Lingga. Kelak, jika ada kisah lain perihal orang Boyan ini, tentu akan penulis bagikan lagi kepada pembaca. (Abd Rahman Mawazi)
Sependek pengetahuan penulis, belum ada keturunan Bawean yang memiliki kedudukan strategis di pemerintah maupun politik di kabupaten Lingga. Kelak, jika ada kisah lain perihal orang Boyan ini, tentu akan penulis bagikan lagi kepada pembaca. (Abd Rahman Mawazi)
Rabu, 06 Maret 2013
Kebakaran di Dabo Singkep Hanguskan 41 Rumah
Tagis histeris warga menyeruak di RT 01 RW 3 di keluarahan Dabo, Singkep, Senin (4/3) pagi sekitar pukul 09.15 WIB. Mereka tidak menyangka api yang sebelumnya berasal dari satu rumah, tiba-tiba dengan cepat mebesar dan merambat ke rumah-rumah lainnya. Semakin panik dan berupaya menyelematkan barang-barang serta dokumen-dokumen penting lainnya.
“Aduh…. Habis semuanya barang aku,” teriak seorang ibu saat dibopong oleh warga lain. Para ibu pun histeris sembari mengemasi barang-barang mereka yang telah dibantu dikeluarkan warga. Barang-barang perabotan menumpuk di area kosong di sekitar mukiman. Warga harus berlomba dengan kobaran api yang terus membesar.
“Dah habis semua. Surat-surat aku pun tak ade lagi,” seru warga lain. Perepuan yang baru saja menempati rumah dari bantuan RTL ini hanya bisa pasrah. Ia tidak bisa berbuat apa-apa lagi karena rumahnya sudah rata dengan tanah.
Kabakaran hebat yang melanda pemukiman padat penduduk di belakang pasar Dabo Singkep itu sedikitnya melahap 41 rumah yang dihuni oleh 46 kepala keluarga. Selama satu jam lebih, kobaran api tidak mampu dijinakkan oleh satu unit mobil pemadam kebakaran milik pemkab Lingga. Apalagi, hembusan angin kencang membuat api terus berpindan dari satu rumah ke rumah lainnya yang rata-rata terbuat dari kayu. Warga terpaksa harus merobohkan rumah-rumah yang paling dengan api.
“Kita tak bisa melawan api macam tadi. Anginnya terlalu kencang. Tidak mungkin kita lawan, terpaksa harus dijebol biar api tidak terus merambat. Apalagi, air kita kurang sekali,” ujar Rudi Purwonugroho, anggota DPRD Lingga yang turut membantu warga menjinakkan api, ketika meninjau kembali lokasi kejadian.
Awalanya, angin berhembus ke arah laut dan meratakan rumah panggung di sana. Nyaris tanpa sisa, kecuali tiang-tiang pemancang rumah saja yang masih berdiri tegak menjadi arang. Belum lagi api padam di rumah-rumah tepian pantai, angin telah berhembus ke darat, ke arah pemukiman warga yang dekat dengan pasar. Hal ini membuat warga tambah panik.
Spontan saja, warga yang rumahnya berada di sekitar itu pun langsung mengeluarkan perabotan mereka. Mereka berlomba dengan hembusan angin yang mebawa api. Akan tetapi, banyak warga penonton membuat beberapa upaya pengeluaran menjadi sulit. Bahkan, para petugas dan pegawai pun beberapa kali menghalau warga agar membantu dan tidak mendekat ke lokasi bagi mereka yang tidak berkepentingan.
Wakil bupati Lingga, Abu Hasim, dan camat Singkep, Kisanjaya, juga tidak kalah tanggap. Kedua membantu warga lain untuk menjinakkan api serta memindahkan perabotan rumah. Api baru benar-benar bisa jinakkan sekitar dua jam setelah kejadian.
Dapur Kayu
Kapolres Lingga, AKBP Moch. Khozin, mengatakan dari hasil penyidikan sementara, sumber api berasal diduga berasal dari rumah warga yang bernama Darmawan. Apa itu berasal dari tungku kayu yang sedang digunakan memasak.
