|
BARAK - Gedung ini dulu digunakan sebagai kantor dan barak bagi pasukan Belanda. Di gedung ini juga terdapat sebuah penjara. |
Penuba tidaklah setenar Dabo-Singkep ataupun Daik Lingga. Sejarahnya
tidak semudah dua tempat yang terakhir ketika kita menjelajahi mesin pencarian
internet. Di dunia maya, Penuba terkenal dengan pelabuhannya, namun sebatas
nama saja, tidak ada keterangan lebih lengkap. Penuba seperti tertindih oleh
memori baru perjalanan hidup.
Kakek tua itu duduk santai pada ruang tamu di rumahnya
dengan sebatang rokok. Ia seperti tidak menghirau panas yang menyengat di luar
sana. Santai, tenang, dengan tatapan sayu. Dialah Kamis (87), bekas tentara
bentukan Jepang atau heiho. Tiga
tahun lamanya, ia pun sempat menjadi komandan regu.
“Diambil saja, bukan sengaja nak ikut. Semua yang muda-muda
waktu itu disuruh ikut,” tuturnya mengisahkan peristiwa lalu kala ia masih
berusia sekitar 17 tahun. Saat itu, tidak ada pilihan bagi pemuda. Jepang
memaksa, melebihi paksaan orang-orang Belanda. Kala itu, 1942, Jepang sedang
terlibat perang Pasifik dan berambisi menjadi imperial di Asia tenggara. Tak
pelak, Kamis pun menjadi tentara dan harus meninggalkan Penuba. Jepang tidak
menjadikan penuba sebagai pusat aktivitas, mereka lebih memilih di daerah yang
kini disebut desa Selayar.
Ia bersama dengan puluhan pemuda lainnya di kirim ke kamp
konsentrasi Jepang di Singapura. Di sana, mereka dilatih baris berbaris dan
latihan perang. Setiap hari, latihan dan latihan saja yang dilakukan. Pagi
hari, mereka memulai latihan dengan senam (taiso) sebelum sarapan. Waktu pun
berlalu, hingga akhirnya mereka diantar kembali ke Penuba seiring kekalahan
Jepang karena jatuhnya bom nuklir di Hirosima oleh tentara sekutu. “Pangkat
saya ada satu,” katanya mengenang pangkat terakhir yang diterimanya.
Namun jauh sebelum Jepang memasuki Tanah Air, Belanda sudah
menjadikan Penuba sebagai markas polisi dan tentara. Mereka adalah orang-orang
Indonesia yang direkrut untuk menjadi polisi atau tentara oleh pemerintah
Hindia Belanda. Meraka adalah penduduk dari luar Penuba yang disengaja
didatangkan. Sedangkan warga Penuba dijadikan pembantu bagi tentara maupun
polisi, termasuk juga kakek Jang (86).
|
PENJARA - Cela kecil pada pintu dibalik tumpukan tiplek itu adalah sel tahanan atau penjara yang digunakan oleh pemerintah Hindia Belanda saat berkantor di Penuba |
Tiga Pahlawan
Menurut Jang, tidak semua tentara Penuba itu mengikuti
begitu saja kebijakan-kebijakan Belanda. Hal itu terbukti dengan tewasnya
Sersan Kilak. Kabar yang beredar di Penuba, Serma Kilak yang berasal dari
Indonesia bagian timur di ditembak oleh polisi Belanda. Ia dilumpuhkan karena
hendak berebut senjata.
“Ditembak di depan kantor bea cukai dekat pelabuhan,” ujar
Jang. Ia tidak begitu mengingat apa penyebab penembakan itu. Namun, dari kabar
yang beradar, ia berebut senjata dan hendak meninggalkan Penuba sehingga
dianggap sebagai pembangkang.
Kilak adalah satu di antara tiga orang yang disebut sebagai
pahlawan kemerdekaan. Masyarakat Penuba juga menyebut nama dr Sumitr dan
Arbain. Tidak ada kabar yang jelas perihal dua orang yang terakhir ini. Namun,
ketika jasadnya sudah dipindahkan ke makam pahlawan di Dabo Singkep. Ada kabar,
kerangka dr. Sumitro sudah dibawa keluarga ke Jawa.
“Tidak ada yang tahu. Tapi masyarakat menyebut mereka
pahlawan,” kata Rais, tokoh masyarakat setempat yang menunjukan bekas makam
ketiganya. Cerita heroic ketika pun terputus, tidak ada tetua di kampung itu
yang meingat bagaimana peranan ketiga. Tetapi mereka ditengarai hidup semasa
perjuangan kemerdekaan.
|
RUMAH TUA - Bangunan ini adalah peninggalan pemerintah Hindia Belanda. Kini, terdapat dua bangunan yang masih tersisa namun tidak lagi terawat. |
Sejauh Memandang
Seram. Itulah kesan dari bangunan tua itu. Masyarakat tidak
banyak menyambangi benteng pemantauan itu sejak kejadian bunuh diri beberapa
tahun silam. Mereka takut. Dari bukit itu, aktivitas pelayaran laut bisa
dipantau. Termasuk juga kepal-kapal yang hendak berlabuh di pelabuhan Tanjung
Buton di Daik Lingga.
Ketika masa konfrontasi (1962-1966), Penuba menjadi bagian
konsentrasi pertahanan. Di sanalah pasukan askar bela negara juga berkumpul.
Mereka bukanlah tentara TNI. Mereka militer tidak resmi, yakni warga sipil yang
sedang semangat membara hendak melawan Malaysia. Mereka inilah yang ditakui
oleh Malaysia hingga membakar lambang dan simbol-simbol Indonesia di KBRI Kuala
Lumpur sebagai aksi protes.
Di penuba inilah pasukan TNI AL memainkan peranannya.
Kapal-kapal mereka silih berganti bersandar di pelabuhan yang teduh itu.
Bahkan, benteng pemantauan yang tidak jauh dari barak tentara Belanda itu
sengaja dibangun oleh TNI AL. “Itu peninggalan TNI AL masa konfrontasi.
Sekarang terbengkalai. Orang tak berani,” tutur Rais lagi.
Ketika menajaki bukit itu, maka akan tampak seisi pulau
Selayar. Gunung Daik yang terkenal itu tampak begitu jelas, apalagi kala cuaca
cerah. Di gedung bekas itu, kata Rais, kita boleh melihat sejauh memandang.
Sayang, ia terbengkalai. Tak terurus. “Besi masih bagus-bagus. Ini butuh perhatian dari
pemerintah,” ucap kepala desa Penuba, Dwi Abdi. (Abd Rahman Mawazi)
NB: Tulisan ini pernah terbit bersambung di harian Tribun Batam pada 15-19 September 2012.