“Hasil lidik sementara api yang diduga berasal dari rumah warga yang bernama Darmawan yang lagi memasak dengan menggunakan kayu bakar. Berhubung angin kencang, api langsung menyambar rumah yang lainnya dan kebetulah rumah-rumah di lokasi terbuat dari kayu dengan atap dau nipah,” terangnya.
Lokasi kejadian yang telah rata dengan tanah pun pun telah dipasangi garis polisi untuk penyidikan lebih lanjut. Menurutnya, kerugian dari peristiwa itu diperkirakan mencapai Rp 900 juta.
Dari informasi yang dihimpun Tribun, sumber api berasal dari rumah warga yang didiami oleh Joni sekeluar. Saat itu, rumah tersebut sedang kosong. Warga pun berupaya untuk mendobrak rumah ketika asap mulai membesar dan terdengar suara ledakan. “Informasinya dari rumah Joni. Rumahnya lagi kosong. Tadi pas mau dipadamkan, rumahnya terkunci dari dalam,” kata seorang warga.
Sabtu, 02 Februari 2013
Daun Racun yang Menjadi Obat
Tulisan arab di lembaran daun itu tampak sedikit mencolok di
antara barang-barang lain di museum Linggam Cahaya. Kalimat yang tertulis pada
bagian pertama ialah bissmillahirrahmaanirrahiim. Menurut petugas penjaga
museum, itu adalah daun dari pohon Embacang atau juga dikenal juga Bacang.
Tradisi mandi Safar menjadi bagian dari ritual tradisi
melayu yang telah dipopulerkan oleh sultan Lingga Riau terakhir, Abdurrahman
Muazzamsyah, saat hendak berangkat meninggalkan Daik menuju Singapura. Sultan
yang kala itu hendak dimakzulkan oleh Belanda menyempatkan dulu untuk mengajak
warganya melakukan mendi Safar di istana Kolam.
Sejak saat itu, tradisi mandi Safar kembali menggeliat
dikalangan warga melayu di Daik. Dalam kegitan itu, air yang hendak digunakan
untuk mandi penyiram pada pertama kali membasahi tubuh adalah air yang telah dimantra-mantrai
oleh tokoh adat setempat. Mantra yang digunakan adalah sebuah isim yang
ditulisakan pada benda lalu dicelupkan ke dalam tempayan ataupun gentong.
Menurut pemerhati budaya Lingga, Lazuardi, dulunya tidak
hanya dedaunan yang digunakan. Adakalanya pelepah pohon. Zaman itu, terangnya,
kerta merupakan barang mewah dan sulit untuk didapatkan. Kertas yang ada sering
digunakan untuk kebutuhan administrasi kerajaan.
“Barulah setela itu daun yang digunakan. Menurut
cerita-cerita, daun Embacang ini dipilih karena pohon ini memiliki racun. Siapa
yang terkena tetesan getahnya akan terkena penyakit gatal-gatal dan kudis. Ada
juga penyakit lain yang ditimbulkan dari daun ini. Makanya, kemudian daunnya
dipilih,” paparnya.
Pemilihan daun tersebut, tambah dia, agar segala racun yang
terdapat didalamnya tidak membawa petaka dan marabahaya bagi warga. Dengan
dibacakan doa serta penulisan isim pada daun itu, diharapkan tidak lagi
mencelakai warga. Akan tetapi, tidak ada patokan khusus dalam penggunana media daun
tersebut.
Penulisan isim atau kalimat pada daun itu tidak sembarang.
Hanya orang-orang tertentu yang bisa boleh menuliskannya, yakni ulama ataupun
tokoh agama. Waktu penulisan juga sangat terpilih, yakni pada Jumat atau
malam-malam lain yang dianggap paling bagus. Selama proses penulisan, sang
penulis juga tidak diperkenankan berbica hingga penulisan selesai.
“Itu adalah aturan-aturannya. Sebab maksuda dan tujuan dari
tulisan itu adalah doa atau permohonan. Tulisannya, bismillahirrahmaanirrahiim
salaamun kaulam mir rabbir rahim dan seterusnya. Tentang hal ini ada
diterangkan dalam kitab Tajul Mulk,” imbuhnya lagi.
Menurut Fadli, petugas museum Linggam Cahaya, dalam Kitab
Tajul Mulk itu disebutkan bahwa tradisi itu untuk menolak balak anak cucu nabi
Adam dari godaan Dajjal (sosok pembawa bencana dalam kepercayaan umat Islam,
red). Dalam kitab tersebut juga diceritakan tentang awal mula tradisi tersebut.
“Untuk pelaksanaannya, yakni pada hari Rabu terakhir di bulan Safar. Seperti
disebutkan dalam kitab ini,” ujarnya saat membacakan keterangan dalam kitab itu
kepada Tribun beberapa waktu lalu.
Masyarakat melayu meyakini kegiatan mandi Safar
adalah bagian dari adat istiadat untuk tolak balak atau dijauhkan dari musibah
dunia. Tradisi ini tidak hanya dilakukan oleh masyarakat Melayu di Lingga, melainkan
juga di Malaka, Serawak, dan lainnya.
Long Leman, Terpanggil Menjaga Sejarah dan Budaya di Lingga
Besi tua itu sebelumnya teroggok di pinggir jalan. Sekilas,
ia terkesan hanyalah sebagai besi tua yang tidak dipergunakan lagi dengan warna
kecoklatan yang pekat. Nyaris hitam. Untungnya, ada tulisan yang menandakan
bahwa benda itu ialah cagar budaya. Benda itulah yang berada di hadapan Long
Leman. Besi itu telah dipindahkan oleh Disparbud Lingga beberapa waktu lalu
untuk menjadi bagian koleksi museum.
Kakek Long Leman (60) sedang asyik mengetuk benda bulat itu.
Ia tampak serius dengan palu di tangannya. Pelan dan perlahan, karat yang
melekat disingkirkan agar tidak menjalar ke bagian lain dari besi itu. “Ini
dulu dipakai untuk memadatkan jalan oleh Belanda waktu membuka jalan ke
pelabuhan Beton,” ujarnya saat disambagi Tribun beberapa waktu lalu.
Benda itu, terangnya, adalah peninggalan bersejarah yang
harus dirawat. Itu adalah bagian dari bukti sejarah atas kehadiran Belanda
dalam upaya mengusai Lingga yang ketika itu dipimpin oleh sultan terakhir
kerajaan Lingga Riau. Belanda menjadikan pelabuhan Buton sebagai lokasi untuk
memantau arus keluar masuk penduduk, termasuk juga raja yang hendak
dimakzulkannya.
Itu adalah satu diantara pekerjaan Long Leman. Ia termasuk
satu diantara para pecinta benda-benda bersejarah, seni budaya, serta adat
istiadat melayu. Bahkan, Long Leman rela menghibahkan tanahnya untuk
pembangunan museum. Ia merasa bahwa benda-benda bersejarah harus dirawat dan
dilestarikan agar anak cucu kelak bisa mengambil pelajaran.
“Dulu saya pelaut. Saya telah datang ke beberapa daerah.
Saya melihat berbagai adat-istiadat mereka. Terus saya berpikir, daerah saya
ini kaya dengan budaya. Setelah balik, saya tidak lagi mau menjadi pelaut. Saya
memilih melestarikan budaya,” kisahnya sembari mengenang masa lalunya.
Sebelum upaya penyelamatan benda-benda bersejarah, Long
Leman menekuni bidang budaya. Ia pun mempelajari beberapa peralatan musik. Tak
heran, bila kini ia bersama dengan sanggar tari yang ia bina sering mendapatkan
undangan ke berbagai daerah.
Setelah Lingga menjadi kabupaten, semangatnya terus
berkobar. Apalagi, museum itu kini berada berdampingan dengan rumahnya.
Sehari-hari ini, ia selalu bergulat dengan benda-benda bersejarah serta
kebudayaan. “Tidak bosan. Museum ini penting. Inilah pengabdian saya. Saya tak
bisa kasi apa-apa,” ujarnya.
Penggiling tanah itu, rencananya akan diletakkan di dekat
museum bersama dengan beberapa koleksi lainnya. Dengan begitu, setiap warga
yang datang bisa menikmati koleksi dan mengambil pelajaran.
Lazuardi, seorang teman Long Leman, mengatakan selalu berbagi
informasi perihal informasi-informasi budaya dan sejarah. Bahkan, ketika
berburu barang-barang untuk koleksi museum, mereka kerap bersama. Saat Long
Leman masih mampu melakukan perjalanan jauh, mereka berdua tidak segan
mendatangi pelosok-pelosok desa.
“Kita harus berusaha sekuat tenaga menjaga agar koleksi
bersejarah tidak berpindah dari Lingga. Kami selalu mencari informasi sampai ke
pelosok-pelosok desa,” ujarnya.
Semangat mencintai budaya dan sejarah dari Long Leman juga
telah turun kepada seorang anaknya, Jumiran. Anaknya itu memiliki bakat di
bidang musik dan saat ini telah bergabung dengan sanggar yang menjadi binaanya.
“Ada satu anak yang bakatnya sama. Mudah-mudah cucu nanti juga ada yang bakat
di bidang sejarah,” harapnya.
Selain menjaga dan merawat benda bersejarah, Long Leman juga
adalah orang yang selalu mencuci benda-benda bertuah. Dalam tradisi adat
melayu, benda bertuah seperti keris tidak bisa dicuci sembarang orang. “Itu
agak lain sedikit. Orang boleh percaya atau tidak,” ucapnya. Tak heran bila ia
kerap dicari beberapa orang, bahkan dari negeri seberang untuk mengambil
pelajaran darinya.
Nelayan di Bakong Penghasil Ikan Bilis
Seorang nelayan ikan bilis, A Ti, masih sibuk dengan loyang perebus ikan di hadapannya. Sesekali ia harus menghindar dari kepulan asip membuat perih mata. Dengan singap, ia mengentas rebukan ikan dalam keranjang khusus setelah beberapa menit dicelupkan.
Sore itu, cuaca tampak menudung. Para nelayan ikan bilis di
desa Bakong terpaka harus merebus ikan bilis hasil tangkapan semalam agar tidak
membusuk. Terik matahari adalah pengering ikan andalan warga. Dan bila hujan,
maka mereka pun akan sibuk merebus ikan bilis itu.
“Kalau tidak rebus, nanti busuk. Tapi kalau sudah direbus
begini, harganya jadi murah. Kualitasnya beda antara yang dikeringkan langsung
ke matahari dengan yang direbut dulu,” kata Rustam, warga Bakong menjelaskan
beberapa waktu lalu.
Apa yang dilakukan A Ti bersama dengan anggota keluarganya
ialah berupaya agar ikan hasil tangkapan semalam itu tidak membusuk dan tetap
masih bisa dijual. Itulah rezeki yang bisa kais oleh A Ti beserta ratusan warga
lainnya di Bakong. “Kalau tiga kali rebus, dah tak bisa jual lagi. Di buang
saja,” ujarnya.
Hujan dan musim angin utara adalah aral yang sangat
menyulitkan bagi para nelayan. Jika memasuki musim utaran, warga tidak melaut
lagi selama hampir empat bulan. Sedangkan 80 persen masyarakat di sana
menggantungkan pada tangkapan ikan bilis. Setiap satu kilo ikan bilis kering
dihargai oleh pengepul Rp 40 ribuan untuk kualitas dengan pengeringan matahari
langsung, sedangkan yang terlebih direbus harga sudah jatuh dan bahkan tidak
sampai Rp 30 ribu.
Ikan-ikan itu ditampung oleh seorang dari Tembilahan Riau.
Nelayan lebih memilih pengusaha dari luar daerah itu karena penampung dari
Tanjungpinang justru menawar dengan harga lebih murah. Para nelayan berharap
ada investor yang memiliki penampungan di Bakong sehingga warga pun mudah untuk
menjual hasil tangkapannya.
Putera kelahiran Bakong, Irjen Pol (purn) Andi Masmiyat,
yang datang melayat ke makan orang tua beberapa waktu lalu mengakui mata
pencarian masyarakat adalah nelayan. Hal itu sudah berlangsung sejak dulu,
sejak ia masih kecil dan sering berlari diantara jemuran ikan bilik milik
warga. “Kalau ada teknologi pengeringan yang sederhana saja, mungkin tidak akan
sampai busuk,” ujarnya.
Saat pertemuan, warga mengaku butuh pelatihan untuk
meningkatkan nilai jual dari ikan bilis mereka. Dan kini, mereka sedang
berembuk untuk membentuk kelompok nelayan agar bisa segera mendapatkan
pelatihan ataupun membentuk swada untuk keperluan diantara mereka juga.
Berebut Berkah dari Ritual Xia Khang di Lingga
Senja mulai menghilang kala orang-orang di kelenteng itu
sedang sibuk mempersiap perabotan. Malam itu, adalah malam rangkaian dari
upacara sembahyang kesalamatan bumi di kelenteng Berigin, Penuba, Lingga.
Segala kebutuhan untuk konsumsi pun sedang dipersiapkan bagi para tetamu yang
akan datang.
Sembang keselamatan bumi, atau yang dikenal juga dengan Xia
Kang itu, adalah ritual syukuran sekaligus perhononan berkah yang dalam tradisi
masyarakat Thionghoa. Ritual ini telah berjalan lama hingga menjadi tradisi
sampai saat ini, khususnya masyarakat untuk kelenteng atau pun vihara yang
berada di pinggiran sungai.
Ketua pengurus kelenteng, Susanto, mengatakan, tradisi itu
sudah berlangsung lama dan dilakukan setiap setahun sekali. Kegiatan itu
sebagai bentuk syukur atas sezeki yang telah mereka terima dan sebagai bentuk
permohonan untuk tahun depan. Kelenteng Beringin menjadi kelenteng tertua di
Penuba dan kini sudah berusia 112 tahun.
“Ini semacam upacara syukuran atas sungai yang telah
memberikan rezeki. Tradisi ini sudah turun temurun,” kata Ayun, sesepuh warga
Thionghoa di Singkep kepada Tribun, Jumat (14/12) lalu. Tradisi ini juga
berlangsung pada kelenteng di Daik dan juga Pancur.
Sebagai ritual sacral, warga Thionghoa dari Penuba yang
telah merantau pun turut hadir. Mereka berdatangan dari Batam, Bintan,
Tanjungpinang, Jakarta, Singapura, dan juga derah lainnya. Mereka rela
meninggalkan kesibukan keseharian demi mengharap berkat dari upacara tersebut.
Mereka bersembahyang, lalu duduk bersama untuk menikmati jamuan serta hiburan
dan juga lelang barang.
Pelelangan dari barang-barang yang telah disembahyangkan
menjadi rebutan. Patung-patung dengan berbagai bentuk dilelang untuk derma bagi
kelenteng. Sebagaimana layaknya lelang, tawar menawar harga pun membuat suasana
semakin ramai. Mereka tidak hanya merebutkan barang, melainkan makna dari
barang-barang itu.
“Ada makna-makna tertentu. Kayak naga tadi. Itu ada
artinya,” kata Ayun yang enggan menjelaskan lebih jauh makna-makna dari setiap
barang. Pada malam itu, patung naga dan kuda menjadi incaran para peserta
lelang. Penawaran sempat sengit hingga akhirnya mengerucut pada dua orang.
Harganya pun melejit jauh, bahkan ada barang yang dilepas dengan harga Rp 33
juta.
Harga memang tidaklah menjadi persoalan, tetapi kepuasan
dari memiliki barang yang telah disembahyangkan adalah sesuatu yang berbeda.
Itulah, kata Ayun, yang membuat banyak orang berebut untuk memiliki
barang-barang yang dilelang. (arm)